Nawaitu Redaksi
Misteri Sakitnya Jokowi; Psikosomatik dan Post Power Sindrom Kekuasaan

Seperti Idap Penyakit Serius, Wajah Terkini Jokowi Tampak Aneh. (Istimewa).
Pengamat Politik, Rocky Gerung ikut buka suara mengomentari soal kondisi fisik mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang belakangan ini ramai dibicarakan publik.Dia menduga Jokowi mengalami psikosomatik, bukan sekadar alergi seperti yang banyak diperkirakan orang. "Sepertinya bukan alergi, ada semacam psikosomatik. Kalau alergi itu kan kimia," ujar Rocky Gerung dalam pernyataannya sebagaimana dikutip law-justice.co 23/06/2025.
Psikosomatik merupakan gangguan kejiwaan yang tidak bisa diatasi oleh tubuh secara alami. Rocky juga menyinggung soal kebiasaan Jokowi yang disebutnya ketagihan terhadap sorotan kamera, bahkan setelah tidak lagi menjabat sebagai presiden. Kemana mana maunya di video untuk menunjukkan eksistensinya. Bahkan diduga ia memobilisasi massa untuk datang ke rumahnya di Solo biar seolah olah ia adalah mantan presiden yang sangat dikagumi oleh rakyatnya.
Rocky Gerung menduga tekanan mental yang dialami Jokowi tidak hanya berasal dari dirinya sendiri, tetapi juga karena situasi yang dihadapi putranya, Gibran Rakabuming Raka, yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden dan juga kerap menjadi sasaran kritik publik."Pada saat mencandu yang terus terjadi justru efek negatifnya. Dia terus melayani, pada saat yang sama anaknya dipersekusi oleh netizen, dan itu yang terjadi," terang Rocky.
Mencermati fenomena tersebut diatas, memunculkan serangkaian pertanyaan : Apakah Jokowi memang mengalami kesulitan melepaskan diri dari panggung kekuasaan setelah lengser, dan bagaimana hal ini tercermin dalam perilaku publiknya?.
Benarkah Jokowi menunjukkan gejala gangguan psikosomatik, dan sejauh mana tekanan mental serta lingkungan politik (termasuk posisi Gibran) memperparah kondisi ini?. Apakah upaya mempertahankan citra dan dukungan publik pascakekuasaan justru memperlihatkan kegagalan Jokowi dalam transisi menjadi ‘mantan’ presiden yang elegan?
Menderita post-power syndrome
Alih-alih menarik diri dari sorotan, Jokowi pasca lengser, justru tampak semakin menonjol di ruang publik. Dalam berbagai momen pascalengser, ia kerap muncul dalam video-video pendek, menyapa massa, menghadiri acara-acara di luar kapasitas kenegaraan, dan bahkan terkesan ‘mengatur panggung’ untuk memastikan kamera selalu menangkap keberadaannya. Fenomena ini memunculkan satu pertanyaan besar: apakah Jokowi sedang mengalami kesulitan melepaskan diri dari panggung kekuasaan?
Fenomena semacam ini dalam dunia psikologi politik dikenal sebagai post-power syndrome sebuah kondisi psikologis di mana mantan pemimpin merasa kehilangan makna hidup setelah tidak lagi memiliki kekuasaan. Bagi sebagian mantan pejabat tinggi, sorotan publik dan pengaruh yang dulu menyertai jabatan menjadi candu tersendiri. Ketika jabatan itu hilang, mereka terjebak dalam kekosongan eksistensial yang sulit diisi oleh rutinitas biasa.
Dalam kasus Jokowi, gejala-gejala ini mulai tampak jelas. Ia tidak menghilang dari radar publik, sebagaimana yang lazim dilakukan oleh sebagian besar mantan pemimpin dunia yang memilih hidup tenang dan menjauh dari hiruk-pikuk politik. Justru sebaliknya, Jokowi tetap aktif memelihara citra publiknya. Dari unggahan di media sosial yang terus bergulir, kemunculan di tengah massa di Solo, hingga dugaan bahwa ia memobilisasi simpatisan untuk menciptakan kesan bahwa dirinya masih sangat dicintai semuanya menunjukkan adanya upaya mempertahankan eksistensi.
Perilaku Jokowi yang tetap aktif tampil juga bisa dilihat sebagai bentuk simbolik dari keengganannya untuk benar-benar melepas peran sebagai pemimpin. Ia tampak ingin tetap memegang kendali atas opini publik, membentuk narasi tentang dirinya sendiri, dan memastikan bahwa bayangannya masih membekas dalam imajinasi rakyat, meskipun tanpa jabatan. Bahkan ketika Gibran, putranya, kini menduduki posisi strategis sebagai Wakil Presiden, bayang-bayang pengaruh Jokowi seolah tetap ingin hadir baik untuk mendampingi maupun melindungi.
Namun di balik semua itu, muncul ironi yang menyedihkan. Mantan presiden yang dahulu dielu-elukan karena kesederhanaannya, kini terlihat berusaha keras mempertahankan pesona itu di tengah perubahan zaman dan gelombang kritik. Ketika seseorang terlalu lama hidup dalam pusaran kekuasaan dan sorotan, sangat mungkin ia merasa kehilangan jati diri begitu panggung itu runtuh. Itulah luka psikis yang bisa ditinggalkan oleh kekuasaan.
Dengan demikian, apa yang tampak di permukaan kehadiran publik yang intens, keterlibatan aktif di media sosial, dan kedekatan dengan massa bisa saja bukan sekadar strategi politik, melainkan cerminan dari kegamangan pribadi dalam menjalani transisi dari pemimpin besar menjadi “mantan”. Dalam konteks inilah, kita patut bertanya: apakah Jokowi benar-benar siap menjadi warga biasa, atau justru tengah terjebak dalam bayang-bayang kejayaan yang telah lewat?
Mengidap psikosomatik.
Salah satu hal yang ramai dibicarakan belakangan ini adalah kondisi fisik Jokowi yang tampak menurun wajahnya yang pucat, bengkak, kulit yang kemerahan, dan tubuh yang terlihat kurang segar. Awalnya, banyak pihak menduga ini hanyalah gejala alergi biasa. Namun pengamat politik Rocky Gerung punya pandangan berbeda: apa yang dialami Jokowi mungkin bukan sekadar alergi, melainkan gejala psikosomatik.
Psikosomatik adalah kondisi ketika tekanan psikologis atau emosional muncul dalam bentuk keluhan fisik. Dalam banyak kasus, tubuh menjadi perpanjangan dari beban mental yang tak bisa disalurkan. Gejala ini tidak datang tiba-tiba; ia lahir dari proses panjang tekanan yang menumpuk dan tak tertuntaskan. Dalam konteks ini, Rocky menilai bahwa Jokowi kemungkinan besar sedang berada dalam tekanan psikis berat dan tubuhnya mulai memberi sinyal lewat keluhan fisik yang tak bisa dijelaskan secara medis biasa.
Dari luar, Jokowi tampak aktif dan terus hadir di ruang publik. Namun di balik layar, bisa jadi ia tengah mengalami guncangan batin sebagai mantan pemimpin yang kehilangan pusat gravitasi kekuasaannya. Selama satu dekade, ia adalah pengambil keputusan tertinggi, simbol kekuasaan, dan figur sentral politik nasional. Kini, semua itu lepas. Panggung utama sudah berpindah. Yang tersisa hanya ruang kosong yang, bagi sebagian mantan pemimpin, sangat sulit dihadapi.
Namun beban Jokowi tidak berhenti sampai di situ. Anak sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, kini menjabat sebagai Wakil Presiden sebuah posisi prestisius yang datang bukan tanpa risiko. Gibran, dengan usianya yang relatif muda dan rekam jejak politik yang singkat, menjadi bulan-bulanan kritik publik. Di media sosial, Gibran sering dianggap simbol dari politik dinasti. Ia tak hanya dituntut untuk tampil cerdas dan matang, tapi juga harus membuktikan bahwa posisinya bukan semata-mata warisan dari ayahnya.
Bagi seorang ayah, melihat anaknya diserang secara personal, direndahkan secara politik, dan dijadikan objek kemarahan publik tentu bukan hal mudah. Apalagi ketika sebagian besar kritik yang ditujukan ke Gibran juga menyeret nama sang ayah. Tekanan ganda inilah yang sangat mungkin memperparah kondisi mental Jokowi. Ia bukan hanya sedang memikul kegelisahan pribadi pasca-lengser, tapi juga harus menghadapi rasa bersalah, khawatir, dan marah atas situasi yang menimpa anaknya.
Dalam psikologi, dikenal istilah emotional displacement ketika seseorang mengalami tekanan psikologis yang kemudian termanifestasi secara fisik atau dialihkan dalam bentuk perilaku tidak biasa. Jika benar Jokowi kini menunjukkan gejala psikosomatik, maka itu bukan sekadar perkara tubuh yang lelah, melainkan sinyal bahwa ada ketidakseimbangan batin yang serius. Ia tampak terus bergerak, seolah ingin membuktikan bahwa dirinya masih relevan, masih kuat, masih “ada”. Tapi dalam keaktifan itu, tersimpan pertanyaan penting: apakah ia benar-benar sehat secara emosional?
Kondisi ini tentu patut menjadi perhatian. Sebab di balik senyum yang dilemparkan di depan kamera, bisa jadi ada luka batin yang belum sembuh. Seorang mantan presiden bukanlah manusia super. Ia tetaplah pribadi yang bisa lelah, kecewa, dan takut terutama ketika hidupnya selama bertahun-tahun diatur oleh ritme kekuasaan, dan kini harus kembali menjadi "warga biasa" dengan semua beban psikologis yang menyertainya.
Dalam konteks ini, Rocky Gerung tidak sedang asal bicara. Pernyataannya tentang kemungkinan psikosomatik pada Jokowi bukan hanya kritik politik, tapi juga ajakan untuk melihat sisi manusiawi dari seorang mantan presiden. Ini adalah potret bagaimana kekuasaan, yang selama ini dipandang sebagai sumber kejayaan, juga bisa meninggalkan luka ketika ia pergi dan dalam kasus Jokowi, luka itu tampaknya belum benar-benar sembuh.
Jokowi Gagal Menjaga Masa Transisi
Harus dimaklumi bahwa transisi dari seorang pemimpin negara ke status “mantan” adalah salah satu ujian paling berat dalam dunia politik. Tidak semua pemimpin berhasil melewatinya dengan anggun. Sebab di titik ini, seseorang tidak hanya melepaskan kekuasaan administratif, tapi juga harus siap kehilangan sorotan, pengaruh, bahkan kadang pengagungan.
Dalam konteks ini, Joko Widodo tampaknya sedang menghadapi fase yang tidak mudah. Setelah tidak lagi menjabat sebagai Presiden RI, perilakunya yang tetap aktif di ruang publik justru memunculkan tanda tanya besar: apakah ia sedang membangun warisan, atau justru sedang berjuang mempertahankan ego dan pengaruhnya yang perlahan memudar?
Satu hal menarik yang patut diamati barangkali adalah fenomena Jokowi yang tampak ketagihan sorotan kamera. Kemana-mana selalu ingin direkam, selalu ingin tampil. Bahkan, diduga memobilisasi massa ke rumah pribadinya di Solo demi mempertahankan ilusi kedekatan rakyat yang konon “alami”. Semua ini, menunjukkan bukan sekadar kebutuhan politis, melainkan gejala kegagalan dalam menerima kenyataan bahwa panggung utama sudah bukan miliknya lagi.
Jika benar demikian, maka Jokowi sedang gagal menjalani transisi peran dari aktor utama menjadi negarawan yang memberi ruang bagi generasi berikutnya. Alih-alih tampil sebagai mantan presiden yang tenang, reflektif, dan menyatu dengan kehidupan warga biasa, ia justru tampak terus menjaga panggung, berusaha relevan, dan tak rela melepaskan lampu sorot.
Ini berbeda jauh dengan sejumlah contoh mantan pemimpin dunia yang mampu keluar dengan elegan. Barack Obama, misalnya, setelah tak lagi menjabat, memilih jalur edukasi, penulisan buku, dan kampanye sosial yang jauh dari hiruk-pikuk kekuasaan langsung. Ia memberi teladan bahwa kebesaran seorang pemimpin juga diukur dari cara dia meninggalkan kekuasaan, bukan hanya saat menjalaninya.
Hal yang sama ditunjukkan oleh SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) mantan Presiden yang setelah lengser sibuk menjadi orang biasa yang menekuni hobinya : bernyanyi dan mencipta lagu untuk mengisi hari harinya. Selain aktif di kegiatan sosial kemasyarakatan sesuai dengan kapasitasnya.
Namun dalam konteks Jokowi, publik seolah melihat figur yang belum selesai dengan kekuasaannya sendiri. Apakah ini bagian dari upaya membangun “legacy” politik? Mungkin iya. Tapi cara yang dipilih justru memperlihatkan inkonsistensi: bukannya menyusun warisan dalam bentuk narasi yang tenang dan substansial, Jokowi justru tampak mempertahankan gimmick kedekatan rakyat yang dulu jadi kekuatannya, tapi kini terasa dibuat-buat.
Lebih jauh lagi, ini menyentuh soal psikologi kekuasaan. Kekuasaan bukan sekadar jabatan; ia bisa menjadi candu. Bagi seseorang yang sudah lama berada di puncak hirarki politik, kehilangan sorotan bisa terasa seperti kehilangan jati diri. Maka muncul dorongan untuk terus muncul, terus disukai, terus dianggap penting. Inilah yang oleh sebagian pengamat disebut sebagai “kecanduan validasi publik.”
Masalahnya, jika kecanduan ini tidak disadari, ia bisa berkembang menjadi pola perilaku yang tidak sehat, baik secara sosial maupun psikologis. Ketika segala bentuk kehadiran dimaksudkan untuk mempertahankan rasa "diakui", maka batas antara pencitraan dan kenyataan mulai kabur. Jokowi bukan hanya mempertahankan citra sebagai mantan presiden yang dicintai, tetapi bisa jadi sedang mempertahankan rasa keberartian diri yang seharusnya datang secara natural, bukan dipaksakan oleh panggung buatan.
Di sisi lain, publik juga cenderung peka. Ketika kemunculan seorang tokoh sudah tidak otentik, ketika simpati terasa seperti rekayasa, maka ketidaktulusan itu justru menjadi bumerang. Bukannya menciptakan warisan, yang terjadi adalah keraguan terhadap motif. Apakah benar Jokowi ingin meninggalkan warisan politik yang kuat? Atau ia sedang terjebak dalam ego yang belum siap menjadi “biasa”?
Kesimpulannya, elegansi dalam meninggalkan kekuasaan adalah bentuk kedewasaan politik tertinggi. Sayangnya, apa yang terjadi pada Jokowi pascalengser menunjukkan gejala sebaliknya. Upaya mempertahankan citra dan pengaruh secara berlebihan justru menjadi cermin bahwa proses transisi belum benar-benar dijalani secara matang. Seorang negarawan sejati akan tahu kapan waktunya bicara, dan kapan diam adalah pilihan paling bijak.
Komentar