Lika-liku Permainan Makelar Perkara: Modal Rp60 Miliar, Lolos Dari Ganti Rugi Rp17,7 Triliun

Korupsi Yudisial Merajalela, `Keadilan` Diobral Mafia Hukum

Sabtu, 03/05/2025 17:36 WIB
Cover Investigasi

Cover Investigasi

law-justice.co - Di tengah semangat pemberantasan korupsi, badai menghantam sistem peradilan. Putusan onslah dalam perkara korupsi tata niaga minyak goreng dengan terdakwa 3 korporasi, ternyata hasil kongkalikong dan pemufakatan jahat antara unsur hakim dengan pengacara dan korporasi. Kasus yang dibongkar penyidik Kejaksaan Agung berbilang pekan dari putusan, ternyata membuka kotak pandora mafia peradilan. 

Peristiwa terkini adalah kasus dugaan suap dalam sidang perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah atau kerap dibilang perkara bancakan minyak goreng periode 2021-2022 yang menjerat tiga perusahaan mulai berjalan sejak 2024. Setahun sebelumnya Kejagung menetapkan tiga korporasi besar dalam bisnis minyak sawit sebagai tersangka, yaitu Musim Mas Group, Permata Hijau Group, dan PT Wilmar Group. Dalam persidangan, jaksa menuntut ganti rugi dari ketiga perusahaan itu senilai Rp 17,7 triliun.

Di luar dugaan, Majelis Hakim mengganjar putusan onslag van alle recht vervolging. Dalam putusan yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada 19 Maret 2025 menyatakan bahwa tiga korporasi—Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group—terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan, namun dinilai bukan sebagai tindak pidana. Tiga hakim itu adalah Djuyamto sebagai ketua majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan dua anggotanya, Agam Syarief Baharuddin dan Ali Muhtarom. Singkatnya, tiga korporasi ini lolos dari jerat pidana.

Pada 27 Maret 2025, jaksa penuntut umum mengajukan kasasi. MA menunggu berkas lengkap untuk diproses secara elektronik. Namun, tak lama berselang, 12 April 2025, penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus justru menganggong Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta. Dia ditangkap atas kasus suap penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Abdul Qohar menjelaskan ada sejumlah orang yang ditangkap dalam penyidikan kasus tersebut. Salah satu pihak yang disebutkan ialah Muhammad Arif Nuryanta. "Penyidik membawa beberapa orang yaitu antara lain WG, yaitu panitera muda perdaya pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Kemudian MS dan AR berprofesi sebagai advokat," kata Qohar dalam konferensi pers di Kejagung, Jakarta Selatan, Sabtu (12/4/2025).

Penangkapan Arif ini membongkar misteri putusan onslag dalam perkara korupsi CPO dengan terdakwa korporasi. Belakangan diketahui, operasi penyidik initerkait dengan suap agar hakim memberikan putusan onslag dalam perkara tersebut. Saat suap terjadi, Arif Nuryanta menjabat Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sehari kemudian, jaksa langsung menahan tiga anggota majelis hakim yang menangani perkara minyak goreng itu. 

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani, mengatakan bahwa kongkalikong pengaturan perkara ini berawal ketika persidangan memasuki momen pembuktian. Ariyanto, yang menjadi pengacara tim kuasa hukum ketiga korporasi itu disebut bertemu dengan panitera bernama Wahyu Gunawan, yang juga ditetapkan Kejagung sebagai tersangka. 

Julius mendapatkan informasi berkaitan pernyataan Wahyu kepada kepada Ariyanto soal putusan kasus ini bisa melebihi tuntutan jaksa penuntut umum bila tak dikondisikan. Wahyu kemudian menanyakan Ariyanto berapa uang yang bisa disediakan perusahaan untuk mengurus kasus ini. Status Wahyu adalah sebagai panitera muda perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, bukan di PN Jakpus. Namun, Arif Nuryanta dan Wahyu disebut-sebut punya riwayat bekerja di satu pengadilan yang sama. “Jadi, di situ awal mulanya ada kekhawatiran kasus ini tak happy ending bagi terdakwa,” ujar Julius kepada Law-justice, Kamis (1/5/2025). 

Ariyanto, sebelumnya dikenal publik sebagai pengacara flamboyan yang kerap flexing di media sosial. Dia kerap tampil bersama partnernya, Marcella Santoso. Keduanya kerap dicitrakan sebagai dynamic duo. Role model pengacara muda ibukota yang secara financial sukses. Tak henti di situ, keduanya melalui Firma HUkum AALF juga dikenal memiliki jiwa filantropi. Ini ditunjukkan dengan divisdi khusus probono di AALF. Mereka mengelola LKBH Mitra Justitia, sebagai akses keadilan untuk kelompok masyarakat tertentu yang bermasalah dengan hukum namun memiliki kendala biaya dan ketidakmampuan sosial menjadi sebab ketidakberdayaan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).  Divisi ini merupakan hasil kolaborasi dengan akademisi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI). Layanan hukum pro bono yang diberikan pada tahap pra litigasi, dan litigasi. Ada pertimbangan yang digunakan untuk menilai apakah suatu perkara layak untuk ditangani secara pro bono.

Rumah Mewah di Jalan Mendut 11D Menteng, Jakarta Pusat, saksi bisu kejayaan Arianto Bakrie. (Law-justice)

Sayangnya, citra yang dibangun bertahun-tahun itu runtuh dalam semalam saja. Duet Ari dan Marsel, diektahui memiliki peran kunci yang sangat signifikan dalam kasus suap ini. Mereka berperan sebagai makelar yang menjembatani kepentingan korporasi dengan hakim-hakim korup tersebut. Uniknya, dalam kasus ini diduga justru pihak hakim lah yang kecentilan terlebih dahulu.

Melalui Wahyu, penawaran mulai dibuka. Pasar malam keadilan digelar, dengan tokoh-tokoh mereka yang berperkara ini.  Setelah mendapat konfirmsi dari wahyu Ariyanto lalu meneruskan informasi soal potensi putusan hakim kepada kuasa hukum lain ketiga korporasi itu yang tergabung dalam Ariyanto Arnaldo Law Firm (AALF), yakni Marcella Santoso. Berbekal informasi ini, Marcella lantas menghubungi Head of Social Security License Wilmar Group yang bernama Muhammad Syafei, belakangan juga menjadi tersangka. 

Syafei dan Marcella dua kali bertemu. Dalam momen itu, Syafei bilang sudah menyiapkan tim yang bisa mengurus perkara ini. Tim yang dia maksud adalah pihak yang bisa mengeluarkan sejumlah uang dari perusahaan untuk mendapat putusan bebas. Jumlah untuk urus perkara mulanya adalah Rp20 miliar. Mendapat konfirmasi pihak perusahaan yang akan menggunakan cara suap, Marcella lantas menyampaikan hal itu kepada Ariyanto. “Semua berawal dari pertemuan kuasa hukum dan pihak perusahaan. Persisnya tidak tahu tapi yang jelas ada kesepakatan untuk ambil jalur kotor menyelesaikan perkara” kata Julius. 

Setelahnya, Ariyanto bertemu dengan Wahyu. Dalam momen itu, ada juga Arif Nuryanta, yang menyampaikan setoran Rp 20 miliar tak cukup untuk atur perkara ini. Karena kurang, Arif disebut meminta lebih hingga tiga kali lipat atau sebesar Rp 60 miliar demi bisa mengondisikan hakim, dan ketiga korporasi itu bebas terjerat hukum. 

Dari pertemuan itu, Ariyanto meneruskan permintaan kenaikan setoran kepada Marcella. Oleh Marcella, permintaan itu diteruskan kepada  Muhammad Syafei. Singkat cerita, Syafei tak ambil pusing soal uang Rp 60 miliar untuk membereskan perkara. Tak lama Marcella melobi Syafei, uang itu sudah siap diberikan ke tim kuasa hukum tiga korporasi itu. Namun, penyerahan uang bermula dari pertemuan Syafei dan Ariyanto. Mereka berjumpa di sebuah area parkir kawasan Sudirman Central Business District, Jakarta Selatan atau tak jauh dari kantor hukum AALF. Selepas terima uang puluhan miliaran itu, Ariyanto langsung mengantar uang suap ke rumah Wahyu. Uang Rp 60 miliar disisir sebagian untuk Wahyu, dan diduga mendapat komisi itu dari Arif Nuryanta. Dari tangan Arif, Djuyamto dan dua hakim lain menerima total Rp22 miliar. Dan selebihnya masuk dalam kantong Arif. 

Julius menduga mafia peradilan memang sudah mengakar. Penunjukan tiga hakim dalam korporasi ini disebut sarat konflik kepentingan. Begitu pula dengan penunjukan Arif Nuryanta sebagai pimpinan PN Jakpus. Julius menitikberatkan promosi yang didapat Arif tak terlepas dari peranan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum (Badilum) Bambang Myanto. Adapun Arif dan Bambang pernah bekerja bersama saat bertugas di Pengadilan Negeri Pekanbaru. “Pintu masuknya adalah konflik kepentingan. Ujungnya jadi permufakatan jahat,” ujar Julius. 

Julius mendengar bahwa ada pertemuan antara pimpinan Mahkamah Agung setelah ramai penangkapan hakim dalam kasus minya goreng. Putusan ontslag turut menjadi pembahasan dalam pertemuan itu. Namun, yang menjadi topik utama soal eksistensi Arif yang dinilai tidak cukup wajar bisa menjabat pimpinan di PN Jakpus. Bahkan setelah tak lama menjabat di PN Jakpus, Arif dipromosikan memimpin pengadilan di Jakarta. “Proses transparansi kelihatannya tidak berjalan saat dia dapat posisi di PN Jakpus dan akhirnya pindah ke PN Jaksel sebagai ketua,” kata dia.  

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani. (Law-justice)

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar tak menafikan adanya kelindan kasus mafia peradilan yang membelit mantan pejabat MA, Zarof Ricar, dengan terbongkarnya patgulipat kasus suap perkara kasus korupsi minyak goreng. Sebab, saat lobi-lobi perkara ini masih berlangsung, penyidik Kejaksaan Agung sedang mengusut kasus suap vonis bebas pembunuhan yang melibatkan Gregorius Ronald Tannur di Surabaya, Jawa Timur. 

Saat itu jaksa juga menangkap Zarof Ricar, mantan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan, yang dituduh menjadi makelar perkara dalam vonis bebas Ronald Tannur. Selepas menangkap Zarof, jaksa menetapkan eks Ketua Pengadilan Negeri Surabaya yang menjadi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rudi Suparmono, sebagai tersangka. Rudi masuk ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada April 2024 dan memimpin pengadilan itu, yang  didampingi Arif Nuryanta.

Saat menggeledah sejumlah lokasi dalam kasus Zarof, penyidik menemukan sejumlah perangkat elektronik. Ditemukan ada nama pengacara Marcella Santoso berserta kasus-kasus yang ditanganinya. “Ketika dalam penanganan perkara (di Surabaya), ada juga informasi soal nama MS (Marcella Santoso), tapi saat itu kami belum tahu siapa dia," kata Harli kepada Law-justice, Kamis (30/4/2025).

Lepas dari itu, kata Harli, Kejagung tidak menutup kemungkinan adanya mafia peradilan lain lagi yang melibatkan hakim. Menurutnya, mafia peradilan menjadi masalah laten yang pastinya melibatkan banyak pihak. “Kalau ini jadi pintu masuk, ya kami akan terus bertindak,” ujar Harli.

Korupsi Yudikasi Merajalela, Krisis Keadilan

Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan pernyataan resmi terkait dengan sejumlah kasus dugaan suap dan korupsi yang terjadi belakangan ini yang terjadi di sistem peradilan.  Pernyataan tersebut disampaikan oleh Juru Bicara MA Yanto pada beberapa waktu lalu, dalam pernyataannya MA menyampaikan 7 poin penting. Pertama, Mahkamah Agung menghormati proses hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung terhadap Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Majelis Hakim Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sepanjang itu tertangkap tangan, karena Hakim dapat dilakukan tindakan penangkapan dan penahanan atas perintah Jaksa Agung dengan persetujuan Ketua Mahkamah Agung (Pasal 26 UU Nomor 2 Tahun 1986).

"Kedua, Kita semua wajib menghormati asas praduga tidak bersalah selama proses hukum berlangsung. Hakim dan panitera yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan dilakukan penahanan akan diberhentikan sementara dan jika telah ada putusan yang Berkekuatan Hukum Tetap (BHT) akan diberhentikan tetap," kata Yanto kepada Wartawan, Senin (14/04/2025).

Juru Bicara MA DR Yanto. (Innews)

Yanto menjelaskan bila Mahkamah Agung sangat prihatin atas peristiwa yang terus mendera dunia peradilan di saat Mahkamah Agung sedang berbenah dan melakukan perubahan dalam mengelola dan menjalankan Peradilan untuk mewujudkan Peradilan yang bersih dan profesional. Poin berikutnya, Yanto menyatakan bila Pimpinan MA menyelenggarakan Rapat Pimpinan (RAPIM) dengan agenda pembahasan revisi SK KMA RI Nomor 48/KMA/SK/II/2017 tentang Pola Promosi Dan Mutasi Hakim pada Empat Lingkungan Peradilan. "Badan Pengawasan Mahkamah Agung telah membentuk Satuan Tugas Khusus (SATGASSUS) untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap kedisiplinan, kinerja, dan kepatuhan Hakim dan Aparatur terhadap kode etik dan pedoman perilaku pada 4 (empat) lingkungan peradilan di wilayah hukum DKI Jakarta," ujarnya.

Selain itu, Mahkamah Agung juga segera menerapkan aplikasi penunjukan majelis hakim secara robotic (Smart Majelis) pada pengadilan Tingkat pertama dan Tingkat banding sebagaimana yang telah diterapkan di Mahkamah Agung untuk meminimalisir terjadinya potensi judicial corruption. 

Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi III DPR RI I Wayan Sudirta mengatakan bila Komisi III DPR pada saat itu menyoroti para hakim yang terlibat dalam sejumlah kasus tersebut. Fenomena suap pada sistem peradilan ini sudah sejak lama terjadi dan masih terjadi hingga saat ini. Permasalahan ini ternyata belum hilang sama sekali. Seperti penyakit kronik yang belum ada obatnya.

Wayan mengatakan bila fenomena suap hakim dan mafia peradilan di Indonesia telah menjadi masalah sistemik yang merusak integritas penegakan hukum.  "Praktik suap, intervensi pihak eksternal, dan kolusi antara penegak hukum, pengacara, dan para pihak berperkara telah menggerogoti kepercayaan publik terhadap sistem peradilan," kata Wayan kepada Law-Justice, Rabu (30/04/2025). 

Wayan menyebut bila pemerintah dan DPR telah berupaya dengan berbagai cara seperti membentuk Satuan Tugas Khusus maupun Panitia Kerja untuk menyoroti hal ini, namun ternyata kartel hukum ini tidak hilang atau bisa dikatakan justru semakin nyata terjadi. Menurutnya, hal tersebut tentu akan berbahaya bila tidak segera ditindak karena akan mempengaruhi kepada tingkat kepercayaan masyarakat. “Saya meyakini jika saat ini dilakukan survei terbuka terhadap masyarakat, sudah bukan rahasia umum bahwa sistem peradilan dan penegakan hukum sangat rentan dengan suap maupun mafia atau calo. Hal ini sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan Masyarakat,” ujarnya.

Politisi PDIP tersebut menuturkan bila seluruh format kajian terhadap independensi, kemandirian, maupun upaya untuk meningkatkan integritas dan kualitas peradilan telah dicoba. Namun justru yang terjadi seolah permasalahan ini tidak akan pernah berhenti dan terus menerus terjadi, bahkan semakin marak dan kasat mata. “Sebenarnya apa yang salah dari sistem peradilan kita ini? Sejak zaman reformasi, telah ada komitmen untuk mereformasi sistem hukum dan peradilan secara lebih terbuka. Makin hari permasalahan ini terus terjadi bahkan semakin banyak,” tuturnya.

Legislator asal Bali tersebut menyatakan bila permasalahan mengenai suap menyuap dalam sistem peradilan bukanlah hal baru karena pasti terkait dengan penanganan perkara dan kewenangannya. Hal ini bisa teridentifikasi dari beberapa akar permasalahan. Seperti budaya korupsi yang sudah sangat kronis dan sistemik dibarengi dengan lemahnya pengawasan internal dan eksternal. 

Menurutnya, penanganan permasalahan hakim dan aparat penegak hukum sepertinya hanya gestur belaka atau untuk meredam amarah publik. "Pencegahan dan pemberantasan mafia hukum dan peradilan termasuk budaya suap hakim dan penyalahgunaan kewenangan adalah masalah serius yang membutuhkan pendekatan multidimensi. Reformasi struktural, pemanfaatan teknologi, penegakan hukum tegas, dan peningkatan kesadaran integritas harus dilakukan secara konsisten dan simultan," imbuhnya. 

Anggota Komisi III DPR RI I Wayan Sudirta. (DPR) 

Wayan menyatakan tanpa adanya upaya serius, kepercayaan publik terhadap hukum di Indonesia akan terus merosot dan tentunya menghambat pembangunan bangsa dan sumber daya manusia Indonesia. Untuk itu, Ia mendorong penegakan hukum (penindakan), pencegahan, pelatihan, dan langkah-langkah sistematik dalam pengambilan kebijakan dan penanganannya harus terus dilakukan secara transparan dan berkelanjutan.  “Mudah-mudahan komitmen bersama kita akan mampu memberantas mafia hukum dan peradilan yang meresahkan,” ungkapnya.

Sementara itu dengan berbagai polemik yang terjadi pada belakangan ini, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni berharap adanya reformasi hakim untuk segera dibenahi secara serius. "Kita ini republik ini lagi banyak sekali kasus perkara, baik penegakan hukum, dan Kejaksaan menangkap dugaan Wakil Ketua Pengadilan Jakarta Pusat, kita berharap reformasi hakim di republik ini harus dibenahi," kata Sahroni melalui keterangan yang diterima, Kamis (01/05/2025).

Sahroni menyatakan bila reformasi hakim perlu dilakukan agar kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dan keadilan tidak hilang. Dia mengatakan hal itu merupakan tugas besar yang harus dilakukan oleh pemerintahan baru saat ini. "Dan kita nggak mau masyarakat ini hilang trust-nya terhadap kita. Nah dari sini inilah bentuk kerja berat dari pemerintahan baru, yang baru beberapa bulan ini, dan mudah-mudahan ini menjadi perhatian kita bersama," ucapnya.

Dia juga mengajak semua pihak terus mengawasi aparat penegak hukum. Menurutnya, meski masih ada kekurangan, perbaikan terus dilakukan oleh aparat penegak hukum. "Dan teman-teman terus mengawasi apa yang menjadi kekurangan sekarang ini, baik Polri, Kejaksaan, KPK, proses penegakan hukum yang tidak sempurna, tapi minimal kita mau perbaiki apa yang jadi kekurangan," katanya.

Selain itu, Politisi Partai Nasdem mendukung langkah Mahkamah Agung (MA) merombak posisi sejumlah hakim dan pimpinan pengadilan negeri (PN). Sahroni menyarankan perombakan posisi hakim dilakukan setahun sekali.  Sahroni mengapresiasi kebijakan MA merombak posisi hakim-hakim di Indonesia. Namun, kata dia, meski terdapat kebijakan perombakan, perilaku hakim tetap harus diwaspadai. "Saya setuju dengan kebijakan mutasi dan rolling hakim ini. Karena memang ada tendensi hakim yang lama di suatu daerah menjadi `langganan` mafia-mafia kasus di daerah tersebut. Ini yang harus kita semua antisipasi," jelasnya.

 "Cuma ya kita semua harus tetap awasi mekanisme penempatannya, jangan sampai prosesnya didasarkan pada pesanan pihak-pihak tertentu," sambungnya.

Sementara itu di tengah polemik yang terjadi di sistem peradilan di Indonesia, Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir mendukung langkah Mahkamah Agung yang memutasi sejumlah hakim dan panitera ke daerah. "Apresiasi yang setinggi-tingginya atas langkah dan keputusan cepat yang diambil oleh Ketua Mahkamah Agung Bapak Prof Sunarto yang memutasi 199 hakim dan 68 panitera, khususnya yang berada di Jakarta, dengan memasukkan hakim-hakim dari luar Jakarta," kata Adies dalam keterangan tertulis yang diterima Law-Justice, Jumat (02/03/2025).

Adies berharap perombakan mutasi dan promosi ini dapat menjadi pembelajaran bagi para hakim yang mempunyai niat transaksional dalam memutus perkara. "Kerja kerja cepat, cermat, dan cerdas ini juga ditandai dengan perubahan yang jauh lebih baik, di mana setiap hakim yang dipromosikan bertugas di Jakarta diwajibkan menyerahkan LHKPN, riwayat keluarga, dan bukti rekening koran tabungan yang bersangkutan," ungkapnya.

Adies memandang langkah perombakan dan mutasi para hakim ini menjadi bukti bahwa jajaran Mahkamah Agung (MA) di bawah kepemimpinan Sunarto, sangat serius dan concern membenahi lembaga peradilan. "Hal ini membuktikan bahwa jajaran MA di bawah kepemimpinan Prof Sunarto, sangat serius dan konsen membenahi lembaga peradilan dari ulah sebagian kecil hakim-hakim yang tidak profesional dan tidak berintegritas," pungkasnya.

Penangkapan pelaku korupsi yudisial bukanlah yang pertama kali terjadi. Penegak hukum di negeri ini berulang kali menangkap penegak hukum dalam perkara yang tengah mereka tangani. Imimng-imimbg suap menjadi lebih populer, dibandung mesti berdebat di meja hijau. pada akhirnya rangkaian sidang dan ketukan palu tinggal sebatas seremonial belaka. Sementara, segalatetk bengeknya sudah dibereskan di belakang panggung.

Klasterisasi terhadap perkara yang elibatkan penegak hukum, membuat penanganan perkara korupsi peradilan ini tak pernah tuntas. Semangat untuk embela korups masih lebih kuat dibandingkan  semangat untuk membongka rkongkalikong dan menyelamatakna keadilan. Ego korps penegak hukum, membuat penanganan menjadi parsial. Dalam kasus terkini, penyidik tak sekalipun memeriksa JPU atau pun jaksa penyidik. Padahal mereka termasuk pihak yang mengerti perkara yang tengah mereka tangani. Mereka pun semestinya sudah mampu mengendus kejanggalan dalam proses sidang hingga keputusan. Bahkan, tak menuntut kemungkinan ada oknum unsur kejaksaan---bisa jadi tak terkait dengan perkara---turut bermain dalam orkestrasi mafia putusan ini.

Negara dalam darurat keadilan. Presiden Prabowo Subianto tidak bisa menganggap enteng terbongkarnya kasus suap di sektor peradilan ini. Kasus ini merupakan puncak gunung es bobroknya peradilan di Indonesia yang sarat dengan upaya suap dan transaksional. Meskipun masih banyak penegak hukum yang berintegritas dan profesional, namun infeksi virus mafia peradilan ini tidak bisa dianggap enteng. Jika rasa keadilan semakin jauh dirasakan oleh masyarakat, ini akan terpupuk menjadi bom waktu kerawanansosial yang dapat sekali-kali meledak.

Presiden harus aware dan mengambil sikap yang cepat dan terukur untuk menyelamat dunia yudisial kita. Trias Politika akan pincang, jika yudikatif tak bisa bekerja dengan efektif dan efisien. Apalagi, peradilan ini bersentuhan langusng dengan rakyat yang mencari keadilan. Apa jadinya sebuah negara, jika keadilannya dikuasi mafia?

Rohman Wibowo
Ghivary Apriman

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar