Ging Ginanjar (1964-2019), Tulisan-9

Transformasi Total Mas Goen menjadi Aktifis Pergerakan

Selasa, 12/03/2019 13:15 WIB
Goenawan Mohamad, Surya Paloh, dan Eros Djarot di hari-hari awal bredel 1994. (Foto: DeTIK)

Goenawan Mohamad, Surya Paloh, dan Eros Djarot di hari-hari awal bredel 1994. (Foto: DeTIK)

law-justice.co - Lewat pager, kami berjanji sudah. Sore itu, dengan semangat ’45 aku mendatangi mereka. Di markasnya, sebuah kamar penginapan,  mereka ternyata telah berhimpun. Persisnya di Hotel Nirwana yang sepelemparan batu dari Terminal Kampung Melayu. Sudah berbulan-bulan mereka bersekretariat di sana yakni setelah mendapat hukuman karena menolak rekstrukturisasi yang dilakukan manajemen PT Media Interaksi Utama (MIU), penerbit koran sore Suara Pembaruan.  Dengan menempuh jalur hukum, para wartawan yang dikomandani Petron Curie Nadeak itu melawan petingginya: Albert Hasibuan (Pemimpin Umum), Sutarno (Pemimpin Redaksi), dan Soedarjo (Direktur).

Kamar yang mereka sewa kecil. Berteras, ia berdampingan dengan bilik lain yang berderet tanpa bertingkat. Tak muat kami yang berbelas jika berada di dalamnya atau di teras. Sebab itu di jalan yang persis di depan teras itu saja kami bercakap.

Sebelumnya aku sudah mengenal beberapa dari jurnalis yang berani mbalelo itu. Mereka sejawat dari para senior yang menjadi temanku saat kami belajar 6 bulan (pada 1990)  di Lembaga Penelitian Pendidikan Penerbitan Yogya (LP3Y) yang dipimpin ‘suhu’ Ashadi Siregar,  yakni Estu Praptono, Histori Simbolon, Putu Suarthama, Mike Wangge, dan Salmon Pasaribu. Sebab itu langsung guyup saja kami tanpa perlu lama.

Bang Petron yang kepadanya sebelumnya lewat telepon sudah kuterangkan maksud kedatanganku, bertindak sebagai mederator. Setelah menerangkan selintas siapa aku dan misi yang sedang kujalankan, ia memersilakan aku bicara.

Seusai berterimakasih karena mereka telah meluangkan waktu dan menyambut dengan bersahabat, kuutarakan poin terpenting. Pertama, bredel telah membuat kawan-kawan awak Tempo, Editor, dan DeTIK merana karena seketika kehilangan pekerjaan. Kedua, pemberangusan merupakan bukti kezaliman penguasa dan sebab itu harus dilawan oleh siapa pun yang menghargai demokrasi. Ketiga, rezim Orde Baru telah menghadirkan Gatra sebagai pengganti Tempo. Dimodali  Bob Hasan dan Ciputra, terbitan itu harus diboykot sebab merupakan instrumen yang dipakai rezim untuk  mencuci tangan.

Aku masih bermaksud menjelaskan argumen ketika salah seorang dari mereka menyela.

“Cukup Bung! Untuk apa membela-bela Goenawan….biarin aja dia merasakan sakitnya dibredel.”

“Ya, betul. Baru sekarang Goenawan berteriak-teriak seperti aktifis. Waktu koran kami, Sinar Harapan, dulu ditutup dia ngapain? Anda tau nggak. Dia ngomong sinis…Tulisan Tempo juga sinis…,” sergah temannya.

Sungguh tak kusangka aku akan menghadapi reaksi keras seperti itu.  Setahuku Mas Goen (Goenawan Mohamad—GM) berkawan baik dengan Bang Tides (Aristides Katoppo) sejak keduanya masih belia.

Izin cetak Sinar Harapan dicabut pemerintah pada 2 Januari 1973. Sebabnya? Pada edisi 30 Desember 1972 mereka memberitakan RAPBN 1973-1974 sebelum Presiden Soeharto membacakannya di hadapan DPR. Aturannya (tak tertulis):  setelah kepala negara memaparkannya barulah media massa boleh mewartakannya. Jadi koran sore ini dianggap lancang.

Pada 12 Januari 1973 mereka boleh terbit lagi. Tapi, Aristides Katoppo yang merupakan Redaktur Pelaksana tak boleh lagi berada di jajaran redaksi. Ke luar negeri ia kemudian belajar beberapa tahun.

Sejumlah media, termasuk Sinar Harapan dilarang terbit seusai kerusuhan di Jakarta pada 15 Januari 1974 (Malari). Tapi hanya pada 21 Januari-3 Februari 1974 saja suratkabar sore ini off’; adapun Indonesia Raya, Abadi, Pedoman, dan yang lain selamanya.

Pada Oktober 1986  Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Sinar Harapan dicabut penguasa. Berita utama yang berjudul Pemerintah Akan Cabut 44 SK Tata Niaga Bidang Impor  penyebabnya. Agar bisa terbit lagi syaratnya ternyata maha berat yakni nama dan PT-nya  harus diganti. Selain itu Hendrikus Gerardus  Rorimpandey (pendiri yang juga Pemimpin Umum), Subagyo Pr (Pemimpin Redaksi), dan Aristides Katoppo (Wakil Pemimpin Perusahaan) tak boleh ikut lagi mengurusinya.

Pada 4 Februari 1987 Suara Pembaruan hadir menggantikan Sinar Harapan. Albert Hasibuan, pengacara yang merupakan tokoh partai politik yang sangat hegemonik, Golkar, Pemimpin Umum-nya. Pendeta Sutarno, mantan Rektor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, yang pernah menjadi korektor di Sinar Harapan saat koran ini baru terbit, Pemimpin Redaksi-nya.

Benarkah Mas Goen sinis ke orang-orang Sinar Harapan saat suratkabar mereka diberangus dulu? Entahlah. Setelah sempat tersentak, diri ini segera kutenangkan. Tak bijak kalau aku yang sedang mencoba mengetuk pintu hati mereka agar sudi memerlihatkan solideritas, sampai berkonfrontasi.  

“Maaf Bang, Mas, dan Kang…aku tak bermaksud membela Mas Goen. Yang kubela adalah tiga media korban bredel…”

Keduanya kembali berucap dengan sengit sehingga Bang Petron menengahi dengan mengatakan, “…. yang sudah sudahlah, sekarang mari kita lihat ke depan.”

Beberapa dari wartawan senior itu masih menyoal orang-orang Tempo yang menurut mereka selalu mencari aman selama masa Orde Baru dan arogan di lapangan.

Tak mau aku terseret dalam persoalan yang sudah personal.  Lagi pula aku tahu mereka sedang galau. Telah berbulan-bulan mereka berkonfrontasi dengan manajemen sehingga tak boleh lagi berkantor di Jl. Dewi Sartika. Simpati dari sejawat wartawan media lain tak mereka dapatkan.

Kelompok yang berintikan Petron Curie Nadeak, Djandjan Saputra, Nelson Simanjuntak, Koeswadi, Isaac Sinyal, Constantinus de Gani, dan Bidramnanta ini kelak masih akan lama bertikai dengan manajemen Suara Pembaruan. Pengadilan akhirnya memenangkan mereka. Alhasil manajemen harus membayar gaji mereka termasuk untuk tahun-tahun berkonfrontasi. Kelompok pelawan ini kemudian menghadirkan surat kabar sore Suara Bangsa yang Wakil Pemimpin Umum-nya adalah Bang Petron.

Tak ada gunanya kalau aku berlama-lama di sana. Aku pun minta diri.

“Kami nggak ada masalah dengan AJI….malah kami respek,” ucap orang yang pertama mencela Mas Goen.

“Betul…kawan-kawan di Suara Pembaruan ada yang ikut AJI: Roy Pakpahan dan Aa Sudirman. Yoedha (Dia Prekasha Yoedha) dan Satrio (Satrio Arismunandar) kawan kami juga,” sambung temannya.

Mereka, termasuk Bang Petron Curie Nadeak,  titip salam ke AJI. Setelah berjabat tangan, aku meninggalkan Hotel Nirwana. Saat menapak menuju Stasiun Kampung Melayu langkahku terasa berat. Selama di bus PPD 213 (jurusan Kampung Melayu-Grogol) yang sesak sehingga menggerahkan, hatiku gundah sebab misi pertama yang sedang kujalankan kandas begitu cepat. Aku berharap peruntungan akan mendekapku di misi yang kedua.

Petisi 50 Menolak

Sebelumnya, di rapat AJI di Rusun Tanah Abang kami semua bersepakat untuk berbagi tugas. Tujuannya? Menggalang soliteritas  pelbagai kalangan, termasuk  wartawan,  agar menentang bredel dan memboykot Gatra. Selain ke kelompok Bang Petron, aku ditugasi ke Petisi 50. Dalam melobi yang terakhir ini aku bersama karibku, Meirizal Zulkarnain.   

Seperti pernah kutulis di Fb, Bang Ali (Ali Sadikin), yang memperantarai kami berdua saat melobi Petisi 50. Tempatnya di kediamanan  mantan Gubernur DKI itu,  di Jl. Borobudur 2, Jakarta Pusat. Dengan nada yang sangat bersimpati tuan rumah mengenalkan sebelum memersilakan kami menjelaskan maksud.

Hadirin yang umumnya sudah sepuh manggut-manggut saat kami menjelaskan dampak buruk bredel terhadap awak media massa yang menjadi korbannya serta ekses negatifnya terhadap demokrasi.

Bu SK Trimurti, wartawan 3 zaman yang juga Menteri Tenaga Kerja pertama RI (1947-1948, di kabinet Amir Sjarifuddin) menyahuti dengan menyatakan: pembredelan pers hanya dilakukan oleh rezim-rezim yang otoriter. Tindakan tersebut harus dilawan oleh siapa pun yang mendambakan demokrasi. Aku senang betul mendengar tuturan mantan guru tersebut. 

 Pak HM Sanusi (Menteri Perindustrian dan Kerajinan Rakyat tahun 1966-1968) dan Pak Slamet Bratanata (Menteri

Pertambangan tahun 1966-1967) bertanya singkat soal bisnis media sang taipan Bob Hasan dan keterlibatannya di majalah Gatra. Kami berdua menerangkan sebisanya.

 Pak Hoegeng, mantan Kapolri, sibuk memerhatikan orang  yang bicara saja. Sesekali ia manggut-manggut. Pak Aziz Saleh, dokter yang 9 tahun menjadi menteri di zaman Orde Lama (Menteri Perindustrian, Menteri Pertanian, dan Menteri Kesehatan) pun sama.

Keadaan ternyata berubah setelah Pak  Radjab Ranggasoli yang sewaktu menjadi anggota DPR terkenal vokal, menanggapi.

 “Bagi saya pribadi, setan sekalipun kalau mereka punya media dan medianya itu mau membuka ruang untuk Petisi 50 akan saya jadikan teman. Ini soal strategi perjuangan. Kita butuh teman sebanyak-banyaknya di lingkungan media massa. Jadi, sekali lagi, saya nggak setuju boykot-memboykot,” ujarnya dengan lantang.

 Pengaruh ucapan Pak  Radjab Ranggasoli ternyata besar. Hanya dalam beberapa menit suara menolak boykot Gatra mengemuka. Keberbalikan keadaan ini sungguh tak kuduga.

 Voting berlangsung. Yang menolak boykot Gatra jauh lebih banyak. Jadi, kami gagal menjalankan misi menggalang solideritas untuk menolak majalah yang dimaksudkan penguasa sebagai pengganti Tempo. Bang Ali membesarkan hati kami saat ia mengantarkan kami sampai ke ujung halaman depan.

Meradang-Menerjang

Massa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menyerang barisan Golkar yang dianggapnya petantang-petenteng. Tentara pun turun untuk membela barisan kuning. Dalam kekisruhan di musim kampanye tahun1982 itu  7 orang kehilangan nyawa. Media massa mewartakannya, termasuk Tempo. Akibatnya majalah mingguan ini dilarang terbit.

Setelah meneken pernyataan,  2 bulan kemudian Tempo dibolehkan lagi terbit oleh Menteri Penerangan Jenderal (purn) Ali Moertopo. Tentulah awak mingguan terkemuka ini menjadi jauh lebih hati-hati sesudahnya.

Ternyata 12 tahun berselang, pada Mei 1994,  mereka tersandung lagi akibat liputan eksklusif pembebelian 39 kapal perang bekas dari Yugoslavia.  Kali ini rupanya sudah tidak ada ampun. Setelah lobi yang tujuannya sebenarnya adalah hostile take-over (ambil alih paksa) kandas, penguasa merekayasa agar majalah yang lahir tahun 1971 mati selamanya. Gatra (namanya berasal dari Presiden Soeharto)  yang dimodali Bob Hasan dan Ciputra dihadirkan untuk meletigimasi pembunuhan Tempo. Ternyata tak kurang dari 70% karyawan Tempo bergabung dengan pendatang baru tersebut.

Wajar kalau kemudian Mas Goen (Goenawan Mohamad  atau GM) meradang betul. Di matanya Ciputra (Pak Ci)—Yayasan Jaya Raya  yang dipimpinannya yang ditugas Gubernur Ali Sadikin memodali  Tempo sejak awal—berkhianat. Barangkali Lukman Setiawan juga. Yang terakhir ini adalah orang yang memperantarai Mas Goen dan kawan-kawannya sesama eksponen majalah Ekspres dengan Pak Ci saat hendak menghadirkan Tempo. Seperti waktu di Tempo, Pak Lukman dan Pak Harjoko Trisnadi menjadi operator Pak Ci di Gatra

Pak Lukman yang merupakan bos kami di koran Bisnis Indonesia, selalu menanyakan kabar Mas Goen ke aku saat kami bersua. Ia juga titip salam. Selalu kusampaikan salamnya. Suatu waktu ia curhat. Intinya, dirinya tak punya pilihan sehingga akhirnya ikut Gatra.  Ia menggarisbawahi sesuatu yang tak ditemuinya di tempat baru:  kewibawaan dan kelebihan seperti yang diperlihatkan Mas Goen selama 22 tahun menakhodai Tempo.  

“Aluk [Lukman Setiawan] orang baik. Harjoko [Harjoko Trisnadi…] juga…Salam kembali, ya..,” kata Mas Goen setelah kuceritakan pecakapanku dengan Pak Lukman.

Mata Pak Lukman berkaca-kaca sebaik kusampaikan salam titipan. Tentu tak lupa kusitir ucapan  “Aluk orang baik.”

Dengan suara tergetar Pak Lukman Setiawan kembali mengisahkan masa kebersamaan mereka yang indah yang dimulai saat sama-sama merintis terbitan bermotto ‘enak dibaca dan perlu’.   

Bagaimanapun, bredel 1994 telah mentransformasikan betul Mas Goen. Pembunuhan Tempo secara permanen, korban yang berjatuhan dalam aksi-aksi menentang bredel,  serta tindak yang dianggapnya sebagai pengkhianatan oleh para kawan lama sendiri, telah membuatnya laksana banteng terluka yang siap kapan saja menerjang setiap penghalang.  Setelah 2  dekade lebih berkubang di kolam Tempo yang tenang dan aman berkat garis kemoderatan dan kesantunan, ia mencebur ke sagara berombak bergulung-gulung dengan menjadi aktifis pergerakan pro-demokrasi dan HAM bersemangat. Di tempat baru ini ia bahu-membahu dengan angkatan muda melawan penguasa yang kian lalim.  Keterlibatan seperti ini sesungguhnya bukan hal baru bagi dirinya; bedanya: sekarang dengan totalitas.

Di dalam tubuh Mas Goen memang mengalir darah aktifis. Ayahnya, seperti yang pernah diungkapnya dalam sebuah tulisan,  adalah seorang nasionalis kiri yang kemudian dibuang penguasa Hindia-Belanda ke Digul, Irian Barat, pada 1927-1930. Sebebas dari ‘neraka’ yang bernyamuk malaria  ganas itu  ia tak jera menentang penjajah. Akibatnya, pada 1946 dia dieksekusi mati oleh  pasukan Belanda yang muncul kembali untuk menjalankan agresi militer. Akibat kejadian itu anak-istrinya  sempat mengungsi ke gunung untuk menyelamatkan diri.

Seperti kakaknya, Kartono Mohamad (pernah menjadi Ketua Ikatan Dokter Indonesia, IDI), Mas Goen melanjut ke Universitas Indonesia setamat SMA di Pekalongan. Di Fakultas Psikologi ia kuliah. Di ibukota ia kembali bergiat di dunia sastra dengan menulis puisi dan esai. Bakatnya yang menonjol membuat dirinya segera mendapat tempat di lingkungan Balai Budaya, Jl. Gereja Theresia. Di sana lelaki yang cenderung soliter ini berkawan dengan kakak-adik yang menjadi juniornya di UI yakni Soe Hok Gan (kemudian lebih dikenal sebagai Arief Budiman)  dan Soe Hok Gie. Mochtar Lubis dan Wiratmo Soekito menjadi mentor mereka.

Menentang kelompok Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang hegemonik, Mas Goen ikut meneken Manifes Kebudayaan yang dikonsep esais yang pernah belajar filsafat di Universitas Leuven, Begia, Wiratmo Soekito, pada 17 Agustus 1963. Akibatnya, ia dan mereka yang membubuhkan tanda tangan di pernyataan yang disingkat orang-orang Lekra sebagai  ‘Manikebu’  mengalami alienasi.   Pemerintah Soekarno melarang karya kaum yang dicap sebagai kontrarevolusioner ini. Wiratmo Soekito  tak bisa lagi bekerja di Radio Republik Indonesia.  HB Jassin kehilangan posisi sebagai pengajar di Fakultas Sastra UI.

Pada 1965, tak lama setelah pembantaian orang kiri  mulai berlangsung di Indonesia, Mas Goen yang masih berusia  24 tahun bertolak ke Belgia. Di sana ia mengikuti kelas politik Eropa di Universitas College d’Europe.  Yang memberangkatkannya adalah Congress of Cultural Freedom (CCF). Sahabatnya, Arief Budiman sudah  lebih dulu belajar di tempat ini yakni setelah studi di Paris. Sponsornya sama: CCF, lembaga yang belakangan hari tersingkap kedoknya sebagai perpanjangan tangan Central Intelligence Agency (CIA) untuk melawan komunisme di masa Perang Dingin. Gerakan Manikebu ditopang sepenuhnya oleh CCF.

Pada 1967 Mas Goen kembali ke Jakarta di saat Jenderal Soeharto telah menjadi penguasa Indonesia. Ia bergabung dengan Harian Kami yang dipimpin kawan lamanya, Nono Anwar Makarim.

Di tahun 1970 ia menjadi Pemimpin Redaksi mingguan Ekspres, milik BM Diah. Ia baru setahun bekerja di sana ketika terjadi dualisme kepemimpinan di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Pemerintah menaikkan BM Diah sebagai Ketua PWI untuk menggantikan Rosihan Anwar yang tak disukainya. Wartawan terbelah beberapa lama.  Mas Goen menulis surat untuk memprotes campur tangan pemerintah. Akibatnya, BM Diah memecatnya.

Ia dan beberapa wartawan Ekspres yang bersimpati kepadanya lantas mencari pemodal. Pada 1971 majalah Tempo lahir, didanai Yayasan Jaya Raya arahan Ciputra  yang ditugasi Gubernur Ali Sadikin.

Berpaling

Meski menjadi pembaca setia Tempo (dan Kompas) sejak mahasiswa di Bandung,  aku baru mengenal dari dekat Mas Goen setelah ia menjadi aktifis jalanan tak lama setelah bredel 1994.  Dalam rapat-rapat di markas Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Rumah Susun Tanah Abang yang biasanya berlangsung selepas maghrib, terkadang ia hadir. Pembawaannnya jauh dari formal sehingga kami—kaum muda yang mencitai alam egalitarian—tak sungkan bercanda dengannya.  Heru Hendratmoko dan Ging Ginanjar, termasuk yang suka menggodanya. Saat bantingan [mengumpulkan uang secara sukarela untuk membeli kopi-teh dan cemilan], misalnya, Ging Ginanjar bisa berkata, “Duitnya masih kurang. Mas Goen kayaknya belum nyawer…”

Kalau memang belum bantingan, esais-penyair  terkemuka itu akan merogoh sakunya. Uang akan dimasukkannya ke wadah. Jumlahnya pasti tak akan lebih banyak dari kami masing-masing sehingga Heru dengan jenaka akan bisa bilang sambil menatap kami, “Mas Goen ternyata nggak lebih kaya dari kita-kita….”

Kesetaraan sangat mengemuka di AJI sejak awal. Di antara kami semua, hanya Andreas Harsono yang menggunakan sapaan ‘Pak Goen”; lainnya—termasuk wartawan Tempo  Bina Bektiati dan Liston Siregar—‘Mas Goen’ saja. Begitupun,  Andreas Harsono  ternyata mendapat tempat sendiri di hati Mas Goen.

Saat lulusan Fakultas Teknik jurusan elektro UKSW yang kemudian menjadi wartawan The Jakarta Post itu menikah di Salatiga, umpamanya, beberapa dari kami anak AJI  hadir. Dari Jakarta kami naik Kijang yang disetir Rudi P. Singgih. Dari Semarang, Mas Goen dan Ayu Utami bergabung sehingga mobil kami bertambah sesak. Berblangkon dan berkeris lengkap, Mas Goen yang menjadi wali Andreas  Harsono   kala itu duduk di kursi depan di samping Rudi.  

Seusai perhelatan,  kami bertandang ke Geni. Di Yayasan yang diurusi Andreas Harsono, Stanley Adi Prasetyo, dan yang lain saat mereka masih menjadi mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, dan merupakan pendukung setia 3 dosen progresif di sana yang bertikai dengan Rektor John (JOI) Ihalauw—Arief Budiman, Ariel Haryanto, dan George Junus Aditjondro—ini Mas Goen berdiskusi hangat dengan kaum muda.

Entah kapan bermula, di masa-masa awal kehadiran AJI itu Mas Goen dan Ayu Utami telah menjalin hubungan khusus. Kami sendiri, orang-orang yang bermarkas di Rusun Tanah Abang, tak memusingkannya sebab larut dalam kegiatan perlawanan mengasyikkan yang senantiasa menyita waktu dan pikiran serta kerap memacu adrenalin. Urusan pribadi cenderung kami kesampingkan hingga ‘zaman normal’  muncul setelah Presiden Soeharto tumbang.

“Gara-gara AJI, kami ditinggalkan Mas Goen…,” kata seorang wartawan Tempo yang tidak bergabung dengan Gatra, seketika tanpa aba-aba.  Pernyataan yang merupakan curahan hati itu sontak membuat Ging, aku, dan anak AJI yang lain terhenyak. Malam itu kami semua sudah banyak menenggak bir.

“Maksudnya gimana?” kata Ging.

Mas Goen sudah nggak ingat kita lagi karena sudah punya mainan baru: AJI!  Bukan Bambang Aji ini…Ia sekarang berasyik-masyuk dengan AJI,” ucap lelaki tinggi-besar itu sebelum kembali menenggak bir langsung dari botol besar.

Bambang Aji tersenyum-senyum saja. Beberapa orang Tempo menimpali senada ujaran temannya. Curhat pun berlangsung.

Ging Ginanjar kembali mamainkan acting yang membuat kami kembali tertawa dan bersulang. Arah pembicaraan pun berbelok. Tampaknya ia memang meniatkan demikian.

Air kejujuran, begitu kami menyebut bir kala itu. Kalau sudah agak banyak meminumnya, segala yang mengganjal di hati akan keluar dengan sendirinya. Apa yang disebut ‘omongan dari hati ke hati’ akan serta-merta berlangsung.  Begitulah malam itu: uneg-uneg kawan-kawan loyalis Tempo yang merasa diabaikan Mas Goen, mengemuka tanpa kami nyana. Sudah begitu lama rupanya mereka menganggap kami pencuri hati yang membuat penyair-esais ternama itu berpaling dari sisi mereka.

Sesungguhnya AJI pelabuhan hati sementara saja bagi si empunya Catatan Pinggir. Waktu kemudian segera memerlihatkan bahwa ia telah menjauh dengan membangun bandar sendiri yang  lebih pas dengan seleranya. Komunitas Utan Kayu namanya, yang belakangan menjadi Komunitas Salihara. Di sanalah ia bergiat sampai sekarang. Untuk mengurusinya, sejak awal  ia melibatkan sejumlah orang AJI bertalenta khusus termasuk Andreas Harsono, Stanley Adi Prasetyo, Santoso, Ging Ginanjar, dan tentu saja: Ayu Utami. (Bersambung)

(P. Hasudungan Sirait\P. Hasudungan Sirait)

Share:




Berita Terkait

Komentar