Nawaitu Redaksi

Jejak Bobby Nasution; Mantu Jokowi yang Dikepung 6 Kontroversi

Minggu, 06/07/2025 15:34 WIB
Daftar usaha yang dimiliki oleh Bobby Nasution. (diolah dari berbagai sumber)

Daftar usaha yang dimiliki oleh Bobby Nasution. (diolah dari berbagai sumber)

[INTRO]

Bobby Nasution yang sekarang menjadi Gubernur Sumatera Utara sekaligus mantu dari mantan Presiden Jokowi akhir akhir ini banyak mendapatkan sorotan. Sorotan ditujukan kepadanya karena banyaknya kasus yang diduga melibatkan dirinya.

Diantara deretan kasus itu antara lain kasus blok medan, dukungan Bobby ke pasangan Prabowo-Gibran di Pilpres 2024 pada hal yang bersangkutan saat itu masih menjadi kader PDIP, kasus Proyek gagal Lampu Pocong, kasus Sengketa 4 Pulau dengan Aceh, dugaan kasus penyelundupan nikel bersama Airlangga sebagaimana disebut oleh almarhum Faisal Basri dan sebagainya.

Terbaru, Bobby dihadapkan dengan orang dekatnya yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi proyek jalan di Sumatera Utara. Dalam kasus ini KPK menetapkan lima orang sebagai tersangka berdasarkan hasil giat operasi tangkap tangan (OTT) di Sumut pada Kamis (26/6/2025).

Salah satunya ialah Topan Obaja Putra Ginting (TOP), Kepala Dinas (Kadis) PUPR Provinsi Sumut yang diketahui merupakan orang dekat Bobby. Topan Obaja Putra Ginting merupakan aparatur sipil negara (ASN) yang kariernya cukup cemerlang.

Terkait dengan hal tersebut, Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) didesak untuk memeriksa Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution.Hal itu disampaikan Sekjen Mahupiki, Azmi Syahputra saat merespons adanya Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap pejabat Dinas PUPR Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut dan di Satuan Kerja (Satker) Pembangunan Jalan Nasional (PJN) Wilayah 1 Sumut

 “Korupsi setingkat Kepala Dinas tidak bisa dilakukan dengan Individual. Karenanya KPK  perlu segera memeriksa semua pihak yang diduga terkait, termasuk  memanggil Gubernur Sumut Bobby Nasution, untuk dimintai keterangan,” jelas Azmi sebagaimana dikutip law-justice.co , Selasa, 1 Juli 2025.

Apakah deretan kasus yang melibatkan Bobby Nasution mencerminkan kegagalan etika dalam kepemimpinan politik lokal?. Benarkah  kedekatan Bobby Nasution dengan lingkaran kekuasaan nasional telah membentuk tameng terhadap akuntabilitas politik dan hukum?. Apakah publik masih bisa menaruh harapan pada tokoh politik muda seperti Bobby, atau justru ini sinyal bahaya lahirnya dinasti politik baru yang lebih pragmatis daripada reformis?

Cermin Kegagalan Etika Kepemimpinan

Dalam sistem demokrasi yang sehat, integritas dan etika merupakan fondasi utama kepemimpinan publik. Ketika seorang kepala daerah, apalagi yang menyandang status sebagai bagian dari keluarga mantan Presiden, terseret dalam berbagai kontroversi, wajar jika publik mempertanyakan bukan hanya kapasitas teknokratis, tetapi juga etika dan moralitas kekuasaannya. Dalam konteks ini, deretan kasus yang melibatkan Bobby Nasution, mulai dari skandal “Blok Medan” hingga kedekatan dengan tersangka korupsi, menampilkan potret suram dari praktik kekuasaan yang kian jauh dari nilai-nilai etis yang seharusnya dijunjung dalam pemerintahan lokal.

Pertama, kasus “Blok Medan yang muncul dalam sidang suap Gubernur Maluku Utara menimbulkan pertanyaan serius soal konflik kepentingan. Istilah ini merujuk pada pengurusan izin tambang yang, menurut saksi, berkaitan dengan bisnis keluarga Bobby yakni usaha tambang milik sang istri, Kahiyang Ayu.

Fakta bahwa nama usaha keluarga disebut dalam konteks pengurusan izin yang diwarnai gratifikasi, menggambarkan ketidakterpisahannya urusan publik dan kepentingan pribadi dalam lingkar kekuasaan. Ini adalah pelanggaran etika publik yang fundamental, pemimpin daerah seharusnya menjaga jarak tegas antara jabatan dan kepentingan keluarga atau jaringan bisnis.

Kedua, pada level loyalitas politik dan komitmen terhadap partai, Bobby juga menunjukkan kegamangan etis yang patut dipertanyakan. Ketika masih menjadi kader PDI Perjuangan partai yang mengusungnya menjadi Wali Kota Medan, ia justru berbalik arah dan mendukung Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024.

Keputusan ini memang sah secara politik, tetapi secara moral mencerminkan oportunisme. Ia tidak mundur secara elegan, melainkan berpindah haluan menjelang kontestasi besar, dan akhirnya dipecat. Perilaku ini menunjukkan rendahnya penghormatan terhadap etika loyalitas dan konsistensi politik, dua nilai penting dalam membangun kepercayaan konstituen dan partai pengusung.

Ketiga, proyek gagal lampu pocong memperlihatkan buruknya pengelolaan publik dan rendahnya standar akuntabilitas. Ketika proyek tersebut menuai sorotan karena bentuk yang janggal dan pengerjaan yang buruk, Bobby memilih meminta maaf secara publik langkah yang memang patut diapresiasi. Namun, permintaan maaf tersebut tidak serta-merta menghapus pertanyaan tentang lemahnya pengawasan, transparansi, dan integritas dalam perencanaan proyek. Gagalnya proyek tersebut bukan hanya soal estetika atau teknis, tetapi mencerminkan minimnya kepemimpinan yang berorientasi pada kualitas dan efisiensi penggunaan uang rakyat.

Keempat, dalam kasus sengketa empat pulau antara Sumut dan Aceh, Bobby disebut sebagai aktor yang mendorong agresi administratif demi klaim wilayah yang kaya sumber daya. Meskipun dalam kacamata pembangunan hal ini bisa dibaca sebagai upaya memperluas pengaruh daerah, namun dari sisi etika, langkah itu mencerminkan politik teritorial berbasis kepentingan, bukan pendekatan dialogis dan konstitusional. Ketegangan antardaerah yang dibiarkan membesar hanya akan menambah daftar kegagalan dalam mengedepankan prinsip pemerintahan yang inklusif dan beradab.

Kelima, dalam tudingan ekonom Faisal Basri terkait penyelundupan nikel ilegal, nama Bobby kembali muncul bersama Airlangga Hartarto. Meski belum ada putusan hukum, fakta bahwa nama Bobby dikaitkan dengan praktik penyelundupan nikel yang merugikan negara triliunan rupiah menunjukkan seriusnya persepsi publik terhadap moralitas pengelolaan sumber daya alam. Penyalahgunaan kewenangan atau perlindungan terhadap praktik tambang ilegal menunjukkan potensi pelanggaran etik yang lebih besar daripada sekadar pelanggaran administratif.

Terakhir, penetapan tersangka terhadap orang dekatnya Kadis PUPR Topan Obaja Ginting dalam kasus korupsi proyek jalan di Sumut, memperkuat kesan bahwa lingkungan kekuasaan Bobby terkontaminasi praktik tidak bersih. Walaupun tidak secara langsung menjerat dirinya, kasus ini menyentil kemampuan Bobby sebagai pemimpin dalam membangun sistem birokrasi yang antikorupsi dan bebas KKN. Etika pemerintahan bukan hanya soal niat baik pribadi, tetapi soal sejauh mana seorang kepala daerah mampu menegakkan prinsip integritas dalam sistem yang ia pimpin.

Jika dikaji secara keseluruhan, enam kontroversi yang melibatkan Bobby Nasution ini membentuk pola yang konsisten: lemahnya pengawasan, kaburnya batas kepentingan pribadi dan publik, serta menguatnya indikasi penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan politik maupun ekonomi. Ini bukan sekadar serangkaian insiden, tapi sinyal kegagalan etika dalam kepemimpinan politik lokal yang tidak boleh diabaikan.

Dalam konteks demokrasi yang sehat, seorang pemimpin harus menjadi panutan moral, bukan hanya administrator teknis. Dan dalam hal ini, Bobby Nasution dengan segala status, koneksi, dan peluang besar yang ia miliki tampaknya sedang gagal menjawab harapan itu.

Tameng Akuntabilitas Politik dan Hukum

Dalam dinamika politik Indonesia, relasi kekuasaan sering kali menciptakan benteng pelindung bagi elite yang berada di pusat jejaring pengaruh. Ketika politik tidak hanya menjadi ajang kompetisi ide dan kebijakan, tetapi juga tempat berjalinnya kepentingan keluarga, bisnis, dan kekuasaan, maka prinsip akuntabilitas publik bisa terancam. Dalam konteks ini, posisi Bobby Nasution sebagai menantu Presiden Joko Widodo, dan kini menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara, tidak bisa dipisahkan dari perbincangan soal privilege kekuasaan dan bagaimana hal itu bisa menciptakan ruang kebal dari pengawasan maupun penegakan hukum.

Nama Bobby Nasution tidak lagi hanya dikenal sebagai tokoh muda yang meniti karier politik dari bawah. Ia masuk ke dunia politik melalui jalur istimewa: menantu Presiden yang kemudian dengan cepat menempati posisi strategis sebagai Wali Kota Medan, lalu melenggang ke kursi Gubernur Sumut. Namun, semakin tinggi posisi yang ia duduki, semakin besar pula sorotan terhadapnya terutama ketika enam kontroversi besar menyeruak ke permukaan dan menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah hukum dan pengawasan politik masih bekerja secara adil ketika yang terlibat adalah bagian dari keluarga kekuasaan?

Salah satu kasus yang paling mencolok adalah skandal Blok Medan”, yang disebut dalam sidang suap Abdul Ghani Kasuba di Ternate. Kesaksian bahwa istilah "Blok Medan" merujuk pada usaha tambang yang dikaitkan dengan istri Bobby, Kahiyang Ayu, menunjukkan adanya indikasi keterlibatan keluarga kekuasaan dalam aktivitas ekonomi yang diduga menyalahgunakan fasilitas perizinan daerah. Namun, hingga kini, belum ada upaya penelusuran hukum lebih lanjut terhadap dugaan tersebut. Publik pun bertanya: apakah status sebagai bagian dari keluarga mantan Presiden telah membentuk tembok tak terlihat yang menghalangi proses hukum menyentuh para elite ini?

Tak hanya dalam perkara tambang, dalam isu penyelundupan nikel ilegal, nama Bobby kembali disorot. Ekonom senior Faisal Basri secara terbuka menyebut Bobby dan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sebagai figur yang patut diselidiki dalam jaringan penyelundupan nikel yang merugikan negara triliunan rupiah. Tudingan tersebut bukan berasal dari sembarang pihak, melainkan dari akademisi yang dikenal kritis dan berbasis data. Namun, hingga saat ini, tidak tampak tanda-tanda pengusutan serius terhadap nama-nama yang disebut, seakan ada garis tak kasatmata yang melindungi elite politik tertentu dari pengawasan hukum.

Kasus lainnya seperti proyek gagal lampu pocong dan korupsi proyek jalan oleh orang dekatnya pun menunjukkan pola yang serupa. Gagalnya proyek lampu hias di Medan yang menyebabkan pemborosan uang negara hanya berujung pada permintaan maaf publik dari Bobby.

Padahal, sebagai kepala daerah, ia seharusnya bertanggung jawab penuh atas kualitas pengawasan proyek-proyek tersebut. Begitu juga dengan penetapan tersangka terhadap Topan Obaja Putra Ginting, orang dekat Bobby, dalam kasus korupsi di Sumut. Meski Bobby tidak terseret langsung, masyarakat bisa membaca bahwa ia memiliki lingkaran kekuasaan yang sarat kepentingan, dan anehnya, dirinya tetap berada di luar jangkauan penyelidikan atau evaluasi publik yang serius.

Semua ini semakin memperkuat kesan bahwa relasi kekuasaan yang dimiliki Bobby Nasution telah menjadi perisai politik dan hukum. Ia bukan hanya pejabat daerah, tetapi juga bagian dari satu jaringan keluarga yang memiliki akses terhadap lembaga negara, jaringan partai, dan bahkan simpul-simpul bisnis nasional. Ketika seseorang berada dalam posisi seperti itu, maka sangat mungkin bahwa mekanisme checks and balances menjadi tumpul. Hukum bisa berubah selektif. Sorotan publik bisa diredam melalui kekuatan politik, media, dan pengaruh pusat.

Apalagi dalam konteks politik nasional pasca-Pilpres 2024, Bobby bukan hanya menantu mantan Presiden, tapi juga bagian dari poros baru kekuasaan yang mendukung pasangan Prabowo-Gibran. Dukungan politiknya terhadap Gibran menguatkan posisi Bobby dalam orbit kekuasaan nasional yang sedang terbentuk. Maka, tidak berlebihan jika sebagian publik menilai bahwa ia tidak hanya dilindungi oleh status keluarga, tetapi juga oleh konstelasi politik baru yang mengaburkan batas antara kepentingan pribadi, politik, dan negara.

Kesimpulannya, kedekatan Bobby Nasution dengan lingkaran kekuasaan nasional tampaknya memang telah menciptakan tameng terhadap akuntabilitas politik dan hukum. Dalam demokrasi yang sehat, tidak boleh ada satu pun warga negara termasuk keluarga Presiden, mantan maupun aktif yang berada di atas hukum. Namun, dalam praktiknya, privilege kekuasaan kerap membentengi elite dari pertanggungjawaban yang seharusnya mereka hadapi. Dan selama hal ini dibiarkan, maka keadilan bukan hanya tumpul ke atas, tapi hilang makna di mata rakyat yang menyaksikannya.

Antara Tokoh Muda dan Ancaman Dinasti Baru

Dalam peta politik Indonesia pascareformasi, harapan terhadap hadirnya tokoh-tokoh muda sebagai agen perubahan kerap menjadi salah satu sumber optimisme publik. Masyarakat mendambakan pemimpin baru yang bukan hanya segar secara usia, tetapi juga progresif secara gagasan, bersih dalam rekam jejak, dan berani memutus mata rantai praktik kekuasaan yang korup dan nepotistik.

Namun, harapan tersebut kini dihadapkan pada kenyataan yang tidak mudah terutama ketika munculnya tokoh-tokoh muda justru bersumber dari jejaring kekuasaan lama, atau bahkan menjadi simbol lahirnya dinasti politik baru. Bobby Nasution adalah contoh yang saat ini berada di tengah pusaran paradoks itu.

Sebagai menantu dari mantan Presiden Jokowi, Bobby mendapat sorotan sejak awal kemunculannya di panggung politik. Kemenangan dalam Pilkada Medan dan kemudian menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara merupakan lompatan karier yang sulit dibayangkan tanpa dukungan struktur kekuasaan pusat. 

Banyak yang semula menaruh harapan, bahwa Bobby dengan latar belakang milenial dan akses ke kekuasaan bisa menjadi jembatan antara politik tradisional dan aspirasi perubahan yang diidamkan generasi muda. Tapi, seiring waktu, serangkaian kontroversi yang menjerat namanya membuat publik mulai bertanya: apakah Bobby benar-benar representasi politik baru, atau hanya wajah muda dari sistem lama?

Keterlibatan namanya dalam berbagai kasus, memperlihatkan bahwa lingkungan sekitar Bobby tak sepenuhnya steril dari praktik buruk kekuasaan. Semua ini menimbulkan sinyal kuat bahwa politik gaya lama masih tumbuh subur dalam lingkaran elite muda yang berkuasa karena hubungan keluarga, bukan karena meritokrasi atau integritas.

Kekecewaan publik semakin dalam karena Bobby juga menunjukkan pola manuver politik yang sarat pragmatisme. Ketika mendukung pasangan Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024 meski masih menjadi kader PDI Perjuangan, Bobby memposisikan diri bukan sebagai pemimpin berprinsip, melainkan sebagai bagian dari strategi dinasti yang mempertahankan kekuasaan lewat jalur-jalur kekeluargaan dan konsolidasi elite. Pemecatannya dari PDIP pun tidak dibarengi refleksi politik yang menjelaskan sikapnya, melainkan justru memperkuat asumsi bahwa ia loyal bukan pada ideologi atau partai, melainkan pada kekuasaan yang sedang memihak.

Kondisi ini memunculkan pertanyaan mendasar: jika regenerasi politik justru menampilkan aktor-aktor muda yang mengulangi pola-pola nepotisme, patronase, dan konflik kepentingan, apakah publik masih bisa menaruh harapan pada mereka?

Alih-alih membawa perubahan, kehadiran tokoh muda dalam lingkaran dinasti bisa berujung pada institusionalisasi pragmatisme dan oligarki yang lebih licin dan sulit dihadang. Dinasti politik baru semacam ini mungkin tampil lebih modern, komunikatif, dan digital-savvy, namun tetap mengandalkan akses terhadap sumber daya kekuasaan bukan integritas atau transparansi untuk mengatur arah politik lokal maupun nasional.

Ironisnya, dalam kasus Bobby, kita tidak hanya menghadapi tokoh yang gagal menjawab ekspektasi publik, tapi juga kemungkinan munculnya dinasti kekuasaan pasca-Jokowi yang lebih sulit dipertanggungjawabkan secara moral maupun hukum. Ini bisa menjadi titik balik yang buruk bagi agenda reformasi dan demokratisasi lokal. Ketika politik tidak lagi menjadi tempat untuk pelayanan publik, melainkan sekadar warisan kekuasaan, maka regenerasi hanya akan menjadi kemasan baru dari isi lama yang rapuh dan korup.

Fenomena sebagaimana digambarkan diatas membuka ruang bagi kita untuk menarik satu kesimpulan penting: bahwa harapan publik terhadap regenerasi politik tidak boleh bergantung pada figur tunggal atau hubungan keluarga kekuasaan. Harapan harus dibangun melalui sistem yang sehat, partai yang transparan, media yang kritis, serta masyarakat sipil yang berani menuntut akuntabilitas. Jika tidak, kita hanya akan berpindah dari satu wajah ke wajah lain, tanpa pernah keluar dari bayang-bayang politik yang buruk.

Maka, menjawab pertanyaan awal: apakah publik masih bisa menaruh harapan pada tokoh muda seperti Bobby Nasution? Jawabannya: hanya jika tokoh-tokoh muda itu mampu melepaskan diri dari warisan kuasa, menunjukkan keberanian moral, dan bertindak sebagai pelayan rakyat, bukan pewaris takhta. Jika tidak, maka ini bukan awal dari era baru melainkan babak lanjutan dari dinasti politik yang lebih pragmatis dan mengesankan menghalalkan segala cara  untuk bisa berkuasa.

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar