Nawaitu Redaksi
Pasca Lengser, Kontroversi Jokowi yang Kehilangan Kepercayaan Rakyat

Ilustrasi: Tulisan di Tembok yang Meminta Jokowi Diadili. (Istimewa).
Selama dua periode kepemimpinannya, Jokowi telah menjadi salah satu tokoh paling sentral dalam dinamika politik Indonesia modern. Ia datang dengan citra sebagai pemimpin dari rakyat, membawa harapan akan perubahan, kesederhanaan, dan keberpihakan pada kepentingan publik. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, kepemimpinannya juga menuai kritik yang tidak sedikit terutama terkait konsistensi terhadap janji-janji awalnya, penggunaan kekuasaan, serta dampaknya terhadap demokrasi dan tatanan hukum di Indonesia.
Kini, setelah masa jabatannya berakhir, publik dan para pengamat politik mulai melakukan refleksi yang lebih mendalam: Sejauh mana mantan Presiden Jokowi dianggap telah mengingkari janji-janjinya selama menjadi presiden, dan apa konsekuensi politik serta sosial dari pengingkaran tersebut terhadap kepercayaan publik?. Bagaimana praktik kekuasaan selama dua periode pemerintahan Jokowi mencerminkan penyimpangan terhadap prinsip ‘amanah’ dalam kepemimpinan, dan sejauh mana ini berdampak pada institusi demokrasi dan hukum di Indonesia?.
Apakah benar bahwa mantan presiden Jokowi telah meninggalkan warisan kepemimpinan yang lebih banyak membawa kerusakan daripada kebaikan bagi bangsa Indonesia ?. Akibat dari perilakunya selama dua periode menjadi orang nomor satu di Indonesia, benarkah secara hakiki Jokowi telah kehilangan segala galanya ?
Dusta Bikin Rakyat Tak Lagi Percaya
Selama dua periode menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, Jokowi tampil sebagai sosok pemimpin rakyat yang menjanjikan perubahan, kesederhanaan, dan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi. Ia datang dengan citra "orang biasa" dari Solo yang membawa harapan besar bagi masyarakat, terutama dalam hal pemberantasan korupsi, penguatan demokrasi, dan netralitas kekuasaan.
Namun, setelah lengser dari kursi kekuasaannya, banyak kalangan menilai bahwa Jokowi telah gagal memenuhi janji-janji fundamental yang pernah ia ucapkan. Bahkan, sebagian menyebut bahwa Jokowi bukan hanya ingkar, tetapi justru secara aktif melakukan hal-hal yang bertentangan dengan apa yang dulu ia janjikan.
Salah satu janji yang cukup menonjol adalah komitmen Jokowi untuk tidak melakukan praktik bagi-bagi jabatan kepada partai politik atau kelompok tertentu. Namun, kenyataannya hal itu tidak terjadi di dua periode kekuasaannya. Banyak pengamat menilai langkah ini sebagai bentuk kompromi politik yang meskipun tak selalu negatif, tetap bertentangan dengan komitmen awalnya.
Jokowi juga pernah berjanji untuk tidak mengangkat pejabat yang pernah terlibat kasus korupsi. Namun, dalam praktiknya, terdapat beberapa figur yang sempat tersandung kasus hukum tetap diberi kepercayaan menduduki jabatan publik. Hal ini menimbulkan keraguan terhadap komitmen antikorupsi yang sebelumnya digaungkan.
Komitmen lain yang menuai kritik adalah sikap terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Awalnya, Jokowi menyatakan akan memperkuat lembaga tersebut. Akan tetapi, pada tahun 2019, pemerintah justru menyetujui revisi Undang-Undang KPK yang secara luas dikritik karena melemahkan lembaga antirasuah itu. Misalnya, dengan dibentuknya Dewan Pengawas, serta kewajiban meminta izin penyadapan dan pengubahan status pegawai KPK menjadi ASN.
Dalam urusan ekonomi, Jokowi juga pernah menyatakan tidak akan menambah utang luar negeri secara berlebihan dan akan berhati-hati dalam pengelolaan keuangan negara. Meski utang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan, total utang negara meningkat signifikan dalam dua periode kepemimpinannya, dan hal ini menjadi sorotan publik.
Di sektor pangan, Jokowi menjanjikan akan mengurangi ketergantungan impor dan meningkatkan produksi dalam negeri. Namun kenyataannya, impor pangan tetap dilakukan, bahkan meningkat pada beberapa tahun tertentu. Hal ini berdampak pada keluhan petani lokal yang merasa dirugikan akibat harga hasil panen yang anjlok saat impor dilakukan.
Janji penegakan hukum yang adil dan tidak tebang pilih juga menjadi sorotan. Meskipun Jokowi menyatakan komitmennya terhadap hukum yang tidak pandang bulu, praktik di lapangan sering kali dinilai publik tajam ke lawan politik dan tumpul ke pendukung pemerintah. Kasus pelaporan UU ITE serta kriminalisasi aktivis menjadi beberapa contoh yang memicu kritik.
Menjelang Pemilihan Presiden 2024 yang lalu, Jokowi menyatakan tidak akan cawe-cawe atau ikut campur dalam proses politik. Namun, langkah politiknya justru memperlihatkan keterlibatan, terutama saat putranya, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto. Peran Mahkamah Konstitusi dalam mengubah syarat usia capres-cawapres pun menjadi kontroversial karena melibatkan kerabat Jokowi.
Dalam isu lingkungan, Jokowi juga pernah menyatakan akan menjaga kelestarian lingkungan dan tidak berpihak pada tambang besar. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa izin pertambangan terus dikeluarkan, termasuk pelibatan TNI dan Polri dalam bisnis tambang. Proyek strategis seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) pun dikritik karena merusak lingkungan dan meminggirkan masyarakat lokal.
Yang terbaru adalah terkuaknya pemberian ijin di era pemerintahannya terhadap penambangan di kawasan Raja Ampat yang merusak lingkungan dimana akibat kebijakan kontroversial itu telah mengundang protes yang membahana dari berbagai lapisan masyarakat sampai akhirnya Presiden Prabowo mencabut ijin tambang tersebut.
Sementara itu, program reforma agraria dan penyelesaian konflik lahan juga belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Meski dijanjikan sebagai upaya untuk memberikan keadilan atas tanah, berbagai konflik agraria masih terus berlangsung di berbagai wilayah seperti Wadas, Rempang, dan Papua. Penyelesaian yang dijanjikan sering kali tidak menyentuh akar masalah.
Terakhir, terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu, Jokowi pernah menyatakan akan menyelesaikannya. Namun, hingga akhir masa jabatannya, penyelesaian hanya sebatas pengakuan simbolik tanpa proses pengadilan atau pertanggungjawaban hukum yang konkret. Hal ini membuat banyak keluarga korban kecewa dan merasa keadilan belum benar-benar ditegakkan.
Pengingkaran janji-janji tersebut membawa konsekuensi politik dan sosial yang tidak ringan. Secara politik, kepercayaan publik terhadap institusi negara, khususnya lembaga kepresidenan dan lembaga hukum, mengalami erosi. Masyarakat menjadi semakin skeptis terhadap niat baik para pemimpin, dan rasa apatisme terhadap politik kembali menguat. Di media sosial dan ruang-ruang diskusi publik, muncul gelombang kritik dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, aktivis, hingga generasi muda, yang merasa kecewa terhadap arah kepemimpinan nasional.
Secara sosial, dampak dari pengingkaran janji tersebut menciptakan polarisasi yang lebih tajam di masyarakat. Sentimen pro dan kontra terhadap Jokowi tidak hanya berakhir sebagai perbedaan pendapat, tetapi telah menjadi jurang identitas politik yang sulit dijembatani. Ketika seorang pemimpin yang dulunya sangat dipercaya mulai kehilangan kredibilitas karena tindakan-tindakannya sendiri, maka masyarakat kehilangan pijakan moral untuk mempercayai proses politik sebagai sarana perubahan.
Singkatnya, warisan politik Jokowi saat meninggalkan kursi kepresidenan akan selalu diwarnai oleh paradoks: seorang pemimpin yang lahir dari harapan rakyat, namun dalam perjalanannya dianggap mengkhianati sebagian janji-janji yang membawanya ke puncak kekuasaan. Pengingkaran itu, bagi sebagian masyarakat, bukan sekadar kesalahan kebijakan melainkan luka simbolik yang memperdalam krisis kepercayaan terhadap sistem. Di titik inilah konsekuensi paling dalam dari pengingkaran janji itu terasa: bukan hanya kegagalan politik, tetapi juga kehilangan moralitas dalam kepemimpinan bangsa.
Merusak Amanah Kepemimpinan
Selama dua periode pemerintahan Presiden Jokowi, praktik kekuasaan di Indonesia mengalami dinamika yang mencolok, yang di satu sisi menunjukkan keberhasilan pembangunan infrastruktur dan peningkatan stabilitas ekonomi, namun di sisi lain memunculkan kekhawatiran serius terkait penyimpangan terhadap prinsip dasar kepemimpinan yang amanah yakni kepemimpinan yang jujur, bertanggung jawab, dan mengutamakan kepentingan rakyat di atas segalanya.
Amanah, sebagai konsep yang berakar dalam nilai-nilai moral dan keagamaan, menuntut seorang pemimpin untuk memegang teguh kepercayaan publik, menjaga integritas, serta tidak mempergunakan kekuasaan demi kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompok.
Namun, dalam praktiknya, pemerintahan Jokowi justru memperlihatkan serangkaian kebijakan dan manuver politik yang menunjukkan penyimpangan terhadap prinsip ini. Salah satu contoh paling menonjol adalah keputusan untuk mendorong perubahan UU KPK pada tahun 2019. Meski mendapatkan penolakan luas dari masyarakat sipil, akademisi, dan mahasiswa, pemerintah tetap bersikeras meloloskan revisi yang secara substansial melemahkan independensi KPK sebagai lembaga antikorupsi.
Hal ini menimbulkan kesan kuat bahwa kekuasaan tidak lagi digunakan untuk memperkuat institusi pemberantas korupsi, tetapi justru untuk menjinakkannya. Amanah sebagai prinsip keadilan dan keberpihakan kepada kepentingan rakyat tergerus oleh kalkulasi politik dan kepentingan elite.
Penyimpangan terhadap prinsip amanah semakin tampak dalam kasus pengangkatan anak dan kerabat dekat Presiden ke posisi strategis di pemerintahan dan lembaga negara. Misalnya, putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, diangkat menjadi calon wakil presiden dalam Pilpres 2024 melalui proses politik yang dipertanyakan, terutama setelah Mahkamah Konstitusi yang saat itu dipimpin oleh ipar Presiden mengubah syarat usia capres/cawapres secara mendadak.
Publik melihat ini bukan hanya sebagai praktik nepotisme, tetapi juga sebagai bentuk manipulasi institusi hukum untuk kepentingan politik keluarga. Hal ini menandakan runtuhnya prinsip amanah, karena kekuasaan dipergunakan bukan untuk mewujudkan kepentingan bangsa, melainkan untuk memperluas pengaruh politik dinasti.
Dampak dari praktik kekuasaan seperti ini sangat merusak bagi institusi demokrasi dan hukum. Demokrasi, yang semestinya menjamin partisipasi publik, transparansi, dan akuntabilitas, kini terlihat semakin semu. Penurunan kualitas demokrasi ditandai oleh melemahnya peran oposisi, pembungkaman kritik lewat UU ITE, serta kooptasi terhadap lembaga-lembaga independen. Hukum, yang seharusnya menjadi pilar keadilan, justru sering kali digunakan secara selektif tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Kepercayaan publik terhadap institusi hukum juga terguncang. Ketika Mahkamah Konstitusi, Kejaksaan, dan Kepolisian dilihat lebih sebagai alat kekuasaan daripada pelindung konstitusi dan keadilan, maka integritas negara hukum pun dipertanyakan. Ketika proses hukum dipersepsikan sebagai sarana pembenaran politik alih-alih penegakan keadilan, maka sistem demokrasi konstitusional berada dalam bahaya.
Dalam konteks ini, prinsip amanah bukan lagi menjadi fondasi moral kekuasaan, melainkan simbol kosong yang diabaikan. Kekuasaan digunakan bukan sebagai alat untuk melayani rakyat, melainkan untuk mengamankan posisi, mempertahankan status quo, dan memperluas pengaruh politik kelompok tertentu. Akibatnya, lahirlah sebuah tatanan demokrasi prosedural yang kehilangan ruh etik dan moralnya.
Kesimpulannya, praktik kekuasaan selama dua periode pemerintahan Jokowi secara nyata menunjukkan penyimpangan terhadap prinsip amanah dalam kepemimpinan. Penyimpangan ini telah dan terus berdampak negatif pada kualitas institusi demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia, menciptakan iklim politik yang semakin tidak sehat, dan memperlemah kepercayaan rakyat terhadap sistem negara.
Untuk mengembalikan kepercayaan publik dan memperkuat kembali demokrasi Indonesia, diperlukan reformasi mendalam dan keberanian politik untuk menempatkan kembali nilai-nilai amanah sebagai landasan utama dalam setiap pengambilan kebijakan dan tindakan pemimpin.
Membawa Banyak Mudharat
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa di bawah kepemimpinan Jokowi, Indonesia mengalami percepatan pembangunan infrastruktur secara masif. Jalan tol, pelabuhan, bandara, hingga proyek-proyek strategis nasional seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), menjadi simbol dari ambisi Jokowi untuk mengejar ketertinggalan dan menyatukan wilayah Indonesia yang luas dan terfragmentasi. Ia ingin rakyat di daerah terpencil bisa merasakan geliat pembangunan yang selama ini terlalu Jakarta-sentris. Dalam hal ini, warisan Jokowi terlihat nyata dan berdampak jangka panjang.
Jokowi juga dikenal sebagai sosok yang pragmatis. Ia tak segan menggandeng rival politiknya demi stabilitas pemerintahan. Langkah ini membuat kabinetnya relatif stabil dan jauh dari konflik berkepanjangan yang kerap melumpuhkan pemerintahan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pun relatif stabil, meskipun tidak spektakuler, dan tetap tangguh melewati krisis global serta pandemi COVID-19.
Namun, sisi lain dari warisan Jokowi adalah munculnya kekhawatiran terhadap mundurnya demokrasi dan independensi lembaga-lembaga negara. Tak hanya itu, keputusan politik Jokowi menjelang akhir masa jabatannya juga memicu kontroversi besar, terutama soal kedekatannya dengan dinasti politik dan keterlibatan keluarganya dalam kontestasi kekuasaan. MK dipandang tidak lagi independen ketika mengubah batas usia capres-cawapres yang kemudian menguntungkan anak Jokowi. Ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai etika kekuasaan, nepotisme, dan masa depan demokrasi Indonesia.
Selain itu, proyek-proyek besar seperti IKN juga menimbulkan pertanyaan terkait keberlanjutan lingkungan, pembiayaan, serta manfaat langsung bagi rakyat kecil. Kritik terhadap proyek ini bukan sekadar masalah teknis, tapi juga tentang prioritas pembangunan di tengah masalah-masalah struktural seperti ketimpangan sosial dan pendidikan.
Dengan demikian, Jokowi meninggalkan warisan yang paradoxical. Ia berhasil membawa perubahan fisik yang nyata, mempercepat konektivitas nasional, dan menjaga stabilitas ekonomi dalam situasi global yang tidak mudah. Tapi di saat yang sama, ia juga mewariskan problem serius dalam bidang demokrasi, supremasi hukum, dan etika politik.
Jadi, apakah warisan Jokowi lebih banyak membawa kerusakan daripada kebaikan? Jawabannya bukan sekadar "ya" atau "tidak". Seperti kepemimpinan pemimpin besar lainnya, warisan Jokowi adalah mosaik: ada bagian yang patut diapresiasi, dan ada pula yang harus dikritisi secara tajam. Sejarah yang kelak akan menjadi hakim sejati atas kepemimpinan Jokowi, apakah ia dikenang sebagai arsitek kemajuan, atau justru sebagai pemimpin yang mengorbankan nilai-nilai demokrasi demi stabilitas dan ambisi jangka pendek.
Kehilangan Segalanya
Kini setelah lengser dari kursi kekuasaan, bayang-bayang masa pemerintahan Presiden Jokowi mulai disorot dengan lebih kritis oleh publik. Di balik gemerlap pembangunan infrastruktur dan citra populis yang dulu diagung-agungkan, satu per satu borok kekuasaan mulai terkuak ke permukaan. Dugaan konflik kepentingan, penunjukan pejabat yang sarat kepentingan keluarga, hingga proyek-proyek raksasa yang menyisakan utang dan kerugian negara, mulai menjadi perbincangan hangat di ruang publik.
Berbagai kebijakan yang dulu dibungkus dengan narasi demi kepentingan rakyat, kini dinilai sebagai strategi politis demi memperkuat dinasti kekuasaan. Kredibilitas yang dulu begitu tinggi, perlahan luntur, seiring rakyat mulai merasa dikhianati oleh pemimpin yang mereka percayai. Kekecewaan pun meluas, terutama saat muncul bukti-bukti bahwa sejumlah keputusan besar diambil tanpa transparansi dan akuntabilitas yang semestinya.
Kini, di mata sebagian besar masyarakat, sosok yang dulu dielu-elukan sebagai pemimpin merakyat telah berubah menjadi simbol kekuasaan yang sarat kepentingan. Hilangnya kepercayaan ini tak hanya mencoreng nama baik mantan presiden, tetapi juga menjadi pelajaran pahit tentang pentingnya integritas dan kejujuran dalam memimpin sebuah bangsa.
Dalam konteks politik dan moral bangsa, kepercayaan bukanlah sesuatu yang remeh, ia adalah fondasi utama yang menopang martabat seorang pemimpin.Ketika seorang tokoh bangsa, terlebih lagi mantan kepala negara, telah kehilangan kepercayaan dari rakyatnya, maka yang hilang sesungguhnya bukan sekadar legitimasi politik, melainkan juga harkat kemanusiaan. Kepercayaan adalah sesuatu yang tak ternilai, yang tidak bisa dibeli, digadaikan, atau dimanipulasi. Ia hanya bisa diperoleh lewat konsistensi, integritas, dan keberanian memegang teguh prinsip kebenaran, bahkan di tengah godaan kekuasaan dan tekanan politik.
Sebagian orang mungkin berpikir bahwa kehilangan harta benda adalah bencana besar. Namun sejatinya, harta bisa dicari kembali; ia bersifat material dan tidak melekat pada nilai intrinsik seseorang.
Kekuasaan pun demikian, datang dan pergi tergantung pada situasi dan konstelasi politik. Bahkan kehilangan nyawa, walau menyakitkan, masih bisa dimaknai sebagai bagian dari perjalanan menuju kehidupan yang lain, kehidupan setelah mati. Namun, kehilangan kepercayaan dan harga diri adalah kehilangan yang paling hakiki dan menyakitkan. Ia merobek identitas terdalam seseorang sebagai manusia yang bermoral dan berakal budi.
Harga diri tidak bisa dipaksakan. Ia hanya tumbuh dari kejujuran, dari keberanian mengakui kesalahan, dan dari kesetiaan terhadap kebenaran yang hakiki. Ketika seorang pemimpin yang mestinya menjadi teladan justru mengkhianati amanah rakyat, maka bukan hanya reputasinya yang runtuh, tetapi juga nilai-nilai luhur yang selama ini dikaitkan dengan jabatannya.
Maka wajar jika muncul pertanyaan retoris: "Buat apa hidup di dunia jika sudah tidak lagi dipercaya?" Karena hidup tanpa kepercayaan ibarat kapal tanpa arah di tengah lautan terombang-ambing, kehilangan tujuan, dan rentan tenggelam dalam kehampaan. Kehilangan kepercayaan berarti kehilangan tempat berpijak dalam relasi sosial. Ia membuat seseorang terasing, tidak hanya dari masyarakat, tetapi juga dari dirinya sendiri. Tidak ada jabatan, tidak ada kekayaan, tidak ada gelar kehormatan yang mampu menghapus aib dari hilangnya kepercayaan.
Dalam sejarah, banyak pemimpin besar yang dikenang bukan karena prestasi fisik atau pembangunan material semata, melainkan karena integritas dan ketulusan mereka dalam memimpin. Sebaliknya, mereka yang tercatat sebagai pembohong dan pengkhianat bangsa, hanya dikenang dengan rasa getir dan penyesalan kolektif.
Oleh karena itu, bagi seorang tokoh bangsa, menjaga kepercayaan adalah segalanya. Karena begitu kepercayaan itu hilang, maka ia telah kehilangan segalanya lebih dari harta, kekuasaan, bahkan nyawa. Hilangnya kepercayaan berarti Ia telah kehilangan makna sejatinya sebagai manusia. Biarpun ia masih berlimpah harta, dan anaknya masih menjabat sebagai orang kedua di Indonesia, tetapi kalau kepercayaan itu sudah hilang maka berarti ia telah kehilangan segala galanya sebagai manusia.
Komentar