Nawaitu Redaksi
Negara Tercekik Utang Jatuh Tempo; Mulyani dan Mulyono Biang Keroknya

Ilustrasi utang yang semakin naik dan memberatkan ekonomi Indonesia
Utang jatuh tempo yang harus dibayar oleh Pemerintah Presiden Prabowo Subianto per bulan Juni 2025 yang baru lalu sudah tembus Rp178,2 triliun. Jumlah nominal utang itu dihitung berdasarkan posisi outstanding surat berharga negara (SBN) yang dicatat Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR).
Jumlah utang tersebut merupakan data per 2 Mei 2025 alias yang paling baru di situs resmi pemerintah."Data ini diharapkan dapat memberikan informasi detail mengenai jumlah dan komposisi SBN," tulis penjelasan di situs resmi DJPPR Kementerian Keuangan, sebagaimana dikutip law justice, co , Sabtu (14/6).
Menurut keterangan dari Said Didu dalam podcastnya bersama Abraham Samad, bahwa yang menyebabkan jumlah utang Indonesia naik drastis dimana awalnya hanya 2.400 triliun menjadi 8000 triliun, adalah merupakan hasil duet antara Mulyani (Sri Mulyani) dengan Mulyono ( julukan untuk mantan Presiden Jokowi)
Bagaimana kebijakan fiskal era Jokowi dan Sri Mulyani berkontribusi terhadap melonjaknya utang negara hingga Rp8.000 triliun?. Apakah lonjakan utang ini disebabkan oleh kebutuhan riil pembangunan, atau justru karena salah kelola fiskal dan pemborosan anggaran?. Kini Prabowo mewarisi bom waktu utang, apakah pemerintah baru siap menanggung konsekuensinya, atau hanya akan meneruskan pola lama?
Warisan Duet Mulyani-Mulyono
Selama satu dekade terakhir, kebijakan fiskal di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menjadi poros utama dalam arah pembangunan ekonomi nasional. Di tengah upaya membangun fondasi ekonomi yang lebih kokoh, kebijakan-kebijakan yang mereka tempuh juga menyisakan warisan fiskal yang tidak ringan.
Salah satu isu paling mencolok adalah melonjaknya utang negara secara signifikan. Dari angka sekitar Rp2.400 triliun pada awal pemerintahan Jokowi tahun 2014, utang negara membengkak hingga menembus Rp8.000 triliun pada akhir masa jabatannya di 2024. Kenaikan ini tidak hanya mencerminkan nominal yang besar, tetapi juga menjadi simbol dari konsekuensi kebijakan ambisius yang kini menjadi beban tanggungan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto per Juni 2025.
Lonjakan utang tersebut tidak datang tiba-tiba. Ia lahir dari serangkaian kebijakan besar yang, meski bertujuan untuk mempercepat pembangunan, tetap harus dibayar mahal. Salah satu pilar utama kebijakan fiskal Jokowi-Sri Mulyani adalah pembangunan infrastruktur secara masif.
Sejak hari pertama menjabat, Jokowi menaruh fokus besar pada pembangunan jalan tol, pelabuhan, bandara, bendungan, hingga proyek ambisius seperti kereta cepat Jakarta–Bandung. Seluruh proyek ini disebut sebagai bagian dari “revolusi beton”, yang diyakini dapat memacu pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, kenyataannya, pembiayaan proyek-proyek raksasa ini jauh melampaui kemampuan fiskal APBN.
Untuk menjembatani kesenjangan tersebut, pemerintah mengandalkan sejumlah skema pembiayaan: mulai dari penambahan utang pemerintah pusat, penyertaan modal negara (PMN) ke BUMN, hingga skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU). Meski secara infrastruktur terjadi kemajuan yang nyata, dampak jangka pendeknya justru adalah meningkatnya beban fiskal negara. Banyak dari proyek-proyek tersebut belum menghasilkan pemasukan yang cukup untuk menutupi biaya utangnya, sehingga negara harus menanggung cicilan tanpa imbal balik fiskal yang memadai dalam waktu dekat.
Kemudian, krisis pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia antara 2020 hingga 2022 menjadi pukulan keras terhadap kondisi fiskal. Pemerintah dipaksa menggelontorkan dana dalam jumlah besar untuk menanggulangi krisis kesehatan, memberikan bantuan sosial, dan menopang ekonomi yang terpuruk.
Demi menyelamatkan masyarakat dan perekonomian, defisit anggaran dibiarkan melebar hingga lebih dari 6% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh melampaui batas konstitusional 3%. Dalam kondisi darurat itu, pemerintah menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) secara besar-besaran, bahkan melalui skema burden sharing dengan Bank Indonesia, di mana bank sentral membeli SBN langsung untuk mendanai pembiayaan pandemi. Meski langkah ini dinilai sah secara kebijakan dalam situasi krisis, ia meninggalkan warisan utang baru yang membengkak dan menambah beban jangka panjang APBN.
Pasca pandemi, strategi penerbitan SBN tetap dilanjutkan sebagai cara utama menutup defisit anggaran. Di tangan Sri Mulyani, strategi ini dilakukan secara agresif. Pemerintah menerbitkan SBN dalam berbagai bentuk tenor pendek maupun panjang, denominasi rupiah maupun valuta asing.
Investor pun disasar dari dalam dan luar negeri. Namun, strategi ini bukannya tanpa risiko. Untuk menarik investor, pemerintah menawarkan imbal hasil (yield) yang kompetitif, yang artinya beban bunga utang ikut membengkak. Per Mei 2025, data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) menunjukkan bahwa utang jatuh tempo yang harus dibayar mencapai Rp178,2 triliun, sebuah jumlah yang harus segera ditangani oleh Presiden Prabowo.
Masalah bertambah pelik karena sisi penerimaan negara tidak tumbuh sebanding. Meski pemerintah telah meluncurkan berbagai reformasi pajak termasuk Program Pengungkapan Sukarela (PPS), digitalisasi sistem perpajakan, dan penaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) penerimaan tetap belum mampu menutupi kebutuhan belanja negara yang terus meningkat.
Akibatnya, ketergantungan pada utang menjadi solusi sementara, sekaligus membuka ruang risiko fiskal jangka panjang. Rasio utang terhadap PDB memang masih dalam batas aman menurut standar internasional, tetapi tren kenaikannya memperlihatkan potensi ancaman terhadap stabilitas fiskal jika tidak segera dikendalikan.
Di sisi lain, postur belanja negara yang ekspansif juga menyumbang pada lonjakan utang. Pemerintah tetap mempertahankan subsidi energi seperti BBM, LPG, dan listrik dengan alasan menjaga daya beli rakyat. Kebijakan ini dianggap populis dan strategis secara politik, tetapi membebani APBN secara struktural karena subsidi yang diberikan tidak diimbangi dengan perbaikan efisiensi maupun pembenahan data penerima.
Secara keseluruhan, kebijakan fiskal pada era Jokowi dan Sri Mulyani memang sarat dengan semangat pembangunan dan responsif terhadap krisis. Namun, konsekuensinya adalah akumulasi utang negara yang signifikan, yang kini menjadi tantangan besar bagi pemerintahan berikutnya. Infrastruktur yang telah dibangun, penanganan pandemi yang cepat, serta strategi pembiayaan melalui instrumen pasar keuangan tidak salah secara prinsip, namun tetap memerlukan evaluasi menyeluruh dalam konteks keberlanjutan fiskal.
Kini, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, pemerintah menghadapi warisan utang besar dan jatuh tempo yang menumpuk. Tantangan utamanya bukan hanya bagaimana membayar utang, tetapi juga bagaimana memastikan bahwa utang tersebut benar-benar produktif, mampu memacu pertumbuhan ekonomi, dan tidak menciptakan jebakan fiskal bagi generasi berikutnya. Ke depan, pemerintah dituntut untuk lebih cermat dalam menyusun prioritas belanja, meningkatkan kualitas penerimaan negara, serta mengelola utang secara transparan dan berkelanjutan.
Karena Salah Kelola Fiskal ?
Pada pertengahan tahun 2025, Indonesia berada di persimpangan fiskal yang genting. Pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto kini harus menghadapi kenyataan bahwa utang jatuh tempo yang harus dibayar sudah menyentuh angka Rp178,2 triliun per Juni 2025. Angka tersebut, sebagaimana dicatat Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan per 2 Mei 2025, bukan sekadar angka di atas kertas.
Ia adalah bagian dari warisan fiskal besar yang ditinggalkan oleh pemerintahan sebelumnya warisan berupa total utang nasional yang telah menembus Rp8.000 triliun, melonjak tajam dari posisi sekitar Rp2.400 triliun pada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo di tahun 2014.
Pertanyaan besar pun mengemuka di ruang publik dan menjadi perdebatan serius di kalangan ekonom, pembuat kebijakan, hingga masyarakat luas: Apakah lonjakan utang ini merupakan konsekuensi dari kebutuhan riil pembangunan nasional? Ataukah justru cerminan dari salah kelola fiskal, pemborosan anggaran, dan kepentingan politik jangka pendek?
Untuk menjawabnya secara adil, kita perlu menengok ke belakang dan memahami konteks kebijakan ekonomi satu dekade terakhir. Sejak menjabat pada tahun 2014, Presiden Jokowi mengusung visi besar: membangun infrastruktur nasional sebagai fondasi utama pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Visi ini diterjemahkan ke dalam pembangunan jalan tol lintas Jawa dan Sumatra, kereta cepat Jakarta–Bandung, pelabuhan laut dalam, bandara baru, bendungan irigasi, dan berbagai proyek strategis lainnya.
Dalam skema kebijakan ini, utang dianggap sebagai instrumen pembiayaan yang tidak terhindarkan. Mengingat keterbatasan ruang fiskal dan sempitnya postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pemerintah kemudian mengandalkan berbagai sumber pembiayaan: dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), pinjaman bilateral dan multilateral, hingga penyertaan modal negara (PMN) ke BUMN untuk menjalankan proyek-proyek infrastruktur tersebut.
Situasi semakin kompleks ketika pandemi COVID-19 menghantam Indonesia antara tahun 2020 hingga 2022. Pemerintah berada dalam posisi yang nyaris tidak memiliki pilihan lain selain meningkatkan belanja negara untuk menjaga stabilitas sosial dan ekonomi. Defisit anggaran dibiarkan melebar hingga di atas 6% dari PDB, melampaui batas fiskal yang ditetapkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara.
Dalam keadaan darurat tersebut, utang kembali menjadi tumpuan utama. Pemerintah tidak hanya menerbitkan SBN dalam jumlah besar, tetapi juga menjalankan skema burden sharing dengan Bank Indonesia, di mana bank sentral membeli langsung surat utang negara untuk mendanai penanganan pandemi.
Dalam kerangka ini, lonjakan utang bisa dimaknai sebagai konsekuensi dari kebutuhan nyata dan tekanan luar biasa, bukan murni hasil dari kesalahan perencanaan. Ia lahir dari ambisi pembangunan yang besar dan respons terhadap krisis global yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Meski alasan tersebut dapat dimengerti, tidak semua aspek lonjakan utang dapat dibenarkan semata-mata dengan dalih kebutuhan pembangunan. Ketika dilihat lebih dekat, masalah tata kelola fiskal dan efisiensi anggaran mulai muncul ke permukaan.
Banyak proyek infrastruktur raksasa ternyata tidak menunjukkan kelayakan finansial maupun keberlanjutan ekonomi yang diharapkan. Beberapa ruas jalan tol sepi pengguna dan tidak mampu menghasilkan pendapatan cukup untuk membayar kembali utangnya. Sejumlah BUMN karya yang terlibat dalam proyek-proyek tersebut pun akhirnya terseok-seok secara keuangan, bahkan memerlukan suntikan dana tambahan dari APBN, bailout yang tentu menjadi beban baru bagi fiskal negara.
Kritik juga mengarah pada pola belanja negara yang dianggap terlalu mengandalkan utang tanpa disertai peningkatan kualitas belanja. Pos belanja rutin, subsidi energi, hingga bantuan sosial kadang dieksekusi tanpa pengukuran dampak dan efisiensi yang ketat. Subsidi BBM, LPG, dan listrik tetap digelontorkan dalam jumlah besar, bahkan diperluas menjelang tahun-tahun politik, tanpa reformasi yang signifikan terhadap sistem penyalurannya.
Sementara itu, reformasi perpajakan,yang seharusnya menjadi pilar kemandirian fiscal tidak menunjukkan lompatan berarti. Rasio pajak Indonesia masih stagnan di bawah 11% dari PDB, jauh di bawah negara-negara peers. Program seperti tax amnesty jilid II atau penyesuaian tarif PPN belum cukup meningkatkan daya tahan APBN terhadap tekanan pembiayaan.
Dalam hal ini, utang tidak lagi menjadi instrumen fiskal yang strategis, melainkan justru berubah menjadi solusi instan terhadap lemahnya penerimaan dan inefisiensi pengeluaran.
Aspek lain yang juga patut dicermati adalah campur tangan kepentingan politik dalam arah kebijakan fiskal. Di masa menjelang Pemilu 2019 dan 2024, pemerintah gencar menggulirkan program-program populis bantuan sosial besar-besaran, subsidi tambahan, hingga pembangunan proyek-proyek simbolik seperti Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di tengah kondisi utang yang sudah menumpuk. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa sebagian utang yang diambil bukan semata-mata untuk kepentingan pembangunan jangka panjang, tetapi juga untuk kepentingan elektoral dan pencitraan kekuasaan.
Kritik dari tokoh-tokoh seperti Said Didu, dalam percakapannya bersama Abraham Samad, secara gamblang menuding bahwa utang yang membengkak hingga Rp8.000 triliun bukan sekadar karena kebutuhan nasional, melainkan juga karena duet “Mulyani dan Mulyono”julukan sinis bagi Sri Mulyani dan Presiden Jokowi menjalankan kebijakan fiskal yang terlalu politis dan tidak efisien.
Dalam konteks ini, utang telah kehilangan esensi produktifnya. Ia menjadi konsekuensi dari pola pengeluaran yang tidak terkendali dan kurang akuntabel, serta kurangnya keberanian untuk melakukan pembenahan struktural terhadap belanja negara dan penerimaan pajak.
Stop atau Lanjut ?
Beban utang yang diwarisi oleh Prabowo bukan hanya besar secara nominal, tetapi juga rumit dalam strukturnya. Sebagian besar utang tersebut berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) selama era Jokowi–Sri Mulyani, dengan tenor beragam dan bunga yang cukup tinggi. Dalam praktiknya, ini berarti beban pembayaran bunga kian membesar dan menggerus porsi anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk sektor produktif seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.
Sejumlah ekonom menyebut Indonesia tengah berada dalam situasi yang mengkhawatirkan: high debt, low return. Artinya, utang terus menumpuk, namun tidak diimbangi oleh hasil yang sepadan dalam bentuk pertumbuhan ekonomi atau efisiensi birokrasi. Banyak proyek infrastruktur, meski megah secara visual, ternyata gagal memberikan imbal hasil ekonomi jangka pendek. Di sisi lain, belanja negara tetap boros dan tidak terkontrol, sementara upaya memperkuat basis penerimaan pajak berjalan lambat.
Dalam menghadapi situasi ini, pemerintahan Prabowo dihadapkan pada dua pilihan strategis. Pilihan pertama, yang tampaknya merupakan kelanjutan dari rezim sebelumnya, adalah melanjutkan pendekatan fiskal ekspansif membiayai proyek-proyek besar melalui utang, dengan dalih mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Pilihan kedua, yang lebih menantang namun berpotensi lebih berkelanjutan, adalah mengubah paradigma fiskal secara menyeluruh. Ini mencakup efisiensi belanja, reformasi birokrasi, restrukturisasi utang, serta optimalisasi penerimaan negara, terutama dari sektor pajak dan pengelolaan aset negara.
Sinyal dari pemerintahan baru tampaknya masih campur aduk. Di satu sisi, komitmen untuk melanjutkan proyek besar seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) dan pembangunan konektivitas wilayah masih kuat dan semua ini membutuhkan pembiayaan besar. Namun di sisi lain, muncul suara-suara dari tim ekonomi Prabowo yang menekankan pentingnya konsolidasi fiskal, penyusunan ulang prioritas belanja, serta upaya memperkuat basis penerimaan domestik. Apakah ini akan menjadi awal dari pergeseran kebijakan yang nyata? Ataukah hanya menjadi wacana sementara yang kalah oleh kepentingan politik jangka pendek?
Jika Prabowo memilih untuk tetap mengandalkan utang tanpa pembenahan struktural, maka risiko jangka menengah yang dihadapi cukup serius. Beban bunga utang saja dapat menghabiskan hingga 25–30% dari total belanja negara. Artinya, ruang fiskal untuk membiayai pembangunan manusia, inovasi, dan kesejahteraan masyarakat semakin menyempit.
Lebih jauh lagi, ketergantungan terhadap pasar keuangan global membuat Indonesia rawan terhadap fluktuasi eksternal. Jika para investor mulai meragukan komitmen pemerintah dalam menjaga disiplin fiskal, maka risiko kenaikan yield SBN, pelemahan nilai tukar rupiah, bahkan penurunan peringkat utang, bisa menjadi kenyataan pahit. Kondisi ini menunjukkan bahwa melanjutkan pola lama bukanlah jalan yang aman, melainkan jalur yang sempit dan sarat jebakan.
Pemerintahan Prabowo saat ini berada di persimpangan penting dalam sejarah ekonomi Indonesia. Ia mewarisi bukan hanya angka utang yang besar, tetapi juga paradigma fiskal yang selama ini cenderung jangka pendek dan politis. Pilihan yang diambil dalam beberapa tahun ke depan akan menentukan apakah Indonesia mampu keluar dari jebakan utang, atau justru makin terperosok ke dalam krisis fiskal yang lebih dalam.
Jika Prabowo berani mengambil jalan reformasi dengan mengedepankan efisiensi anggaran, memperkuat tata kelola, meninjau ulang proyek yang tidak prioritas, dan menggenjot reformasi perpajakan maka ada harapan bahwa Indonesia bisa membangun fondasi fiskal yang sehat dan berkelanjutan.
Namun, jika utang tetap dijadikan sebagai solusi instan untuk menambal berbagai agenda jangka pendek, maka beban fiskal yang ditanggung akan terus membesar, dan akhirnya, generasi masa depanlah yang akan menanggung risikonya. Kini semua tergantung pada keputusan Prabowo: akankah ia memilih jalan sulit yang menyelamatkan, atau jalan mudah yang menyesatkan?
Komentar