Ambalat Memanas Lagi: Rebutan Laut Kaya Minyak Belum Usai

Ambalat Memanas Lagi: Rebutan Laut Kaya Minyak Belum Usai
law-justice.co -
Blok Ambalat kembali menjadi sorotan setelah ketegangan antara Indonesia dan Malaysia memuncak terkait klaim wilayah perairan kaya sumber daya tersebut. Isu ini bukan baru terjadi, namun setiap kali muncul ke permukaan, selalu memicu respons diplomatik yang panas.
Ambalat adalah wilayah laut seluas sekitar 15.235 kilometer persegi yang terletak di perairan Laut Sulawesi, tepatnya di sebelah timur Kalimantan Utara. Lokasinya berada dalam zona strategis dan diperkirakan menyimpan cadangan minyak dan gas bumi yang besar—menjadikannya kawasan rebutan bernilai tinggi, baik secara ekonomi maupun geopolitik.
Dalam sejarahnya, konflik klaim atas Ambalat mencuat sejak Malaysia menerbitkan peta wilayah tahun 1979, yang memasukkan Blok Ambalat ke dalam wilayahnya. Peta ini secara sepihak bertentangan dengan klaim Indonesia dan menjadi akar dari perselisihan yang belum sepenuhnya terselesaikan hingga kini.
Sebuah kajian oleh Ida Kurnia berjudul “Sengketa Antara Indonesia dan Malaysia di Kawasan Ambalat” mengungkap bahwa sejak saat itu, berbagai insiden di lapangan terus terjadi—termasuk ketegangan antara kapal militer kedua negara di kawasan tersebut.
Ambalat bukan sekadar soal tapal batas, melainkan juga soal kedaulatan, akses sumber daya alam, dan kepentingan nasional. Dengan nilai strategis yang begitu tinggi, tidak heran jika isu ini kembali menghangat seiring dinamika politik dan keamanan kawasan.
Kini, dunia menanti bagaimana langkah diplomasi kedua negara dalam meredam eskalasi dan mencari jalan keluar yang adil dan bermartabat—sekaligus memastikan bahwa konflik ini tidak berkembang menjadi krisis terbuka.
Pekan lalu, Indonesia dan Malaysia mencapai kesepakatan penting soal pengelolaan bersama Blok Ambalat, wilayah kaya sumber daya alam yang telah lama jadi sengketa.
Meski disambut sebagai langkah maju dalam hubungan bilateral, kesepakatan ini justru memicu keresahan di negara bagian Sabah, Malaysia. Para pemimpinnya menuntut penjelasan, khawatir kepentingan mereka di kawasan itu terganggu.
Blok Ambalat memang kerap jadi sumber ketegangan. Seperti yang terjadi saat ini, Blok Ambalat kembali memanaskan politik Malaysia. Lantas, bagaimana duduk perkaranya?
Bom Waktu Warisan Kolonial
Ribuan tahun silam, saat kerajaan-kerajaan kuno di Asia Tenggara berdiri, konsep perbatasan belum menjadi sesuatu yang penting.
Sebab, sistem kekuasaan saat itu bersifat poros. Maksudnya, luas wilayah ditentukan berdasarkan jarak suatu tempat dengan pusat kerajaan. Semakin dekat suatu wilayah dengan pusat kerajaan, semakin kuat kendali raja. Sebaliknya, wilayah yang jauh dari pusat cenderung diabaikan.
"Kerajaan dianggap sebagai inti yang ditentukan oleh porosnya, bukan perimeter atau perbatasannya," cetus Thomas Suarez dalam bukunya Early Mapping of Southeast Asia (1999).
Semua berubah ketika kolonialisme Barat masuk. Konsep batas wilayah mulai diperkenalkan oleh kekuatan kolonial seperti Inggris, Belanda, Spanyol, dan Portugal.
Mereka membagi wilayah Asia Tenggara berdasarkan kesepakatan bilateral dan sering kali dengan menggunakan garis astronomis, tanpa mempertimbangkan realitas sosial dan budaya setempat.
Dari sinilah terbentuk wilayah-wilayah yang kelak menjadi Indonesia, Malaysia, Laos, dan negara-negara Asia Tenggara lainnya, termasuk Blok Ambalat.
Soal Ambalat, pada 1891, Inggris dan Belanda menandatangani perjanjian penting berjudul "Netherlands and British Boundary Treaty in the Island of Borneo 1891". Dalam perjanjian disepakati bahwa wilayah di Selatan garis paralel 4°10` Lintang Utara menjadi milik Belanda.
Regulasi ini menetapkan batas maritim Hindia Belanda, dan di dalamnya termasuk wilayah laut yang kini dikenal sebagai Blok Ambalat.
Namun, seperti dicatat Thomas Suarez dalam bukunya Early Mapping of Southeast Asia (1999), pembagian semacam ini bersifat sepihak dan tidak mempertimbangkan eksistensi kerajaan lokal atau aspirasi masyarakat adat.
Ketika para kolonial angkat kaki pasca-Perang Dunia II, garis-garis batas buatan ini justru menjadi bom waktu geopolitik yang diwarisi oleh negara-negara modern.
Gejolak pada Ambalat
Ambalat merupakan laut seluas 15.235 kilometer persegi di Laut Sulawesi (Selat Makassar). Diyakini, terdapat `harta karun` berupa cadangan minyak dan gas melimpah yang sangat strategis dan bernilai ekonomis bagi kedua negara.
Menurut riset Ida Kurnia berjudul "Sengketa Antara Indonesia dan Malaysia di Kawasan Ambalat", persengketaan atas Ambalat pertama kali mencuat pada 1979.
Penyebabnya, Malaysia mengeluarkan Peta Nasional Malaysia 1979. Lewat peta ini, Malaysia menetapkan luas laut teritorial sejauh 12 mil yang diukur dari garis dasar pantai terluar. Dari sini, Ambalat diklaim masuk Malaysia.
Dimana peta sumber masalah tersebut memasukkan wilayah negara asing berdasarkan batas-batas yang dikeluarkan Malaysia sendiri tanpa pernah berdiskusi sebelumnya. Dengan demikian, mengacu pada aturan internasional, akibat banyak negara protes, peta tersebut tak bisa digunakan.
Indonesia sendiri makin memperkuat klaim atas Ambalat lewat ratifikasi Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982 (UNCLOS 1982) khususnya mengenai negara kepulauan Berdasarkan pasal 47 UNCLOS 1982. Artinya, Ambalat sah masuk Indonesia.
"Dengan didasarkan pada fakta sejarah, kondisi alamiah, serta aturan hukum laut internasional, klaim yang diajukan oleh pihak Malaysia terhadap blok Ambalat menjadi tidak berdasar," tulis riset Universitas Indonesia berjudul "Klaim sepihak Ambalat oleh Malaysia dan implikasinya bagi hubungan Indonesia-Malaysia" (2005).
Malaysia tetap bersikeras mengklaim wilayah Ambalat sebagai bagian dari negaranya. Bahkan pada tahun 2005, Malaysia sempat memberikan izin eksplorasi minyak di wilayah itu kepada perusahaan Shell. Tindakan ini langsung memicu kemarahan Indonesia, karena Ambalat berada di wilayah yang juga diklaim oleh Indonesia. Sejak saat itu, sengketa Ambalat menjadi salah satu persoalan perbatasan yang sulit diselesaikan hingga kini.
Komentar