Ironisnya Penanganan Bencana Gempa Bumi dan Tsunami di Sulawesi Tengah

Sabtu, 06/10/2018 11:15 WIB
Korban Gempa Palu berebut makanan (Foto: PR)

Korban Gempa Palu berebut makanan (Foto: PR)

Jakarta, law-justice.co - Gempa bumi yang melanda wilayah Donggala dan Palu, Sulawesi Tengah, mengakibatkan tsunami yang dahsyat. Data terbaru Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sampai Rabu (3/10) siang, jumlah korban tewas mencapai 1.407 jiwa. Rinciannya, 1.177 korban meninggal di wilayah Kota Palu, 153 korban ditemukan di Kabupaten Donggala, 65 di Kabupaten Sigi, dan 12 di Kabupaten Parigi Moutong. Baru 519 jenazah yang sudah dimakamkan. Jumlah korban tewas masih akan terus bertambah.

Sebab, menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, ada 113 orang yang dinyatakan hilang dan 152 orang yang teridentifikasi tertimbun. Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( BNPB) menyebut, kawasan Sulawesi Tengah (Sulteng) khususnya Kota Palu dan Kabupaten Donggala, memang merupakan daerah yang rawan dilanda gempa bumi dan tsunami. Hal itu disebabkan karena daerah-daerah tersebut dilalui jalur sesar Palu Koro. Jalur tersebut, menurut BNPB, merupakan jalur melintasnya gempa.

Terjadinya kembali bencana gempa dan tsunami di Palu serta Donggala menarik perhatian kita untuk mencermati langkah-langkah apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah dalam menangani bencana ini. Ke depan apa yang sebaiknya dilakukan Pemerintah dalam menghadapi bencana yang terus berulang itu.

Kewajiban Pemerintah

Terjadinya bencana gempa yang terus beruntun di tanah air telah menyita perhatian kita bersama.  Sudah barang tentu terjadinya bencana ini memaksa Pemerintah untuk turun tangan menanganinya. Karena sudah menjadi tugas negara untuk melindungi rakyatnya termasuk dari ancaman bencana seperti tsunami atau gempa.

Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. (Ketentuan Umum UU Penanggulangan Bencana)

UU Penanggulangan Bencana yang disahkan pada 2007 jelas mencantumkan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab dan wewenang pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sedang penanggulangan bencana dilakukan pada saat pra bencana, saat bencana dan pasca bencana.

Menurut pasal 6 UU Penanggulangan Bencana, tanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:

a.       pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan;

b.      perlindungan masyarakat dari dampak bencana;

c.       penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum;

d.      pemulihan kondisi dari dampak bencana;

e.      pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang memadai;

f.        pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai; dan

g.       pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan dampak bencana.

Pasal tersebut merinci dengan jelas bahwa pemerintah memiliki tanggungjawab untuk memulihkan kondisi dari dampak bencana dan tahap ini dilakukan dalam tahap pasca bencana atau periode setelah tanggap darurat.

Pascabencana merupakan momentum untuk mengembalikan kehidupan korban bencana seperti semula dan penyelenggaraannya dilakukan dengan proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana.

Sedangkan rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pasca bencana.

Rehabilitasi dilakukan melalui kegiatan perbaikan lingkungan daerah bencana, perbaikan prasarana dan sarana umum, pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat, pemulihan sosial psikologis, pelayanan kesehatan, rekonsiliasi dan resolusi konflik, pemulihan sosial ekonomi budaya, pemulihan keamanan dan ketertiban, pemulihan fungsi pemerintahan, dan pemulihan fungsi pelayanan publik.

Rekonstruksi dilakukan melalui kegiatan pembangunan yang lebih baik, meliputi pembangunan kembali prasarana dan sarana pembangunan kembali sarana sosial masyarakat, pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat, penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana, partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha, dan masyarakat, peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya, peningkatan fungsi pelayanan publik, dan peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.

Terkait dengan terjadinya bencana gempa dan tsunami di Palu serta Donggala, Pemerintah melalui Presiden Jokowi langsung menginstruksikan kepada Menko Polhukam Wiranto untuk mengkoordinasikan penanganan dampak gempa bumi dan tsunami. Presiden juga telah memerintahkan Panglima TNI  untuk bersama-sama menangani pasca gempa terutama yang berkaitan dengan penanganan darurat baik pencarian korban, evakuasi dan menyiapkan kebutuhan-kebutuhan dasar yang diperlukan.

Sungguhpun telah dilakukan berbagai upaya untuk menangani bencana gempa dan tsunami, namun ada yang menilai  penanganan Pemerintah dalam tahap penanggulangan bencana di Palu dan Donggala terlambat dan kurang maksimal. Penanganan yang dinilai lambat akhirnya berujung penjarahan oleh warga masyarakat. Ajaibnya, Mendagri Tjahjo Kumolo seakan mengaminkan kejadian penjarahan tersebut. Melalui beberapa sumber berita menyebutkan Tjahjo mengizinkan masyarakat untuk menjarah, dan bagi pengusaha yang terkena dampak penjarahan nantinya bisa mengklaim kepada pemerintah.

Dalam kondisi bencana, warga masyarakat terdampak adalah korban yang seharusnya diperlakukan dengan baik oleh negara. Mereka seharusnya mendapatkan haknya untuk bertahan hidup, mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai dan segala sesuatu yang diperlukan untuk memulihkan kondisi baik fisik maupun psikologi pasca bencana. Bukan diinstruksikan menjadi penjarah.

Selain itu, arahan Mendagri yang membolehkan warga masyarakat terdampak bencana melakukan penjarahan, dikemudian hari dapat membuka peluang korupsi. Hal tersebut dapat terjadi karena tidak ada data yang jelas dan pasti berapa kerugian yang dialami pengusaha ketika terjadi penjarahan. Pihak penguasa dan pengusaha bisa saja nantinya main kedip mata untuk melambungkan nominal yang akan ditagih kepada pemerintah. Gaya penanganan bencana seperti ini sangat buruk dan merugikan warga masyarakat terdampak bencana. Tidak ada tata kelola dan manajemen resiko yang baik.

Kelambatan dalam mengatasi penanggulangan pasca bencana gempa dan tsunami di Palu ternyata diakui sendiri oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Menurutnya kelambatan penanganan pasca bencana terjadi  lantaran terkendala permasalahan jaringan listrik dan telekomunikasi yang terputus. "Listrik mati, handphone mati, dan tidak ada BBM (Bahan Bakar Minyak). Tiga hal itu tidak bisa dipenuhi dengan cepat," ujar JK di kantor wakil presiden, Jakarta, Selasa (2/10).

JK mengatakan listrik dan telekomunikasi memang menjadi kebutuhan penting bagi para korban. Namun perlu waktu cukup lama untuk memulihkan jaringan keduanya. Untuk sementara, pihak PLN telah memasok genset di beberapa daerah. "Listrik itu butuh berminggu-minggu baru nyala. Begitu juga HP, walau sudah menyala (menara) BTS-nya, tapi bagaimana charge HP tidak ada listrik. Jadi itu sebabnya agak panik," katanya.

Penanggulangan pasca bencana di Sulteng itu diakui JK lebih sulit dibandingkan situasi di Lombok, Nusa Tenggara Barat yang juga mengalami bencana gempa akhir Juli lalu. Kesulitan ini tak lepas dari kondisi sejumlah daerah di Palu yang terletak di perkotaan. Berbeda dengan kondisi di Lombok yang cenderung masih berada di daerah pedesaan.

Menurutnya, korban terdampak gempa di Lombok masih bisa memanfaatkan sumber daya alam untuk mempercepat penanganan. "Kalau di pedesaan seperti Lombok itu ekonomi tetap jalan. Karena tanaman masih ada, padi masih ada, tembakau masih ada. Tapi kalau di perkotaan, itu ekonomi langsung mandek karena listrik tidak ada," terang politikus senior asal Sulawesi Selatan tersebut.

Ditengah kesulitan dan  kendala kendala yang dihadapi menyangkut soal listrik dan telekomunikasi ini, Presiden Joko Widodo memberi target kegiatan di Palu, Sulawesi Tengah, akan kembali normal dalam tempo satu pekan. Jaringan listrik, telekomunikasi, dan bandara pun akan dipulihkan secara bertahap. "Dalam seminggu akan diselesaikan, sehingga normal kembali, kehidupan sehari-hari masyarakat di sana," kata Jokowi di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta, Senin (1/10).

Rasa optimisme boleh boleh saja disampaikan namun tentunya harus realistis dan tidak sekadar diucapkan tanpa melihat realitas di lapangan. Karena pada kenyataannya pemulihan sarana dan prasarana listrik dan jaringan komunikasi tidak segampang melipat telapak tangan. Karena sekurang kurangnya ada lima dari tujuh gardu listrik mengalami kerusakan pasca gempa. Sehingga sudah sepekan berlalu kondisi listrik dan telekomunikasi kenyataan belum dapat dinormalkan sebagaimana yang diharapkan.

Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian nantinya  adalah pemulihan fungsi pelayanan publik. Dokumen berharga seperti surat identitas tentunya merupakan hal yang sangat penting. Dan banyak diantara korban bencana yang kehilangan identitasnya ataupun dokumen berharga lainnya dalam bencana. Seperti yang diketahui tidak dimilikinya KTP oleh seseorang akan mempersulit pengurusan segala sesuatu.

Selain itu dokumen hukum lainnya seperti Akta Kelahiran, Sertifikat Tanah, Surat Nikah, Surat Keterangan Miskin, Kartu Keluarga, Ijazah dan lain-lain yang diurus oleh kantor yang berbeda-beda pun ketika terjadi bencana, lantas bagaimana nasib warga yang kehilangan dokumen miliknya dan kembali mengurus ulang.

Regulasi di tingkat pusat tidak memberikan kejelasan mengenai siapa yang berwenang memulai tindakan dalam pemulihan fungsi pelayanan publik. Hal ini mengakibatkan pemda bergerak lambat dalam mendelegasikan tugas ini kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah (misal: kecamatan). Tanpa kejelasan regulasi maka pendanaan akan kacau, sumber dana untuk mengganti dokumen warga yang hilang tidak jelas.

Kiranya pemerintah harus lebih meningkatkan kerja kerasnya melaksanakan tanggungjawabnya dengan maksimal untuk proses penanggulangan pasca bencana, sebagaimana diatur dalam undang-undang. TIdak perlu membuat pernyataan pernyataan yang bersifat jumawa atau menjadikannya sebagai ajang pencitraan sebagaimana pernah dilakukan di tragedi bencana gempa Lombok tempo hari.

Tidak ada salahnya juga untuk segera ditetapkan bencana gempa dan tsunami di Palu dan Donggala sebagai bencana nasional. Karena pada kenyataannya Pemerintah daerah tidak mampu menangani secara efektif bencana yang menelan korban banyak jiwa ini.  Masih banyak korban yang belum tertangani baik yang masih hidup maupun yang sudah mati.  Kalau Pemerintah mengharapkan bantuan dari luar negeri, apa salahnya tragedi bencana ini ditetapkan sebagai bencana nasional ?

Melongok ke Depan

Kondisi geografis Indonesia yang terletak di cincin api Pasifik membuat Indonesia kerap dirundung bencana alam, khususnya gempa bumi. Belum lama wilayah Lombok dirundung duka akibat gempa, duka baru datang dari wilayah Palu dan Donggala.

Dengan kondisi negara rawan bencana, pemerintah ke depan harus mampu menyiapkan kebijakan-kebijakan guna meminimalisasi dan menanggulangi bencana yang mungkin terjadi. Hal ini bisa dilakukan mulai dari pemantapan studi dan kajian kebencanaan, membuat peta potensi bencana, hingga menyiapkan instrumen fiskal untuk penanggulangan dan pemulihan setelah bencana terjadi.

Khusus untuk kebijakan terakhir, tentu pemerintah bisa menggunakan instrumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Caranya, mengalokasikan anggaran tanggap darurat dan menyuntik dana pada lembaga-lembaga yang berhubungan dengan aktivitas bencana, seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Sebetulnya, kedua hal itu sudah dilakukan, tetapi anggarannya masih terbatas. Menurut data BNPB, pemerintah pusat menganggarkan dana tanggap darurat sebesar Rp 4 triliun sebagai cadangan penanggulangan bencana. Dana tersebut terbagi atas Rp 2 triliun untuk tanggap darurat dan Rp 2 triliun lainnya untuk penanganan pascabencana, seperti revitalisasi dan konstruksi ulang.

Dalam APBN, dana tersebut diambil dari pos belanja lain-lain dengan nilai mencapai Rp 67,2 triliun pada tahun ini atau meningkat 34,66 persen dari APBN Perubahan 2017 sebesar Rp 49,9 triliun. Sayangnya, meski anggaran pos belanja lain-lain meningkat dari tahun ke tahun, tetapi dana tanggap darurat relatif tetap.

Sementara untuk suntikan anggaran ke BNPB, jumlahnya justru menyusut dari tahun ke tahun. Pada 2016, alokasi APBN untuk BNPB sebesar Rp 1,6 triliun, namun kemudian dipotong sekitar Rp 133 miliar sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2016 menjadi Rp 1,46 triliun. Pada 2017, BNPB hanya mendapat anggaran sebesar Rp 839,74 miliar dan pada tahun ini kembali menyusut menjadi Rp 749,38 miliar. Sedangkan pada tahun depan, pagu indikatif BNPB dipatok sekitar Rp 700 miliar. Padahal, dalam Rencana Strategis (Renstra) BNPB 2015-2019, kebutuhan dana lembaga tersebut mencapai Rp 1,94 triliun pada 2016, Rp 2,19 triliun pada 2017, Rp 2,5 triliun pada 2018, dan tahun depan Rp 2,81 triliun.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan keterbatasan anggaran membuat lembaganya sulit mengupayakan mitigasi dan penanggulangan bencana alam, seperti tsunami yang belum lama ini terjadi di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Tsunami kurang terdeteksi maksimal, salah satunya karena BNPB tak lagi memiliki buoy, alat pendeteksi tsunami berupa pelampung yang diapungkan di laut.

Menurut Sutopo, BNPB memiliki 22 buoy sejak tsunami Aceh pada 2012 lalu. Namun, kini semuanya tidak beroperasi dan belum diganti karena keterbatasan anggaran. “Pendanaan bencana itu terus turun tiap tahun. Ancaman bencana meningkat, kejadian bencana meningkat, anggaran BNPB justru turun. Ini berpengaruh terhadap upaya mitigasi. Pemasangan alat peringatan dini terbatas karena anggaran yang berkurang terus,” ujar Sutopo dalam konferensi pers BNPB, belum lama ini.

Terkuaknya keminiman mitigasi dari BNPB akibat keterbatasan anggaran tentunya menjadi ironi tersendiri bagi Indonesia. Karena hal ini tidak merepresentasikan kesiapan Indonesia yang berada di ring of fire. Padahal, penyesuaian anggaran menjadi kunci suksesnya mitigasi, penanggulangan, dan pemulihan bencana alam yang rentan terjadi di Indonesia. Untuk hal ini, pemerintah, perlu belajar dari Jepang yang sudah lebih handal menghadapi gempa.

Bahkan, sebagai sesama negara yang kerap dirundung gempa, Negeri Matahari Terbit itu punya anggaran besar dan khusus untuk gempa. Untuk itu, alokasi anggaran untuk pos ini perlu diperhatikan dan diberi alokasi yang mencukupi. Sebab, bencana alam menyangkut hajat hidup orang banyak.

Selain itu pengaturan fiskal pemerintah seharusnya mudah menyesuaikan dengan kebutuhan dana BNPB karena sejatinya sudah ada kajian dan peta gempa nasional berskala 5 tahun. Pemerintah  bisa berhitung dari proyeksi kerusakan titik-titik rawan gempa. Misalnya, bila daerah A rawan gempa dan titiknya di Kota B, maka pemerintah tinggal mengkalkulasi nilai revitalisasi yang sekiranya dibutuhkan bila infrastruktur itu rusak ringan hingga total.

Anggaran untuk penanggulangan bencana tersebut, juga mutlak tak boleh diotak-atik. Misalnya, tidak  boleh untuk belanja infrastruktur yang dianggap penting dan kini tengah digenjot pemerintah. Yang juga penting adalah bangun infrastruktur yang sudah tahan gempa. Meskipun  bisa extra cost (perlu biaya yang lebih besar), tapi dengan potensi bencana seperti ini, ke depan  bisa mengurangi biaya kerusakan di kemudian hari.

Yang tidak boleh juga ketinggalan adalah mengasuransikan Barang Milik Negara (BMN) dengan perluasan jaminan kerugian bencana alam. Dengan begitu, ketika ada bencana alam dan kerusakan, maka pemerintah tak perlu terlalu pusing menghitung kecukupan anggaran untuk pemulihan aset-aset negara. Sebagai contoh di Jepang, semua aset negara, bahkan aset masing-masing masyarakatnya sudah dilindungi oleh asuransi meskipun mungkin akan extra cost karena harus bayar premi, tapi yang penting manfaatnya.

Terlepas dari hal hal y ang dikemukakan diatas, agaknya, pemerintah saat ini tidak perlu malu untuk belajar kepada pendahulunya dalam penanganan bencana. Contohnya kepada Presiden RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bukan karena apa-apa, karena SBY telah diakui dunia ketangguhan, kesigapan, dan kesiapannya dalam menanggulangi bencana.

Berkat keberhasilan SBY dalam penanggulangan bencana selama memimpin republik ini, dirinya diberi penghargaan Global Champion of Disaster Risk Reduction dari PBB pada tahun 2011. SBY menjadi orang pertama di dunia yang mendapatkan penghargaan tersebut. Penghargaan yang diberikan PBB ini sebagai apresiasi atas komitmen SBY dalam menunjukkan kepada masyarakat Indonesia dan dunia dalam mengurangi resiko yang ditimbulkan dari bencana alam, seperti tsunami dan gempa bumi serta memulihkan wilayah bencana.

Jika dulu kita pernah dihargai dunia karena kesiapsiagaan menangani kebencanaan, kenapa hari ini kita abai. Bukankah mereka yang menjadi korban bencana adalah warga negara yang harus diperhatikan pemerintah, atau jangan-jangan pemerintah saat ini hanya lebih peduli dengan investor dan kalangan menengah atas yang menikmati pembangunan infrastruktur? Ironisnya dalam prinsip Nawacita Jokowi, penanganan masalah gempa dan bencana alam lainnya, hanya selintas dan tidak sebesar perhatian pada pembangunan infrastruktur dan kelengkapannya.

(Ali Mustofa\Roy T Pakpahan)

Share:




Berita Terkait

Komentar