Sebut Data Worldbank Hanya Referensi, BPS Pernah Gunakan Standar Lawas

Rabu, 30/04/2025 23:10 WIB
Ilustrasi: Aktivitas warga pemukiman padat penduduk di Rel Kereta Api Jalur Kampung Bandan Kota Tua, Kampung Muka, Jakarta Utara. Robinsar Nainggolan

Ilustrasi: Aktivitas warga pemukiman padat penduduk di Rel Kereta Api Jalur Kampung Bandan Kota Tua, Kampung Muka, Jakarta Utara. Robinsar Nainggolan

law-justice.co - Data Bank Dunia menyebutkan 60,3 persen penduduk Indonesia tergolong miskin,  angka ini sangat jomplang dengan perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS). BPs menyatakan jumlah penduduk miskin ekstrem di Indonesia per Maret 2024, hanya 0,83 persen dari total penduduk. Rupanya, nilai acuan sebagai parameter kemiskinan yang berbeda. BPS masih menggunakan data acuan lawas.

Menanggapi ketimpangan informasi ini, BPS mengatakan bahwa  hanya referensi dan tidak harus menjadi acuan. "Mari kita lebih bijak untuk memaknai dan memahami angka kemiskinan yang dikeluarkan oleh Bank Dunia. Oleh karena itu, bukanlah suatu keharusan kita menerapkan, melainkan itu hanya sebagai referensi saja," ujar Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti di kompleks Istana Kepresidenan RI, Jakarta, Rabu (30/4/2025) sebagaimana dilansir Antaranews.

Menurut Amalia, Bank Dunia menggunakan standar yang digunakan dalam menentukan angka tersebut adalah garis kemiskinan untuk kategori negara berpendapatan menengah atas, yaitu sebesar 6,85 dolar AS per kapita berdasarkan paritas daya beli (purchasing power parity/PPP) pada tahun 2017. Dengan demikian, kata dia, angka tersebut tidak bisa langsung dikonversi menggunakan nilai tukar saat ini karena perhitungannya berdasarkan PPP 2017. Selain itu, BPS mengingatkan bahwa garis kemiskinan dari Bank Dunia tidak harus menerapkan secara mutlak oleh setiap negara.

Tiap negara harus bisa memiliki garis kemiskinan nasional yang disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi masing-masing.  "Dengan demikian, apabila memperhatikan lebih detail, selain poverty line atau garis kemiskinan standar Bank Dunia, banyak negara yang memiliki garis kemiskinan di masing-masing wilayahnya yang dihitung sendiri berdasarkan keunikan dan standar hidupnya," kata dia.

Adapun di Indonesia, lanjut Amalia, garis kemiskinan ditetapkan berdasarkan kondisi tiap provinsi yang memiliki standar hidup berbeda. Dengan demikian, kata dia, saat menghitung angka kemiskinan, basis yang digunakan adalah angka kemiskinan di masing-masing provinsi diagregasikan menjadi angka nasional. Oleh karena itu, menurut dia, standar hidup di Provinsi DKI (Jakarta) tidak akan sama dengan standar hidup di provinsi, misalnya Papua Selatan. "Provinsi DKI maupun Provinsi Papua Selatan memiliki garis kemiskinan yang berbeda-beda," pungkas dia.

Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) diketahui kedapatan menggunakan standar lama internasional dalam menentukan kelompok rakyat miskin ekstrem.  Amalia Adininggarmengakui, cara menghitung angka kemiskinan ekstrem masih menggunakan standar World Bank lama, sebesar US$1,9 per kapita per hari. Padahal, standar garis kemiskinan terbaru versi World Bank mengacu angka pendapatan baru sebesar US$3,2 per kapita per hari. Ukuran ini telah diadopsi sejak 2022 melalui angka Purchasing Power Parity (PPP) 2017 dari sebelumnya PPP 2011.

Kata Amalia, belum berubahnya ukuran kemiskinan ekstrem yang digunakan Indonesia, untuk menjaga perbandingan jumlah orang miskin secara historis. "Kemiskinan ekstrem kita masih pakai US$1,9 supaya membandingkannya sama yang sebelumnya, supaya perbandingannya secara historisnya sama," ucap Amalia saat ditemui di Kantor Pusat BPS, Jakarta, sebagaimana dikutip Inilah pada Sabtu (31/8/2024).

Amalia mengatakan, BPS hingga kini belum ada rencana melakukan pengubahan metodologi pengukuran standar kelas miskin ekstrem sesuai standar baru Bank Dunia itu. "Nanti kita bicarakan lagi. Jadi itu belum lah, kan ini masih proses metodologi kemiskinan yang baru," ujar Amalia.

Dengan standar lama, jumlah penduduk miskin ekstrem di Indonesia per Maret 2024, hanya 0,83 persen dari total penduduk. Atau turun ketimbang angka kemiskinan ekstrem pada Maret 2023 sebanyak 1,12 persen dari total penduduk. Jadi jelas yaa kenapa hasilnya jomplang.

(Bandot DM\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar