Terbukti Politik Uang, MK Batalkan Semua Paslon Pilkada Barito Utara

Kamis, 15/05/2025 08:48 WIB
Mahkamah Konstitusi (MK) mulai menggelar sidang perdana Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kada) 2024, pada Rabu (8/1/2024). MK telah meregistrasi 309 perkara sengketa hasil Pilkada Serentak 2024. Robinsar Nainggolan

Mahkamah Konstitusi (MK) mulai menggelar sidang perdana Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kada) 2024, pada Rabu (8/1/2024). MK telah meregistrasi 309 perkara sengketa hasil Pilkada Serentak 2024. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Sebagai informasi, dalam beberapa waktu silam, Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Barito Utara 2024 menuai babak kelam.

Mahkamah Konstitusi (MK), dalam putusannya, resmi mendiskualifikasi dua pasangan calon sekaligus: Gogo Purman Jaya–Hendro Nakalelo (nomor urut 1) dan Akhmad Gunadi Nadalsyah–Sastra Jaya (nomor urut 2).

Keduanya dinyatakan bersalah melakukan praktik politik uang secara masif, terstruktur, dan brutal.

“Mahkamah tak ragu menyatakan diskualifikasi,” ujar Hakim Konstitusi Guntur Hamzah di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Rabu, 14 Mei 2025. Putusan ini tercantum dalam amar perkara Nomor 313/PHPU.BUP-XXIII/2025.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menemukan fakta mengejutkan: satu suara dibeli dengan nilai hingga Rp16 juta oleh paslon nomor urut 2. Sementara paslon nomor urut 1 membayar hingga Rp6,5 juta per suara, disertai janji manis: umrah jika menang.

“Ini mencederai asas Pemilu Luber dan Jurdil dalam Pasal 22E UUD 1945,” tegas Guntur.

Tidak hanya mendiskualifikasi, MK juga memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) yang harus digelar dalam 90 hari sejak putusan dibacakan.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Barito Utara diperintahkan untuk berkoordinasi lintas tingkat—dari pusat hingga daerah—guna menjamin kelancaran dan integritas PSU.

“PSU harus disupervisi langsung oleh KPU RI, KPU Provinsi Kalimantan Tengah, dan KPU Kabupaten Barito Utara,” tegas Mahkamah.

Diskualifikasi ganda ini menjadi pukulan telak bagi demokrasi lokal. Suara rakyat yang mestinya sahih, malah diseret dalam praktik jual beli suara terang-terangan.

MK menyebut kasus ini sebagai pelanggaran serius yang tak bisa ditoleransi.

“Momentum ini seharusnya menjadi pelajaran bagi semua pihak. Politik uang bukan sekadar pelanggaran—ia adalah penghianatan terhadap demokrasi,” tutup Guntur.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar