Kak Valen, Pemberi Harapan Bagi Anak Miskin

Kamis, 13/12/2018 10:00 WIB
Valencia Mieke Randa (Tabloid Bintang)

Valencia Mieke Randa (Tabloid Bintang)

Jakarta, law-justice.co - Sore itu, pekarangan rumah bercat kuning-jingga di Jalan Tebet II A, Jakarta Selatan tampak lenggang. Tidak aktifitas manusia di luar rumah, hanya mobil sedan putih dan motor bebek merah yang terlihat. Namun, rak sepatu di dekat pintu rumah terlihat penuh terisi, seakan menuturkan banyak penghuni di dalamnya. Itu kemudian terbukti, saat Law-justice.co beranjak ke ruang tamu. Anak-anak terlihat bermain semarak dengan didampingi orang tuanya.

Seorang perempuan berkaos putih dan rok hitam lantas muncul dari arah belakang ruang tamu. Dengan cekatan dan energik, ia berinteraksi dengan anak-anak yang bermain dan memeluk mereka satu per satu dengan hangat. Sesekali ia melemparkan canda yang memancing tawa siapapun yang ada di sana. Perempuan itu adalah Valencia Mieke Randa, pendiri Rumah Harapan Indonesia (RHI).

Kak Valen—begitu sapaan akrabnya— menjelaskan RHI sejatinya merupakan rumah singgah bagi anak-anak yang sakit dan berasal dari keluarga tidak mampu. Gagasan untuk mendirikan RHI, muncul ketika ia kerap mengunjungi rumah sakit untuk keperluan dua komunitas yang juga dirintisnya, Blood for Life dan 3 Little Angels. Ketika itu, Valencia melihat banyak orang tua dan anak-anak yang tidur di selasar rumah sakit. Sejak saat itulah ia bertekad untuk mendirikan rumah singgah bagi mereka yang membutuhkan.

Pada 2014, Valencia memberanikan diri untuk mewujudkan asanya itu. Bermodal uang satu juta rupiah, ia memberanikan diri mengontrak sebuah rumah di daerah Tebet—yang menjadi markas RHI sekarang— dengan cara mengangsur kepada sang pemilik.  Sejak saat itulah RHI yang bertujuan memberikan harapan bagi anak-anak yang hampir kehilangan harapan akhirnya resmi berdiri.

Setelah mengumpulkan sejumlah donasi, mulai dari cat hingga perabotan rumah serta merekrut sejumlah sukarelawan untuk mengelola rumah singgah, pada akhir tahun yang sama ia memberanikan diri untuk menerima penghuni pertama di RHI.

“Kami mulai melayani satu anak umur 10 tahun pengidap kanker. Setiap hari bagian tubuhnya yang membusuk dimakan tikus.  Kemudian anak itu kami bawa ke sini, memberikan pelayanan, membersihkan luka terus-menerus, hingga membawanya ke dokter,” kisah Kak Valen di Rumah Harapan Indonesia, Tebet, Jakarta, Rabu (21/11).

Namun sang dokter ternyata sudah angkat tangan dan memperkirakan umur anak itu tinggal beberapa bulan saja.  Jadi, tindakan medis tidak ada gunanya lagi dilakukan dan dokter meminta kepada Valencia untuk menyenangkan anak ini dengan cara apapun sebelum ajal menjemputnya.

Setelah kembali rumah sakit, perempuan asal Toraja ini mengatakan kepada teman-temannya, ibarat pesawat, anak ini pasti akan jatuh. “Tugas kita adalah mendaratkan pesawat ini dengan tenang,” tuturnya.

Itulah sebabnya, ia kerap mengajak anak itu untuk jalan-jalan, menonton, bertandang ke pusat perbelanjaan. Tak disangka, bobot sang anak melonjak drastis dari 18 menjadi 31 kologram.  Karena merasa khawatir, setelah 8 bulan berlalu, Valencia membawa anak itu ke dokter.

“Kita bawa ke dokter, jangan-jangan sudah bengkak-bengkak sebelum dia meninggal.  Kata dokter, coba kita cek lagi, setelah dicek dokter bilang, kalian apain anak ini, lihat saja sendiri, begitu kita lihat  seluruh  sel-sel kankernya sembuh, jadi  benar-benar happiness is  the best  medicine itu truly happen, tutur perempuan bernama pena Silly itu.

Sejak saat itu, ia menjadikan slogan itu sebagai dasar pelayanan di RHI. Menurutnya, kebahagiaan adalah obat yang paling mujarab karena ketika seseorang bahagia maka sel-sel tubuhnya akan melakukan regenerasi dengan sempurna dan merespon proses pengobatan dengan baik. Dengan begitu, kesembuhan pun akan lebih cepat mewujud.

Namun tak hanya ingin membahagiakan anak-anak yang sakit terbatas di Jakarta, Valencia juga memberanikan diri membuka berbagai cabang RHI di sejumlah wilayah.  Pada 2016, ia membuka empat cabang sekaligus di Bandung, Makasar, Bali, dan Aceh. Setahun kemudian, Valencia kembali membuka cabang di Semarang. Tak berhenti sampai di situ, ibu tiga anak anak ini juga membuka cabang di Surabaya dan Medan.

Untuk membahagiakan para penghuni RHI, Valencia pun memutar otak dan mengatur strategi. Misalnya, mengatur jadwal para orang tua untuk memasak, mencuci, dan membereskan rumah agar suasana rumah lebih hidup. Tak hanya itu, Valencia juga mengadakan berbagai agenda bagi ibu dan anak, seperti kelas menjahit, memasak, siraman rohani, musik, yoga, pelajaran berhitung, waktu bermain, juga memberikan pelajaran berhitung dan bahasa Inggris yang digilir setiap hari.

Setelah hampir empat tahun beroperasi, dalam pengamatan Kak Valen untuk menanggani anak-anak yang berpenyakit kronis sebenarnya kunci utamanya terdapat dalam diri orang tua.  Pasalnya, sebagian besar penghuni yang baru datang ke RHI rata-rata orang tuanya dalam kondisi khawatir dan perasaan itu akhirnya menular kepada sang anak.

Hal inilah menyebabkan Valencia dan para pengelola RHI melakukan pendekatan psikologis kepada orang tua yang baru masuk rumah singgah ini. Mereka berupaya meyakinkan para orang tua agar menerima kondisi sang anak, menyenangkan mereka, memberikan pemahaman bahwa mereka kini sekarang tidak lagi sendiri, dan mendampingi anak-anak mereka dengan tenang. 

“Kalau kita di sini yang paling awal kita treatment itu orang tuanya. Kita dampingin secara psikologis, supaya mereka bersyukur bahwa mereka tidak sendiri, kedua nggak usah khawatir karena di sini semua kita provide, ketiga kalau ada apa-apa sama anaknya mereka nggak sendirian, ada kami yang selalu membantu mereka. Jadi kalau mereka suah accept kondisinya, happy, tenang, mereka mendampingi anaknya tenang, kalau ibunya tenang anaknya pasti tenang,” kata Valencia.

Selain itu, melalui berbagai kelas yang diadakan di RHI, anak-anak penghuni rumah singgah juga diajari untuk mengontrol rasa sakit yang mendera mereka melalui meditasi atau teknik pernapasan. Tak hanya itu, Valencia juga menyenangkan anak-anak itu dengan memberi mereka baju-baju yang pantas, bahkan necis. Tujuannya, agar orang-orang di luar mengetahui bahwa anak-anak yang sakit tidak melulu terkesan tak berdaya, tetapi dapat tampil keren dan terlihat bahagia.

“Jadi kalau anak-anak RHI datang ke rumah sakit itu beda banget. Mereka akan tersenyum, ceria, dan terlihat bahagia, bahkan hampir tak terlihat sakit. Pakaian-pakaian mereka juga keren-keren, seperti jins dan kacamata hitam. Tujuannya agar orang-orang di luar sana dapat merasakan kenikmatan melalui kebahagiaan yang ditunjukkan oleh anak-anak yang sebenarnya sakit ini,” tutur Kak Valen.

Mieke Randa, Pendiri Rumah Harapan Indonesia dan Yayasan Sahabat Valencia Peduli (Hartanto Adi Saputra)

Menjejak Dunia Sosial

Kepedulian Valencia pada anak-anak, seperti yang ditunjukkannya melalui RHI bukan tanpa alasan. Secara personal, ia memang memiliki pengalaman membesarkan ketiga anaknya yang memiliki kebutuhan khusus (special needs). Alih-alih menganggapnya sebagai beban, ia malah memaknai pengalaman itu sebagai anugerah dan Valencia tak ingin perasaan itu berhenti pada buah hatinya saja, tetapi juga kepada anak-anak lain yang membutuhkan. 

Tak hanya itu, bagi alumnus Teknik Mesin dari Universitas Indonesia itu, anak-anak merupakan masa depan bangsa. Di tangan merekalah nasib negara ini ditentukan.  Bukan tak mungkin salah seorang dari anak-anak itu akan menjadi pemimpin bangsa.  Dengan begitu harapan untuk anak-anak itu tak boleh dibatasi, termasuk bagi anak yang miskin dan tak memiliki akses pada kesehatan, karena kita tak akan pernah tahun dari mana para pemimpin itu akan lahir. 

Kita tidak akan pernah tahu pemimpin bangsa ini datang dari mana, but at least kita memberikan harapan buat semua anak-anak, no kids will left behind, nggak ada istilahnya anak yang miskin   yang nggak punya akses untuk kesehatan. Buat saya semua berhak memperoleh akses kesehatan di negeri ini. Kalau pemerintah sudah melakukan yang terbaik kita juga sebagai warga itu punya kewjiban juga untuk membantu  karena tidak semua warga bisa tersentuh, terjamah oleh kebijakan-kebijakan pemerintah, tutur Valencia diplomatis.

Pandangan semacam itu, tentu saja tak mencuat begitu saja. Namun merupakan buah dari kematangan Valencia, baik itu di dunia anak-anak maupun sosial secara umum yang telah digelutinya hampir satu dasawarsa. Meskipun pada mulanya, kegiatan itu dilakukannya secara paruh waktu karena ia masih bekerja pada saat itu, namun hal itu tak mengurangi keseriusannya untuk bergelut di dunia sosial.

Sejak 2009, ia telah merintis komunitas Blood for Life (BFL), semacam jaringan penghubung untuk menemukan orang yang sedang membutuhkan darah dan yang berminat mendonorkan darahnya. Komunitas ini didirikan karena ia melihat banyak orang yang membutuhkan darah kerap kesulitan, padahal sebenarnya banyak orang di luar sana yang dengan senang hati memberikan darahnya. Persoalannya hanya tidak ada yang menghubungkan antara dua pihak yang membutuhkan itu.

Uniknya, ia merintis BFL melalui 44 orang yang mengikuti blog pribadinya, sillystupidlife. Seturut namanya, laman ini sebenarnya bercerita tentang cerita Silly—nama pena Valencia—konyol seputar kehidupannya, termasuk pengalaman-pengalaman membesarkan anak-anaknya, kisah ibunya yang sulit mendapatkan darah yang ternyata menginspirasi para pengikut blog pribadiya itu.

“Waktu itu saya cerita tentang ibu saya yang butuh darah, ada ibu yang meninggal, dan sebagainya. Saya bilang gini kalau kita semua bergandengan tangan, enaknya tangan kita di atas bukan di bawah, kita  nggak harus jadi orang kaya untuk bisa nolong orang. Lewat sekantong darah kita nggak bikin kita miskin, kehilangan apapun, tetapi berarti sebuah nyawa bagi orang lain, harapan baru buat keluarganya, senyum buat anak-anaknya,” kisah Valencia.

Sejak saat itu, ke-44 pengikut blog pribadinya menjadi staf pemasaran BFL dari mulut ke mulut. Setelah sepuluh tahun berlalu, saat ini sudah terdapat 180 ribu donor darah yang siap membantu orang-orang yang membutuhkan. Bila dahulu untuk mencari darah dibutuhkan waktu hingga 3-4 hari, saat ini melalui akun Twitter, Blood4LifeID paling lama dalam waktu 2 jam, bahkan kerap kali hanya dalam hitungan detik donor darah yang sesuai kebutuhan sudah didapatkan.

Selain BFL dan RHI, Valencia juga mendirikan berbagai komunitas lain untuk beragam kepentingan, seperti 3 Little Angles, komunitas yang berfokus pada penyediaan kebutuhan anak-anak sakit yang tidak ditanggung BPJS dan Blood for Life Action, komunitas yang merupakan pengembangan dari BFL yang berfokus pada korban-korban bencana. Seluruh gerakan ini semuanya berbasis media sosial dan bernaung di bawah Yayasan Sahabat Valencia Peduli yang berdiri pada 2014.

Ia mengatakan sejak merintis BFL, ia memang telah membayangkan untuk membangun sebuah gerakan berbasis media sosial. Valencia beralasan, banyak orang yang berkerumun di media sosial, apalagi orang-orang Indonesia memiliki karakter yang guyub, tepa selira, dan hasrat untuk membantu sesama yang besar. Namun di sisi lain, negara ini memiliki kendala jarak apalagi bagi mereka yang tinggal di pulau-pulau terpencil. Oleh sebab itu media sosial menjadi jembatan yang efektif untuk menghubungkan kedua hal itu.

Selain itu, lanjutnya, media sosial tidak saja memberikan ruang bagi siapa saja untuk saling terhubung. Namun menurutnya yang terpenting juga memberikan kesempatan bagi siapa saja untuk saling membantu satu dengan yang lainnya. Hal yang menarik bantuan itu tak mewajibkan kita untuk hadir langsung, namun dapat berupa donasi dalam berbagai bentuk, seperti yang kerap diterima oleh Rumah Harapan Indonesia

“Lewat media sosial, everybody connected dan saya menghadirkan  kesempatan buat semua orang untuk merasakan  nikmatnya berbagi tanpa harus datang langsung karena mereka dapat mengirimkan donasi dalam berbagai bentuk. Itulah sebabnya kami menggunakan media sosial supaya semua orang bisa merasakan nikmatnya berbagi,” Valencia.

Bagian depan  Rumah Harapan Indonesia (Teguh Vicky Andrew)

Meninggalkan Karier yang Mapan

Meskipun telah bergelut di dunia sosial sejak 2009, namun Valencia sempat meninggalkannya pada 2010 karena memutuskan untuk bekerja.  Setelah membesarkan anak-anaknya, Valencia mulai merasa bosan berkegiatan di rumah. Ia merasa membutuhkan sarana aktualisasi lain melalui pekerjaan di luar rumah. Apalagi ia memiliki modal ijazah S-1 Teknik Mesin dan berprinsip perempuan harus memiliki penghasilan sendiri.

Atas pertimbangan itulah, ia memutuskan untuk kembali bekerja.  Setelah diterima, dalam waktu singkat karier Valencia melesat dan berpangkat tinggi di sebuah perusahaan logistik.  Setahun kemudian, saat sedang sibuk bekerja, Valencia mendapatkan telepon yang menanyakan ihwal ketersediaan darah. Namun, ia menampiknya dan beralasan kegiatannya sedang padat pada hari itu.

Namun sebenarnya, hati Valencia tak tenang. Malam harinya, ia menelepon orang sama, namun sebuah jawaban mengejutkan terlontar. Ketika Valencia menanyakan apakah donor darahnya sudah didapatkan, lawan bicaranya itu menjawab, “telat orangnya sudah mati”. Valencia pun limbung, hatinya tak tenang, perasaan bersalah pun berkecamuk dalam batinnya.

Seperti peribahasa, sudah jatuh tertimpa tangga, begitulah nasib Valencia selepas peristiwa itu. Dalam waktu yang tak terlalu lama, sang ibu yang belum terlalu tua pergi untuk selama-lamanya. Ketika itu, ia pun menganggap kedukaan itu sebagai karma yang harus dibayarnya karena tak menolong orang yang membutuhkan darah. Namun ia kemudian tersadar bahwa waktu manusia hidup di dunia ini terbatas dan dalam tempo yang singkat itu setiap orang harus mencari makna bagi diri dan sesamanya.

“Ibu saya meninggal usianya belum terlau tua, tahun 2011. Saat itu saya sempat marah dan mengira ini balasan atas perbuatan saya waktu itu. Namun saya langsung sadar bahwa  our time is limited. Hidup  kita nggak akan lama di dunia ini. Mungkin 2-3 hari, besok, atau detik ini kita bisa mati. Makanya, saya nggak pengen mati tanpa memberikan makna bagi kehidupan saya,” tutur Valencia.

Peristiwa ini pula yang membulatkan tekadnya untuk sepenuhnya terjun di dunia sosial. Ia merasa kiprahnya sebagai petinggi perusahaan yang mengurusi banyak hal menjadi pengalaman berharga untuk mengelola berbagai komunitas dan lembaga sosial yang dirintisnya. Kini, ia serius mengeluti dunia baru yang ternyata telah menjadi takdir dan panggilan hidupnya.

Meskipun telah melakukan banyak hal yang telah dilakukannya di dunia sosial, Valencia masih belum mau berhenti. Ia masih rajin membenahi dan mengembangkan komunitas dan lembaga yang bernaung di bawah Yayasan Sahabat Valencia Peduli. Ia juga masih kerap diundang ke berbagai gelar wicara hingga terjun langsung ke daerah terpapar bencana, namun perempuan kelahiran 1972 ini masih menyimpan berbagai asa dalam benaknya.

Salah satunya adalah keinginan untuk menjadi mitra pemerintah dalam penyediaan rumah singgah yang mengikuti model Rumah Harapan Indonesia.  Ia sempat mengajukannya pada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, namun ditolak karena yayasan yang didirikannya baru seumur jagung. Meski begitu ia tetap optimistis karena sebelumnya melalui komunitas Blood for Life, ia telah menjadi mitra resmi Palang Merah Indonesia (PMI).

Deretan donatur yang mendukung Rumah Harapan Indonesia (Teguh Vicky Andrew)

Selain itu, ia juga masih berharap agar seluruh komunitas dan lembaga yang dirintisnya tidak hanya mengandalkan pendanaan dari donator. Sebaliknya, ia mulai memikirkan untuk melakukan pembiayaan mandiri dengan sistem subsidi silang.  Valencia, misalnya, berhasrat untuk mendirikan panti jompo dengan fasilitas dan pelayanan kelas satu yang berbayar sehingga sebagaian dari keuntungannya dapat dialokasikan untuk pembiayaan gerakan-gerakan sosial yang diinisiasinya.

“Saya mimpi bikin rumah jompo eksklusif, karena kehidupan orang-orang zaman now, orang-orang. Sebaliknya, orang tua juga sudah sibuk, orang tua nggak mau ngerepotin anak-anaknya tapi juga mereka nggak mau tinggal di rumah jompo  yang biasa-biasa  saja. Saya mau bikin rumah jompo yang eksklusif yang mahal kerena, bagus dan pakai suster yang bagus, orang bersedia bayar  mahal.  Dari situ penghasilannya sekian persen profinya buat mendanai rumah harapan mimpinya,” tutur Insinyur Elektro itu.

(Teguh Vicky Andrew\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar