Khairul A.El Maliky, Pemerhati Sosial dan Budaya

Bagikan Gaji Tanpa Mengajar

Kamis, 29/05/2025 22:21 WIB
Ilustrasi guru sekolah (Dok.Sevima)

Ilustrasi guru sekolah (Dok.Sevima)

Jakarta, law-justice.co - Dalam sebuah lanskap pendidikan Indonesia yang terus berubah, terdapat satu paradoks yang tak kunjung terselesaikan: guru yang tetap menerima gaji padahal tak pernah mengajar. Fenomena ini bukan sekadar cacat administratif atau kelengahan birokrasi. Ia mencerminkan krisis etika, kebobrokan sistemik, serta kegagalan dalam menegakkan integritas pendidikan. 

Maka opini ini hadir sebagai tafsir kritis sekaligus gugatan moral terhadap praktik “gaji tanpa kinerja” di institusi yang seharusnya paling suci: dunia pendidikan.

Pendidikan yang Berkarat

Pendidikan semestinya menjadi ruang suci untuk mentransformasikan generasi. Namun, ketika pendidik tidak lagi hadir di kelas tapi masih mencicipi manisnya gaji, maka sistem itu telah tercemar. Jika guru, tokoh panutan intelektual dan moral, boleh mengabaikan tugas namun tetap diberi penghargaan finansial, bagaimana mungkin kita berharap murid akan memaknai kerja keras sebagai nilai luhur?

Sebagian kasus terjadi karena penempatan guru yang tidak merata. Guru-guru menumpuk di kota, sedangkan sekolah di daerah pelosok dibiarkan hampa. Ada juga karena rotasi politik, titipan pejabat, atau sekadar keberuntungan sistem. Mereka absen secara fisik dan pedagogis, tapi kehadiran mereka di slip gaji tetap nyata. Inilah pendidikan yang berkarat. Terlihat mulia, tapi menyimpan korosi di dalamnya.

Dimensi Etika dan Moralitas

Menggaji seseorang tanpa kewajiban kerja bukan hanya masalah efisiensi, tapi pelanggaran moral. Dalam etika profesi, ada prinsip just wage, upah yang adil berdasarkan kontribusi nyata. Ketika prinsip ini dilanggar, maka yang terjadi adalah kejahatan yang dilegalkan oleh sistem.

Bayangkan seorang guru ASN yang duduk manis di rumah, sibuk dengan bisnis pribadi, bahkan mungkin menjadi makelar kendaraan, sementara gajinya tetap mengalir dari APBN. Ia menjadi benalu yang menghisap anggaran negara, dan lebih parahnya, ia mengkhianati martabat profesi pendidik.

Moralitas kolektif terguncang ketika masyarakat tahu bahwa seorang guru tidak mengajar tapi tetap digaji. Sinyal yang dikirim ke publik adalah: "integritas tak penting, yang penting punya SK." Masyarakat jadi sinis, dan pelan-pelan kehilangan kepercayaan pada pendidikan sebagai instrumen pencerahan.

Sistem yang Membiarkan Kebusukan

Fenomena ini tak terjadi dalam ruang hampa. Ia difasilitasi oleh sistem birokrasi yang lemah, pengawasan yang longgar, dan budaya kompromi yang akut. Banyak kepala sekolah memilih diam karena takut berurusan dengan guru ‘berkoneksi’. Dinas pendidikan pun enggan bertindak tegas karena relasi politik dan budaya feodal.

Sementara itu, sistem digital kehadiran atau absensi daring yang semestinya jadi alat kontrol seringkali dimanipulasi. Ada guru yang titip absen, bahkan membuat jejak kehadiran fiktif hanya untuk melengkapi dokumen akreditasi. Maka, dunia pendidikan kita menjelma menjadi panggung absurditas: formalitas dijalankan, substansi diabaikan.

Gaji sebagai Hak atau Anugerah?

Gaji, dalam logika kerja modern, adalah kompensasi atas waktu, tenaga, dan dedikasi. Ia bukan sekadar hak administratif yang otomatis. Maka, ketika seorang guru tetap mendapatkan gaji tanpa mengajar, ia sesungguhnya menerima sesuatu yang bukan haknya, ia mengonsumsi uang rakyat tanpa kontribusi.

Hal ini membentuk pola pikir permisif: bahwa pekerjaan bisa dijalani secara simbolik, bukan fungsional. Lama-lama, muncul sindrom pengabdi SK, di mana yang dikejar hanyalah status PNS, bukan kualitas pengajaran. Profesi guru yang dulu dianggap mulia karena dedikasinya, kini terancam dipandang sebagai zona nyaman penuh privilege.

 

Dampak Psikologis dan Sosial

Kondisi ini juga menghancurkan psikologi kerja guru-guru lain yang sungguh-sungguh mengajar. Mereka melihat rekan sejawatnya bermalas-malasan, tapi tetap digaji sama. Timbullah frustrasi, iri, bahkan keputusasaan. Etos kerja pun tergerus.

Sementara di sisi siswa, ketidakhadiran guru berarti kehilangan akses terhadap ilmu, keterampilan, dan inspirasi. Bayangkan anak-anak di pelosok harus belajar sendiri karena gurunya tidak pernah muncul. Mereka bukan hanya dirampas haknya, tapi juga dikhianati oleh negara yang membiayai ketidakhadiran itu.

Politik Anggaran dan Ironi Nasional

Anggaran pendidikan kita mencapai ratusan triliun rupiah tiap tahun. Namun ironisnya, banyak dana habis bukan untuk peningkatan mutu, melainkan untuk membiayai sistem yang membusuk. Guru-guru yang tak mengajar tetap menerima gaji, tunjangan, bahkan sertifikasi.

Hal ini adalah ironi nasional: negara membiayai ketidakaktifan. Seolah-olah sistem kita telah kehilangan daya seleksi terhadap siapa yang layak dan siapa yang hanya menumpang. Dalam negara yang sehat, gaji tanpa kerja adalah pelanggaran. Dalam negara yang korup, itu hanya rutinitas.

Solusi Kultural dan Struktural

Masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan regulasi administratif. Ia butuh revolusi kultural dan restrukturisasi sistem.

Pertama, perlu ada digitalisasi pengawasan berbasis GPS dan sistem kerja terintegrasi berbasis kinerja. Kedua, perlu transparansi publik—data kehadiran guru bisa dibuka ke masyarakat. Ketiga, harus ada keberanian dari kepala sekolah, pengawas, dan dinas untuk menindak tegas.

Lebih jauh, kita perlu membangun budaya malu. Guru yang tak mengajar tapi tetap bergaji harus disorot, bukan dilindungi. Media, LSM, dan masyarakat sipil bisa memainkan peran penting untuk menciptakan tekanan moral.

Pendidikan yang Memanusiakan

Tujuan akhir pendidikan bukan sekadar pencapaian kurikulum, tapi pembentukan manusia seutuhnya. Maka, jika guru saja tak menjalankan peran kemanusiaannya, bagaimana mungkin kita membentuk murid yang utuh?

Pendidikan yang memanusiakan adalah pendidikan yang dijalankan oleh manusia-manusia bermoral. Bukan oleh penumpang yang hanya numpang nama, numpang gaji, tapi kosong dari dedikasi. Kita butuh guru yang hadir bukan hanya di kelas, tapi juga dalam kesadaran dan nurani.

 

Tindakan Nyata atau Sekadar Retorika?

Pemerintah sudah berkali-kali mengeluarkan aturan soal disiplin ASN, termasuk guru. Tapi implementasinya sering setengah hati. Apakah kita hanya akan terus mengeluh atau mulai bertindak?

Langkah nyata adalah evaluasi menyeluruh terhadap guru-guru ‘hantu’ yang tak pernah mengajar. Kedua, revisi skema pemberian tunjangan agar berbasis kinerja riil, bukan kehadiran administratif. Ketiga, perlindungan terhadap whistleblower yang melaporkan kecurangan di lingkungan sekolah.

Dan terakhir: pembenahan tak boleh tebang pilih. Jangan karena yang bersangkutan adalah ‘orang dalam’, maka pelanggarannya ditutup-tutupi.

Gaji Tanpa Mengajar adalah Korupsi Sunyi

Dalam dunia pendidikan, tak semua korupsi berbentuk amplop. Ada korupsi sunyi yang lebih merusak: ketidakhadiran guru yang tetap digaji. Ia tidak hanya merusak sistem keuangan negara, tapi juga menghancurkan integritas profesi dan masa depan generasi.

Opini ini bukan sekadar keluhan, tapi undangan untuk bertindak. Pendidikan harus direbut kembali dari tangan mereka yang mengkhianatinya. Karena pendidikan bukan panggung sandiwara. Dan guru bukan aktor yang boleh absen lalu tetap diberi tepuk tangan. Semoga tulis ini membuat para guru bangun dan sadar. 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar