Imam Wahyudi, Jurnalis Senior di Bandung

Soal Komunikasi `Blunder` Mendagri Tito Karnavian

Selasa, 17/06/2025 13:57 WIB
Mendagri Tito Karnavian (Foto: Humas Kemendagri)

Mendagri Tito Karnavian (Foto: Humas Kemendagri)

Jakarta, law-justice.co - Presiden Prabowo Subianto ambil alih persoalan empat pulau yang disengketakan Aceh dan Sumut. Secara tak langsung mengonfirmasi pernyataan Mendagri, Tito Karnavian — sebagai “blunder”.

Hal-ikhwal pemerintahan dalam negeri yang menjadi tupoksi mendagri. Menunjukkan model komunikasi yang kurang baik. Hal yang tak mesti terjadi atau diluruskan sebelum berkomunikasi. Mendagri juga dimaklumi faham hirarki peraturan perundang-undangan.

Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 1956 yang mengatur pemisahan Aceh dari Sumut masih berlaku. Secara hirarki, posisinya di atas Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025.

Tak sebatas pemberian kode-kode pulau, justru Tito kadung menyampaikan argumen dan konsideran. Bahwa empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil ditetapkan masuk menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara. Dari sisi ini memicu polemik (yang tak perlu).

Tito pun menyatakan, penetapan itu sudah melalui proses panjang dan melibatkan banyak instansi terkait. Lantas, tidak adakah UU 24/1956 dalam dokumentasi Lembaran Negara?

Tak berlebihan, bila publik mengaitkan figur Gubernur Sumut saat ini. Adalah Bobby Nasution yang mantu mantan presiden Jokowi. Pun Tito diangkat mendagri pada periode itu. Mantan Kapolri yang selama ini cenderung “duduk manis”, mendadak bikin “blunder” komunikasi. Ada apa gerangan?

Belum apa-apa sang gubernur sudah membuat celetukan yang mengesankan kisruh. Bila status kepemilikan tetap Sumut, ia serta-merta mengajak melola bersama (dengan provinsi Aceh -pen). Weleh-weleh, seperti hajat multi event PON XXI/2024 dengan penyelenggaraan bersama Sumut dan Aceh.

Gagal faham soal “melola bersama” menyangkut lahan garapan dan aspek teritorial kewilayahan. Karuan spekulasi dan kalkulasi berkembang ke arah potensi di empat pulau sengketa itu. Konon memiliki kandungan minyak dan gas bumi. Bahkan rencana eksploitasi dan kucuran investasi besar dari Uni Emirat Arab.

Wamendagri, Bima Arya Sugiarto pun berkilah Ikhwal kepemilikan empat pulau tadi. Bahwa masih bisa berubah. Tak kecuali dalam hirarki, hemat penulis — pernyataan itu lebih pada pemenuhan external public relations.

Mantan Wapres, Jusuf Kalla sudah lebih awal menampik kepmendagri tadi sebagai cacat formil. Tentu, mencakup aspek historisnya. Lanjut argumen Menko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra. Letak geografis bukan satu-satunya faktor dalam menentukan batas wilayah.

Kepmendagri, jelas bersilang dengan Undang-undang 24/1956. Jelas pula tidak bisa mengubah undang-undang. Karuan, Kantor Komunikasi Kepresidenan mengonfirmasi akan mengambil keputusan sesegera. Menyusul pihak Kemendagri yang akan melakukan evaluasi secara menyeluruh.

Keputusan yang segera dan evaluasi menyeluruh bak menyiratkan kabar tentang tata kelola pemerintahan — belum sejalan harapan. Mencakup aspek komunikasi, koordinasi dan sinerji antarlembaga dan atau kementerian. Mengapa?

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar