Nawaitu Redaksi

Polemik Kasus Ijazah Jokowi; Asli Salah, Palsu Celaka

Minggu, 01/06/2025 00:00 WIB
Publik Pertanyakan Keaslian Ijazah Jokowi. (Kolase dari berbagai sumber).

Publik Pertanyakan Keaslian Ijazah Jokowi. (Kolase dari berbagai sumber).

[INTRO]

Pada tanggal  22 Mei 2025 yang lalu, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri telah menyatakan bahwa ijazah Jokowi asli setelah melakukan verifikasi dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) dan membandingkannya dengan dokumen serupa. Sebelumnya, UGM juga telah menegaskan keaslian ijazah tersebut dan menyatakan bahwa dokumen asli disimpan oleh Jokowi.

Sebagai tindaklanjut dari pernyataan keaslian ijazah Jokowi, pihak Bareskrim Polri  kemudian menyatakan menghentikan kasus ini ditingkat penyelidikan. Sebuah pernyataan yang membuat heran banyak orang termasuk  di internal Polri sendiri seperti disampaikan oleh Mantan Wakapolri Komjen Pol Oegroseno melalui kritik tajamnya di sosial media.

Pada kenyataannya, pernyataan keaslian ijazah Jokowi yang disampaikan oleh UGM maupun Bareskrim Polri tidak membuat rakyat percaya begitu saja karena sejauh ini wujud keaslian ijazah itu tak pernah di perlihatkan secara terbuka. Logikanya jika ijazah itu asli, semestinya barang itu sudah muncul sejak Bambang Tri Mulyono dan Gus Nur diadili di Pengadilan Negeri Surakarta. Kalau ijazah Jokowi asli, tak mungkin perintah hakim untuk menghadirkan ijazah tersebut di pengadilan, tidak dipenuhi Jokowi.

Serangkaian kejanggalan tersebut telah mendorong  Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) melayangkan permintaan agar  agar dilakukan gelar perkara secara transparan dan kredibe untuk menyelidiki keaslian ijazah Jokowi. Mereka mengklaim memiliki bukti kuat yang menunjukkan bahwa ijazah Jokowi, termasuk yang dikeluarkan oleh UGM, adalah palsu.

Mereka mengharapkan uji keaslian ijazah Jokowi dengan pendekatan Scientific Crime Investigation (SCI), berupa penggunaan disiplin ilmu forensik, pemeriksaan laboratorium forensik, analisis ilmiah, dokumentasi lengkap dan melibatkan ahli forensik terkait bukan hanya dari internal Polri. Langkah ini sesungguhnya sejalan dengan kebijakan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo sering menyampaikan penggunaan metode Scientific Crime Investigation (SCI), dalam menangani sejumlah perkara yang menyita perhatian publik.

Sampai disini kita tentunya berharap agar uji keaslian secara terbuka berdasarkan metode SCI tersebut segera dapat digelar untuk mendapatkan jawaban tentang status keaslian ijazah Jokowi sebab pada kenyataannya, pernyataan aslinya ijazah Jokowi oleh Bareskrim maupun UGM tidak membuat rakyat mempercayainya.

Untuk itu Karo Wasidik Mabes Polri harus segera menindaklanjuti permintaan Gelar Perkara Khusus yang dilayangkan oleh TPUA. Lalu apa konsekuensi yang terjadi apabila nanti hasil gelar perkara secara terbuka dengan mennggunakan metode SCI membuktikan bahwa dokumen tersebut ternyata palsu alias imitasi ?. Sebaliknya apa pula konsekuensinya kalau ternyata ijazah Jokowi dinyatakan asli ?. Kalau ternyata ijazahnya asli, masih bisakah masyarakat menggugat mantan presiden  Jokowi ?

Jika Ijazah Terbukti Palsu

Jika di kemudian hari melalui proses gelar perkara atau proses pengadilan  yang sah dan final membuktikan bahwa ijazah mantan Presiden Jokowi adalah palsu, maka konsekuensinya akan sangat besar dan luas, mencakup aspek hukum, politik, sosial, hingga sejarah. Berikut uraian konsekuensinya secara gamblang:

Pertama,Konsekuensi Hukum. Apabila terbukti bahwa ijazah yang digunakan oleh mantan Presiden Joko Widodo adalah palsu, maka hal tersebut akan menimbulkan konsekuensi hukum yang serius sesuai dengan ketentuan hukum pidana di Indonesia. Pemalsuan ijazah merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang dapat dikenai hukuman penjara hingga enam tahun.  Selain itu Pasal 69 dan 70 UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi juga mengatur tentang pemalsuan ijazah.

Selain itu, jika terbukti bahwa ijazah palsu tersebut digunakan dalam proses pencalonan sebagai Presiden, maka perbuatan tersebut juga dapat dikategorikan sebagai pemalsuan dokumen negara dan penipuan terhadap lembaga-lembaga negara seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam konteks hukum pemilu, hal ini dapat berimplikasi pada tindak pidana pemilu, yang secara retrospektif dapat mengarah pada diskualifikasi atas pencalonan yang bersangkutan.

Lebih lanjut, apabila Presiden menandatangani pernyataan yang menyatakan keabsahan ijazah tersebut saat mendaftarkan diri sebagai calon presiden, tindakan itu dapat dianggap sebagai pemberian keterangan palsu atau sumpah palsu di bawah sumpah resmi. Perbuatan ini juga tergolong sebagai tindak pidana, karena memberikan pernyataan yang tidak sesuai dengan fakta dalam dokumen resmi memiliki dampak hukum yang sangat serius, khususnya ketika dilakukan dalam kapasitas sebagai pejabat publik.

Dengan demikian, pembuktian atas ketidakabsahan ijazah bukan hanya berdampak secara politis, tetapi juga dapat menyeret pada proses hukum pidana yang kompleks dan berdampak luas terhadap legitimasi jabatan serta integritas lembaga negara yang terlibat.

Kedua, Konsekuensi Politik.Apabila tuduhan mengenai ijazah palsu Presiden Joko Widodo terbukti benar, maka Indonesia akan menghadapi krisis politik yang sangat serius dan berlapis. Konsekuensi utama yang akan muncul adalah krisis legitimasi pemerintahan. Selama dua periode masa jabatannya, seluruh dasar legal pencalonan Jokowi akan dianggap cacat moral dan hukum. Artinya, keabsahan pemerintahan yang telah berjalan selama hampir satu dekade bisa runtuh, karena fondasinya dibangun di atas dokumen yang tidak sah.

Lebih jauh, semua keputusan penting yang diambil selama masa kepemimpinan tersebut mulai dari pengangkatan pejabat tinggi negara, pengesahan undang-undang strategis, hingga kebijakan ekonomi dan diplomasi luar negeri berpotensi kehilangan legitimasi. Setiap kebijakan dapat ditinjau ulang, dipertanyakan, bahkan dibatalkan secara hukum maupun politik, karena diambil oleh figur yang seharusnya tidak memiliki posisi itu.

Dampak serius juga akan menimpa partai politik yang mengusungnya, terutama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Reputasi partai bisa hancur jika publik menilai bahwa PDIP mengetahui atau bahkan terlibat dalam menutupi fakta tersebut. Sanksi moral akan datang dari rakyat, dan tidak menutup kemungkinan akan ada implikasi hukum jika terbukti ada unsur kesengajaan. Koalisi politik yang mendukung pemerintahan Jokowi pun akan terdampak kepercayaan publik terhadap mereka bisa anjlok drastis, menimbulkan instabilitas dan perpecahan dalam blok kekuasaan.

Tak kalah penting, proses pemilu yang telah berlangsung bisa digugat ulang. Pihak-pihak yang pernah kalah dalam kontestasi Pilpres, seperti Prabowo Subianto atau Anies Baswedan dan yang lainnya, memiliki dasar untuk menyatakan bahwa mereka dikalahkan dalam sebuah proses yang tidak adil sejak awal. Ini membuka pintu bagi gugatan hukum atas validitas hasil pemilu masa itu, dan bisa memicu krisis konstitusional yang luas.

Dengan kata lain, jika terbukti bahwa ijazah Jokowi palsu, maka Indonesia tidak hanya akan menghadapi skandal pribadi, melainkan badai politik nasional yang mengancam stabilitas demokrasi, kepercayaan publik, dan keberlanjutan sistem pemerintahan secara keseluruhan.

Ketiga, Konsekuensi Sosial.Jika pada akhirnya terbukti bahwa ijazah mantan Presiden Jokowi  palsu, maka dampaknya terhadap tatanan sosial Indonesia akan sangat besar dan berlapis. Masyarakat yang selama ini sudah terbelah dalam spektrum politik yang tajam bisa semakin terfragmentasi. Pendukung fanatik Jokowi kemungkinan besar akan tetap membelanya habis-habisan, sementara kelompok masyarakat yang merasa telah dibohongi oleh simbol kepercayaan publik akan mengalami guncangan psikologis dan politik yang dalam. Ketegangan ini dapat memperkuat polarisasi sosial, memperuncing perbedaan pandangan, bahkan menimbulkan konflik terbuka di tengah masyarakat.

Lebih dari sekadar kontroversi pribadi, kasus ini juga berpotensi mengguncang fondasi kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan dan sistem politik nasional. Rakyat bisa kehilangan keyakinan terhadap mekanisme seleksi dan integritas pejabat publik, serta mempertanyakan kredibilitas lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi pilar demokrasi dan keadilan.

Tak hanya itu, pengungkapan ijazah palsu ini sangat mungkin memicu gelombang aksi massa dalam skala besar. Demonstrasi dari kelompok yang merasa dikhianati bisa meletus sebagai bentuk kemarahan kolektif, sementara di sisi lain, pendukung Jokowi yang merasa pemimpinnya difitnah juga bisa turun ke jalan untuk memberikan pembelaan. Ketegangan ini berisiko melahirkan bentrokan fisik dan memperburuk situasi keamanan nasional. Jika situasi tidak dikendalikan, instabilitas politik bisa terjadi, bahkan berujung pada tuntutan pengunduran diri tokoh-tokoh penting di lingkar kekuasaan.

Dengan kata lain, pembuktian bahwa ijazah mantan Presiden Jokowi palsu bukan hanya akan menjadi skandal pribadi, melainkan juga krisis sosial dan politik yang luas, yang dapat mengguncang sendi-sendi kepercayaan bangsa terhadap para pemimpinnya.

Ke Empat, Konsekuensi Institusional. Jika terbukti bahwa ijazah mantan Presiden Jokowi  adalah palsu, maka konsekuensinya tidak hanya akan mengguncang kredibilitas pribadi, tetapi juga berdampak besar secara institusional. Pertama, sistem verifikasi pencalonan presiden akan menjadi sorotan utama. Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan lembaga-lembaga terkait dipastikan akan menerima gelombang kritik yang sangat keras. Publik dan pengamat politik akan menuntut evaluasi menyeluruh, bahkan reformasi terhadap mekanisme verifikasi dan validasi dokumen pencalonan presiden agar kejadian serupa tidak terulang.

Tak hanya itu, dunia pendidikan tinggi pun tak akan luput dari perhatian. Jika terbukti ada keterlibatan institusi UGM dalam melegitimasi atau bahkan memalsukan ijazah, maka audit internal hingga investigasi pidana terhadap oknum kampus hampir tak terelakkan. Kepercayaan terhadap lembaga pendidikan bisa runtuh, dan pemerintah akan didesak untuk memperketat pengawasan terhadap administrasi akademik di seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Dalam skenario ini, dampak kasus tidak hanya bersifat individual, melainkan berpotensi mengubah wajah sistem kelembagaan di tanah air.

Kelima, Konsekuensi Historis. Jika pada akhirnya terbukti bahwa ijazah Presiden Joko Widodo adalah palsu, maka peristiwa ini tidak hanya akan menjadi skandal politik biasa, melainkan akan mencatatkan konsekuensi historis yang mendalam bagi bangsa Indonesia. Jokowi akan dikenang dalam sejarah sebagai presiden yang naik ke tampuk kekuasaan melalui dokumen palsu sebuah noda besar yang mencoreng perjalanan panjang demokrasi Indonesia.

Reputasi politik dan legitimasi pemerintahan selama dua periode akan dipertanyakan, dan luka kepercayaan publik terhadap institusi negara akan membekas lama. Buku-buku sejarah dan narasi resmi yang selama ini menggambarkan kepemimpinan Jokowi sebagai simbol kesederhanaan dan harapan rakyat kemungkinan besar harus mengalami revisi besar-besaran. Koreksi terhadap fakta akan menjadi keharusan, dan generasi mendatang akan mempelajari kisah ini sebagai peringatan tentang pentingnya integritas dalam kepemimpinan nasional.

Jika Terbukti Asli

Jika ijazah Jokowi terbukti palsu akan membawa konsekuensi yang serius maka demikian pula halnya jika ijazah itu pada akhirnya dinyatakan asli maka hal ini juga akan membawa sejumlah konsekuensi penting di berbagai bidang, terutama mengingat isu keaslian ijazah Jokowi sempat menjadi bahan polemik dan perdebatan publik di Indonesia. Berikut adalah konsekuensi yang dapat timbul:

Pertama, Konsekuensi Hukum. Jika ijazah mantan Presiden Jokowi terbukti asli melalui proses gelar perkara secara terbuka, maka hal tersebut akan membawa sejumlah konsekuensi hukum yang signifikan. Yaitu seluruh gugatan atau tuntutan hukum yang selama ini dibangun di atas asumsi bahwa ijazah tersebut palsu akan otomatis gugur, karena tidak lagi memiliki dasar hukum yang relevan.

Selain itu pembuktian keaslian ijazah membuka kemungkinan bagi pihak Presiden atau instansi terkait untuk melakukan tuntutan balik terhadap pihak-pihak yang menyebarkan tuduhan palsu, terutama jika terbukti bahwa tuduhan tersebut disengaja untuk merusak reputasi yang dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik atau penyebaran fitnah. Terakhir, keputusan hukum yang menegaskan keaslian dokumen tersebut juga akan menciptakan preseden hukum penting bagi kasus-kasus serupa di masa mendatang, sekaligus mempertegas standar pembuktian yang diperlukan dalam menghadapi tuduhan pemalsuan dokumen.

Kedua, Konsekuensi Politik. Jika ijazah Presiden Jokowi terbukti asli, maka hal ini akan membawa konsekuensi politik yang signifikan. Yaitu legitimasi Jokowi sebagai presiden baik untuk periode 2014–2019 maupun 2019–2024 akan semakin kokoh, tidak hanya secara hukum, tetapi juga secara politik dan moral di mata publik. Pengesahan atas keaslian ijazah itu akan memperkuat posisi historisnya sebagai pemimpin yang sah, sekaligus membungkam keraguan yang selama ini dilontarkan terhadapnya.

Selain itu  kredibilitas pihak-pihak yang selama ini menggulirkan isu ijazah palsu tanpa bukti kuat akan terpukul. Politisi, kelompok, atau tokoh yang menggunakan isu ini sebagai alat delegitimasi bisa kehilangan kepercayaan publik, bahkan dari sebagian pendukungnya sendiri.

Terakhir, terbuktinya keaslian ijazah tersebut berpotensi meredakan salah satu polemik politik yang selama ini cukup sensitif dan sering dimanfaatkan dalam wacana oposisi. Dengan hilangnya isu ini dari arena pertarungan politik, stabilitas politik nasional dapat terjaga lebih baik, membuka ruang bagi diskursus yang lebih substansial dalam demokrasi.

Ketiga, Konsekuensi Sosial dan Budaya. Jika ijazah mantan Presiden Joko Widodo terbukti asli melalui proses gelar perkara yang  transparan, maka hal ini akan membawa konsekuensi sosial dan budaya yang signifikan di tengah masyarakat.Polarisasi yang selama ini membelah publik akibat perdebatan soal keabsahan ijazah tersebut bisa mulai mereda. Kebenaran yang telah terkonfirmasi secara resmi dapat menjadi titik temu yang, meskipun tidak menyatukan seluruh pihak secara mutlak, mampu mengurangi ketegangan dan mempersempit jurang perbedaan persepsi di ruang publik.

Selain itu, terungkapnya fakta otentik juga berpotensi meningkatkan kesadaran literasi digital masyarakat. Banyak warga akan mulai lebih berhati-hati dalam menerima dan menyebarkan informasi dari media sosial, khususnya yang tidak didukung oleh bukti konkret, sehingga muncul budaya digital yang lebih kritis dan bertanggung jawab.

Terakhir, pembuktian keaslian ijazah ini bisa menjadi momen penting bagi pemulihan reputasi institusi seperti UGM dan para tokoh yang sebelumnya terseret dalam kontroversi. Validasi ini bukan hanya mengembalikan nama baik mereka, tetapi juga memperkuat kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan dan figur-figur yang selama ini menjadi bagian dari narasi tersebut.

Ke Empat, Dampak Terhadap Media dan Aktivis.Apabila ijazah mantan Presiden Jokowi terbukti asli melalui proses hukum dan verifikasi resmi, maka konsekuensinya akan terasa luas, khususnya bagi media dan aktivis digital. Media massa maupun kanal YouTube yang sebelumnya menyebarkan tuduhan palsu dapat menghadapi tekanan publik yang besar, termasuk kehilangan kredibilitas di mata masyarakat. Tak hanya itu, mereka juga berpotensi menghadapi tuntutan hukum atas penyebaran informasi yang terbukti tidak benar.

Di sisi lain, kasus ini menjadi cerminan penting bagi dunia aktivisme digital. Ia menggarisbawahi betapa tipisnya batas antara kritik yang sah dan fitnah yang merugikan, sekaligus menjadi pengingat akan pentingnya etika dalam menyampaikan opini di ruang publik. Peristiwa ini bisa memicu evaluasi menyeluruh terhadap cara para aktivis dan warganet menyampaikan kritik, mendorong terciptanya ruang diskusi yang lebih bertanggung jawab dan berbasis data.

Kelima, Pendidikan Publik. Jika ijazah mantan Presiden Jokowi terbukti asli melalui proses gelar perkara yang transparan dan akuntabel, maka hal ini akan memberikan dampak positif bagi aspek pendidikan publik.

Masyarakat akan menyadari pentingnya verifikasi informasi secara resmi, bahwa dokumen publik seperti ijazah tidak bisa dijadikan alat spekulasi atau senjata politik tanpa dasar yang sah. Lebih dari itu, proses pembuktian yang terbuka akan memperkuat kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan dan lembaga hukum, menunjukkan bahwa keduanya mampu menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya secara profesional. Dalam jangka panjang, hal ini bisa mendorong budaya literasi informasi dan meningkatkan kualitas diskursus publik di Indonesia.

Jangan Bersorak Dulu

Sungguhpun demikian walau pada akhirnya nanti ada  keputusan  (misalnya lewat gelar perkara yang transparan dan kredibel) menyatakan ijazah Jokowi asli, kubu Jokowi tidak serta merta bisa bernafas lega dan berbangga diri karena masih ada peluang untuk digugat lagi. Karena persoalan ini tidak serta merta menghapus jejak panjang kegaduhan publik yang telah muncul akibat tarik ulur kebenaran yang sempat dipertanyakan.

 Seperti yang kerap disampaikan oleh pengamat politik Rocky Gerung, permasalahan utama bukan hanya terletak pada keaslian dokumen, tetapi pada munculnya kegaduhan masif yang terakumulasi selama bertahun-tahun tanpa klarifikasi tuntas dari pihak yang bersangkutan.

Kegaduhan yang dimaksud bukan hanya soal legalitas, melainkan soal etika kepemimpinan, keterbukaan informasi publik, dan hak rakyat untuk mendapatkan penjelasan yang jujur dan transparan dari seorang pemimpin. Ketika rakyat dibiarkan berspekulasi dalam waktu yang lama, ketika pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang integritas tidak dijawab secara langsung, maka yang muncul adalah ketidakpercayaan dan kekacauan opini publik yang semakin membelah masyarakat.

Dalam konteks ini, bisa dikatakan bahwa mantan Presiden Jokowi, meskipun dinyatakan sah secara administratif, telah gagal membangun ruang publik yang sehat dan bertanggung jawab. Ia tidak hanya menjadi objek dari sebuah kontroversi, tetapi juga aktor yang dianggap pasif dalam meredam kegaduhan yang muncul. Dan dari kegaduhan inilah muncul pertanyaan moral: apakah seorang pemimpin yang membiarkan kegaduhan terus berlarut tanpa penyelesaian tegas tidak patut dimintai pertanggungjawaban?

Rocky Gerung dan sejumlah pengkritik lain memandang bahwa sanksi moral, bahkan mungkin sanksi politik, seharusnya menjadi konsekuensi logis dari kerusakan komunikasi publik yang telah terjadi. Kegaduhan ini bukan sekadar soal ijazah, tetapi tentang keteladanan dan rasa tanggung jawab seorang pemimpin terhadap narasi besar bangsa yang ia bentuk. Ketika seorang Presiden atau mantan Presiden tidak hadir sebagai peneduh dalam badai keraguan publik, maka ia telah mengambil bagian dalam kekacauan itu sendiri.

Dengan demikian, meskipun keaslian ijazah tidak terbantahkan, warisan dari peristiwa ini menyisakan luka dalam demokrasi: di mana kepercayaan publik tercabik, dan ruang diskusi menjadi ladang saling tuduh. Maka, yang patut dipertimbangkan bukan hanya keabsahan dokumen, tetapi juga beban moral atas kegaduhan yang telah menguras energi bangsa. Dan untuk itu, sejarah akan menilai bahwa menjadi benar secara hukum tidak selalu berarti menjadi benar secara etika. Sehingga mantan Presiden Jokowi bisa dituntut lagi sebagai biang pembuat kegaduhan selama dua tahun terakhir ini.

Saat ini perkara dugaan ijazah palsu mantan Presiden Jokowi memang masih bergulir di ranah publik meskipun Bareskrim Polri menyatakan telah menghentikan ditingkan penyelidikan. Tapi indikasi bahwa ijazah itu memang benar benar palsu semakin menunjukkan hilalnya. Banyak hal yang mengarah pada dugaan bahwa ijazah Jokowi itu mengarah ke palsu dimulai dari keengganan Jokowi sendiri untuk hadir di Pengadilan dan menunjukkan ijazah aslinya sampai dengan adanya temuan temuan yang diperlihatkan oleh para pakar seperti Dr. Roy Suryo, Dr.Tifa , Dr. Rismon dan kawan kawannya

Mereka ini telah mengumpulkann banyak bukti yang mengindikasikan bahwa ijazah Jokowi benar benar palsu ketika dikaji secara ilmiah seperti penggunaan font, pihak yang bertanda tangan di ijazah, pembuatan skripsi yang konon baru dilakukan di tahun 2018 pada hal Jokowi sudah mendapatkan ijazah tahun 1985 dan sebagainya. Selain itu dosen yang diaku Jokowi sebagai pembimbing skripsinya yaitu Bapak Kasmujo belakangan membantah kalau ia pembimbing skripsinya. Belum lagi soal alat bukti yang diklaim asli oleh Jokowi tapi tidak pernah mau diperlihatkan secara terbuka ke publik

Apa pun hasil gelar perkara  nantinya (kalau memang akan dilaksanakan), apakah ijazah itu dinyatakan asli atau palsu, polemik ini sudah terlanjur menjadi bara dalam sekam yang membakar kepercayaan publik. Bila ijazah itu terbukti asli, Jokowi bisa saja lolos dari jeratan hukum, tapi tidak dari kecurigaan rakyat yang merasa ditertawakan oleh kegaduhan yang tak perlu. Ia bisa dituntut lagi sebagai pihak pembuat kegaduhan. Sebaliknya, jika ternyata palsu, maka bukan hanya marwah pribadi yang hancur, melainkan juga legitimasi seluruh kebijakan yang pernah diambil selama satu dekade kepemimpinannya.

Dalam situasi seperti ini, rakyat bukan sekadar penonton mereka berhak bertanya, menggugat, bahkan marah. Karena di republik ini, kejujuran bukan hanya soal hukum, tapi soal harga diri bangsa. Dan di tengah absurditas ini, yang paling celaka bukan siapa yang dituduh, tapi kebenaran yang terus dipermainkan. Lantas sampai kapan ?.

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar