Nawaitu Redaksi
Gibran, Benalu Kekuasaan & Warisan Politik Dinasti yang Harus Dibasmi

Video Monolog Gibran di YouTube, Istana Buka Suara. (Ist).
Indonesia kini nampak tengah kembali berhadapan dengan bayang-bayang masa lalu yaitu merajalelanya kembali praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Yang paling terasa adalah praktek nepotisme yang mewujud dalam bentuk politik dinasti meskipun wajahnya terkesan lebih halus, lebih modern, dan sering kali dibungkus dalam narasi prestasi dan kesinambungan pembangunan.
Fenomena ini menemukan salah satu wujud paling kentara dalam sosok Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo. Dari pengusaha kuliner yang dikenal lewat merek martabak kekinian, ia melangkah cepat ke panggung politik nasional. Dalam waktu singkat, Gibran menapaki tangga kekuasaan dari Wali Kota Solo hingga berhasil menduduki jabatan strategis sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Lonjakan karier politik yang begitu cepat ini tentu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh besar sang ayah, tokoh sentral yang selama satu dekade terakhir memegang tampuk kekuasaan tertinggi di negeri ini.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang arah demokrasi Indonesia. Apakah kita benar-benar hidup dalam sistem yang menjunjung tinggi meritokrasi, di mana seseorang naik berdasarkan kapasitas, kapabilitas, dan rekam jejak? Ataukah kita kini tengah tersesat dalam demokrasi prosedural yang secara teknis sah karena melalui mekanisme pemilu namun hakikatnya dikendalikan oleh jejaring kekuasaan dan loyalitas keluarga?
Politik dinasti, yang dahulu dikritik keras sebagai salah satu warisan Orde Baru, kini tampaknya telah menemukan ruang hidup baru di tengah sistem demokrasi kita. Demokrasi yang seharusnya memberikan ruang setara bagi seluruh warga negara kini dipertanyakan, ketika akses terhadap kekuasaan lebih banyak ditentukan oleh garis keturunan dan kedekatan dengan lingkaran elite, bukan oleh prestasi dan kontribusi nyata.
Inilah realitas politik Indonesia hari ini: transisi demokrasi yang belum tuntas, di mana cita-cita reformasi sering kali tersingkir oleh kalkulasi elektoral, dan di mana kekuasaan masih menjadi milik segelintir yang memiliki koneksi, bukan kompetensi.
Gibran bukan sekadar anak presiden yang memiliki ketertarikan pada politik. Ia lebih dari itu: Gibran adalah representasi nyata dari bagaimana kekuasaan dapat dipergunakan untuk mengatur ulang aturan yang ada demi memperkuat pengaruh keluarga dalam sistem pemerintahan yang seharusnya berakar pada kepercayaan dan aspirasi rakyat.
Dengan posisinya yang tak terelakkan sebagai figur publik, Gibran menjadi simbol dari sistem yang tak lagi berfokus pada kualitas individu, melainkan pada pemanfaatan jalur kekuasaan untuk memperpanjang dominasi keluarga dalam panggung politik.
Satu momen yang memperkuat citra ini terjadi ketika Mahkamah Konstitusi mengubah batas usia minimum calon presiden dan wakil presiden, hanya sebulan sebelum pendaftaran calon dibuka. Keputusan tersebut memunculkan kecurigaan dari berbagai kalangan, yang melihatnya sebagai langkah strategis yang sengaja disiapkan untuk membuka jalan bagi Gibran.
Hal ini semakin diperburuk oleh fakta bahwa keputusan tersebut dipimpin oleh Anwar Usman, yang tak lain adalah ipar dari Presiden Jokowi. Keputusan ini, yang jelas memiliki dampak signifikan terhadap pencalonan politik, dianggap oleh sebagian pihak sebagai bukti bahwa lembaga negara telah terperangkap dalam permainan politik yang lebih mengutamakan kepentingan keluarga daripada prinsip keadilan dan pemerintahan yang transparan.
Tudingan bahwa lembaga-lembaga negara telah dikompromikan demi kepentingan keluarga semakin kuat, ketika melihat bagaimana setiap langkah yang diambil seolah-olah mengarah pada satu tujuan utama: memperpanjang kekuasaan keluarga Jokowi di kancah politik nasional.
Dalam konteks ini, Gibran bukan hanya sekadar figur yang melangkah ke dunia politik, tetapi juga simbol dari sebuah sistem yang menggunakan otoritas dan pengaruh untuk meraih tujuan-tujuan yang lebih pribadi dan terfokus pada kelangsungan kekuasaan keluarga. Apa yang seharusnya menjadi ruang bagi kompetisi politik yang sehat, justru kini terasa seperti sebuah panggung yang dirancang khusus untuk memperkuat hegemoni satu keluarga.
Keberadaan Gibran di panggung politik nasional, lebih jauh lagi, mencerminkan sebuah distorsi yang serius dalam tatanan etika demokrasi yang selama ini kita bangun. Keterlibatannya dalam kontestasi Pemilu 2024 seolah menjadi penegasan bahwa politik, yang seharusnya menjadi arena untuk perjuangan ide dan gagasan, kini telah berubah menjadi ajang untuk pewarisan kuasa semata. Dalam konteks ini, Gibran hadir sebagai simbol bahwa kekuasaan bukan lagi sesuatu yang diperoleh melalui proses demokratis yang penuh dengan dinamika, tetapi lebih sebagai produk dari jalinan relasi kuasa yang erat dan penuh dengan intervensi pihak-pihak berpengaruh.
Gibran, sebagai sosok yang terjun ke politik, bukanlah seorang tokoh yang lahir dan berkembang dari bawah, dari akar rumput masyarakat yang sehari-hari merasakan langsung dampak kebijakan. Ia bukan produk dari perjalanan panjang yang mengasah integritas, kapasitas kepemimpinan, dan pemahaman mendalam tentang kompleksitas bangsa. Sebaliknya, ia muncul begitu saja dengan lompatan-lompatan besar yang terlihat sangat strategis, bahkan terkesan disokong oleh kekuatan negara dan jalinan politik yang melibatkan relasi-relasi elit.
Perpindahannya yang cepat dari Solo ke Jakarta, dari Wali Kota menuju panggung politik yang lebih besar sebagai calon Wakil Presiden, adalah sebuah perjalanan yang terlalu singkat untuk bisa disebut sebagai pencapaian atau prestasi nyata. Lintasan tersebut terasa sangat sempurna, hampir tanpa cacat, hingga sulit untuk diterima sebagai kebetulan semata. Ini justru semakin mempertegas kenyataan bahwa keberadaannya di panggung politik lebih merupakan sebuah kalkulasi dan strategi dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan besar dalam mempertahankan atau memperkuat dominasi politik mereka.
Dengan demikian, kehadiran Gibran dalam kontestasi politik 2024 yang lalu membawa implikasi jauh lebih dalam daripada sekadar soal figur pribadi. Ia menggambarkan sebuah fenomena yang jauh lebih besar, yaitu maraknya praktik oligarki dalam politik Indonesia, di mana ruang demokrasi semakin terkunci, dan partisipasi politik menjadi terkontaminasi oleh kepentingan segelintir pihak yang lebih mementingkan kekuasaan daripada proses politik yang sejati.
Fenomena Gibran mengandung bahaya laten yang sangat serius bagi masa depan demokrasi kita. Politik dinasti, yang mengakar kuat dalam beberapa lapisan masyarakat, bukan hanya mengancam prinsip dasar keadilan dalam sistem demokrasi, tetapi juga membuka pintu bagi terjadinya korupsi kekuasaan yang lebih sistemik dan terstruktur.
Ketika jabatan publik mulai dilihat sebagai hak warisan, maka prinsip kompetisi yang sehat akan terkikis habis. Dalam sistem semacam ini, individu-individu dengan kapasitas, visi, dan integritas tinggi yang seharusnya memimpin dengan baik, malah tersingkir karena mereka tidak memiliki koneksi atau "darah biru" yang dianggap lebih berharga daripada kualitas kepemimpinan itu sendiri.
Hal ini menciptakan jurang pemisah yang semakin lebar antara mereka yang berhak memimpin berdasarkan meritokrasi dan mereka yang hanya berhak karena ikatan keluarga atau kedekatan dengan kekuasaan. Sistem yang semestinya berfungsi sebagai sarana untuk mendistribusikan kekuasaan secara adil dan merata, berubah menjadi alat untuk mempertahankan kuasa segelintir keluarga atau kelompok yang terjaga eksistensinya. Ketidakadilan ini semakin memperburuk kualitas demokrasi, karena suara rakyat yang seharusnya menjadi penentu utama, malah tenggelam oleh dominasi kekuasaan yang diwariskan tanpa memperhatikan kemampuan dan kinerja pemimpin yang terpilih.
Pola ini tentu berbahaya dalam jangka panjang, sebab ia menanamkan mentalitas feodal dalam tubuh negara, di mana kekuasaan hanya berpindah tangan dalam lingkaran tertutup. Demokrasi yang seharusnya menjadi mekanisme untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, adil, dan berpihak pada rakyat, malah berisiko mengalami kemunduran yang sangat signifikan.
Gibran mungkin sering dipuji sebagai figur muda, modern, dan sopan, yang dianggap membawa angin segar ke dalam dunia politik. Banyak yang melihatnya sebagai perwujudan generasi baru yang dapat memperbaharui wajah pemerintahan, dengan penampilan yang segar dan penuh harapan. Namun, di balik semua pujian tersebut, ada realitas yang tak bisa diabaikan: ia adalah hasil dari sebuah sistem yang telah dibajak.
Kehadirannya dalam kontestasi politik bukan hanya sekadar representasi anak muda yang diharapkan bisa memberikan perubahan, melainkan juga simbol dari bagaimana reformasi yang dulu digaungkan sebagai harapan perubahan justru telah dibajak oleh elit politik yang tidak ingin kehilangan kekuasaan. Mereka menggunakan sosok muda ini untuk menjaga dan bahkan memperpanjang kekuasaan mereka, meski masa jabatan mereka sudah berakhir.
Gibran, dalam konteks ini, bukanlah pemimpin yang muncul sebagai akibat dari dinamika politik yang sehat, tetapi lebih sebagai instrumen yang digunakan oleh kekuatan lama untuk mempertahankan dominasi mereka atas negara. Keberadaannya adalah cerminan dari bagaimana sistem politik yang seharusnya memberikan ruang bagi perubahan, malah dipermainkan untuk memenuhi kepentingan elit yang haus akan kekuasaan.
Kini, publik dihadapkan pada pilihan yang krusial dan menentukan masa depan bangsa: apakah kita akan membiarkan politik dinasti terus tumbuh subur, dipelihara atas nama stabilitas, ataukah kita akan menolak praktik warisan kekuasaan yang semakin mengancam keberlanjutan demokrasi kita?
Politik dinasti, yang mengutamakan keluarga atau kelompok tertentu sebagai pemegang kendali negara, bukan hanya merusak prinsip keadilan, tetapi juga mencederai harapan rakyat untuk mendapatkan pemimpin yang benar-benar mewakili suara mereka. Dalam suasana semacam ini, kita dihadapkan pada dilema moral yang mendalam.
Jika kita memilih untuk diam, seolah-olah tak peduli dengan gejala yang ada, maka kita sedang merelakan demokrasi dijadikan milik pribadi segelintir orang yang berkuasa, tanpa memberikan ruang bagi rakyat untuk menentukan arah politik yang lebih baik. Diam berarti membiarkan kepentingan pribadi dan kelompok mengalahkan kepentingan bersama, dan akhirnya menghancurkan fondasi yang selama ini kita percayai sebagai pilar demokrasi.
Namun, jika kita memilih untuk bersuara, meski mungkin terasa berat dan penuh tantangan, setidaknya kita masih memiliki harapan untuk memperbaiki keadaan. Suara kita adalah bentuk penolakan terhadap segala bentuk ketidakadilan, serta bukti bahwa kita percaya pada potensi demokrasi yang lebih sehat dan inklusif.
Bersama-sama, dengan keberanian dan tekad, kita dapat menegakkan kembali prinsip-prinsip dasar yang menegaskan bahwa kekuasaan sejatinya berada di tangan rakyat, bukan diwariskan oleh mereka yang merasa memiliki hak atasnya. Kita tak boleh membiarkan ketidakberdayaan merajalela, sebab masa depan demokrasi kita bergantung pada seberapa kuat kita memperjuangkannya.
Gibran bukanlah sekadar masalah pribadi, melainkan sebuah gejala yang mencerminkan penyakit kronis yang telah lama menggerogoti tubuh politik Indonesia. Penyakit ini berakar dalam sistem yang sakit, di mana loyalitas buta terhadap tokoh-tokoh politik menggantikan loyalitas terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan. Di sisi lain, institusi yang seharusnya menjadi pilar pengawasan dan penyeimbang kini semakin rapuh dan lemah.
Mekanisme checks and balances yang seharusnya menjaga agar kekuasaan tidak terjebak dalam cengkeraman satu pihak, perlahan-lahan telah mati, mengikis fondasi demokrasi itu sendiri. Gibran, dengan segala kontroversinya, adalah benalu kekuasaan yang tumbuh subur di tengah pohon demokrasi yang akar-akarnya sudah mulai lapuk. Benalu ini, jika dibiarkan tumbuh lebih besar, akan semakin menyuburkan ketidakadilan dan menggerogoti prinsip-prinsip dasar negara ini.
Benalu kekuasaan semacam ini tidak hanya menciptakan ketidaksetaraan dalam berpolitik, tetapi juga merusak kualitas pemerintahan yang seharusnya berpihak kepada rakyat, bukan sekadar kepentingan segelintir elit. Maka, menghentikan politik dinasti bukanlah sekadar soal membenci atau menilai individu tertentu, tetapi merupakan langkah penting untuk menyelamatkan demokrasi itu sendiri.
Kita sedang berhadapan dengan sebuah pilihan yang menentukan: apakah kita ingin membiarkan pohon demokrasi ini tumbang karena benalu yang terus berkembang, ataukah kita akan berusaha keras untuk menjaga agar pohon itu tetap tegak, kuat, dan sehat bagi generasi mendatang. Menghentikan dinasti politik adalah sebuah upaya menyelamatkan masa depan bangsa, bukan sekadar untuk menjatuhkan individu tertentu. Karena jika kita membiarkan penyakit ini terus menyebar, maka kehancuran demokrasi yang perlahan tapi pasti sudah di depan mata.
Atas dasar alasan sebagaimana dikemukakan diatas, kiranya wajar kalau para purnawirawan Jenderal itu kemudian bersuara lantang minta supaya Gibran dilengserkan dari kursinya. Meskipun cara pelengserannya akan sangat panjang dan berliku, tetapi bukan berarti tidak bisa di wujudkan. Kita menunggu keberanian DPR/MPR termasuk Prabowo untuk segera mengambil sikap demi kepentingan masa depan rakyat, bangsa dan negara.
Komentar