Wajah Media Sosial di Tahun Politik dan Netralitas BSSN ?

Minggu, 21/01/2018 14:13 WIB
Kartun Wajah Media Sosial dan Berita Hoax (Ist)

Kartun Wajah Media Sosial dan Berita Hoax (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Sejak adanya  media sosial melalui facebook , twitter, instagram, whatshap dan yang  lain lainnya, dunia maya menjadi lebih hidup dan penuh warna.  Monopoli informasi tak lagi didominasi oleh media cetak atau elektronik yang sebelumnya sangat merajalela.  Hadirnya media sosial tentu saja ikut menghangatkan suasana tahun politik 2018 sebagaimana juga terjadi pada momen pemilu sebelumnya yaitu tahun 2014 maupun tahun tahun sebelumnya. 

Diperkirakan pada tahun 2018, seluruh isi kebun binatang akan pindah ke media sosial. bahkan binatang yang tidak dipelihara di kebun binatang, misalnya bangsat (kepinding, bahasa Betawi) ikut hadir. Para binatang di kebun binatang kebebasannya dibatasi dengan kerangkeng, para binatang di media sosial berkeliaran bebas, sebebas membinatangkan manusia yang lainnya. Sumpah serapah dan saling hujat kiranya akan menjadi ritual setiap hari ketika kita membuka facebook, twitter atau sejenisnya.

Bukan hanya itu, lantunan doa-doa yang biasanya bernuansa sakral untuk memohon permohonan kepada yang Maha Kuasa , maka  di kebun binatang media sosial bisa ditemukan doa yang aneh -aneh. Jika doa biasanya adalah untuk memohon perlindungan dan meminta berkat atau pahala dari yang Maha Kuasa, doa di kebun bintang media sosial itu justru untuk memohon agar Tuhan menurunkan azab dan menimpakan sengsara yang mengerikan kepada pihak-pihak yang tidak sejalan dengan aspirasi atau keinginannya.

Akun-akun fitnah dan akun robot akan muncul merajalela. Mereka akan melancarkan fitnah- fitnah keji  yang tidak mendasar demi untuk meyakinkan pihak lain agar mempercayai informasi yang disampaikan atau untuk menjatuhkan tokoh-tokoh lawannya. Ada juga  akun-akun lainnya dibuat spesial untuk memecah, sasaran paling empuk ya tentang SARA. Akun teror dan hoaks, yang ini untuk meningkatkan level kecemasan pada masyarakat yang memang gampang cemas. Itu semua dilakukan makelar, digerakkan pemilik tangan tak terlihat dan dibiayai pemilik modal besar dengan tujuan tertentu.

Disini kita melihat adanya kekuatan media sosial yang sangat dasyat karena mampu mempengaruhi  orang dan kelompok orang untuk bergerak melakukan suatu perubahan. Kekuatan media sosial ini diakui oleh banyak Negara karena terbukti bisa memicu terjadinya revolusi  sosial. Di satu sisi tentu keberadaanmedia  sosial sangat baik untuk mengimbangi kekuatan media konvensional yang selama ini berjaya.

Tetapi disisi lain juga bisa menimbulkan kerawanan sosial manakala tidak ada ketentuan yang mengaturnya. Oleh karena itu Pemerintah  telah berencana  untuk melakukan penertiban terhadap media sosial karena faktanya memang tidak semua informasi yang beredar di media sosial menyajikan kebenaran dan fakta yang terkonfirmasi, serta memenuhi kebutuhan informasi publik.

Salah satu kebijakan pemerintah untuk mengatur media sosial  adalah dengan membentuk Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).Presiden Joko Widodo telah  melantik Mayjen (Purn) TNI Djoko Setiadi sebagai Kepala BSSN di Istana Negara, pada 3 Januari 2018 yang lalu.  BSSN adalah lembaga teknis non-kementerian yang didirikan pada 2017.

Presiden Jokowi  telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No. 133 tahun 2017 tentang Perubahan atas Perpres No. 53 tahun 2017 tentang Badan Siber dan Sandi Negara pada 16 Desember 2017. BSSN bukan merupakan lembaga baru yang dibentuk, namun merupakan revitalisasi Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) dengan tambahan Direktorat Keamanan Informasi, Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo)

Apa saja tugas BSSN? Selain membangun ekosistem ranah siber Indonesia yang kuat dan aman, BSSN juga menjadi penyelenggara dan pembina persandian negara dalam menjamin keamanan informasi, utamanya yang berklasifikasi milik pemerintah atau negara, dengan tujuan untuk menjaga keamanan nasional. BSSN berfungsi untuk mendeteksi, mencegah dan menjaga keamanan siber, mengingat banyak aksi-aksi kejahatan yang memanfaatkan dunia maya dalam beberapa waktu belakangan ini.

Pembetukan lembaga BSSN beserta fungsinya tentu akan baik sekali jika bisa dijalankan secara proporsional.  Namun jika digunakan sebagai alat kekuasaan maka ceritanya akan lain karena justru bakal  menimbulkan gejolak. Ibarat sebuah senjata maka tergantung kepada penggunanya, bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan bisa juga digunakan untuk kejahatan. Oleh karena itu langkah pemerintah dalam membendung media social, jangan sampai mengancam sistem demokrasi yang telah tumbuh dan berkembang di Indonesia.

Hoax Membangun

Harus diakui saat ini kecenderungan untuk menyalahgunakan kelembagaan Negara sebagai alat rejim yang sedang berkuasa  sudah begitu kentara.  Tebang pilih dalam penegakan hukum kejahatan siber sudah begitu nyata diperlihatkan. Sebagai contoh orang-orang seperti Jonru, emak-emak Asma Dewi, tokoh Saracen Setiyardi sudah diproses hukum sebagai tersangka penyebar ujaran kebencian.

Namun pada saat yang sama tokoh tokoh penyebar kebencian seperti Ade Armando, Viktor Laiskodat, Abu Janda , Deny Siregar dan yang lainnya tetap bebas berkeliaran pada hal mereka mereka adalah pelaku ujaran kebencian yang mestinya diperlakukan dengan sama.  Diperkirakan pada tahun 2018 seiring dengan tahun politik, akan banyak tokoh-tokoh penggiat media sosial yang diproses hukum.

Indikasi keberpihakan BSSN sudah mulai terlihat pada saat pelantikan pimpinan BSSN. Baru saja dilantik oleh Presiden Jokowi,  Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Djoko Setiadi justru membuat pernyataan kontroversi. Kalimat yang dia gunakan `Hoax Membangun` justru dipertanyakan para netizen di media sosial. Kalimat itu mengandung makna bahwa seolah-olah hoax atau berita bohong sepanjang menguntungkan pemerintah diperbolehkan. Ada gelagat saat ini dimana rezim yang berkuasa  ingin mengendalikan kebenaran sesuai dengan standarnya. Sepertinya ada kebohongan yang disembunyikan dalam upaya keras pemerintah melawan hoax.

Kalau rezim itu  terus menerus mengendalikan kebenaran, patut dicurigai adanya  kebohongan yang hendak disembunyikan. Pada hal menurut Rocky Gerung Dosen di Departemen Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI),  pembuat berita bohong terbaik adalah pemerintah yang sedang berkuasa. "Pembuat hoax terbaik adalah penguasa," . Alasannya, penguasa memiliki seluruh peralatan untuk berbohong. Intelijen, kata dia, pemerintah punya, begitupun data statistik dan media. "Tapi itu faktanya. Hanya pemerintah yang mampu berbohong secara sempurna,” kata Rocky.

Kiranya wajah media sosial di tahun politik 2018 akan tetap hiruk pikuk dan semarak meskipun pemerintah dengan ketat membatasi kebebasan penggunanya. Penutupan akun-akun yang kontra dengan kebijakan pemerintah tidak membuat mereka patah arang tapi justru menumbuhkan semangat militansi. Karena itu manakala pemerintah tidak mampu menjadi “wasit” yang adil di media sosial maka justru kerugianlah yang akan diterimanya nanti. Ibarat senjata akan makan tuan dan itu tanda-tanda umur rezim semamin menua dan tinggal menunggu kejatuhannya.

 

 

(Ali Mustofa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar