Pejabat, "kuda-kuda" tunggangan keluarga Mochtar Riady

Kamis, 02/11/2017 22:49 WIB
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan HB X (kiri) bersama Pendiri LIPPO Group Muchtar Riady (kanan). ist

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan HB X (kiri) bersama Pendiri LIPPO Group Muchtar Riady (kanan). ist

Jakarta, law-justice.co - Grup Lippo, induk Meikarta, sejak awal memang senantiasa melibatkan orang-orang kuat dalam menjalankan bisnisnya. Bahwa di kelompok mereka bergabung pensiunan jenderal, menteri, dan gubernur—termasuk Agum Gumelar, Sutyoso,    Theo L.  Sambuaga, Surjadi Sudirdja, Tanri Abeng, Muladi, Ginandjar Kartasasmita, atau  Adrianus Mooy, sesungguhnya itu hanyalah kelanjutan dari tradisi panjang yang digariskan sang pendiri, Mochtar Riady.

“Mengejar dan menunggang kuda”, itulah prinsip Mochtar Riady sejak ia masih sangat muda. Artinya, menumpanglah pada orang yang lebih sukses untuk mempercepat sukses kita. Dengan konsisten ia menjalankannya. 

Setelah memajukan toko  kelontong mertuanya di Jember, tahun 1954 Mochtar Riady yang nama aslinya Li Moe Tie, mengadu nasib ke Jakarta. Di Ibukota lelaki kelahiran Malang, 12 Mei 1929, bekerja dari perusahan kecil yang satu ke yang lain. Di masa penyesuaian dengan lingkungan baru tersebut lelaki yang pernah belajar filsafat di Universitas Nanking, Cina, rajin membangun jejring terutama dengan sesama Tionghoa.

Persuaannya dengan seorang pelatih tenis menjadi lembaran baru yang menandai perubahan hidup dirinya untuk seterusnya. Ia belajar tennis ke pimpinan Perhimpunan Pengusaha Wanita Tionghoa tersebut. Hubungan keduanya mengerat seiring waktu. Sang guru lantas mengenalkan anak pasangan Liapi-Sibelau—keduanya imigran asal Fujian, Cina—ke para kenalannya.

Lewat pelatih tenisnya suami perempuan Jember bernama Suryawati Lidya kemudian menjalin hubungan dengan  sejumlah pengusaha terkemuka termasuk eksportir karet terbesar Indonesia dan importir tekstil di Pasar Pagi. Jadi, setelah ayah mertuanya yang di Jember, sang gurulah yang menjadi kuda tunggangannya.

Sejak masih belia Mochtar Riady terobsesi menajdi karyawan bank. Impiannya akhirnya mewujud. Ia diterima bekerja di Bank Kemakmuran. Di perusahaan kecil milik Andi Gappa itu ia langsung menjadi Direktur kendati buta soal perbankan. Sebagai pekerja keras dan pembelajar yang tekun, ia lekas beradaptasi menjadi bankir yang baik. Malah dalam setahun saja ia sudah meningkatkan kinerja keuangan Bank Kemakmuran.

Ingin tantangan yang lebih besar, ia lantas berpaling ke Bank Buana Indonesia, pada 1964. Di masa itu perekonomian Indonesia sedang parah karena Presiden Soekarno sedang gencar-gencarnya memerangi Barat yang disebutnya menjalankan politik Nekolim (neokolonialisme, kolonialisme, dan imperialisme). Meski inflasi sampai 635%, dengan kiat yang jitu  ia tidak hanya mampu meluputkan Bank Buana Indonesia dari maut tapi mendongkraknya.

Tahun 1971 Mochtar Riady bersekutu dengan adik iparnya. Mu’min Ali Gunawan namanya, dia sedang naik daun. Bisnis utama lelaki yang bernama asli Lie Mo Ming adalah kapal antar-pulau. Tambahannya,  real estate (Grreen Ville dan Green Garden) serta asuransi. Di tahun 1960-an ia membeli saham Bank Industri dan Dagang Indonesia yang ditawarkan kenalan baiknya.

Masih kelas 2 SMA Mu’min Ali Gunawan tatkala ia pindah ke Jakarta ikut Mochtar Riady yang merupakan Direktur Bank Buana Indonesia. Ingin mandiri, di Ibukota dia kemudian berbisnis dan rupanya berhasil.

Mochtar Riady dan Mu’min Ali Gunawan melobi Gubernur Bank Sentral [kini sebutannya: Gubernur Bank Indonesia], Radius Prawiro, di awal 1970-an. Mereka mengutarakan ke Gubernur: bank dalam negeri sulit berkembang sebab serba kecil-kecil; supaya bisa  besar maka  yang perlu dilakukan adalah penggabungan (merger). Tapi, lanjut mereka, merger saja tak cukup; harus ada insentif juga. Insentif yang pas untuk bank besar hasil penggabungan adalah status ‘bank devisa’. Radius Prawiro setuju. 

Di tahun 1971 Mochtar Riady meninggalkan Bank Buana Indonesia untuk memimpin perusahaan baru, Bank Pan Indonesia (Panin),  hasil merger pertama di negeri kita yang melibatkan Bank Kemakmuran, Bank Industri Jaya, dan Bank Industri dan Dagang Indonesia. 

Di bawah kendali Mochtar Riady, Bank Panin cepat membesar. Pada Januari 1985  mereka menjadi bank perdana  Indonesia yang go public. Saat itu cabangnya 23 dan karyawannya 400 orang. Setahun berselang mereka membuka cabang di AS.

Ternyata Mochtar Riady yang berhasil menjadikan Radius Prawiro kuda tunggangan, bertikai dengan sang adik ipar. Ketika tawaran datang kemudian dari pebisnis terkaya di Indonesia saat itu,  Liem Sioe Liong (Sudono Salim), pria kelahiran Malang itu menyambar. Panin memang sudah terlalu kecil bagi dia. Bank Central Asia (BCA) jauh lebih menantang dan menjanjikan sebab milik konglomerasi yang di dalamnya berhimpun  3 raksasa: Indofood, Indocement, dan Bogasari.

Saat akad perikatan dengan BCA di tahun 1975, Mochtar Riady diberi keistimewaan yakni kepemilikan saham 17,5%.

Kelompok Salim berunsurkan banyak perusahaan dan memiliki pelbagai jaringan distribusi dan ritel. Dengan hanya mengandalkan mereka saja penghasilan BCA sudah lumayan. Tapi Mochtar Riady bukan jenis manusia  yang lekas berpuas diri. Ia memacu bank yang dipimpinnya agar menjadi yang terbesar dan terbaik di dalam negeri. Berhasil ia melakukannya.

Menjadi majikan atas diri sendiri Itulah yang dikehendaki ayah Rosy Riady, Andrew Taufan Riady, Stephen Tjondro Riady, dan James Tjahaja Riady, kemudian setelah sukses menjadikan Liem Sioe Liong kuda tunggangan. Di tahun 1981 ia membeli Bank Perniagaan Indonesia. Di tangannya perusahaan ini lekas menyehat dan membaik. Pada  1989 bank ini merger dengan Bank Umum Asia. Hasilnya adalah Lippo Bank.

Agar bisa berfokus mengurusi  Bank Lipppo, pada 1990 ia keluar dari BCA. Saat itu, asset bank ini yang Rp. 12,8 milyar di tahun 1975—saat ia baru bergabung—telah bertambah Rp. 5 milyar.

Sebagai nakhoda, ia dengan cepat membesarkan Bank Lippo, miliknya. Setelah krisis moneter 1998, sejarah kemudian mencatat bahwa korporasi ini kemudian bertransformasi menjadi konglomerasi yang sangat mengemuka terutama di lapangan properti. Dalam keberhasilan tersebut ilmu menunggang kuda yang diajarkan sang pendiri, Mochtar Riady, kepada anak-anak dan eksekutif puncaknya, sangat nyata mewarnai. Kuda tunggangan mereka adalah orang-orang kuat yang pernah berjaya di birokrasi, militer, dan korporasi (BUMN dan swasta) 

(Rin Hindryati\P. Hasudungan Sirait)

Share:




Berita Terkait

Komentar