Dunia Pergerakan, Bir, dan Proyek Misterius

Kamis, 24/01/2019 19:38 WIB
Ging Ginanjar dan sobatnya, novelis Ayu Utami di pesta ulang tahun Willy Pramoedya (tengah). Foto: P. Hasudungan sirait.

Ging Ginanjar dan sobatnya, novelis Ayu Utami di pesta ulang tahun Willy Pramoedya (tengah). Foto: P. Hasudungan sirait.

Jakarta, law-justice.co - Kawan kami sesama pendiri Aliansi Jurnalis Indepeden (AJI), Liston Siregar,  sedang berada di Jakarta. Ia mengundang kami untuk nge-bir sembari melepas rindu. Tentu saja kami menyahutinya dengan penuh sukacita. Malam itu kami, beberapa orang termasuk Ging Ginanjar,  berhimpun di sebuah pub di bilangan Kemang, Jakarta.

Liston anak Medan. Tegas dan pekerja keras, ia salah satu motor utama AJI di masa rintisan. Selulus dari Universitas Diponegoro, Semarang, ia menjadi wartawan Tempo. Ternyata mingguan terkemuka ini dibredel  (21 Juni 1994). Ia lantas berpaling ke Neraca; kemungkinan Bang Masmimar Mangiang yang mengajaknya. Sebentar saja ia di harian ekonomi ini sebab masih di tahun 1995 ia sudah bergabung dengan BBC Siaran Indonesia, London (sampai sekarang ia setia di sana).

Ging, bersama Rin dan Dadang RHS. (Foto: P. Hasudungan Sirait)

Bersua kembali dengan kawan baik yang istimewa membuat kami larut dalam atmosfir kegembiraan, malam itu. Bernostalgia dan berbagi cerita, terutama tentang rezim Soeharto yang kian menindas siapa pun yang tak disukainya (termasuk kami), hakekatnya. Pelengkapnya adalah minuman,  cemilan, dan tentu saja: canda-tawa.

Aksi teatrikal Ging yang sudah semakin didekap alkohol kian seru saja. Dengan jenaka ia menirukan goyangan A. Rafik saat membawakan ‘Pengalaman Pertama’ [Lirikan matamu…] dan ‘Pandangan Pertama’. Pun lagak bergitar Rhoma Irama  ketika melantunkan ‘Berkelana’ serta gaya berkhotbah ‘Dai Sejuta Ummat’ Zainuddin MZ. Sungguh huburan gratis yang menyegarkan!

Cengkerama yang sekaligus kesempatan untuk melepaskan segala beban pikiran itu masih asyik. Begitupun, kami harus angkat kaki karena pelayan sudah memberitahu:  pub akan segera tutup.  Roy Pakpahan (saat itu masih wartawan Suara Pembaruan) menawari agar kami ikut dia saja naik mobilnya. Ging Ginanjar, Meirizal,  M. Hatta, dan aku mengikuti dia dengan langkah gontai dan sempoyongan.

Roy, tak seperti Ging dan aku, bukan penyuka minuman beralkohol.  Pun Meirizal dan Hatta yang sama-sama lulusan IAIN Ciputat dan sempat berduet sebagai wartawan Bisnis Indonesia. Begitupun, kondisi kami semua payah sudah malam menjelang subuh itu.

Di saat rasa pusing bertambah dan isi perut laksana lahar yang akan menyembur pun aku masih merasakan mobil kami yang zig-zag di jalanan lengang.

“Roy, stop dulu..stop dulu…gua udah nggak tahan,” pinta Meirizal.

Begitu kendaraan berhenti di sisi selokan, kami semua berhamburan turun. Suara orang sedang muntah terdengar. Awalnya dari Meirizal;  lantas merembet seperti efek domino.  Tidak satu pun dari kami yang tak menumpahkan isi perut. Ging bukan kekecualian. Ia bahkan berjongkok kemudian di dalam got yang bertinggi sekitar 1,5 meter  sembari merebahkan kening di atas kedua lutut. Beberapa menit ia di sana. kelihatannya sampai tertidur. 

“Kita cari pengiapan aja…Nggak mungkin pulang dalam kondisi kayak gini. Juga masih gelap,” kata Roy.

Kami semua manut saja seperti kerbau dicucuk hidung.

Mobil kembali bergerak. Lajunya belum stabil.

Aku dan yang lain sedang lelap ketika Roy berujar, “Di depan ada penginapan. Kita ke sana aja.”

Hanya ada beberapa kendaraan di halamannya yang  luas saat kami merapat ke depan pintu masuk hotel melati yang lokasinya sudah tak kuingat. Seorang satpam berlari dari pos depan untuk menghentikan kami yang menapak ke arah meja resepsionis.

“Mau ke mana, Pak?”

“Mau menginap dooong,” jawab Ging dengan menirukan gaya genit Tessy Srimulat (Kabul Basuki).

“Kamarnya habis! Sudah diborong semua. Nginap di tempat lain aja,” lanjut Satpam. Wajahnya jauh dari bersahabat.

Aku menelan ludah. Meirizal memberi isyarat agar kami angkat kaki saja.

Satpam itu tentu melihat mobil kami yang seperti dikemudikan orang yang baru belajar nyetir serta memerhatikan langkah kami yang serba belum stabil. Pasti juga ia membaui aroma alkohol yang keluar dari mulut kami. Sebab itulah ia menghalau dengan agak meradang.

Di dalam mobil kami mendiskusikan tempat merebahkan badan. Percuma saja mencari hotel atau losmen sebab akan ditampik karena keadaan kami semua acak-acakan tak karuanan.

“Kita ke tempat kami saja,” usul Ging.

Tak satu pun kami yang menampik sebab tubuh sudah mendesak untuk distirahatkan. Ging menjadi pemandu untuk mencapai tempat  yang alamatnya dirahasiakannya.  

Letaknya rupanya tak dekat.  Persisnya di mana, aku tak tahu sebab lelap dalam perjalanan (saat kutanya kemarin seusai melayat Ging, Roy Pakpahan memperkirakan di kitaran Ciganjur).

Bangunan itu seperti apartemen model lama. Agak kusam meski bercat putih, kalau bukan krem,  dengan lis biru. Dibimbing Ging, kami menapak lewat tangga darurat ke lantai 4 kalau bukan 5.

Ging mengetuk pintu dengan pelan sampai 3 kali sebelum sahutan “Siapa…”  terdengar dari dalam.

Pintu terkuak setengah setelah Ging menyebut nama yang jelas bukan dirinya. Wiratmo Probo—kami menyebutnya Bimo Gendut untuk membedakannya dari Bimo SMID (Bimo Nugroho, almarhum) yang   jangkung—tampak. Ia menggosok-gosok mata dengan tangan. Entah karena dirinya tak percaya pada yang tampak di depan mata atau terpaksa terjaga karena   kami datang tanpa berkabar sebelumnya.

Bimo Gendut kaget begitu menyadari bahwa Ging tak sendirian. Tak seperti biasanya, sapaan kami dijawabnya dengan dingin. Senyumnya yang acap mengembang, kali itu hilang total. Pintu tetap dipegangnya agar setengah terbuka saja.

Ngapain bawa orang ke sini?” ucapnya dengan nada tak senang.

“Tadi sebenarnya mau nginap di hotel tapi diusir satpam. Jadi, aku pikir kami ke sini saja,” jawab Ging.

Ging dan sahabatnya, Ade M. Zulkarnain yang sedang mantu. (Foto: P. Hasudungan Sirait)

Seperti mengabaikan kami yang masih di depan pintu, Bimo Gendut  mendekat dan berbisik ke telinga lelaki jangkung yang konon berdarah Yaman. Aku memerhatikannya. Ging manggut-manggut.

Ging lantas berpaling ke arah kami. “Kawan-kawan…kalian ternyata harus kembali berkeeelaaana,” ucapnya dengan meniru gaya Rhoma Irama. “Akibat pengaruh bir, aku lupa: sesungguhnya tempat ini sangat rahasia. Sumpah!”

Tanpa berucap sepatah kata pun Bimo Gendut masuk dan meninggalkan kami begitu saja. Pintu yang masih setengah terbuka dibiarkannya.

Ging bilang ia menginap di sana saja. Dia minta ma’af karena merasa telah membuat waktu kami terbuang percuma.

Kami membesarkan hatinya dengan mengatakan “Nggak apa.”  

Setelah melambai ke dia, kami ber-4 beranjak dengan menuruni tangga darurat yang sama.

Kesadaranku sudah semakin pulih. Kawan yang lain pun, kupikir, sama. Di dalam mobil kami sempat mengungkapkan kedongkolan dan ketakhabispikiran melihat lagak-laku ganjil Bimo Gendut. Bagaimana dia, kawan seiring-sejalan sejak pembredelan Tempo, Editor, Detik tega betul menampik kami yang sedang membutuhkan tempat untuk sekadar merebahkan badan? Seperti bunyi lirik lagu dangdut ‘Senyum Membawa Luka’-nya  Meggy Meggy Z yang disukai Ging, sungguh teganya, teganya, teganya…. 

Proyek Misterius

Hari masih gelap. Mungkin masih sekitar pk.02.30. Kemana lagi kami akan menuju? Serba tanggung kalau mau ke mana pun.

“Tenang aja. Gua ada tempat,” kata Roy sembari mengemudi. Seperti sebelumnya, kami berserah saja sebab otak dan tubuh belum sinkron.   

Mobil memasuki halaman sebuah bangunan bertingkat yang terbilang mewah. Entah dimana lokasinya, sampai sekarang pun aku tak tahu.

Satpam yang di pos terjaga mengangguk dan tersenyum ramah sebaik Roy menurunkan kaca jendela. Palang pintu dinaikkannya. Jelas, keduanya saling kenal.

Roy rupanya mengantongi kuncinya yang berupa kartu elektronik. Di dalam apartemen yang lapang itu kami akhirnya merebahkan badan hingga siang. Sedap betul, rasanya.

Saat bersantap seusai membilas tubuh di sana   pertanyaan  “Siapa pemilik tempat yang asyik ini’’ kuajukan ke Roy.

“Kawan kita juga…Rudi Singgih.” Jawaban singkatnya tak urung membuatku takjub. Tak seperti sekarang, kala itu apartemen, terlebih yang mewah,  masih sesuatu yang wah di negeri kita termasuk di Jakarta pun. Hebat juga kawan kami yang satu itu, kataku dalam hati.

Sedikit ihwal Rudi Singgih. Merupakan fotografer Tempo sebelum majalah itu diberangus, dia pegiat AJI yang bersemangat sejak semula. Lulusan arkeologi UI, ia sosok yang lembut dan humoris. Begitupun, akhir hidupnya nanti maha-tragis.

Sekawanan polisi mencokoknya di kediamannya di Buah Batu, Bandung di  malam  22 April 2001.  Subuhnya, mereka memberondong hingga lelaki bertubuh agak kecil itu meregang nyawa. Alasannya? Rudi mencoba melawan dan kabur. Sebuah penjelasan ia tak kupercaya hingga detik ini. Soalnya,  aku tahu persis:  keponakan pengacara terkenal-tokoh pers terkemuka Suardi Tasrif tersebut  bukan  tipe  manusia yang bringasan.

Kejadian yang menjadi duka dalam bagi kami, orang-orang AJI angkatan perdana, sampai kini. Ia pendiri AJI yang ke-2 berpulang; yang pertama adalah TJ Wibowo (Bowo), anak Detik yang juga seniman berambut sepinggang. Togi Simanjuntak yang ke-3 (sejarahwan lulusan UI ini korban dalam kecelakaan mobil saat bertugas di Sulawesi sebagai konsultan NGO), Ahmad Taufik (Opik) yang ke-4, dan kini, Ging Ginanjar yang ke-5.

Dua hari setelah setelah Bimo Gendut  menolak kehadiran kami di tempat rahasia mereka, Irawan Saptono bercerita ke aku. Ia temanku sesama redaktur majalah D&R.

“Ging mendapat tegoran keras gara-gara kalian,” katanya ke aku sambil tersenyum, pada suatu siang di kantor kami di Jl. Iskandarsjah (tak jauh dari Blok M).

Tak begitu mengerti duduk masalahnya, aku pun meminta penjelasan.

Sehari sebelumnya Ging telah disidang para petinggi yang menjadi otak Proyek Blok M. Ia dianggap melakukan kesalahan fatal yakni membawa orang luar ke tempat yang seharusnya steril betul. “Ia diberi peringatan keras,” Irawan Saptono menjelaskan. Dia ikut menyidang.

Sempat bingung aku sebaik mendengarkan cerita Irawan. Sejurus kemudian sadarlah aku betapa naifnya diri ini.  Dengan semua orang AJI, termasuk Bimo Gendut, sekian lama aku merasa bukan sekadar sebagai kawan lagi melainkan saudara senasib-sepenanggungan juga. Aku menyangi mereka semua tanpa syarat apa pun. Sebelum beroleh sepotong informasi dari Irawan itu tak pernah kubayangkan adanya garis demarkasi yang membedakan kami. Rupanya, Proyek Blok M yang sedang mereka jalankan salah satu yang mensyaratkan tegaknya bentangan garis pemisah itu. Aku menelan ludah yang lebih kelu…

Proyek Blok M itu apa sesungguhnya sehingga begitu penting dan sangat bersaputkan misteri—hingga hari ini— termasuk bagi kami sebagian besar anak AJI? Bagaimana sebenarnya peranan  seorang Ging Ginanjar dan yang lain—terlebih sang master mind: Mas Goen (Goenawan Mohamad)—di sana?  

Penasaran, aku mencoba menemukan jawabannya dengan cara bertanya secara tak langsung ke mereka yang kuduga menjadi bagiannya.  Kebetulan, sebagai pengajar tamu yang acap dilibatkan di workshop yang rutin diadakan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) di pelbagai kota, aku berkesempatan berinteraksi dengan mereka. ISAI dan Proyek Blok M bertaut.

Di acara perkabungan untuk Ging di Rumah Sakit Siloam, Semanggi, kemarin dulu pun aku masih menghimpun jawabannya. Alhasil, gambarannya kini lebih benderang bagiku. Mau tahu? Jangan tanya ke Ging Ginanjar sebab ia sudah tak bisa bersuara lagi. (Bersambung)

(P. Hasudungan Sirait\P. Hasudungan Sirait)

Share:
Tags:




Berita Terkait

Komentar