Sengketa Pulau Indikasikan Sistem Desentralisasi Indonesia Bermasalah

Minggu, 15/06/2025 19:19 WIB
Tolak Dialog dengan Bobby soal 4 Pulau, Gubernur Aceh Tempuh Upaya Ini. (Istimewa).

Tolak Dialog dengan Bobby soal 4 Pulau, Gubernur Aceh Tempuh Upaya Ini. (Istimewa).

[INTRO]
Sengketa administratif antara Pemerintah Aceh dan Sumatera Utara atas kepemilikan empat pulau di perbatasan Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Ketek, dan Mangkir Gadang mencerminkan krisis struktural dalam sistem desentralisasi Indonesia.

Pengamat Pemerintahan Muhammad Akbar Maulana menyatakan ketika Kementerian Dalam Negeri menetapkan keempat pulau sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut, klaim balik Pemerintah Aceh menegaskan eksistensi konflik kewenangan antara pusat dan daerah otonomi khusus.

“Konflik ini lebih dari sekadar perebutan wilayah; ia mencerminkan keterbatasan negara dalam mengatur tata batas dalam lanskap politik-teritorial yang kompleks,” kata Akbar melalui keterangan yang diterima, Minggu (15/06/2025).

Dalam kerangka teori desentralisasi asimetris (Smoke, 2015), hubungan antara pusat dan daerah seharusnya bersifat dinamis dan adaptif, khususnya bagi entitas dengan status kekhususan seperti Aceh, yang mendapatkan kewenangan lebih luas melalui UU No. 11 Tahun 2006.

“Namun, dalam pandangan saya, praktik di lapangan menunjukkan bahwa mekanisme koordinasi antar level pemerintahan cenderung birokratis, elitis, dan sering kali mengabaikan prinsip subsidiarity yang menekankan bahwa keputusan sebaiknya diambil sedekat mungkin dengan warga terdampak. Kebijakan top-down dari Kemendagri tanpa pelibatan deliberatif Pemerintah Aceh memperlihatkan dominasi narasi sentralistik yang belum sepenuhnya direformasi,” ujarnya.

Akbar juga menilai konflik ini menelanjangi kelemahan negara dalam mengelola tata batas administratif pasca reformasi.

“Saya mengutip dalam Ostrom (1990), institusi yang efektif harus mampu mengelola batas-batas yurisdiksinya secara partisipatif dan adaptif. Namun dalam konteks Indonesia, penetapan wilayah administratif masih sering berbasis pada peta historis buatan kolonial atau keputusan teknokratik yang tidak selalu merepresentasikan realitas sosial-kultural masyarakat lokal. Ketika pendekatan teknokratis ini dihadapkan dengan klaim berbasis historis dan emosional dari masyarakat Aceh, benturan antara legalitas dan legitimasi menjadi tidak terhindarkan,” ujarnya lagi.

Ia menyatakan selain aspek hukum, isu ini harus dibaca dalam kerangka geopolitik dan keamanan maritim. Dalam konteks globalisasi dan meningkatnya klaim kedaulatan di wilayah maritim (seperti Laut China Selatan), kejelasan administrasi pulau-pulau kecil menjadi sangat strategis.

“Pemerintah tidak bisa memandang sengketa ini sebagai urusan lokal semata, karena memiliki implikasi terhadap pengelolaan sumber daya alam laut, pengawasan wilayah kedaulatan, serta integritas teritorial negara. Lemahnya tata batas dapat menciptakan celah hukum yang bisa dieksploitasi oleh pihak eksternal maupun mengganggu stabilitas nasional dari dalam,” kata Akbar lebih lanjut.

Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang ini pun menyebutkan, kegagalan negara dalam menyelesaikan sengketa semacam ini secara cepat dan inklusif akan mengikis trust masyarakat terhadap negara.

Studi-studi dalam tata kelola pemerintahan menunjukkan bahwa akuntabilitas institusional berbanding lurus dengan persepsi legitimasi publik (Rothstein & Teorell, 2008). Jika masyarakat lokal merasa diabaikan, maka bukan tidak mungkin akan muncul resistensi yang lebih besar terhadap simbol-simbol negara, memperkuat sentimen disintegratif, atau bahkan membangkitkan memori konflik masa lalu yang belum sepenuhnya selesai di Aceh.

“Dalam hal ini, menurut saya, pendekatan governance kolaboratif (Ansell & Gash, 2008) menawarkan jalan tengah yang lebih solutif. Pemerintah pusat harus menginisiasi forum mediasi yang melibatkan berbagai aktor: pemerintah daerah, pemuka masyarakat, akademisi, dan lembaga teknis seperti Badan Informasi Geospasial,” paparnya.

Forum tersebut, lanjutnya, harus berfungsi tidak hanya sebagai arena teknis, tetapi juga sebagai ruang deliberatif untuk merumuskan solusi yang tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga adil secara sosial. Kolaborasi semacam ini penting untuk membangun keputusan yang memiliki legitimasi ganda, legal dan moral.

“Informasi yang saya dapatkan, pemerintahan sudah mencoba mengadopsi teknologi geospasial dan data berbasis sistem informasi geografis (GIS). Ini memang diperlukan untuk menyediakan bukti objektif. Namun, keandalan teknologi ini sangat bergantung pada integritas data, transparansi proses, serta kapasitas daerah untuk mengakses dan menginterpretasikan informasi tersebut secara setara,” paparnya.

Ia menegaskan, tanpa mekanisme audit dan keterbukaan data, GIS justru bisa menjadi alat legitimasi sepihak yang memperburuk ketidakpercayaan.

“Sengketa kepemilikan empat pulau ini harus menjadi momentum untuk mendesain ulang kebijakan pengelolaan wilayah perbatasan yang lebih demokratis, adaptif, dan responsif. Negara harus berpindah dari logika kontrol administratif menuju logika pengelolaan kolaboratif yang menghargai keragaman sejarah, identitas lokal, dan kepentingan nasional. Penyelesaian sengketa ini tidak hanya soal batas wilayah, tetapi juga tentang bagaimana negara memaknai ulang relasi kuasa dalam era desentralisasi yang makin kompleks,” pungkasnya.

(Givary Apriman Z\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar