Pembuangan Soekarno di Parapat

Minggu, 11/03/2018 13:58 WIB
Istana Presiden di bibir Danau Toba (foto: P. Hasudungan Sirait)

Istana Presiden di bibir Danau Toba (foto: P. Hasudungan Sirait)

Parapat, Danau Toba, law-justice.co - Istana Presiden. Begitu kami, orang Parapat, menyebutnya sedari dulu. Sebabnya? Proklamator yang arsitek itu pernah menjadi penghuninya.

Ceritanya, di penghujung tahun 1948 Belanda yang sudah berikatan dengan Indonesia lewat Perjanjian Renville kembali berulah. Meski telah mendapat konsesi maha besar lewat permufakatan yang diteken Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin Harahap tersebut ternyata mereka tetap tidak puas.  Wajar memang karena niatnya hendak kembali menguasai Indonesia.

Gazebo tua yang tetap memikat (foto: P. Hasudungan Sirait)

Tengah malam 18 Desember 1948, pimpinan mereka di negeri kita ini, Dr. Beel, mengumumkan bahwa Belanda tidak terikat lagi pada Perjanjian Renville. Esoknya pasukan mereka membombardir lapangan terbang, Maguwo [kini: Adi Sucipto], Yogyakarta. Kota gudeg yang sejak 4 Januari 1946—setelah pasukan Sekutu menguasai Jakarta—menjadi  ibukota negara—kontan lumpuh seketika. Para pemimpin nasional  ditawan, termasuk Presiden Soekarno.

Pengasingan lantas terjadi. Soekarno, Sutan Sjahrir (mantan PM), dan Agus Salim  dibuang ke Brastagi, Tanah Karo. Sebentar saja di sana, ketiganya kemudian dipindahkan ke Parapat, kota elok berhawa dingin.

Di bibir Danau Toba ini  mereka bermukim di sebuah rumah peristirahatan milik ‘onderneming’(perusahaan perkebunan) Belanda. Bangunan ini, kabarnya, berdiri tahun  1920; kemungkinan besar sezaman, kalau tidak lebih tua, dari Inna Hotel [dulu: Hotel Parapat] dan sejumlah ‘bungalow’ yang sampai sekarang dikuasai PTP di kota kecil ini.

Membingkai bangunan utama (foto: P. Hasudungan Sirait)

‘Istana Presiden’ yang sekarang bernama ‘Passanggrahan Bung Karno Danau Toba’ berada di lahan sekitar 2 hektar. Bangunan utamanya berlantai 2 dan menghadap ke danau  yang meghempang. Pulau Samosir yang melintang dan dinding-dinding terjal perbukitan di kiri-kanan jauh termasuk suguhan yang sangat memanjakan mata jika kita menatap dari teras atas atau bawahnya. Dua gazebo unik-estetis  menjadi pemanis di depan kiri dan kanannya. Di sayap kanan bangunan utama terdapat rumah untuk para penjaga. Sedangkan di kanan tengahnya menghampar lapangan dan taman asri yang mengelilingi rumah panggung bergaya Simalungun.

Selama 2 bulan bermukim di tempat ini Soekarno, Sjahrir, dan Agus Salim  menghabiskan waktu dengan bercakap, membaca buku, dan, tentu saja,  menjalin hubungan rahasia dengan  kaum republiken  termasuk yang dari kitaran Parapat sendiri. Tentu mereka juga mengembalikan kebugaran tubuh dan pikiran. Untuk yang terakhir ini, ‘Istana Presiden’ memang sangat pas mereka manfaatkan.

Di pantai berpasir putih anak remaja bercengkrama (foto: P. Hasudungan Sirait)

Di penghujung Januari 1949 Soekarno, Sjahrir, dan Agus Salim  bertolak ke pengasingan baru di Pulau Bangka. Di sana mereka berhimpun dengan Muhammad  Hatta, Ali Sastroamidjojo, dan pemimpin lainnya. Tinggallah ‘Istana Presiden’ dalam kesendirian yang panjang. Setelah Indonesia benar-benar berdaulat, negaralah yang menguasainya.

Sampai pagi tadi ‘Istana Presiden’ yang kulongok tetap terjaga keasriannya. Pantai putih di bawahnya pun demikian. Sejak lama inilah salah satu ikon Parapat. Cagar budaya ini harus dirawat, bukan saja karena keelokannya tapi juga keistimewaan sejarahnya. Andai Bung Karno masih hidup, aku yakin, ia akan mengamininya.

(P. Hasudungan Sirait\P. Hasudungan Sirait)

Share:




Berita Terkait

Komentar