Nawaitu Redaksi
Menelisik Strategi Halus Prabowo Memakzulkan Wapres Gibran

Soal Jimly, Yusril dan Istana Kebakaran Pemakzulan. (Istimewa).
Hingga saat ini, publik masih hangat membicarakan tuntutan Forum Purnawirawan TNI yang mengusulkan 8 tuntutan yang di antaranya meminta Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka untuk diganti atau dimakzulkan dari kursinya.
Tuntutan tersebut mengejutkan banyak kalangan, namun bagi sebagian pengamat, ini bukanlah kejutan sejati karena sejatinya, proses “pemakzulan” Gibran telah dimulai jauh hari sebelum tuntutan itu mengemuka, bukan secara konstitusional, melainkan lewat strategi senyap nan terukur.
Sejak resmi dilantik sebagai Presiden, Prabowo Subianto diketahui mulai mengatur langkah-langkah hati-hati namun efektif untuk meminggirkan Gibran dari pusat panggung kekuasaan. Bukan karena Gibran mengancam atau membahayakan, justru karena sebaliknya: Gibran dianggap terlalu ringan, terlalu “aman” hingga dinilai dapat menurunkan marwah kepemimpinan nasional dalam forum-forum strategis, terutama dalam diplomasi internasional.
Presiden Prabowo, yang dikenal dengan persona tegas dan hasratnya menjadi negarawan berkelas dunia, tampaknya menyadari betul bahwa kehadiran Gibran dalam momen-momen penting justru menggeser narasi serius menjadi pertunjukan komedi nasional. Tanda-tanda ini pertama kali tampak jelas saat Presiden Prancis Emmanuel Macron berkunjung ke Indonesia. Alih-alih tampil bersama dalam penyambutan tamu negara, Gibran justru “diungsikan” ke Ibu Kota Nusantara untuk meninjau proyek pembangunan, sendirian, tanpa liputan media sebuah sinyal awal yang kuat bahwa ada upaya menjauhkan Gibran dari sorotan internasional.
Selain momen mencolok saat kunjungan Presiden Prancis Emmanuel Macron ke Indonesia di mana Gibran justru “diungsikan” ke Ibu Kota Nusantara rangkaian kejadian serupa yang mengindikasikan upaya sistematis untuk menyingkirkan sang wakil presiden dari panggung utama kenegaraan terus terjadi, dan bahkan semakin terlihat pola serta intensitasnya.
Salah satu contoh yang paling mencolok adalah ketika berlangsung acara peresmian pabrik baterai milik perusahaan Korea Selatan. Dalam susunan acara resmi, nama Gibran awalnya tercantum sebagai salah satu tokoh yang akan hadir dan memberi sambutan. Namun, pada hari pelaksanaan, secara mengejutkan posisinya digantikan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Pergantian mendadak ini tentu menimbulkan tanda tanya besar, apalagi mengingat Gibran adalah Wakil Presiden yang secara protokoler semestinya memiliki peran strategis dalam acara berlevel internasional tersebut.
Tak hanya itu, saat delegasi tingkat tinggi dari Rusia melakukan kunjungan resmi ke Indonesia, Gibran kembali tidak terlihat. Alih-alih mendampingi Presiden atau menyambut delegasi luar negeri, posisi tersebut diberikan kepada Menteri Luar Negeri. Padahal, dalam banyak negara, keterlibatan wakil kepala negara dalam urusan diplomatik adalah hal yang lumrah bahkan menjadi bagian penting dalam strategi geopolitik.
Yang paling ironis mungkin adalah pertemuan dengan Elon Musk sosok yang selama masa kampanye begitu dielu-elukan oleh Gibran, bahkan disebut-sebut sebagai lambang kemajuan dan inovasi. Namun, ketika momen penting itu benar-benar terjadi, nama Gibran bahkan tidak muncul dalam daftar tamu maupun pemberitaan. Ia benar-benar “tak terlihat”, seolah tak pernah punya relasi dengan nama besar Tesla yang dulu sempat ia banggakan.
Dalam konteks simbolis kekuasaan, bahkan pengaturan tempat duduk bisa berbicara lebih keras daripada kata-kata. Ketika pelantikan pejabat tinggi negara berlangsung, Gibran ditempatkan di barisan keempat di belakang tokoh-tokoh seperti Ketua DPR, Ketua MPR, dan Panglima TNI. Penempatan ini secara visual mencerminkan posisi politiknya: masih dalam lingkar kekuasaan, tetapi tidak berada di pusat.
Lebih lanjut, dalam berbagai forum internasional dan agenda besar kenegaraan seperti KTT ASEAN, Forum Investasi Global di Bali, serta pertemuan penting dengan lembaga finansial dunia seperti IMF dan Bank Dunia, pola pengucilan Gibran tampak semakin gamblang. Ia kadang diundang, lalu batal secara sepihak; kadang digantikan oleh menteri lain; dan bahkan dalam beberapa kasus dikirim menghadiri agenda yang tidak setara secara politik misalnya, kunjungan ke pasar tradisional pada saat yang sama ketika para pemimpin dunia sedang berdiskusi mengenai arah perekonomian global.
Jejak pengasingan Gibran dari panggung kekuasaan terus berlanjut, menyusup dalam berbagai peristiwa penting yang semestinya menjadi ruang bagi seorang wakil presiden untuk tampil, menyuarakan posisi negara, atau sekadar mengokohkan simbol kehadiran negara.
Di Forum Investasi Global yang digelar di Bali sebuah ajang prestisius yang mempertemukan pemimpin-pemimpin bisnis dan pejabat tinggi dari seluruh dunia kehadiran Gibran nyaris tak terasa. Ia memang datang, tetapi hanya untuk satu sesi: makan malam. Tidak ada pidato, tidak ada diskusi panel, tidak ada interaksi diplomatik yang berarti. Keberadaannya bagai tamu undangan biasa, bukan perwakilan tertinggi kedua negara yang semestinya ikut berbicara soal arah investasi nasional. Sebuah kehadiran yang lebih bersifat sopan santun daripada strategis.
Lalu pada momen sakral yang berkaitan langsung dengan jati diri bangsa peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni Gibran kembali tampak terpinggirkan. Acara tersebut dihadiri sejumlah tokoh penting, termasuk Megawati Soekarnoputri yang duduk di posisi simbolik kebangsaan. Namun, Gibran tidak tampak sebagai bagian dari lingkaran sentral. Tak ada peran, tak ada panggung, tak ada kutipan pernyataan yang mengemuka. Ia hadir, tetapi seperti diasingkan secara simbolik di antara para pemilik narasi ideologis bangsa.
Hal yang lebih mencolok bahkan terjadi dalam ranah diplomasi luar negeri. Ketika dunia memberi penghormatan terakhir kepada Paus yang wafat, Prabowo sebagai kepala negara tentu diundang secara resmi untuk menghadiri upacara pemakaman. Namun, alih-alih mengirim wakil presidennya, Prabowo justru menunjuk ayah Gibran sendiri, Joko Widodo, sebagai utusan khusus. Sebuah keputusan yang mengandung banyak makna tersembunyi. Dalam diplomasi, utusan mencerminkan kepercayaan dan bobot representasi. Dengan memilih sang ayah ketimbang sang anak, Prabowo seolah sedang menyampaikan pesan: “Saya percaya pada yang dulu, bukan yang sekarang.”
Dan drama politik itu belum berakhir. Saat pelepasan Perdana Menteri Tiongkok di bandara sebuah prosesi diplomatik yang biasanya dihadiri langsung oleh Presiden atau Wakil Presiden posisi Gibran kembali digantikan. Sosok yang muncul sebagai representasi negara bukan Gibran, melainkan Menteri ATR/BPN Agus Harimurti Yudhoyono. Pergantian ini bukan hanya teknis, tapi juga simbolis: Gibran tak lagi dianggap representatif untuk urusan hubungan bilateral tingkat tinggi.
Kumpulan peristiwa tersebut bukan sekadar catatan harian protokoler. Ia menyusun sebuah pola yang semakin sulit dibantah: Gibran bukan sedang sibuk, bukan sedang cuti, melainkan sedang disingkirkan dengan cara yang sistematis, perlahan, dan senyap. Sebuah penyingkiran yang tidak menghapus namanya dari struktur negara, tapi menghapus pengaruhnya dari peta kekuasaan. Sebuah pengasingan elegan dalam sunyi.
Dalam serangkaian kejadian tersebut , publik mulai menangkap pola: Gibran tak hanya sedang “tidak dilibatkan”, tapi perlahan-lahan sedang “dipindahkan” dari inti kekuasaan menuju pinggiran yang nyaris seremonial. Ini bukan sekadar kelalaian atau kebetulan administratif, tapi seakan menjadi bagian dari orkestrasi besar yang dijalankan dalam diam. Strategi yang tidak menjatuhkan secara frontal, namun meniadakan pengaruh dengan cara yang nyaris tanpa suara.
Wapres Kosmetik dan Humor Kekuasaan
Di tengah sorotan publik yang kian tajam, muncul sebuah julukan baru yang menggelitik sekaligus menyedihkan: “Wakil Presiden Kosmetik.” Julukan ini bukan tanpa alasan. Gibran Rakabuming Raka, yang secara konstitusional menduduki posisi tertinggi kedua dalam struktur kekuasaan negara, kini perlahan namun pasti terlihat hanya sebagai ornamen politik. Ia ada, namun sekadar ada. Ia tampak, namun nyaris tak berfungsi. Seolah-olah kehadirannya hanya untuk melengkapi formasi, bukan untuk mengambil peran dalam pementasan.
Gambaran ini kian nyata ketika dalam rapat kerja nasional partai koalisi ajang strategis yang semestinya menjadi wadah konsolidasi kekuatan dan penyusunan arah politik Gibran hanya diminta untuk membuka acara dengan membacakan doa. Bukan sambutan, bukan arahan, bahkan bukan sekadar testimoni. Hanya doa pembuka, lalu ia menghilang dari pembahasan inti. Simbol yang mencolok, namun tetap dipoles dengan wibawa seremonial agar tak terlalu mencolok mata awam.
Puncak dari ironi ini tersaji dalam sebuah momen diplomatik yang justru menguak garis batas kekuasaan yang tak tertulis. Ketika Presiden Prabowo dijadwalkan bertemu dengan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdoğan, seorang staf istana yang masih mengira Gibran adalah bagian dari lingkaran dalam bertanya dengan polos, “Apakah Gibran akan diajak serta?” Jawaban Prabowo dilaporkan singkat, tajam, dan nyaris dingin: “Turki itu negara besar, jangan mempermalukan kita.” Kalimat itu, walau ringkas, adalah bom politik dalam selimut kesantunan. Di balik kata-katanya yang sederhana, tersimpan pesan besar: Gibran bukan bagian dari wajah diplomasi Indonesia.
Apa yang dijalankan Prabowo tampaknya bukan sekadar pengabaian, melainkan sebuah operasi militer politik yang rapi. Tidak ada suara tembakan, tidak ada pernyataan resmi, tidak ada pemakzulan terbuka. Yang ada adalah serangkaian langkah sunyi yang dijalankan dengan ketenangan khas seorang komandan veteran: penempatan simbolik, pengurangan peran, pengalihan tugas, dan pengosongan ruang pengaruh. Tak ada konflik terbuka, tetapi hasilnya jelas: Gibran perlahan-lahan dipinggirkan dari arena kekuasaan.
Taktik ini bukanlah bentuk permusuhan eksplisit. Justru karena tak pernah diumumkan, ia menjadi lebih efektif. Lawan tak sadar bahwa dirinya sedang dikeluarkan dari peta pengaruh. Semuanya berjalan dalam harmoni semu penuh kode, penuh isyarat, tapi tetap terasa tegas dan tak terbantahkan.
Publik yang jeli mulai menyadari ada yang ganjil. Pertanyaan-pertanyaan pun bermunculan: Mengapa suara Wakil Presiden tak pernah terdengar dalam isu-isu strategis nasional? Mengapa namanya selalu absen dari panggung-panggung besar? Dan ketika hadir, mengapa perannya begitu simbolik, bahkan nyaris karikatural?
Dalam keheningan itu, satu hal menjadi jelas: Gibran sedang menjalani fase paling sunyi dalam karier politiknya. Ia tidak dijatuhkan, tapi ditanggalkan dari dalam. Ia tidak dilawan, tapi diredam dengan cara paling halus dan paling efektif. Sebuah pelajaran pahit dalam dunia kekuasaan, bahwa kadang, cara terbaik untuk menjauhkan seseorang adalah dengan tidak menyingkirkannya secara langsung, melainkan membiarkannya perlahan menghilang di tengah keramaian.
Tertawa Dalam Sunyi
Perlahan tapi pasti, rakyat mulai menyadari bahwa ada yang tidak wajar di balik senyapnya suara Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Pertanyaan demi pertanyaan mulai bergema, bukan hanya di ruang-ruang diskusi politik, tetapi juga di warung kopi, media sosial, hingga bisik-bisik rakyat kecil: “Ke mana Gibran saat negara berbicara soal isu-isu besar?” “Mengapa suaranya tak pernah terdengar dalam keputusan strategis?” “Apakah ia benar-benar menjalankan tugasnya, atau sekadar menempati kursi kosong dengan nama yang tertulis di papan kekuasaan?”
Dalam setiap agenda kenegaraan, Gibran tampak makin jarang muncul. Kalaupun hadir, perannya tidak lebih dari figuran simbol kehadiran tanpa bobot pengaruh. Semakin banyak orang yang bertanya-tanya: apakah ini memang bagian dari strategi besar, atau sekadar hasil dari ketidaksiapan?
Yang membuat situasi ini kian mencemaskan adalah reaksi Gibran sendiri. Dalam beberapa kesempatan publik, ucapannya justru memunculkan kebingungan baru. Ia pernah berbicara soal makanan kucing, menyebut dirinya sedang mengalami panas dalam saat rapat penting, atau menceritakan hobinya bermain layangan di sela agenda kabinet. Alih-alih menegaskan kewibawaan seorang negarawan, pernyataan-pernyataan ini justru memperkuat persepsi bahwa ia belum, atau mungkin memang tidak, siap untuk menjalankan tanggung jawab sebagai wakil kepala negara.
Sementara itu, Prabowo tetap bergerak dalam diam. Ia tidak meledak, tidak membuat keputusan drastis, dan tidak mengumumkan apa pun ke publik. Tapi justru dalam ketenangan itulah strategi dijalankan. Seperti seorang jenderal yang paham medan, Prabowo tahu bahwa menjatuhkan Gibran secara frontal hanya akan memicu gelombang simpati, membuka ruang serangan balik politik, dan mungkin menodai stabilitas yang sedang ia bangun. Maka digunakanlah pendekatan khas militer: isolasi dalam keramaian.
Gibran tetap ada namanya masih disebut, fotonya masih terpajang, kursinya masih tersedia. Namun substansi kekuasaan telah beralih ke tangan-tangan lain yang dianggap lebih mampu menjaga citra negara. Menteri Luar Negeri mengambil alih urusan diplomatik, AHY tampil menggantikan dalam momen-momen strategis, bahkan Kepala Staf Presiden sesekali tampil lebih menonjol dibandingkan sang wakil presiden.
Secara formal, Gibran masih menjabat. Tapi secara de facto, ia seperti bayangan yang ditinggal cahaya. Wajahnya mungkin tersenyum dalam setiap dokumentasi resmi, namun publik mulai membaca sesuatu yang lain di balik senyum itu: kebingungan, keterasingan, dan barangkali juga kesadaran bahwa ia tengah belajar satu hal pahit tentang politik yakni bahwa jabatan tidak selalu berarti kekuasaan.
Dalam diam, Prabowo sedang mengajarkan satu pelajaran yang tidak tertulis dalam konstitusi, tapi dikenal luas dalam realitas kekuasaan: jika seseorang tak bisa dijatuhkan secara langsung, maka buatlah ia merasa tidak lagi dibutuhkan. Sebuah strategi dingin, tapi sangat efisien
Geopolitik Ala Prabowo: Diam-diam Tapi Mengakar
Di balik semua manuver senyap yang kini ramai diperbincangkan publik, tampaknya ada satu prinsip sederhana namun tajam yang menjadi pegangan Prabowo dalam membaca dan menyusun ulang peta kekuasaan nasional: “Jika tidak bisa diberhentikan, maka singkirkan perlahan-lahan.” Prinsip ini bukan sekadar strategi, melainkan sebuah filosofi kekuasaan yang dijalankan tanpa perlu suara gaduh, tanpa publikasi besar, namun dengan hasil yang terasa nyata dan konsisten.
Langkah-langkah yang diambil tidak dilakukan secara terbuka atau konfrontatif. Tak ada pemakzulan formal, tak ada konflik terbuka, dan tak ada kata "pecat" yang pernah terlontar. Namun efeknya jelas dan tak terbantahkan. Gibran memang masih menjabat sebagai Wakil Presiden secara administratif, tetapi dalam realitas politik dan distribusi kekuasaan, namanya seakan perlahan memudar. Dalam enam bulan pertama masa pemerintahan Prabowo, peran Gibran lebih banyak bersifat simbolik, hadir tanpa agenda, duduk tanpa suara, dan berjalan tanpa arah yang jelas.
Apakah ini adil? Apakah seorang pejabat yang terpilih secara sah memang pantas dipinggirkan begitu saja? Mungkin pertanyaan itu penting, tapi barangkali bukan itu yang pertama kali terlintas di benak Prabowo. Bagi seorang pemimpin yang kini berada di pusat sorotan dunia, menjaga martabat negara di mata internasional adalah prioritas mutlak. Dan jika keberadaan Gibran dianggap berisiko menurunkan kualitas narasi diplomatik Indonesia, maka solusinya bukan dengan menjatuhkan secara kasar, melainkan menggeser secara perlahan nyaris tanpa suara, namun penuh sinyal.
Gibran, yang sebelumnya tampil penuh semangat dan gaya khas anak muda, kini terlihat lebih sering terdiam. Ia tampak mulai menyadari bahwa arena kekuasaan tak semudah panggung kampanye. Retorika populis, gaya santai, atau narasi anak muda tak cukup untuk membuatnya diterima di tengah elit birokrasi yang dingin dan penuh kode. Justru sebaliknya, beberapa pernyataannya yang nyeleneh di ruang publik makin membuatnya terlihat ganjil di tengah situasi yang menuntut kedewasaan politik.
Barangkali di sinilah letak pelajaran terbesar yang kini sedang ia hadapi pelajaran yang tidak pernah diajarkan di bangku kuliah atau diajarkan dalam warisan keluarga. Bahwa dalam politik tingkat tinggi, jabatan bisa menjadi kehormatan, bisa pula menjadi jebakan. Dan bahwa jika seseorang tidak mampu menjadi bagian dari strategi besar kekuasaan, maka cepat atau lambat, ia akan menjadi bagian dari kelucuan. Menjadi cerita sampingan, bukan tokoh utama. Menjadi pembuka acara, bukan pengambil keputusan.
Prabowo, dengan ketenangannya yang khas, tampaknya membiarkan proses itu berjalan alami. Ia tak buru-buru memotong benang, cukup mengurai simpulnya satu per satu. Dalam strategi militer, ini disebut isolasi bertahap membuat lawan kehilangan relevansi sebelum akhirnya kehilangan panggung. Bukan karena dendam, bukan pula karena benci, tetapi karena kebutuhan akan stabilitas dan kendali penuh.
Dan di titik ini, sejarah mungkin akan mencatat Gibran bukan sebagai Wapres yang diberhentikan, tapi sebagai Wapres yang perlahan-lahan ditinggalkan oleh kekuasaan itu sendiri.
Komentar