Apakah Kritik Pemerintah Lewat Lagu = Hak Berekspresi?

Viral Lagu Bayar Polisi di Takedown, Band Sukatani Disebut Dibungkam. (Istimewa).
Jakarta, law-justice.co - Dasar Hukum Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi
Pada dasarnya, setiap orang dijamin haknya untuk berpendapat, berserikat, dan berkumpul sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945:
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Selain itu, Pasal 28F UUD 1945 juga menjamin hak berekspresi, yaitu:
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Walau demikian, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Selanjutnya, Indonesia juga memiliki UU 9/1998 yang menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Adapun Pasal 18 ayat (1) UU 9/1998 mengatur bahwa barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi ketentuan UU 9/1998, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun.
Kemudian, UU HAM menjamin warga negara untuk bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (2):
Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara.
Berkaitan dengan pertanyaan Anda, sejak orde baru, terdapat banyak sastrawan dan musisi yang turut melakukan perlawanan simbolik terhadap pemerintahan melalui karyanya. Musik dan karya yang digunakan dalam menyuarakan ketidakadilan sering digunakan dalam gerakan sosial disebut dengan musik protes.
Lantas, apakah karya yang dianggap sebagai perlawanan simbolik terhadap pemerintahan merupakan pelanggaran hukum?
Batasan Terhadap Kritik
Penting untuk diketahui bahwa kritik terhadap pemerintah (misalnya melalui karya dan/atau musik), tidak dapat serta-merta dikualifikasikan sebagai tindak pidana penghinaan, kecuali memenuhi unsur penghinaan sebagaimana diatur dalam Pasal 240 dan Pasal 241 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[3] yaitu tahun 2026. Berikut adalah bunyi pasalnya:
Pasal 240 jo. Pasal 79 ayat (1)
Setiap Orang yang Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan menghina pemerintah atau lembaga negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta.
Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta.
Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.
Aduan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara tertulis oleh pimpinan pemerintah atau lembaga negara.
Pasal 241 jo. Pasal 79 ayat (1)
Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta.
Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta.
Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.
Aduan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara tertulis oleh pimpinan pemerintah atau lembaga negara.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 240 UU 1/2023, yang dimaksud dengan "menghina" adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak kehormatan atau citra pemerintah atau lembaga negara, termasuk menista atau memfitnah. Menghina berbeda dengan kritik yang merupakan hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui unjuk rasa atau menyampaikan pendapat yang berbeda dengan kebijakan pemerintah atau lembaga negara.
Dalam negara demokratis, kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif, walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindakan pemerintah atau lembaga negara. Pada dasarnya, kritik dalam ketentuan ini merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkepentingan masyarakat.
Adapun “pemerintah” adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Sedangkan dalam KUHP lama yang masih berlaku saat artikel ini diterbitkan, penghinaan terhadap pemerintah diatur dalam beberapa pasal, contohnya:
Pasal 134 jo. Pasal 3 Perma 2/2012
Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun, atau pidana denda paling banyak Rp4.5 juta.
Pasal 137 jo. Pasal 3 Perma 2/2012
Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4.5 juta.
Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan pencariannya, dan pada saat itu belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, maka terhadapnya dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.
Pasal 136 bis
Pengertian penghinaan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 134 mencakup juga perumusan perbuatan dalam pasal 135, jika hal itu dilakukan di luar kehadiran yang dihina, baik dengan tingkah laku di muka umum, maupun tidak di muka umum dengan lisan atau tulisan, namun di hadapan lebih dari empat orang, atau di hadapan orang ketiga, bertentangan dengan kehendaknya dan oleh karena itu merasa tersinggung.
Pasal 154 jo. Pasal 3 Perma 2/2012
Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun atau pidana denda paling banyak Rp4.5 juta.
Namun, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 013-022/PUU-IV/2006 telah membatalkan pasal-pasal penghinaan terhadap presiden dalam KUHP lama (Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP) sehingga kritik terhadap presiden atau pejabat negara tidak dapat serta-merta dikualifikasikan sebagai tindak pidana penghinaan, kecuali memenuhi unsur penghinaan yang jelas dan spesifik terhadap individu.
Kemudian, menurut hemat kami, kritik yang disampaikan dalam lagu tidak boleh mengandung unsur penghinaan sebagaimana dijelaskan, pencemaran nama baik, atau fitnah sebagaimana diatur dalam Pasal 310 KUHP serta Pasal 433 UU 1/2023, dan Pasal 311 KUHP serta Pasal 434 UU 1/2023.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa membuat lagu yang berisi kritik terhadap pemerintah diperbolehkan dan dilindungi oleh hukum, selama tidak melanggar batasan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait penghinaan, pencemaran nama baik, ujaran kebencian, dan fitnah.
Sebagai contoh, disarikan dari artikel Lirik Lagu `Bayar Bayar Bayar` Sukatani Dinilai Kritik Sosial yang Dilindungi Hukum, band di Indonesia yang lirik-lirik lagunya memuat kritik sosial tidak melanggar peraturan apapun ketika mengkritik suatu fenomena sosial. Sebagai karya seni, hal ini harus dihargai. Kritik lagu tersebut juga bisa dijadikan masukan yang dapat menjadi bahan bakar untuk perbaikan institusi. Selain itu, kritik sosial melalui seni entah seni rupa ataupun musik adalah bagian dari hak untuk berekspresi di negara yang demokratis.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Komentar