Serikat Pekerja JICT Tagih Janji KPK Usut Kasus Korupsi JICT

Jum'at, 23/02/2018 15:46 WIB
Serikat Pekerja JICT Mendatangi Kantor KPK Jakarta (Deni Hardimansyah)

Serikat Pekerja JICT Mendatangi Kantor KPK Jakarta (Deni Hardimansyah)

Serikat Pekerja JICT Tagih Janji KPK Usut Kasus Ko, law-justice.co - Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja Jakarta International Container Terminal (JICT) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk bergerak cepat dalam menindaklanjuti temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam kasus perpanjangan kontrak JICT. Keputusan ini juga menjadi momentum bagi pemerintah untuk bias melakukan nasionalisasi pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia.

Serikat pekerja JICT mempertanyakan progress pengusutan kasus ini di KPK yang dinilai relatif  lambat. Pemerintah juga bisa menjadikan hasil penyelidikan KPK ini sebagai momentum nasionalisasi dengan mengambil alih operasi JICT dari Hutchison Hongkong, yang akan berakhir tahun 2019," ujar Firman dalam keterangan persnya di Jakarta, Jumat (23/2).

Firman mencermati, progress hasil penyidikan KPK penting dalam mengusut proses kontrak JICT dan kasus serupa yang merugikan BUMN Indonesia. Hal terpenting yang perlu ditindaklanjuti adalah kepastian hukum untuk investor, karena investasi di sektor pelabuhan melibatkan dana ratusan juta dolar AS dengan tingkat pengembalian yang lama.

"Justru jika diputus secara hukum maka ada kepastian hukum dan investor lain yang memiliki niat baik tentu akan senang. Kasus JICT sudah sangat gamblang baik pelanggaran Undang-Undang dan kerugian negaranya. Selain itu JICT sangat layak dikelola oleh pribumi Indonesia karena SDM, peralatan dan sistem sudah sangat mumpuni. Investor bisa diberi kesempatan untuk membangun pelabuhan di daerah-daerah yang belum tergarap," lanjutnya.

Firman menambahkan, dalam hal pengelolaan pelabuhan petikemas TPS Surabaya, pemerintah berhasil melakukan nasionalisasi dari Dubai. Ketidakstabilan kebijakan seperti ini berdampak negatif terhadap investasi pelabuhan. Untuk itu, baik KPK dan pemerintah harus segera memutuskan sebuah sistem hukum yang menjamin kepastian investasi yang sehat, kompetitif dan menguntungkan Indonesia.

"Pemerintah harus segera mengambil alih aset strategis nasional seperti JICT. Dan yang terpenting mengamankan gerbang ekonomi nasional karena peran JICT sangat vital terhadap pergerakan barang ekspor impor nasional. Sampai saat ini banyak ditemukan salah kelola perusahaan oleh perwakilan Hutchison di Indonesia sehingga berdampak kerugian bagi pengguna jasa pelabuhan," tegasFirman.

Sebelumnya, BPK juga menemukan pelanggaran hukum dalam kasus perpanjangan kontrak pelabuhan petikemas TPK Koja, Jakarta. Kontrak ini juga diperpanjang kepada investor Hong Kong Hutchison. Baik kontrak JICT dan TPK Koja keduanya dinyatakan bertentangan dengan hukum, sehingga harus dibatalkan.

BPK menyimpulkan terdapat penyimpangan yang saling terkait dalam kasus kontrak JICT dan Koja oleh Pelindo II kepada Hutchison. Pertama, kedua kontrak tersebut melanggar Undang-Undang nomor 17 tahun 2008 karena dilakukan tanpa izin konsesi pemerintah dan merugikan negara hampir Rp 6 triliun.

Selanjutnya BPK juga menemukan konflik kepentingan yang dilakukan oleh Deutsche Bank karena bertindak sebagai peminjam dana kepada Pelindo II sekaligus melakukan valuasi yang hasilnya diarahkan kepada perpanjangan kontrak JICT kepada Hutchison.

"Hal demikian dapat menyebabkan kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang sangat jelas merugikan negara. Oleh karena itu, KPK dan Pemerintah harus segera memberi kepastian hukum terhadap kasus JICT dan Koja," tegas Firman. 

Di sisi lain Firman juga mempertanyakan status mantan Direktur Pelindo II, RJ Lino yang ikut terlibat dalam perpanjangan kontrak JICT dan TPK Koja dengan Hutchinson. Lino sudah setahun dijadikan tersangka oleh KPK tapi sampai sekarang kasusnya jalan ditempat dan Lino tidak ditahan di penjara. Padahal dengan dia bebas berkeliaran, bisa  berpotensi menghilangkan barang bukti dan kabur dari Indonesia.

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar