Rektor UI, Prof. Dr. Ir. Heri Hermansyah, S.T., M.Eng., IPU.

Awal Jalan Rektor Heri, dari Disertasi Bahlil hingga TNI Masuk Kampus

Selasa, 01/07/2025 09:34 WIB
Rektor UI, Heri Hermansyah. Foto: Dok UI

Rektor UI, Heri Hermansyah. Foto: Dok UI

Jakarta, law-justice.co - Tangan kanan Yahya Cholil Staquf mengangkat tinggi tangan kiri Heri Hermansyah. Di satu sisinya lagi, tangan pimpinan PBNU sekaligus Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) UI ini pun melakukan hal sama untuk Ari Kuncoro. Tiga orang di atas panggung itu tersenyum lebar. Pada awal Desember 2024, momen tersebut menjadi penanda pucuk kepemimpinan kampus Universitas Indonesia telah berganti. Heri meneruskan tongkat estafet keberlanjutan kampus ‘kuning’ dari Ari Kuncoro usai meraup kemenangan mutlak atas dua pesaingnya.

Pesaing Heri bukan kaleng-kaleng. Ada nama Ari Syam, guru besar dari fakultas kedokteran, yang sempat masuk jajaran kepemimpinan PB IDI. Di masa Covid-19, Ari sering tampil di layar kaca mengedukasi soal sebaran pandemi. Satu pesaing lagi, Teguh Dartanto-berstatus ekonom yang memiliki gelar guru besar dan aktif menjadi komisaris di industri perbankan.

Adapun Heri maju jadi Rektor UI berbekal status Guru Besar termuda dalam sejarah Fakultas Teknik Universitas Indonesia pada usia 37 tahun. Secara keseluruhan, dia masuk dalam jajaran tiga besar guru besar yang berusia 30-an. Hanya butuh 12 tahun di usianya kini yang 49 untuk menjadi nomor orang satu di UI.

Tiga bulan saat menjabat, Heri menjadi sorotan nasional karena kasus dugaan pelanggaran etik Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia yang berkuliah di UI. Sang menteri diduga kuat tidak jujur dalam penggunaan data dalam disertasi, sebab diperoleh tanpa izin dari narasumber dan penggunaannya tidak transparan.

Lain itu, terdapat pelanggaran standar akademik, di mana Bahlil Lahadalia diterima dan lulus dalam waktu singkat tanpa memenuhi syarat akademik yang ideal. Disertasi Bahlil juga diduga ditulis oleh pihak lain atau dengan kata lain ada ‘joki’ di balik disertasi bertajuk Kebijakan, Kelembagaan, dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia itu.              

Heri kala itu mengambil posisi objektif, dengan mempertimbangkan empat organ UI. Hasilnya yudisium Bahlil tak dilakukan sebelum disertasinya direvisi. “Menunda yudisium sampai revisi selesai. Terus yang kedua, nambah publikasinya. Ini kesepakatan bersama. Bukan kesepakatan rektor,” ujar Heri.

Tak lama setelah itu, kampus UI pun ramai saat acara konsolidasi mahasiswa didatangi TNI. Persisnya, Komandan Kodim 0508/Depok, Kolonel Inf Iman Widhiarto yang mendatangi konsolidasi pada malam hari itu. Menjadi ramai karena kehadiran militer dalam ruang-ruang sipil terkesan sensitif seusai polemik dwifungsi ABRI dihudpkan kembali melalui revisi UU TNI.

Saat itu, TNI mengklaim hanya penuhi undangan dari mahasiwa untuk diskusi. Namun, satu bulan sebelumnya atau tepatnya saat revisi UU TNI sedang diprotes besar-besaran lewat demonstrasi. Mahasiswa UI pun terlibat dalam aksi massa. Tak sedikit dari mereka pun menjadi korban dari aksi represif aparat yang mengkonter unjuk rasa.

Pada kasus ini, Heri tidak terlalu ambil pusing. Baginya, tidak ada intervensi militer dalam ruang-ruang kebebasan berekspresi atau mengemukakan berpendapat di lingkungan kampus. "Di kampus ini ada mahasiswa, dosen, dan dalam kependidikan. Seluruh sivitas akademi di universitas tentunya dijamin kebebasan mimbar akademiknya," tuturnya.

Teranyar, UI kini dihadapi penerimaan mahasiswa baru. Heri tetap meneruskan kebijakan seleksi masuk secara mandiri atau dikenal jalur SIMAK UI dilakukan secara daring. Padahal, banyak ditemukan dugaan penyimpangan, seperti adanya joki yang mengerjakan untuk calon mahasiswa agar bisa lolos seleksi. Tawaran jasa joki SIMAK UI bahkan beredar luas di media sosial, lengkap dengan tarif yang dipatok mulai dari Rp 2-4 juta, tergantung dari bagian ujian mana yang ingin dijokikan.

Merespons isu ini, Heri bersikap tegas soal siapa saja yang terlibat bakal diproses hukum. Jika statusnya adalah mahasiswa atau bagian civitas akademika, maka mulanya dijatuhkan sanksi pemecatan, sebelum akhirnya dijerat pasal pidana. Bagi dirinya, SIMAK UI digelar secara daring demi menciptakan inklusifitas bagi mereka calon mahasiswa di kawasan luar daerah, terlebih masyarakat di kawasan terpencil atau tertinggal, terdepan, terluar.

Heri bilang telah menyiapkan mekasime baru untuk melacak praktik per-jokian dalam SIMAK UI. “....Kami tidak bakal membakar rumahnya karena ada tikusnya atau pelaku joki. Kita cari tikusnya. Rumahnya ini kita bagusin keamanannya,” kata dia.

Ketatnya masuk kampus ‘yellow jacket’ demi menjaga kualitas kampus. Di zaman Heri, UI menempati peringkat global ke-189 dalam pemeringkatan QS World University Rankings (QS WUR) 2026 yang dirilis pada pertengahan Juni. Capaian ini melanjutkan tren positif UI dalam 16 tahun terakhir, setelah sebelumnya berada di peringkat ke-206 dunia dan peringkat ke-8 di Asia Tenggara pada 2025. Dengan kata lain, UI menembus jajaran 200 universitas terbaik dunia.

Heri bilang setiap kenaikan peringkat adalah bentuk pengakuan global atas inovasi dan kontribusi UI. Pun dalam beberapa tahun belakangan, UI disebut memperkuat posisinya di level internasional melalui kolaborasi strategis dengan berbagai universitas dan lembaga riset terkemuka dunia. Ditambah, UI ikut memperkuat penelitian multidisiplin yang relevan dengan isu-isu global, serta mendorong hilirisasi hasil riset berdampak ke masyarakat dan industri.

Bicara level global, Heri mendorong kerja sama dalam forum BRICS+ University Rector Forum yang dihelat di Brazil pada awal Juni 2025. Dia menawarkan kerja sama dalam program pendidikan gelar ganda, inisiatif penelitian bersama, pendanaan bersama, pertukaran akademik dosen, staf dan mahasiswa, profesor tamu/fellowship dan pemberian beasiswa untuk mahasiswa asing.

Di level kebijakan lokal, Heri tidak menginginkan adanya mahasiswa gagal studi akibat tidak mampu membayar uang kuliah. Dia bilang bakal berupaya mendorong perluasan akses pendidikan, memperkokoh kualitas pendidikan, dan memberi bantuan beasiswa bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk mewujudkan Asta Cita yang merupakan bagian dari program pemerintah Presiden Prabowo Subianto. “Apabila ada yang lolos masuk UI dan tidak mampu membayar UKT terendah, maka akan kita jadikan anak angkat,” katanya.

Perjalanan Heri masih ada empat tahun lebih ke depan. Segala isu yang menerpa UI secara institusi pendidikan besar di Indonesia pun terbuka lebar di waktu mendatang. Belum lagi terpaan isu personal. Ambil contoh Rektor UI sebelumnya, Ari Kuncoro, yang tak luput dari lampu sorot kamera pemberitaan. Dia terkenal relatif dekat dengan rezim kekuasaan, seiring statusnya yang sempat menjadi komisaris BUMN perbankan.

Di UI, tak sedikit pula akademisi yang satu frekuensi dengan pemerintah ataupun sebaliknya. Ada yang karena selaras pemikiran dengan kebijakan pemerintah, tapi ada pula yang memiliki relasi kuasa. Demo-demo mahasiswa atas kebijakan kampus dan nasional pun bisa kapan saja menggelora kala melihat posisi rektorat tak merefleksikan bukan saja pilar Tridharma Perguruan Tinggi, tapi keberpihakan dan kepentingan publik yang terpinggirkan.   

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar