Nawaitu Redaksi

Saat Ojek Online Terancam Punah, Tanggungjawab Pemerintah Apa?

Minggu, 25/05/2025 00:01 WIB
Sejumlah pengemudi ojek daring (ojol) melakukan aksi demonstrasi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa (20/5/2025). Dalam aksinya mereka menutut aplikator untuk menurunkan potongan komisi menjadi 10 persen dan juga mendesak pemerintah untuk menerbitkan UU Transportasi Online Indonesia. Robinsar Nainggolan

Sejumlah pengemudi ojek daring (ojol) melakukan aksi demonstrasi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa (20/5/2025). Dalam aksinya mereka menutut aplikator untuk menurunkan potongan komisi menjadi 10 persen dan juga mendesak pemerintah untuk menerbitkan UU Transportasi Online Indonesia. Robinsar Nainggolan

[INTRO]

Saat ini, industri ojek online (Ojol) di Indonesia tengah menghadapi tantangan besar. Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa sekitar 90 persen pengemudi ojol diprediksi akan kehilangan pekerjaan mereka dalam beberapa tahun ke depan. Prediksi ini bukan tanpa alasan, melainkan berakar dari perubahan besar yang terjadi dalam teknologi, regulasi, dan persaingan di industri transportasi digital

Mengapa ojol itu bakal kehilangan pekerjaan mereka ?, Apa dampak yang terjadi dengan hilangnya sekitar 90 persen ojol ? Lalu siapa yang harus bertanggungjawab atas hilangnya pekerjaan mereka ?

Penyebabnya Hilangnya Ojol

Ada beberapa alasan yang bisa menggambarkan mengapa 90 persen ojek online berpotensi kehilangan pekerjaan, dengan perkembangan teknologi dan perubahan pasar yang semakin pesat. Beberapa alasan tersebut meliputi:

Pertama, Otomatisasi dan Kendaraan Listrik/Robot. Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi di era digital, kehadiran kendaraan otomatis seperti mobil dan sepeda motor tanpa pengemudi (self-driving) tidak lagi sekadar konsep futuristik, melainkan semakin mendekati kenyataan yang siap diadopsi secara luas. Inovasi ini menjanjikan perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam sektor transportasi.

Dengan kemampuan navigasi berbasis kecerdasan buatan serta sistem sensor yang canggih, kendaraan otomatis dapat beroperasi tanpa campur tangan manusia, menawarkan efisiensi dan kepraktisan yang belum pernah ada sebelumnya.

Jika teknologi ini diimplementasikan secara massal, maka dampaknya terhadap industri transportasi berbasis aplikasi seperti ojek online akan sangat signifikan. Saat ini, model bisnis ojek online sangat bergantung pada keberadaan pengemudi manusia. Namun, dengan hadirnya kendaraan otonom, peran pengemudi dapat digantikan oleh sistem otomatis yang mampu mengantar penumpang dari satu titik ke titik lainnya tanpa keterlibatan manusia.

Hal ini tentu menjadi solusi menarik bagi perusahaan penyedia layanan, karena kendaraan otomatis tidak hanya beroperasi tanpa lelah sepanjang hari, tetapi juga dapat mengurangi biaya operasional, seperti gaji pengemudi, asuransi, serta risiko kecelakaan akibat kesalahan manusia.Namun demikian, kemajuan ini juga membawa tantangan sosial yang tidak kecil, terutama terkait dengan potensi hilangnya mata pencaharian bagi jutaan pengemudi ojek online yang saat ini menggantungkan hidup pada pekerjaan tersebut.

Kedua, Meningkatnya Penggunaan Aplikasi Berbasis AI.  Teknologi kecerdasan buatan (AI) yang semakin canggih membuka peluang besar dalam dunia transportasi, khususnya dalam pengembangan aplikasi yang mampu mengatur perjalanan dan rute secara lebih efisien. Dengan kemampuan analisis data real-time, AI dapat memproses informasi lalu lintas, kondisi jalan, serta permintaan penumpang untuk menyusun rute tercepat dan paling optimal. Lebih dari sekadar memudahkan pengguna, kemajuan ini juga membawa implikasi besar terhadap sektor pekerjaan, terutama bagi para pengemudi ojek online.

Dalam skenario yang terus berkembang, sistem otomatis seperti kendaraan tanpa pengemudi dan algoritma penjadwalan pintar berpotensi menggantikan peran manusia dalam proses pengantaran. Meskipun efisiensi dan keselamatan dapat meningkat, transformasi ini juga memunculkan tantangan baru, seperti hilangnya lapangan pekerjaan serta kebutuhan untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja agar dapat beradaptasi dengan ekosistem digital yang terus berubah.

Ketiga, Pengurangan Permintaan Layanan Ojek Online.Seiring berjalannya waktu, berbagai faktor eksternal seperti pandemi global maupun perubahan gaya hidup masyarakat telah membawa dampak signifikan terhadap berbagai sektor, termasuk layanan ojek online. Pada masa pandemi, pembatasan mobilitas serta kebijakan bekerja dari rumah (work from home) membuat kebutuhan akan transportasi harian menurun drastis. Kondisi ini memicu penurunan permintaan terhadap layanan ojek online, yang sebelumnya menjadi andalan masyarakat urban untuk bepergian secara cepat dan praktis.

Selain itu, setelah pandemi, pola hidup masyarakat pun turut berubah. Banyak orang yang mulai mengadopsi gaya hidup yang lebih hemat dan ramah lingkungan, seperti menggunakan sepeda listrik, memanfaatkan layanan carpooling, atau beralih ke transportasi umum yang biayanya lebih terjangkau. Perubahan preferensi ini secara perlahan mengurangi ketergantungan terhadap ojek online, terutama untuk perjalanan jarak pendek atau komuter harian.

Akibat dari penurunan permintaan ini tidak hanya dirasakan oleh perusahaan penyedia layanan, tetapi juga berdampak langsung pada para mitra pengemudi. Menurunnya jumlah penumpang berarti berkurangnya potensi pendapatan harian, yang pada gilirannya bisa memengaruhi keberlanjutan pekerjaan mereka di sektor ini. Jika tren ini terus berlanjut tanpa adanya adaptasi atau diversifikasi layanan dari pihak penyedia ojek online, maka risiko pengurangan jumlah mitra atau bahkan hilangnya lapangan kerja di sektor ini menjadi suatu kemungkinan yang patut diantisipasi.

Ke Empat, Efisiensi Biaya untuk Perusahaan. Perusahaan ojek online, sebagai entitas bisnis yang berorientasi pada efisiensi dan profitabilitas, senantiasa mencari cara untuk menekan biaya operasional mereka. Dalam upaya menjaga daya saing dan memperbesar margin keuntungan, berbagai inovasi teknologi mulai dipertimbangkan, termasuk adopsi kendaraan otomatis dan sistem berbasis kecerdasan buatan. Jika teknologi ini mampu memberikan layanan yang lebih cepat, hemat, dan dapat diandalkan, maka perusahaan-perusahaan tersebut sangat mungkin untuk mengurangi ketergantungan pada pengemudi manusia.

Langkah ini tentu dilatarbelakangi oleh pertimbangan ekonomi. Gaji pengemudi, tunjangan, insentif, serta risiko operasional yang melekat pada tenaga kerja manusia, seperti kecelakaan atau ketidakhadiran, merupakan komponen biaya yang cukup besar. Dengan mengganti peran pengemudi manusia menggunakan sistem otomatis, perusahaan dapat memangkas pengeluaran secara signifikan sekaligus menjaga konsistensi layanan.

Namun, pergeseran ini juga membawa dampak sosial yang tidak kecil. Pengurangan jumlah pengemudi manusia berpotensi menimbulkan masalah ketenagakerjaan, terutama di wilayah-wilayah yang sangat bergantung pada ekonomi gig atau pekerjaan informal berbasis platform digital.

Ke Lima, Pergeseran Kebijakan Pemerintah atau Peraturan yang Ketat. Pemerintah memiliki wewenang untuk mengatur sektor transportasi demi menciptakan sistem yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Salah satu langkah yang mungkin diambil adalah memberlakukan regulasi yang lebih ketat, misalnya dengan membatasi jumlah kendaraan pribadi di jalanan guna mengatasi kemacetan dan polusi udara. Selain itu, pemerintah juga dapat mengarahkan kebijakan transportasi untuk lebih mendukung pengembangan angkutan umum massal seperti bus rapid transit (BRT), kereta komuter, atau moda transportasi berbasis rel lainnya.

Namun, kebijakan semacam ini bisa berdampak langsung pada sektor informal transportasi, khususnya ojek online yang saat ini menjadi tulang punggung mobilitas harian jutaan masyarakat. Penurunan dukungan terhadap ojek online baik dalam bentuk pembatasan operasional, pengurangan insentif, atau aturan zonasi  dapat menyebabkan berkurangnya permintaan terhadap layanan mereka. Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi mengancam keberlanjutan mata pencaharian jutaan pengemudi yang bergantung pada platform tersebut sebagai sumber penghasilan utama.

Ke Enam, Perubahan Pola Konsumsi dan Mobilitas.Perubahan perilaku konsumen yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan kecenderungan yang semakin beragam, dengan meningkatnya minat terhadap penggunaan kendaraan pribadi, berbagi kendaraan (ride-sharing), serta kendaraan ramah lingkungan, seperti sepeda listrik dan mobil listrik. Fenomena ini berpotensi mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap layanan ojek online, yang sebelumnya menjadi pilihan utama dalam mobilitas perkotaan. Jika tren ini berlanjut, maka dapat diprediksi bahwa jumlah permintaan terhadap layanan ojek online akan mengalami penurunan signifikan.

Dampaknya, hal ini bisa memengaruhi lapangan pekerjaan di sektor ojek online, mengingat banyaknya pengemudi yang bergantung pada pekerjaan tersebut sebagai sumber utama penghasilan mereka. Penurunan permintaan akan ojek online berisiko mengurangi kesempatan kerja di sektor ini, yang pada gilirannya dapat memicu ketidakpastian ekonomi bagi mereka yang bekerja di dalamnya. Di sisi lain, perkembangan teknologi dan semakin populernya kendaraan ramah lingkungan dapat membuka peluang baru di bidang transportasi, yang membutuhkan penyesuaian keterampilan dan adaptasi dari pekerja sektor ojek online.

Ke Tujuh, Persaingan dengan Layanan Lain. Persaingan yang semakin ketat dari berbagai jenis layanan transportasi alternatif, seperti kendaraan berbagi (ride-sharing) dan penyedia transportasi publik yang semakin efisien, berpotensi besar untuk mengurangi pangsa pasar ojek online. Layanan-layanan ini sering kali menawarkan harga yang lebih kompetitif, kenyamanan yang lebih baik, serta lebih banyak pilihan rute yang dapat dipilih oleh konsumen.

Ketika pelanggan beralih ke moda transportasi lain yang lebih efisien atau terjangkau, perusahaan ojek online yang gagal berinovasi dan beradaptasi dengan perubahan kebutuhan pasar akan kesulitan mempertahankan daya saing.

Hal ini dapat berujung pada pengurangan jumlah pengemudi yang bekerja di platform tersebut, sebagai akibat dari penurunan permintaan layanan, serta penurunan pendapatan yang dapat mengancam keberlangsungan operasional perusahaan. Jika situasi ini berlanjut, perusahaan ojek online yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan tren baru atau menghadapi tantangan dari pesaing, berisiko kehilangan pelanggan setia dan menghadapi stagnasi dalam pertumbuhannya.

Implikasi yang Bakal Terjadi

Potensi hilangnya 90 persen ojek online akan memberikan dampak yang sangat besar pada berbagai aspek kehidupan, baik ekonomi, sosial, maupun mobilitas masyarakat. Layanan ojek online, yang telah menjadi salah satu pilar utama sistem transportasi perkotaan, telah membantu jutaan pengguna dan pengemudi yang bergantung pada pekerjaan ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Dampak dari hilangnya layanan ini tentu akan sangat terasa, terutama dalam beberapa sektor yang krusial.

Bagi jutaan pengemudi ojek online, kehilangan akses ke layanan ini berarti kehilangan sumber pendapatan utama mereka. Banyak dari pengemudi tersebut adalah pekerja informal yang tidak memiliki cadangan finansial. Tanpa adanya pekerjaan pengganti, banyak yang akan menghadapi peningkatan angka pengangguran dan ketidakpastian ekonomi, karena mereka sangat bergantung pada pendapatan harian yang diperoleh dari layanan ojek online.

Di sisi lain, dampak juga akan sangat terasa pada mobilitas masyarakat. Ojek online telah menjadi pilihan transportasi yang cepat dan fleksibel, terutama di kota-kota besar yang sering kali dihantui oleh kemacetan. Tanpa adanya layanan ini, alternatif transportasi yang efisien akan berkurang, yang pada akhirnya akan meningkatkan ketergantungan pada kendaraan pribadi atau transportasi umum yang sudah sesak. Ini tentu saja akan memperburuk kemacetan lalu lintas dan menurunkan kenyamanan mobilitas di berbagai kota besar.

Dampak hilangnya ojek online juga akan sangat terasa dalam sektor ekonomi lokal. Ojek online bukan hanya sekadar alat transportasi, tetapi juga mendukung perekonomian digital, khususnya bagi usaha kecil dan menengah (UKM). Banyak pedagang makanan, e-commerce, dan layanan pengantaran barang yang mengandalkan ojek online untuk pengiriman. Tanpa layanan ini, distribusi barang akan menjadi lebih lambat, mahal, dan kurang efisien, yang dapat mengganggu kelancaran pasar dan menurunkan daya saing ekonomi lokal.

Sektor pariwisata juga tidak luput dari dampak besar ini. Ojek online telah menjadi pilihan utama bagi wisatawan yang ingin berkeliling kota dengan cepat dan terjangkau. Tanpa layanan ini, wisatawan akan kesulitan mencari alternatif transportasi yang sefleksibel itu, yang berpotensi menurunkan daya tarik destinasi wisata di berbagai daerah.

Selain itu, ojek online juga berfungsi sebagai alat untuk mempererat hubungan sosial antar individu. Banyak pengemudi dan penumpang yang saling berbagi cerita dan pengalaman selama perjalanan. Kehilangan layanan ini akan mengurangi kesempatan bagi masyarakat untuk berinteraksi secara langsung, yang pada gilirannya dapat memengaruhi solidaritas sosial dalam komunitas perkotaan.

Selain itu, tanpa adanya ojek online, masyarakat yang biasa mengandalkan layanan ini mungkin akan beralih ke kendaraan pribadi. Hal ini akan menyebabkan peningkatan jumlah kendaraan di jalan, yang pada gilirannya akan memperburuk masalah kemacetan, polusi udara, dan ketergantungan pada bahan bakar fosil. Ini bertentangan dengan upaya untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan perkotaan.

Terakhir, hilangnya ojek online akan mengurangi pilihan transportasi yang terjangkau bagi banyak kalangan. Ojek online selama ini menjadi pilihan transportasi yang lebih terjangkau, terutama bagi mereka yang tidak memiliki kendaraan pribadi. Kehilangan layanan ini akan memperburuk ketimpangan akses terhadap transportasi, di mana hanya mereka yang mampu membayar tarif transportasi yang lebih tinggi yang akan bisa bergerak dengan nyaman, sementara yang lainnya akan terpaksa bergantung pada angkutan umum yang terbatas.

Dengan begitu banyaknya dampak yang mungkin terjadi, jelas bahwa hilangnya 90 persen ojek online akan membawa perubahan signifikan bagi kehidupan masyarakat, baik secara ekonomi, sosial, maupun mobilitas.

Siapa Bertanggungjawab ?

Isu 90 persen ojek online yang berpotensi kehilangan pekerjaan adalah persoalan kompleks yang melibatkan banyak pihak. Tidak ada satu pihak tunggal yang sepenuhnya bertanggung jawab, tetapi tanggung jawab dapat dibagi ke beberapa aktor utama berikut:

Pertama, Pemerintah. Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk melindungi tenaga kerja nasional dan memastikan bahwa proses transformasi digital tidak menimbulkan gelombang pengangguran besar-besaran.

Di era teknologi yang berkembang pesat ini, muncul kekhawatiran bahwa otomatisasi dan digitalisasi akan menggantikan peran manusia dalam berbagai sektor pekerjaan, termasuk sektor informal seperti ojek online. Jika, misalnya, terjadi pengurangan drastis hingga 90 persen jumlah pengemudi ojek online akibat kebijakan pemerintah baik berupa pembatasan operasional, pengenaan pajak tinggi, atau regulasi yang tidak berpihak pada keberlanjutan industri ini maka wajar apabila pemerintah dianggap turut bertanggung jawab atas dampak sosial dan ekonomi yang terjadi.

Oleh karena itu, pendekatan kebijakan yang adil dan berimbang sangat diperlukan. Pemerintah harus mampu merumuskan regulasi yang mendukung inovasi teknologi tanpa mengorbankan keberlangsungan hidup jutaan pekerja.

Ini mencakup penyusunan regulasi yang inklusif, penguatan jaring pengaman sosial bagi mereka yang terdampak, serta penyediaan program pelatihan ulang (reskilling) dan peningkatan keterampilan (upskilling) yang relevan. Selain itu, subsidi pendidikan dan insentif untuk beralih ke sektor pekerjaan baru yang tumbuh juga perlu disiapkan. Dengan langkah-langkah ini, pemerintah tidak hanya menjalankan kewajiban konstitusionalnya dalam melindungi warga negara, tetapi juga membangun fondasi ketenagakerjaan yang adaptif dan berdaya saing di tengah disrupsi digital.

Kedua, Platform Ojek Online  atau Perusahaan Penyedia Layanan (misalnya Gojek, Grab, dll.) Platform ojek online, seperti Gojek, Grab, dan perusahaan sejenis lainnya, memainkan peranan sentral dalam ekosistem transportasi daring di Indonesia. Mereka bukan hanya berfungsi sebagai perantara antara konsumen dan pengemudi, tetapi juga sebagai pengelola utama dari sistem yang menopang kehidupan jutaan mitra pengemudi. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang diambil oleh perusahaan-perusahaan ini memiliki dampak langsung terhadap stabilitas pekerjaan dan kesejahteraan para mitra mereka.

Apabila terjadi penurunan jumlah pengemudi yang aktif atau bahkan hilangnya pengemudi dari sistem, salah satu faktor yang patut ditelaah adalah bagaimana kebijakan perusahaan tersebut berubah dari waktu ke waktu. Misalnya, perubahan drastis pada skema pembayaran, sistem insentif, atau ketentuan kerja lainnya bisa menyebabkan ketidakpuasan di kalangan mitra.

Jika kebijakan baru tersebut dinilai tidak lagi memberikan keuntungan yang layak atau membuat pengemudi merasa terbebani secara ekonomi, bukan hal yang mengherankan jika banyak dari mereka memutuskan untuk berhenti beroperasi. Dalam situasi seperti ini, perusahaan penyedia layanan tidak bisa lepas tangan.

Sebagai entitas bisnis yang bertanggung jawab dan memiliki pengaruh besar terhadap mata pencaharian mitranya, platform ojek online idealnya turut memikirkan solusi yang manusiawi dan berkelanjutan. Salah satu bentuk tanggung jawab sosial dan moral yang bisa mereka lakukan adalah dengan menyediakan program pelatihan ulang (reskilling) dan peningkatan keterampilan (upskilling) bagi para mitra pengemudi yang terdampak.

Program ini tidak hanya membantu mereka beradaptasi dengan perubahan yang terjadi dalam sistem, tetapi juga membuka peluang baru di sektor pekerjaan lain, jika mereka memang tidak lagi dapat atau ingin melanjutkan sebagai pengemudi ojek online.

Dengan demikian, tanggung jawab platform tidak berhenti pada optimalisasi layanan semata, tetapi juga mencakup upaya untuk memastikan bahwa perubahan kebijakan yang dilakukan tidak serta-merta meninggalkan mitra pengemudi dalam ketidakpastian ekonomi. Kolaborasi antara perusahaan, mitra pengemudi, dan pemerintah pun menjadi penting untuk menciptakan sistem yang adil, transparan, dan berkelanjutan di masa depan.

Ketiga, Perusahaan Teknologi dan Startup AI. Dalam era revolusi digital yang kian pesat, perusahaan teknologi dan startup berbasis kecerdasan buatan (AI) memainkan peran sentral dalam mengubah lanskap berbagai sektor industri, termasuk transportasi daring. Namun, kemajuan teknologi ini tidak datang tanpa konsekuensi. Salah satu kelompok yang paling terdampak adalah para pengemudi ojek online, di mana sekitar 90 persen di antaranya kini menghadapi potensi kehilangan pekerjaan akibat hadirnya teknologi otomatisasi dan kendaraan tanpa pengemudi.

Seiring dengan meningkatnya kekhawatiran terhadap masa depan pekerjaan, suara-suara dari masyarakat pekerja kian lantang menuntut akuntabilitas dari perusahaan teknologi dan startup AI. Mereka mendesak agar perusahaan-perusahaan tersebut tidak hanya fokus pada profitabilitas dan inovasi, tetapi juga menunjukkan tanggung jawab sosial terhadap dampak yang ditimbulkan.

Tuntutan ini mencakup keharusan bagi perusahaan untuk menyediakan kontribusi sosial yang nyata dan berkelanjutan. Salah satu bentuk tanggung jawab yang diharapkan adalah melalui program kemitraan strategis yang memberdayakan kembali para pekerja terdampak, pelaksanaan inisiatif CSR (Corporate Social Responsibility) yang terarah, serta penciptaan inovasi yang bersifat inklusif dan berpihak pada keberlanjutan sosial.

Langkah-langkah tersebut tidak hanya penting sebagai bentuk etika bisnis, tetapi juga sebagai upaya menjaga stabilitas sosial dan ekonomi di tengah disrupsi teknologi. Dengan mengintegrasikan tanggung jawab sosial ke dalam model bisnis mereka, perusahaan teknologi dan startup AI dapat menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar sumber tantangan baru.

Ke Empat, Serikat Pekerja dan Organisasi Driver.Serikat Pekerja dan Organisasi Driver tidak boleh tinggal diam, melainkan harus turut bertanggung jawab atas kondisi yang semakin tidak menentu ini.Tanggung jawab tersebut bukan hanya berupa dukungan moral, melainkan harus diwujudkan secara konkret.

Salah satu bentuk tanggung jawab yang paling mendesak adalah menyuarakan aspirasi para driver, yang selama ini sering kali terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan oleh perusahaan aplikasi. Serikat dan organisasi harus menjadi jembatan yang menghubungkan suara para pengemudi dengan para pemangku kebijakan, baik di level perusahaan maupun pemerintah.

Lebih dari itu, perlindungan terhadap hak-hak driver perlu ditingkatkan. Ini mencakup hak atas upah yang layak, jaminan sosial, dan keamanan kerja. Serikat pekerja dan organisasi driver harus aktif melakukan advokasi, tidak hanya dalam bentuk pernyataan sikap, tetapi juga dengan melobi pemerintah dan perusahaan agar setiap kebijakan yang diambil mempertimbangkan keadilan dan transparansi bagi para pekerja di sektor transportasi daring ini.

Dengan meningkatkan peran serta mereka, serikat dan organisasi ini diharapkan mampu menjadi kekuatan kolektif yang dapat menekan kebijakan sepihak dari perusahaan aplikasi, serta mendorong hadirnya regulasi yang lebih berpihak kepada pekerja informal seperti driver ojek online. Karena tanpa perlindungan yang memadai, para driver berisiko semakin terpinggirkan dalam ekosistem ekonomi digital yang terus berkembang.

Kelima, Masyarakat dan Konsumen. Saat ini, sekitar 90 persen pengemudi ojek online berada dalam posisi yang rentan kehilangan pekerjaan akibat semakin meluasnya otomatisasi yang diterapkan oleh perusahaan penyedia layanan transportasi digital seperti Gojek dan Grab. Mereka tidak hanya menyoroti kebijakan perusahaan, tetapi juga mulai menuntut masyarakat dan konsumen untuk ikut memikul tanggung jawab atas situasi ini.

Fenomena ini tak lepas dari perilaku konsumsi masyarakat yang menuntut efisiensi tinggi layanan cepat, harga murah, dan kemudahan akses tanpa mempertimbangkan dampak sosial di baliknya. Dorongan terhadap efisiensi inilah yang secara tidak langsung telah menekan perusahaan untuk terus berinovasi demi menurunkan biaya operasional, salah satunya melalui otomatisasi dan teknologi tanpa pengemudi. Sayangnya, langkah ini sering kali mengabaikan kesejahteraan para pekerja manusia yang selama ini menjadi tulang punggung layanan.

Sebagai respons terhadap kondisi tersebut, para pengemudi menyerukan bentuk tanggung jawab sosial dari para konsumen. Mereka mengajak masyarakat untuk mulai mendorong pola konsumsi yang lebih etis yakni dengan mempertimbangkan dampak sosial dari pilihan-pilihan mereka. Konsumen diharapkan tidak hanya menjadi pengguna pasif, tetapi juga aktif menuntut perusahaan agar tetap memperhatikan keberlangsungan hidup dan kesejahteraan para pekerjanya. Ini bisa dilakukan melalui kampanye dukungan terhadap kebijakan perusahaan yang berpihak pada manusia, serta memilih layanan yang menunjukkan komitmen terhadap prinsip keadilan sosial.

Dengan begitu, transformasi digital tidak hanya menjadi milik perusahaan dan investor, tetapi juga tetap memberikan ruang dan penghargaan yang layak bagi para pekerja yang telah lama menggerakkan roda ekonomi digital ini.

Secara keseluruhan, potensi hilangnya sekitar 90 persen ojek online tidak dapat sepenuhnya dibebankan pada satu pihak saja. Fenomena ini merupakan hasil dari rangkaian faktor yang saling berkaitan dan kompleks. Di satu sisi, perusahaan penyedia layanan ojek online memegang peran penting dalam menentukan kebijakan dan strategi bisnis mereka, termasuk dalam hal perekrutan, tarif, serta sistem insentif yang dapat memengaruhi keberlangsungan para mitra pengemudi. Namun, tanggung jawab ini tidak berdiri sendiri.

Pemerintah juga memiliki andil, baik dalam hal regulasi yang mengatur sektor transportasi daring maupun dalam menyediakan perlindungan sosial dan jaminan kerja bagi para pekerja informal seperti pengemudi ojek online. Kurangnya regulasi yang adaptif terhadap dinamika industri digital dapat membuat banyak pengemudi berada dalam posisi rentan dan tidak terlindungi secara hukum maupun ekonomi.

Di luar itu, kondisi sosial-ekonomi yang lebih luas turut memperparah situasi. Misalnya, meningkatnya biaya hidup, terbatasnya lapangan kerja formal, dan dampak dari krisis ekonomi global maupun nasional bisa mendorong lebih banyak orang untuk bergantung pada pekerjaan sebagai pengemudi ojek online, menciptakan kompetisi yang tidak sehat dan menurunkan pendapatan rata-rata per pengemudi. Dalam konteks seperti ini, ketika permintaan menurun atau kebijakan perusahaan berubah, sebagian besar dari mereka akan sangat mudah terdampak dan bahkan terpaksa meninggalkan profesi tersebut.

Oleh karena itu, memahami penyebab dari berkurangnya jumlah ojek online secara drastis harus dilakukan dengan pendekatan yang menyeluruh. Perlu ada sinergi antara pihak perusahaan, regulator, dan masyarakat untuk menciptakan ekosistem kerja yang lebih adil, berkelanjutan, dan tangguh terhadap perubahan zaman.

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar