Nawaitu Redaksi

Skandal Judi Online; Mengapa Jaksa Tak Usut Menteri Budi Arie?

Minggu, 25/05/2025 00:00 WIB
Menteri Koperasi, Budi Arie Setiadi. (Detik)

Menteri Koperasi, Budi Arie Setiadi. (Detik)

[INTRO]

Dalam sidang yang digelar di digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu 14 Mei 2025, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan surat dakwaan yang mengejutkan banyak pihak.

Dalam dokumen resmi tersebut, disebutkan bahwa mantan Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi yang kini menjabat sebagai Menteri Koperasi diduga kuat menerima aliran dana suap dalam jumlah signifikan. Uang tersebut, menurut jaksa, diberikan oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan agar situs-situs judi online tidak diblokir oleh pemerintah.

Jaksa mengungkap bahwa Budi Arie disebut menerima bagian sebesar 50 persen dari total dana suap yang digelontorkan untuk melindungi judi online tersebut. Terkait hal ini, Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia (JMI), Islah Bahrawi mengungkapkan bahwa uang Judol diantar ke rumah dinas Pak Menteri yang disamarkan dalam bingkisan  kopi oleh pria bernama Toni.

"Kodenya PM, alias "Pak Menteri". Duitnya disamarkan dalam bingkisan  kopi lalu diantar oleh Toni ke rumah dinas. Nama PM banyak disebut dalam sidang kasus Judol," tulis Islah Bahrawi di akun X miliknya, seperti dikutip  law-justice.co 22/05/2025.

Jika praktek tersebut terbukti benar, maka bukan hanya mencoreng integritas lembaga pemerintahan, tetapi juga menunjukkan adanya permainan kotor di balik kebijakan pengawasan internet yang seharusnya bertujuan untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif judi daring. Kasus ini kini menjadi sorotan publik dan dinilai sebagai ujian besar bagi penegakan hukum serta pemberantasan korupsi di Indonesia.

Tetapi anehnya Budi Arie sendiri oleh Kejaksaan Agung belum juga ditetapkan sebagai tersangka sehingga menimbulkan kecurigaan ada apa dibalik ini semua. Mengapa seorang Budi Arie belum juga ditetapkan sebagai tersangka ?. Apa implikasinya terhadap aspek penegakan hukum, politik dan kepercayaan masyarakat pada umumnya?

Kapan Jadi Tersangka ?

Meski berbagai pihak mendesak penegakan hukum yang transparan dan adil, hingga kini Budi Arie belum juga ditetapkan sebagai tersangka. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan di tengah masyarakat: apa sebenarnya yang menjadi alasan di balik belum ditetapkannya status hukum tersebut? Untuk memahami lebih jauh, berikut ini adalah uraian mengenai sejumlah faktor yang mungkin menjadi pertimbangan dalam proses hukum yang berlangsung.

Pertama, Minimnya alat bukti.Meskipun namanya disebut dalam surat dakwaan sebagai pihak yang diduga menerima bagian sebesar 50 persen dari total dana suap yang disalurkan, langkah hukum terhadap Budi Arie tampaknya belum diambil lebih lanjut.

Dalam sistem hukum pidana Indonesia, penetapan seseorang sebagai tersangka tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Proses tersebut mensyaratkan adanya minimal dua alat bukti yang sah dan relevan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Oleh karena itu, besar kemungkinan Kejaksaan masih dalam tahap pengumpulan dan pendalaman bukti untuk memastikan apakah keterlibatan Budi Arie dapat dibuktikan secara hukum.

Penegakan hukum yang adil menuntut kehati-hatian dalam setiap proses penyelidikan dan penyidikan, terutama ketika menyangkut nama-nama yang disebut dalam dakwaan. Hingga alat bukti yang cukup diperoleh, penetapan status tersangka terhadap seseorang, termasuk Budi Arie, belum dapat dilakukan. Hal ini mencerminkan prinsip praduga tak bersalah yang tetap dijunjung tinggi dalam setiap tahapan proses hukum di Indonesia.

Kedua, Pertimbangan politis. Belum ditetapkannya Budi Arie sebagai tersangka kasus Judol mungkin tak lepas dari berbagai pertimbangan yang lebih kompleks. Salah satunya adalah posisi Budi Arie sebagai pejabat tinggi negara dalam kabinet Prabowo Subianto, yang tentu membawa dampak politik yang sangat besar.

Budi Arie bukanlah sosok sembarangan. Ia merupakan mantan orang kepercayaan Presiden Jokowi, yang memiliki jejak rekam panjang dalam politik nasional. Dengan posisinya yang strategis, baik di pemerintahan Prabowo maupun dalam konteks hubungan politik dengan Jokowi, tentu ada banyak faktor yang harus diperhitungkan oleh Kejagung. Pengaruh yang dimiliki Budi Arie di kedua belah pihak baik di pemerintahan yang baru maupun yang lama membuat proses hukum terhadapnya berjalan dengan sangat hati-hati.

Beberapa kalangan meyakini bahwa Kejagung mungkin sedang mempertimbangkan dampak politis dari setiap langkah yang akan diambil. Apakah penetapan status tersangka terhadap Budi Arie akan memicu ketegangan politik yang lebih dalam? Ataukah langkah ini akan memperburuk hubungan antara berbagai kekuatan politik yang ada, khususnya antara Presiden Prabowo dengan Jokowi yang digantikannya

Sebagai bagian dari institusi hukum yang memiliki kewajiban untuk menegakkan keadilan, Kejagung sepertinya begitu berhati hati dalam melangkah. Meski demikian, banyak yang berpendapat bahwa jika tidak ada perlakuan khusus berdasarkan posisi politik, penegakan hukum seharusnya berjalan tanpa pandang bulu. Namun, jika melihat dinamika yang ada, mungkin ada pertimbangan untuk memastikan bahwa keputusan-keputusan hukum yang diambil tidak justru menambah ketegangan politik yang sedang terjadi.

Dengan demikian, meskipun proses hukum berjalan, Kejagung tentu akan sangat memperhatikan berbagai faktor, termasuk dampak politis yang mungkin muncul, sebelum menetapkan Budi Arie Setiadi sebagai tersangka. Sebuah langkah yang tidak hanya mencakup aspek hukum, tetapi juga politik yang sangat mempengaruhi stabilitas pemerintahan dan hubungan antar kekuatan politik di Indonesia.

Ketiga, Proses penyelidikan masih berjalan. Dalam rangka untuk memastikan keterlibatan atau tidaknya Budi Arie, Kejagung kemungkinan masih melakukan berbagai langkah investigasi yang lebih mendalam. Proses pemanggilan saksi-saksi yang relevan, penyitaan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan aktivitas judi online, hingga penelusuran aliran dana menjadi bagian dari tahapan yang mungkin sedang berlangsung di balik layar. Semua upaya tersebut bertujuan untuk menggali lebih dalam tentang sejauh mana Budi Arie terlibat dalam jaringan perjudian online ini, serta untuk memastikan bahwa penyelidikan berjalan dengan cermat dan transparan.

Kejagung, sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam penegakan hukum, sepertinya  tidak ingin tergesa-gesa dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka tanpa bukti yang cukup. Oleh karena itu, meski nama Budi Arie disebut-sebut dalam kasus ini, proses penyelidikan yang hati-hati dan teliti tetap menjadi prioritas utama. Keputusan akhir mengenai status hukum Budi Arie akan ditentukan setelah semua informasi dan bukti yang relevan terkumpul dan dianalisis dengan seksama.

Dengan kata lain, meski belum ada penetapan tersangka hingga saat ini, bukan berarti Kejagung menghentikan proses penyelidikan. Sebaliknya, mungkin saja berbagai langkah hukum yang diperlukan tengah berlangsung untuk memastikan apakah Budi Arie benar-benar terlibat atau tidak dalam kasus judi online yang tengah mencuri perhatian publik.

Implikasi Yang Terjadi

Isu Budi Arie yang menerima 50 persen  dari total dana suap yang disalurkan kasus judi online telah memunculkan persepsi beragam di masyarakat. Ada yang meminta Kejagung sepatutnya menetapkan mantan Menkominfo Budi Arie Setiadi sebagai tersangka dalam kasus suap perlindungan situs judi online (judol).

"Seharusnya Budi Arie Setiadi ketua Projo (Pro Jokowi) sudah jadi tersangka dalam kasus judi online," kata peneliti media dan politik Buni Yani dalam keterangannya yang dikutip media Kamis 22 Mei 2025. Kenyataan bahwa Budi Arie belum ditetapkan sebagai tersangka telah berimplikasi secara hukum, politik dan kepercayaan publik.

Pertama, Aspek Hukum: Inkonsistensi Penegakan Hukum. Tidak bisa dipungkiri, dengan disebutkannya nama Budi Arie dalam dakwaan menunjukkan adanya indikasi kuat bahwa ia turut menerima bagian signifikan dari uang suap yakni separuh dari total nilai gratifikasi maka sangat wajar jika publik menuntut agar ia diperiksa secara intensif oleh aparat penegak hukum. Tidak hanya itu, potensi keterlibatannya yang begitu besar juga seharusnya menempatkan dirinya dalam posisi sebagai pihak yang berpotensi ditetapkan sebagai tersangka.

Secara prinsip hukum, khususnya dalam kerangka asas equality before the law (persamaan di hadapan hukum), tidak semestinya ada perbedaan perlakuan antara individu satu dan lainnya. Apalagi, jika keterlibatan seseorang dalam suatu tindak pidana telah disebut secara eksplisit dalam dokumen hukum resmi seperti dakwaan. Dalam konteks ini, pengecualian terhadap Budi Arie tanpa alasan hukum yang jelas justru mengaburkan kredibilitas proses hukum itu sendiri.

Namun kenyataannya, hingga saat ini Kejaksaan Agung belum menetapkan Budi Arie sebagai tersangka. Fakta ini menimbulkan pertanyaan besar dari publik mengenai sejauh mana independensi dan objektivitas lembaga penegak hukum kita. Apakah hukum ditegakkan secara adil dan merata, ataukah terdapat perlakuan khusus yang mengindikasikan adanya intervensi politik atau konflik kepentingan?

Transparansi dan akuntabilitas dalam proses penegakan hukum menjadi kunci penting untuk menjaga kepercayaan publik. Bila tidak ada kejelasan dalam penanganan kasus ini, maka bukan hanya citra lembaga penegak hukum yang dipertaruhkan, melainkan juga kepercayaan masyarakat terhadap prinsip keadilan itu sendiri.

Kedua, Aspek Politik: Perlindungan atau Manuver Kekuasaan. Dengan latar belakang kuat di bidang politik dan hubungan dekat dengan Presiden Joko Widodo, Budi Arie dikenal sebagai salah satu tokoh yang mendapat "penugasan politik" dari lingkaran kekuasaan sebelumnya.

Namun, dalam iklim demokrasi yang sehat, kedekatan dengan kekuasaan seharusnya tidak menjadi tameng dari proses hukum. Ketika seseorang yang menduduki jabatan politik tinggi tersangkut kasus hukum namun tidak segera diproses oleh aparat penegak hukum, muncul persepsi publik bahwa ada intervensi atau perlindungan politik. Kesan ini tentu mengikis kepercayaan masyarakat terhadap prinsip kesetaraan di hadapan hukum.

Dalam konteks kabinet baru yang dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto yang dikenal mengusung semangat "Kabinet Merah Putih" posisi Budi Arie menjadi menarik. Ia dianggap sebagai salah satu figur "titipan" dari Presiden Jokowi, simbol kesinambungan politik lintas pemerintahan. Maka, muncul dugaan bahwa proses hukum terhadapnya sengaja ditahan atau diperlambat demi menjaga stabilitas dan harmoni politik di internal kabinet. Kekhawatiran ini wajar mengingat komposisi kabinet saat ini yang merupakan hasil kompromi politik antara berbagai kekuatan, termasuk warisan kekuasaan sebelumnya.

Lebih jauh lagi, pernyataan Budi Arie yang menyalahkan mantan anak buahnya dalam kasus yang menyeruak, menambah dimensi baru dalam drama politik ini. Di satu sisi, ini bisa dipahami sebagai upaya membela diri. Namun di sisi lain, langkah ini juga bisa dibaca sebagai strategi pengalihan isu atau pembentukan narasi bahwa dirinya adalah korban pengkhianatan, bukan pelaku. Strategi semacam ini umum digunakan dalam dunia politik untuk menghindari tekanan publik dan menggiring opini bahwa kesalahan terletak pada level teknis, bukan pada otoritas pengambil keputusan tertinggi.

Kisah Budi Arie ini menggambarkan betapa rumitnya simpul antara kekuasaan, hukum, dan persepsi publik di Indonesia. Proses hukum harus tetap berjalan tanpa pengaruh politik, karena hanya dengan demikian keadilan bisa ditegakkan dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara bisa dipulihkan. Transparansi dan akuntabilitas, bukan perlindungan politik, yang seharusnya menjadi fondasi pemerintahan yang demokratis.

Ketiga, Dampak terhadap Kepercayaan Publik. Meski pihak Kejaksaan telah secara terbuka menyebut bahwa ada aliran dana sebanyak 50 persen dari hasil judi online yang diterima oleh pihak terkait, hingga kini Budi Arie belum juga ditetapkan sebagai tersangka. Ketidaktegasan ini menjadi preseden buruk yang memperkuat ketidakpercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.

Penundaan proses hukum terhadap Budi Arie tidak bisa dipisahkan dari posisinya sebagai pejabat negara, yakni Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo). Publik mempertanyakan integritas lembaga tempat ia menjabat, yaitu Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), yang ironisnya justru memiliki mandat untuk memberantas konten ilegal di ruang digital, termasuk perjudian online.

Bila tidak ada langkah hukum yang adil dan proporsional terhadap Budi Arie, maka kepercayaan terhadap Kemenkominfo sebagai lembaga pelaksana kebijakan publik bisa tergerus secara drastis. Demikian juga kepercayaan terhadap Kementerian yang dipimpin Budi Arie sekarang yaitu sebagai Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah

Lebih jauh, ketidakjelasan ini memberi kesan kuat bahwa hukum tidak berjalan secara setara bagi semua warga negara. Penundaan atau bahkan pengabaian proses hukum terhadap seorang tokoh publik seolah menunjukkan adanya praktik "tebang pilih" dalam penegakan hukum. Fenomena ini mencederai prinsip negara hukum, di mana setiap orang seharusnya memiliki kedudukan yang sama di mata hukum, tanpa pandang jabatan atau kekuasaan.

Jika dibiarkan berlarut, kasus ini tidak hanya menggerogoti legitimasi lembaga penegak hukum, tetapi juga menciptakan preseden negatif yang membahayakan upaya reformasi hukum di Indonesia. Dalam jangka panjang, masyarakat bisa kehilangan harapan terhadap keadilan, dan memilih untuk bersikap apatis terhadap proses hukum dan demokrasi itu sendiri.

Pemerintah dan aparat penegak hukum memiliki tanggung jawab besar untuk menunjukkan bahwa mereka berpihak pada keadilan dan bukan pada kekuasaan. Ketegasan dan transparansi dalam menangani kasus Budi Arie adalah kunci untuk memulihkan kepercayaan publik dan menjaga marwah hukum sebagai pilar utama demokrasi.

Yang jelas, kasus judi online yang belakangan kembali mencuat ke permukaan menimbulkan kekhawatiran serius di tengah masyarakat. Terindikasi adanya potensi ketimpangan dalam penegakan hukum, di mana hukum tampak tidak lagi menjadi alat keadilan yang netral, melainkan dipengaruhi oleh kepentingan politik tingkat tinggi. Hal ini memperkuat persepsi bahwa ada perlakuan berbeda terhadap pihak-pihak tertentu, tergantung pada posisi atau kedekatannya dengan kekuasaan.

Pernyataan Budi Arie yang membantah keterlibatan langsung dan melempar tanggung jawab kepada bawahannya justru menambah sorotan publik. Meskipun bantahan tersebut adalah haknya, hal itu tidak serta-merta menghapus kewajiban untuk membuka fakta-fakta secara menyeluruh dan transparan. Dalam konteks ini, proses hukum yang objektif dan adil menjadi sangat penting, tidak hanya untuk menegakkan keadilan bagi semua pihak yang terlibat, tetapi juga untuk menjaga kredibilitas institusi penegak hukum dan pemerintahan secara keseluruhan.

Apabila kasus ini dibiarkan mengambang tanpa penanganan yang tegas dan transparan, maka bukan tidak mungkin akan terus menjadi preseden buruk dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia. Lebih jauh lagi, ketidakjelasan dan ketidakadilan dalam penanganan kasus semacam ini dapat menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintah dan menciptakan ketidakstabilan sosial-politik dalam jangka panjang. Oleh karena itu, pemerintah dan aparat penegak hukum dituntut untuk bertindak secara profesional, tanpa pandang bulu, dan berlandaskan prinsip-prinsip keadilan demi menjaga integritas demokrasi dan supremasi hukum di negeri ini.

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar