Nawaitu Redaksi
Menganalisa Pola Penghilangan Barang Bukti Kasus Ijasah Jokowi

Ilustrasi Ijasah Presiden Jokowi (Kompas)
Pasar Pramuka yang terletak di pojok perempatan jalan Salemba, Matraman dan jalan Pramuka Jakarta kini menjadi sorotan. Pasalnya, menurut politisi senior PDIP, Beathor Suryadi, ditempat itulah ijazah Jokowi diduga dibuat atau dicetak.
Dulu warga Jakarta memang sering menyebut Pasar Pramuka Jati atau Pasar Skripsi. Maklum, di tempat itu banyak kios yang melayani jasa pengetikan, termasuk bikin skripsi. Tak hanya itu, di Pasar Pramuka Pojok berderet kios fotokopi, penjilidan buku, percetakan kartu undangan, serta pembuatan spanduk dan stempel.
Tetapi seperti diketahui, pada tanggal 2 Desember 2024 yang lalu, pasar pojok pramuka di Jakarta terbakar. Kebakaran ini diduga sengaja dilakukan untuk menghilangkan bukti pemalsuan ijazah Jokowi yang menurut Beathor Suryadi dilakukan disana.
Peristiwa terbakarnya pasar pojok Pramuka mengingatkan kita pada peristiwa serupa. Kita tentu masih ingat pada April 2020 yang lalu telah terjadi kebakaran juga di Gedung Kejagung terkait penyelidikan kasus besar seperti suap Djoko Tjandra dan Pinangki Sirna Malasari. Ada tudingan kuat bahwa api sengaja dinyalakan untuk menghancurkan CCTV dan dokumen penyelidikan. Sejumlah kuli dilaporkan “dijadikan kambing hitam”.
Selain dengan cara membakar, upaya penghilangan barang bukti kejahatan elite juga dilakukan dengan penghancuran dan perusakan. Sebagai contoh dalam kasus pembunuhan Brigadir J (Hutabarat), terdakwa termasuk Ferdy Sambo dan beberapa perwira polisi didakwa atas obstruction of justice, mereka memanipulasi dan menghancurkan bukti, seperti DVR kamera pengawas (CCTV) di rumah Sambo, sebagai bagian dari upaya penutup-jejak.
Demikian juga dalam kasus pembunuhan 6 laskar FPI di KM 50. Menurut catatan Komnas HAM,setelah insiden pembunuhan itu, CCTV di warung sekitar KM 50 sempat diambil dan saksi diperintahkan menghapus rekaman dari handphone mereka. Rest Area di KM. 50 juga di hancurkan di duga terkait dengan peristiwa pembunuhan ini.
Apakah penghilangan bukti dalam kasus-kasus yang melibatkan elite menunjukkan pola sistemik atau insidental?. Siapa yang diuntungkan dari hilangnya bukti dalam kasus-kasus besar, dan bagaimana sistem hukum merespons hal ini?. Apa dampak dari pola penghilangan bukti kejahatan elite terhadap kepercayaan publik pada lembaga hukum dan demokrasi?
Pola Sistemik
Dalam sistem hukum yang sehat, penghilangan barang bukti adalah bentuk pelanggaran serius yang harus ditindak tegas. Tapi bagaimana jika penghilangan bukti justru menjadi pola yang berulang, dengan modus yang semakin canggih dan aktor pelaksana yang berlapis-lapis? Apakah kita masih bisa menyebutnya sebagai kejadian insidental? Atau sesungguhnya kita tengah menyaksikan wajah kelam dari sebuah sistem keadilan yang telah dibajak oleh kepentingan segelintir elite?
Beberapa peristiwa penting dalam satu dekade terakhir memberi kita gambaran yang cukup jelas: penghilangan bukti dalam kasus-kasus besar tidak lagi bisa dianggap sebagai kecelakaan hukum semata. Ia tampak seperti bagian dari mekanisme pertahanan diri kekuasaan sistematis, berulang, dan melibatkan pola yang konsisten.
Ambil contoh kasus kebakaran Pasar Pojok Pramuka pada 2 Desember 2024. Kebakaran ini terjadi secara tiba-tiba, menghancurkan sejumlah bangunan yang menurut keterangan aktivis Beathor Suryadi, merupakan lokasi penting dalam dugaan pemalsuan ijazah mantan Presiden Jokowi. Tuduhan ini tentu saja kontroversial dan belum diproses secara terbuka dalam jalur hukum. Namun yang menarik adalah kebakaran terjadi di lokasi yang dianggap menyimpan jejak atau dokumen terkait, dan hingga kini belum jelas siapa yang bertanggung jawab. Seolah-olah, sebelum kebenaran sempat diperiksa, bukti sudah lebih dulu dilenyapkan.
Kemiripan pola ini juga tampak dalam kebakaran Gedung Kejaksaan Agung pada April 2020. Ketika publik menanti pengusutan kasus suap kakap yang melibatkan Djoko Tjandra dan Jaksa Pinangki Sirna Malasari, api tiba-tiba membakar gedung penting tersebut, menghancurkan ruang-ruang penyimpanan dokumen dan sistem CCTV. Meskipun ada penyelidikan, ujung-ujungnya justru para pekerja harian dan tukang bangunan yang dijadikan tersangka. Lagi-lagi, yang tampil ke permukaan bukan pelaku utama, melainkan “kambing hitam” dari kalangan bawah.
Pola ini semakin telanjang dalam kasus pembunuhan Brigadir J (Nofriansyah Yosua Hutabarat) yang mengguncang institusi kepolisian. Dalam kasus ini, tidak hanya terjadi pembunuhan oleh atasan langsung, Irjen Ferdy Sambo, tetapi juga serangkaian upaya obstruction of justice: penghilangan CCTV, manipulasi TKP, pengkondisian saksi, hingga pembuatan narasi palsu.
Di sini, penghilangan bukti bukan hanya sekadar “menghilang,” tapi dilakukan secara sistematis dan kolektif oleh aparat hukum sendiri. Ini adalah bukti paling eksplisit bahwa ketika kekuasaan merasa terancam, maka kebenaran bisa didekontruksi oleh mereka yang justru diberi amanah untuk menjaganya.
Kasus pembunuhan enam anggota laskar FPI di KM 50 juga menunjukkan kecenderungan serupa. Menurut temuan Komnas HAM, CCTV di sekitar lokasi peristiwa segera diamankan oleh aparat, dan bahkan ada upaya menyuruh saksi menghapus rekaman dari ponsel mereka. Alih-alih dibuka ke publik secara transparan, jejak-jejak visual dan suara dari peristiwa tragis itu justru ditutup rapat dan ketika narasi resmi keluar, publik hanya bisa menggantungkan penilaian pada versi tunggal yang dikelola negara.
Melihat keempat kasus tersebut secara berdampingan, kita akan menemukan benang merah yang mencolok. Bahwa kebakaran di lokasi penting (Pasar Pojok, Gedung Kejagung), penghilangan atau kerusakan CCTV (Gedung Kejagung, rumah Sambo, KM 50), intimidasi atau pengondisian saksi (KM 50, kasus Sambo), minimnya penyelidikan tuntas terhadap penghilangan bukti itu sendiri, semuanya menunjukkan adanya kemiripan.
Ciri-ciri ini bukan hanya berulang, tetapi berfungsi sebagai alat sistemik untuk melindungi kepentingan kekuasaan. Penghilangan barang bukti bukan dilakukan karena kelalaian, tapi karena ada kepentingan yang lebih besar yang harus diselamatkan dari sorotan hukum dan publik.
Dalam konteks ini, penghilangan bukti bukan sekadar kejahatan teknis, melainkan bagian dari mekanisme pertahanan elite. Selama tidak ada transparansi dan akuntabilitas menyeluruh, selama pelaku utamanya tetap kebal dari jerat hukum, maka pola ini akan terus berulang sebagai cara yang “efektif” untuk menghapus jejak, menggiring opini, dan menyingkirkan kebenaran dari panggung sejarah.
Jadi, untuk menjawab pertanyaan awal: penghilangan bukti dalam kasus-kasus elite bukanlah insidental, melainkan sistemik. Ia adalah gejala dari sistem kekuasaan yang telah belajar menyesuaikan diri dengan demokrasi formal, namun tetap beroperasi dengan logika otoritarian: menjaga kekuasaan dengan cara apa pun, termasuk membakar kebenaran.
Siapa Di untungkan ?
Dalam sistem hukum yang ideal, kebenaran adalah bintang penuntun; keadilan adalah ujung dari setiap proses hukum. Namun dalam praktiknya, terutama di negara-negara yang kekuasaan masih dikendalikan oleh oligarki atau elit politik yang kuat, hukum justru sering kali menjadi alat kuasa itu sendiri.
Kasus-kasus besar yang semestinya menjadi momen penting dalam penguatan supremasi hukum malah berakhir sebagai sandiwara hukum yang menyingkap borok sistemik. Hilangnya bukti dalam kasus-kasus besar seperti kebakaran Gedung Kejaksaan Agung, kebakaran Pasar Pojok Pramuka (yang dikaitkan dengan isu pembuatan ijazah palsu Presiden Jokowi), pembunuhan Brigadir J, dan tragedi KM 50, menyisakan pola yang serupa: peristiwa genting yang berpotensi membuka aib kekuasaan berakhir dengan "hilangnya" jejak hukum yang seharusnya mengarah pada pengungkapan kebenaran.
Hilangnya bukti bukti kejahatan tersebut nyaris selalu menguntungkan satu pihak: mereka yang berada dalam posisi kuasa. Ketika data, dokumen, rekaman CCTV, atau bahkan saksi kunci hilang, melemah, atau "berubah versi", maka pihak-pihak yang berkepentingan dengan tetap tersembunyinya kebenaran akan selamat. Di sinilah relasi kuasa bekerja: hukum tidak lagi menjadi pengadil, tetapi pelayan bagi siapa yang memegang kendali atas narasi dan aparat hukum.
Dalam kasus kebakaran Gedung Kejagung, misalnya, muncul dugaan bahwa api bukanlah kecelakaan semata, tetapi bagian dari upaya penghancuran barang bukti dalam penyelidikan kasus korupsi besar. Begitu pula dalam tragedi KM 50, di mana enam laskar FPI tewas dalam situasi penuh kejanggalan, dan bukti rekaman yang semestinya krusial justru tidak pernah benar-benar dipublikasikan atau lenyap.
Sedangkan dalam kasus Brigadir J, yang sempat menjadi sorotan nasional, terlihat jelas bagaimana upaya sistemik untuk mengaburkan fakta dijalankan oleh aktor-aktor internal Polri sendiri. Obstruction of justice dilakukan secara terang-terangan: bukti dihapus, rekayasa cerita dibuat, saksi ditekan. Pada akhirnya, meski pelaku utama dijatuhi hukuman, publik tahu bahwa "kebenaran penuh" tak pernah benar-benar terungkap hanya lapisan yang paling aman bagi sistem yang dikorbankan.
Dalam arsitektur kekuasaan yang rapuh oleh korupsi dan saling sandera, aktor-aktor kunci seperti jaksa, polisi, dan hakim tidak selalu menjadi penegak keadilan yang independen. Mereka sering kali berada dalam posisi dilematis: antara menjalankan fungsi profesional atau menjaga kepentingan struktural.
Yang dilindungi biasanya adalah elite dengan koneksi kuat baik ke presiden, menteri, jenderal, atau korporasi besar. Sementara yang dikorbankan adalah mereka yang lemah secara struktur: petugas level rendah, pelaku teknis, bahkan masyarakat sipil yang berseberangan dengan narasi resmi.
Sementara itu, peran media yang terkooptasi atau tunduk pada kepentingan modal dan kekuasaan turut memperlebar jurang ini. Liputan yang seharusnya tajam dan investigatif berubah menjadi pengalihan isu, sehingga publik digiring pada drama, bukan fakta. Ketika perhatian publik teralihkan, maka elite bisa melanjutkan rekayasa tanpa tekanan.
Pada hal hukum seharusnya menjadi alat untuk membongkar kejahatan kekuasaan, tetapi dalam kenyataannya, sistem hukum sering kali tidak hanya mandul, tapi juga komplisit. Jaksa yang tidak melanjutkan penyidikan, polisi yang tidak profesional dalam mengamankan TKP, hakim yang mengabaikan bukti kunci semuanya mencerminkan kegagalan struktural.
Obstruction of justice (penghalangan keadilan) seharusnya menjadi pelanggaran serius. Tapi dalam sistem yang sudah terjerat relasi kuasa, tuduhan obstruction justru tidak pernah menyasar para aktor utama. Di banyak kasus, ketika bukti hilang, tidak pernah ada investigasi serius tentang mengapa bukti itu hilang seolah-olah hilangnya bukti adalah insiden biasa, bukan tindakan pidana.
Apa yang kita lihat dari pola-pola ini adalah bahwa hukum sangat sulit menembus tembok kekuasaan. Bahkan ketika ada desakan publik, sistem tetap bisa bertahan dengan membentuk tim investigasi yang bekerja secara kosmetik. Yang dijatuhkan adalah pion, bukan raja.
Maka, hilangnya bukti bukan hanya soal teknis investigasi. Ia adalah indikator paling jelas dari ketimpangan kekuasaan. Ini adalah sinyal bahwa hukum tunduk pada narasi, bahwa keadilan bukan untuk semua, dan bahwa kebenaran bisa dipadamkan dengan api, dengan tekanan, atau dengan manipulasi prosedural.
Runtuhnya Kepercayaan Rakyat
Dalam sebuah negara demokratis, kepercayaan publik adalah fondasi utama yang menopang keberlangsungan institusi. Tanpa kepercayaan, hukum hanyalah teks mati, dan demokrasi tinggal prosedur kosong.
Namun, dalam konteks Indonesia, rentetan peristiwa yang melibatkan elite penguasa seperti kebakaran Pasar Pojok Pramuka yang diduga berkaitan dengan lokasi produksi ijazah palsu mantan Presiden Jokowi, kebakaran Gedung Kejaksaan Agung saat penanganan kasus besar, pembunuhan Brigadir J yang mengungkap borok institusi Polri, dan tragedi KM 50 yang menyisakan banyak tanda tanya menunjukkan satu pola konsisten: penghilangan bukti sebagai strategi perlindungan kekuasaan.
Pola ini bukan hanya merusak jalannya hukum, tetapi juga menyisakan luka yang mendalam dalam memori kolektif bangsa. Setiap bukti yang hilang bukan hanya fragmen dari kasus yang tak terselesaikan, tetapi simbol dari ketidakadilan yang dilembagakan.
Ketika publik melihat bagaimana kasus-kasus yang menyangkut elite selalu berujung pada kaburnya fakta, lenyapnya barang bukti, atau penyelidikan yang mandek tanpa kejelasan, maka pertanyaan fundamental mulai muncul di benak rakyat: "Untuk siapa hukum ditegakkan?"
Di sinilah letak persoalan utamanya. Ketika masyarakat merasa bahwa hukum hanya berlaku keras untuk rakyat kecil, tetapi selalu lembut, penuh toleransi, atau bahkan bungkam terhadap elite kekuasaan, maka otoritas moral lembaga hukum runtuh. Kepercayaan terhadap polisi, kejaksaan, dan pengadilan tiga pilar utama dalam proses hukum menjadi compang-camping.
Tidak sedikit masyarakat yang kemudian menilai bahwa aparat penegak hukum bukanlah pelindung keadilan, melainkan pelayan kekuasaan. Dalam konteks ini, penghilangan bukti menjadi lebih dari sekadar tindak pidana ia menjadi bentuk pengkhianatan terhadap amanat konstitusional institusi hukum.
Fenomena tersebut tentu akan berdampak panjang pada kehidupan demokrasi di Indonesia. Karena demokrasi tidak cukup hanya diukur dari pelaksanaan pemilu, keberadaan partai politik, atau lembaga legislatif. Demokrasi yang sehat mensyaratkan adanya keadilan substantif, di mana hak-hak warga dihormati dan hukum berlaku sama untuk semua.
Ketika hukum hanya tajam ke bawah menghukum rakyat biasa dengan cepat dan keras, namun tumpul ke atas maka kita tidak lagi bicara soal demokrasi, melainkan oligarki berbungkus demokrasi.
Penghilangan bukti dalam kasus elite adalah bentuk nyata pembusukan demokrasi dari dalam. Ia memperlihatkan bahwa hukum bisa dinegosiasikan, direkayasa, atau dimusnahkan demi melindungi struktur kekuasaan. Dalam jangka panjang, hal ini melahirkan demokrasi semu di mana prosedur tetap berjalan, tetapi isinya telah kosong dari nilai-nilai keadilan dan kesetaraan.
Ketika kepercayaan terhadap hukum dan demokrasi luntur, masyarakat tidak serta-merta menjadi apatis. Sebagian besar menjadi sinis, menganggap bahwa tidak ada gunanya berharap pada sistem yang telah rusak. Namun, sebagian lainnya bisa mengambil jalur yang lebih ekstrem melawan sistem melalui cara-cara yang destruktif: menyebarkan teori konspirasi, menyokong figur otoriter dengan harapan “pemimpin kuat” bisa menggusur korupsi, atau bahkan mendukung gerakan-gerakan anti-demokrasi.
Inilah bahaya terbesar dari hilangnya bukti dalam kasus-kasus elite: bukan hanya gagalnya penegakan hukum, tetapi terganggunya kestabilan sosial dan politik. Ketika rakyat merasa tidak memiliki saluran legal untuk menyuarakan ketidakadilan, mereka akan mencarinya di luar sistem. Dan sejarah menunjukkan bahwa revolusi sosial seringkali lahir bukan dari keberanian semata, tetapi dari rasa frustrasi yang akut terhadap sistem yang tidak mau berubah.
Kiranya jelas bahwa penghilangan bukti dalam kasus kejahatan elite bukan hanya masalah prosedural, tapi adalah indikator sistemik dari krisis kepercayaan yang mendalam. Ia menunjukkan bahwa institusi hukum tidak kebal dari intervensi kuasa. Ia memperlihatkan bahwa dalam banyak kasus, hukum bukan lagi mekanisme penyelesaian konflik yang adil, melainkan medan pertempuran narasi yang dikendalikan oleh siapa yang punya kekuasaan lebih besar.
Jika pola ini terus berulang, demokrasi Indonesia tidak akan mati secara frontal. Ia akan membusuk perlahan, dari dalam. Dan ketika demokrasi hanya tinggal prosedur, tanpa substansi, maka rakyat tidak lagi merasa memiliki negara. Saat itulah, bahaya sesungguhnya muncul: ketika rakyat tidak lagi percaya bahwa perubahan bisa dilakukan melalui jalur hukum dan politik yang sah.
Komentar