Nawaitu Redaksi
Saat Serikat Buruh Mau Dijinakkan di Acara May Day & Gelombang PHK

Bang Japrak: Selamat Hari Buruh! (LJ)
Dalam rangka memperingati Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2025, pemerintah melalui Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad menunjukkan upaya untuk merangkul dan sekaligus menjinakkan serikat-serikat buruh. Melalui pendekatan yang masif dan dukungan dana besar, terbentuklah Kelompok Kerja (Pokja) Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang diharapkan mampu menjadi solusi atas maraknya kasus PHK di berbagai sektor industri.
Pemerintah menekankan bahwa langkah ini adalah bentuk keseriusan negara dalam melindungi hak-hak pekerja serta menjaga stabilitas ketenagakerjaan di tengah tantangan ekonomi global.
Namun, kenyataan di lapangan berkata lain. Meskipun Pokja PHK telah dibentuk dan berbagai dialog sosial telah digelar, angka PHK justru terus meningkat. Ribuan buruh dari berbagai sektor masih kehilangan pekerjaan, dan sebagian besar dari mereka merasa tidak mendapatkan perlindungan yang layak.
Serikat buruh pun mulai mempertanyakan efektivitas Pokja tersebut, serta transparansi pengelolaan dana besar yang dikucurkan pemerintah. Alih-alih menjadi solusi, kebijakan ini dinilai hanya menjadi simbolis semata tanpa perubahan konkret yang dirasakan langsung oleh para pekerja.
Apakah pembentukan Pokja PHK hanyalah simbolisme politik untuk meredam kritik buruh di Hari Buruh?. Mengapa PHK masih terus terjadi meskipun pemerintah mengucurkan dana besar dan membentuk Pokja PHK?. Siapa sebenarnya yang diuntungkan dari kemitraan pemerintah dan serikat buruh jika PHK tetap marak terjadi?. Apakah dana besar untuk merangkul serikat buruh merupakan bentuk kooptasi atau upaya tulus memperjuangkan hak pekerja?. Apakah pemerintah lebih fokus pada pencitraan atau penyelesaian nyata terhadap krisis ketenagakerjaan?
Simbolisme Politik ?
Pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Penyelesaian Perselisihan Hubungan Kerja (PHK) yang diumumkan menjelang peringatan Hari Buruh Internasional oleh pemerintah Prabowo, melalui perantara politisi senior Sufmi Dasco Ahmad, dengan cepat menarik perhatian publik. Namun, di balik kemasan retorikanya yang terkesan progresif dan responsif, langkah ini tampak lebih sebagai manuver simbolis ketimbang solusi substansial terhadap persoalan buruh yang semakin kompleks.
Beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa pembentukan Pokja PHK hanya bersifat simbolisme belaka dapat dibaca pada:
Pertama, Waktunya tepat menjelang Hari Buruh. Dalam dinamika relasi industrial di Indonesia, Hari Buruh selalu menjadi momentum simbolik sekaligus politis. Ia bukan sekadar peringatan tahunan, melainkan ruang artikulasi keresahan buruh atas praktik ketenagakerjaan yang dirasa tidak adil. Di tengah memanasnya isu pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan kegelisahan pekerja atas minimnya perlindungan hukum, pemerintah tiba-tiba mengumumkan pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) khusus yang menangani persoalan PHK. Namun, pengumuman ini muncul dalam waktu yang sangat ‘kebetulan’—hanya beberapa hari menjelang peringatan Hari Buruh, 1 Mei.
Langkah pembentukan Pokja PHK ini, jika dilihat secara kasat mata, tampak sebagai respons progresif terhadap kegentingan situasi ketenagakerjaan. Namun, di balik selubung retorika formal dan janji penyelesaian, publik bertanya-tanya: benarkah ini lahir dari kebutuhan substansial? Ataukah sekadar gesture politik yang dibungkus simbolisme untuk meredam tensi sosial menjelang Hari Buruh?
Kecurigaan ini bukan tanpa alasan. Dalam berbagai pernyataan resmi, detail operasional, mandat konkret, serta mekanisme kerja Pokja masih belum terlihat jelas. Tidak ada informasi transparan tentang siapa saja yang tergabung, bagaimana pengawasan akan dilakukan, hingga sejauh mana kekuatan Pokja dalam mengeksekusi kebijakan. Hal ini memunculkan kesan bahwa pembentukan Pokja hanyalah manuver simbolik untuk menunjukkan bahwa pemerintah ‘peduli’ dan ‘respon cepat’ padahal, di lapangan, pekerja terus menghadapi ketidakpastian hukum dan tekanan ekonomi.
Momentum pembentukannya yang begitu dekat dengan Hari Buruh makin memperkuat persepsi bahwa Pokja ini lebih merupakan alat kendali emosi kolektif, bukan perangkat solusi struktural. Dalam bahasa lain, ini adalah strategi “cooling down”, agar gejolak buruh tidak meledak dalam aksi massa yang lebih besar. Ini adalah gesture, bukan gerakan. Ia bicara tentang keinginan untuk menenangkan, bukan menyelesaikan.
Tindakan seperti ini bukan hal baru. Dalam sejarah ketenagakerjaan Indonesia, banyak kebijakan ‘populis’ yang dilempar menjelang momen-momen kritis entah berupa wacana revisi UU Ketenagakerjaan, rencana insentif, atau pembentukan tim khusus namun tidak berumur panjang atau gagal menyentuh akar persoalan. Pokja PHK, jika tidak diawasi dan tidak diberi mandat yang kuat serta transparan, hanya akan menjadi catatan kaki dari pola simbolisme birokrasi yang berulang.
Para buruh dan masyarakat sipil kini dituntut untuk tidak hanya menyambut pembentukan Pokja dengan apresiasi, tapi juga dengan kewaspadaan. Pertanyaannya bukan hanya apa yang dibentuk, tapi untuk apa dan bagaimana ia bekerja. Karena jika simbol semata yang ditawarkan, maka itu tidak lebih dari upaya meredakan kemarahan dengan kosmetika kebijakanbukan menghadirkan keadilan yang sesungguhnya.
Kedua, Tidak berbasis regulasi yang kuat.Pembentukan Kelompok Kerja Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja (Pokja PHK) sejatinya diharapkan menjadi langkah strategis pemerintah dalam merespons isu-isu ketenagakerjaan yang semakin kompleks. Namun, jika ditelaah lebih dalam, pembentukan Pokja ini justru menimbulkan sejumlah pertanyaan fundamental terkait efektivitas dan legitimasi keberadaannya. Hal ini tak lepas dari fakta bahwa Pokja tersebut dibentuk tanpa landasan hukum yang kokoh, tanpa regulasi yang tegas mengatur fungsi, wewenang, maupun mekanisme kerja yang jelas. Akibatnya, keberadaan Pokja PHK ini lebih tampak sebagai simbolisme semata upaya pencitraan kelembagaan yang tidak menjawab substansi persoalan di lapangan.
Pokja ini bersifat ad hoc, artinya hanya dibentuk untuk kebutuhan sesaat tanpa integrasi yang kuat dalam sistem birokrasi ketenagakerjaan nasional. Tidak adanya aturan turunan yang memberikan kekuatan hukum bagi Pokja ini menegaskan bahwa entitas ini tidak memiliki kewenangan eksekusi yang riil. Mereka tak lebih dari forum diskusi internal yang terbatas, yang keputusannya tidak mengikat dan tidak memiliki kekuatan intervensi terhadap dinamika PHK di lapangan. Dalam konteks ini, peran Pokja menjadi ambigu—mereka bukan lembaga pengambil keputusan, bukan pula eksekutor kebijakan, hanya sekadar “pengamat” yang mencatat dan menyampaikan laporan.
Lebih jauh, tidak adanya indikator kinerja yang terukur dan mekanisme pertanggungjawaban yang jelas membuat keberadaan Pokja ini sulit dievaluasi. Tidak ada tolok ukur yang bisa digunakan publik untuk menilai apakah Pokja telah bekerja secara efektif atau tidak. Hal ini memperkuat dugaan bahwa pembentukan Pokja PHK hanya dilakukan untuk memenuhi tekanan opini publik dan memberikan kesan seolah pemerintah telah melakukan sesuatu. Padahal, tanpa kekuatan hukum, Pokja ini tak bisa menjamin perlindungan bagi pekerja, tidak bisa memaksa perusahaan untuk tunduk pada rekomendasinya, dan tidak bisa menyelesaikan konflik ketenagakerjaan secara tuntas.
Dalam konteks tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), keberadaan entitas semu seperti ini justru kontraproduktif. Alih-alih memperkuat kepercayaan publik, hal ini dapat memunculkan sinisme terhadap keseriusan pemerintah dalam menangani isu PHK. Pokja yang tidak berfungsi optimal dan tidak memiliki legitimasi hukum berpotensi menjadi sekadar window dressing, hiasan belaka yang mempercantik tampilan luar, tetapi kosong di dalam.
Jika pemerintah benar-benar serius ingin menghadirkan solusi sistemik terhadap maraknya PHK, maka yang dibutuhkan bukanlah pembentukan satuan kerja temporer tanpa dasar hukum. Yang dibutuhkan adalah regulasi yang kuat, struktur kelembagaan yang permanen, serta wewenang yang memadai untuk bertindak secara cepat dan tegas. Tanpa itu semua, Pokja PHK hanya akan menjadi catatan kaki dalam sejarah birokrasi, simbol dari pendekatan yang reaktif, bukan proaktif dan pada akhirnya, gagal menjawab harapan pekerja yang dirumahkan secara sepihak.
Ketiga,Pelibatan tokoh politik, bukan teknokrat. Salah satu indikator paling mencolok dari simbolisme ini adalah penunjukan Sufmi Dasco Ahmad sebagai tokoh sentral dalam Pokja tersebut. Sebagai seorang elit partai politik yang menjabat Wakil Ketua DPR dari Partai Gerindra, Dasco tidak memiliki latar belakang teknokratis di bidang ketenagakerjaan, perburuhan, atau ekonomi tenaga kerja. Ia dikenal luas sebagai sosok politisi ulung, bukan sebagai pakar kebijakan publik yang memahami seluk-beluk pasar tenaga kerja, dinamika hubungan industrial, ataupun isu-isu struktural yang menyebabkan PHK massal di era disrupsi digital dan perlambatan ekonomi global.
Penunjukan ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah pembentukan Pokja benar-benar ditujukan untuk menghasilkan solusi teknokratis yang berbasis data, riset, dan kepakaran? Ataukah ini sekadar panggung politik untuk menunjukkan bahwa negara "turun tangan", sementara keputusan substansial tetap didelegasikan pada mekanisme-mekanisme yang tidak transparan?
Dominasi aktor-aktor politik dalam Pokja ini memperkuat dugaan bahwa lembaga tersebut dibentuk bukan untuk memetakan akar masalah dan merumuskan kebijakan struktural jangka panjang, melainkan untuk menenangkan publik, menurunkan tekanan media, dan meredam keresahan serikat buruh serta organisasi masyarakat sipil. Dalam konteks ini, keberadaan Pokja berfungsi layaknya etalase menampilkan keseriusan semu pemerintah tanpa komitmen yang nyata terhadap reformasi kebijakan ketenagakerjaan yang berkelanjutan.
Kesan simbolisme ini diperkuat oleh minimnya partisipasi aktif para ahli independen dalam bidang ketenagakerjaan, akademisi, dan perwakilan serikat buruh dalam pembentukan maupun proses kerja Pokja. Padahal, masalah PHK tidak bisa ditangani hanya dengan pendekatan politis; dibutuhkan pemahaman mendalam tentang ekosistem tenaga kerja, relasi industrial, transformasi digital, serta jaring pengaman sosial.
Dengan demikian, publik patut mempertanyakan: apakah Pokja ini dibentuk untuk menyelesaikan masalah, atau hanya untuk terlihat seolah-olah masalah sedang ditangani? Selama pendekatan teknokratis dikesampingkan dan elit politik yang tidak relevan secara keilmuan diberi peran sentral, maka Pokja PHK tak ubahnya sebuah simbol nyaring bunyinya, kosong isinya.
Aksi My Day
Kalau memang kaum buruh mulai mencurigai bahwa serikat buruh mereka telah dikooptasi oleh penguasa artinya sudah tidak lagi memperjuangkan kepentingan buruh secara independen dan malah condong ke kekuasaan atau kepentingan elit tertentu maka ada beberapa langkah penting dan strategis yang bisa diambil diantaranya :
Pertama, Perkuat Kesadaran dan Diskusi Internal. Dalam menghadapi situasi ini, kaum buruh tidak boleh diam. Kaum buruh harus bergerak, tapi bukan sekadar turun ke jalan, melainkan koreksi internal memulai dari dalam.
Langkah pertama adalah menyebarkan informasi kepada sesama anggota buruh tentang indikasi kooptasi ini secara terbuka dan jujur. Jangan biarkan informasi hanya dikuasai segelintir elite, karena gerakan sejati lahir dari kesadaran kolektif.
Langkah kedua adalah membangun ruang-ruang diskusi internal yang bebas dari intimidasi dan kepentingan terselubung. Di sinilah kaum buruh bisa saling bertanya, menganalisis, dan menentukan sikap bersama bukan sekadar mengikuti arahan yang tidak transparan.
Lebih jauh lagi, penting untuk melakukan edukasi mendalam tentang peran sejati serikat buruh bukan sebagai alat kekuasaan, tapi sebagai wadah perjuangan yang independen, milik dan untuk buruh. Kaum buruh perlu menggali kembali sejarah gerakan buruh, dari perjuangan di Haymarket hingga aksi-aksi besar buruh di tanah air yang tak pernah tunduk pada penguasa.
Gerakan buruh yang kuat tidak lahir dari kompromi dengan kekuasaan, tapi dari kesadaran, solidaritas, dan kemandirian. Inilah saatnya kita bangkit, menyatukan barisan, dan memastikan bahwa suara buruh tidak dibungkam oleh kooptasi.
Kedua, Membangun Kepemimpinan Alternatif. Sejarah telah mengajarkan k satu hal: ketika kepemimpinan resmi berhenti berjuang, kaum buruh tidak boleh tinggal diam. Saatnya kaum buruh membangun Kepemimpinan Alternatif. Hal ini bisa mulai dari membentuk fraksi progresif di dalam serikat, kelompok internal yang punya semangat perlawanan dan loyal penuh pada kepentingan buruh. Fraksi ini harus menjadi ruang konsolidasi gagasan dan kekuatan politik buruh yang sejati.
Lebih dari itu, kaum buruh harus mendorong regenerasi kepemimpinan. Jika pimpinan saat ini telah terbukti berkhianat, maka sudah saatnya buruh menuntut musyawarah luar biasa atau muktamar, sebagai mekanisme sah untuk mengganti kepemimpinan yang tak lagi berpihak pada buruh. Kepemimpinan sejati tidak dilahirkan oleh kompromi, tetapi oleh keberanian untuk melawan! Jangan tunggu momentum! Kaum buruh harus kembali mengambil alih kendali atas alat perjuangannya sendiri. Organisasi bukan milik segelintir elit organisasi adalah milik semua buruh!
Ketiga, Gunakan Momentum “My Day” (May Day). May Day bukan panggung euforia. May Day adalah panggung perlawanan!. Hari Buruh Sedunia seharusnya menjadi momen refleksi dan perlawanan terhadap berbagai bentuk penindasan, termasuk kooptasi serikat oleh kekuasaan.
Saat para pentolan buruh bernegosiasi bukan untuk buruh, tapi untuk kepentingan pribadi dan penguasa, maka serikat bukan lagi alat perjuangan, tapi sudah menjadi bagian dari penindasan itu sendiri.
May Day bukan milik elit serikat. May Day bukan panggung panggung pencitraan.May Day adalah MY DAY! Hari kita! Hari buruh!. Sudah saatnya buruh merebut kembali kendali serikat.. Gunakan May Day sebagai panggung politik bukan untuk partai, tapi untuk kesadaran kelas dan pembebasan buruh dari kooptasi dan kompromi yang melemahkan!
Ke Empat, Melakukan Koalisi dengan Serikat/Buruh Lain. Kaum buruh tidak boleh tinggal diam. Justru inilah saat yang tepat untuk merapatkan barisan dan membangun koalisi lintas serikat yang masih punya semangat juang. Koalisi ini bisa menjadi wadah konsolidasi untuk memperkuat tekanan politik dan ekonomi terhadap kebijakan yang merugikan buruh.
Apabila indikasi kooptasi sudah terlalu dalam, dan sebagian serikat lebih memilih kompromi ketimbang perlawanan, maka membangun aliansi baru atau bahkan membentuk serikat buruh yang lebih militan dan tidak kompromistis menjadi langkah strategis. Sejarah perjuangan buruh menunjukkan bahwa perubahan tidak pernah datang dari kemudahan, tapi dari keberanian untuk melawan arus.
Kaum buruh bisa belajar dari serikat-serikat buruh yang masih kritis dan independent yang tetap teguh di jalan perjuangan, meski dihadang berbagai tekanan. Penguatan pendidikan politik kelas pekerja, pengorganisiran akar rumput, serta keberanian untuk memutus ketergantungan pada elit kekuasaan adalah kunci menuju kebangkitan gerakan buruh yang sejati.
Ini bukan sekadar perlawanan terhadap kooptasi, tapi juga panggilan untuk membangun kembali kekuatan buruh yang murni, berdaulat, dan tidak bisa dibeli.Hidup Buruh! Bersatu, Lawan, dan Menang!
Kelima, Gunakan Jalur Hukum dan Demokrasi Serikat. Jika memang terbukti ada penyimpangan dalam kepemimpinan serikat, maka langkah pertama adalah mendorong transparansi. Gunakan aturan internal serikat untuk menuntut audit dana organisasi, membuka notulensi rapat, serta meminta pertanggungjawaban atas setiap keputusan yang diambil atas nama anggota.
Jika perlu, desak dilakukannya pemilu ulang pengurus secara adil dan terbuka. Jangan biarkan serikat dijadikan alat kepentingan segelintir elite. Demokrasi serikat harus hidup, karena hanya melalui partisipasi aktif dan kontrol anggota, suara buruh bisa benar-benar diperjuangkan.
Apabila jalur internal menemui jalan buntu, kaum buruh juga bisa menempuh kanal hukum formal. Laporkan jika ada indikasi penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, atau pelanggaran hukum lainnya. Negara punya perangkat hukum gunakan untuk memastikan bahwa serikat tetap menjadi milik anggota, bukan alat politik pihak luar.
Ini bukan sekadar perjuangan jabatan, ini tentang menjaga marwah perjuangan buruh. Karena serikat yang kuat, transparan, dan demokratis adalah pondasi utama dalam memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh pekerja.
Pada akhirnya, kalau benar serikat buruh dirangkul, sementara buruh digusur maka hal ini merupakah sebuah ironi yang tak kunjung usai, seolah mempertegas bahwa kepentingan segelintir lebih nyaring daripada jeritan mayoritas. Jika serikat tak lagi berdiri tegak di atas kepentingan buruh, lalu siapa yang bisa diandalkan?. Mungkin sudah saatnya buruh berhenti berharap pada pelukan lembut yang penuh siasat, dan mulai bersuara dengan cara yang lebih lantang karena nasib buruh terlalu penting untuk terus dicueki. Oh my day, jangan sampai esok lebih parah dari hari ini.
Komentar