Terdakwa Korupsi Timah Meninggal, Jaksa Agung Bakal Gugat Ahli Waris

Ilustrasi: Terdakwa kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah tahun 2015-2022 Suparta menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (6/12/2024). (Antaranews)
law-justice.co - Suparta, terdakwa perkara korupsi timah, meninggal dunia. Pengadilan Tinggi Tipikor DKI sebelumnya memvonis terdakwa mengganti kerugian negara Rp 4,5 triliun. Kejaksaan Agung selanjutnya akan mengajukan upaya gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar menuturkan, gugatan perdata terhadap terdakwa kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah, Suparta, akan dialihkan kepada ahli waris. Harli menjelaskan bahwa tuntutan pidana terhadap Suparta langsung gugur sesuai Pasal 77 KUHP. Namun, gugatan perdata tetap berjalan. "(Gugatan perdata diarahkan) ke ahli waris, di aturannya seperti itu, tapi nanti bagaimana prosesnya kita mulai dulu bagaimana sikap dari penuntut umum akan dikaji dulu," jelas Harli di kantornya, Jakarta Selatan, Selasa (29/4/2025) sebagaimana dilansir Kompas.
Kabar meninggalnya Suparta dikonfirmasi oleh Kejagung. “Benar (meninggal dunia), atas nama Suparta pada hari Senin tanggal 28 April 2025 sekitar pukul 18.05 WIB di RSUD Cibinong Bogor,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar, seperti dilansir dari Antara, Senin (28/4/2025). Dia mengatakan, Suparta meninggal dunia ketika menjalani masa penahanan di Lembaga Pemasyarakatan (lapas) Cibinong Bogor.
Suparta terbukti menerima aliran dana sebesar Rp 4,57 triliun dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari dana yang diterima. Mengacu pada Pasal 34 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang mengatur apabila terdakwa meninggal dunia, kata Harli, jaksa penuntut umum akan menyerahkan berita acara persidangan kepada jaksa pengacara negara untuk melakukan gugatan perdata. "Jadi penuntut umum akan bekerja untuk melakukan analisis kemudian dikaitkan dengan aturan perundang-undangan, baik terhadap status yang bersangkutan maupun terhadap upaya pengembalian kerugian keuangan negara," ujarnya.
Suparta merupakan salah satu terdakwa dalam kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk pada tahun 2015–2022. Dia terbukti menerima aliran dana sebesar Rp 4,57 triliun dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari dana yang diterima. Suparta pun dijatuhi hukuman penjara selama 8 tahun, denda Rp 1 miliar subsider pidana kurungan selama 6 bulan, serta membayar uang pengganti senilai Rp 4,57 triliun subsider 6 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Pada Februari 2025, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat vonis pidana penjara Suparta menjadi 19 tahun, setelah menerima permintaan banding dari penuntut umum dan Suparta selaku terdakwa dalam kasus tersebut. Untuk pidana denda, hukuman terhadap Suparta tetap sebesar Rp 1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka akan diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 6 bulan. Sementara itu, pada pidana tambahan, Majelis Hakim menetapkan uang pengganti yang dibayarkan Suparta tetap sebesar Rp 4,57 triliun.
Tetapi, hukuman pengganti apabila Suparta tidak membayarkan uang pengganti tersebut diperberat Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menjadi 10 tahun penjara. Usai dijatuhi putusan banding, Suparta mengajukan kasasi di Mahkamah Agung. Hal tersebut dikonfirmasi oleh Kapuspenkum Harli.
Komentar