Nawaitu Redaksi
Dugaan Ijasah Palsu Jokowi, Usaha Membunuh Kebenaran & Menutupi Aib

Publik Pertanyakan Ijazah Jokowi(Kolase dari berbagai sumber).
Belakangan ini, ruang publik dibuat begitu gaduh dipicu oleh isu sensitif menyangkut dugaan ijasah palsu presiden ke tujuh Indonesia. Dugaan mengenai keaslian ijazah pendidikan beliau mencuat dan menjadi perbincangan luas di berbagai lini media, baik media sosial maupun media arus utama. Isu ini bukan sekadar menyentuh ranah pribadi, melainkan telah berkembang menjadi polemik politik dan hukum yang menyita perhatian rakyat Indonesia bahkan hingga ke manca negara.
Perdebatan ini memunculkan berbagai spekulasi, opini, hingga aksi hukum yang menuntut klarifikasi dan pembuktian keaslian ijazahnya. Di satu sisi, ada pihak-pihak yang menyuarakan keraguan dan mendesak transparansi, sementara di sisi lain, tak sedikit pula yang menganggap isu ini sebagai bentuk serangan politik pada seorang mantan presiden yang sudah dua kali memimpin Indonesia.
Sebenarnya apa urgensinya mempertanyakan keaslian ijazah seorang pejabat negara seperti ijazah Presiden yang notebene sudah tidak lagi duduk di kursinya?. Bagaimana cara mudah untuk membuktikan kepalsuan atau keaslian ijazahnya ?. Apakah berbelitnya proses pembuktian palsu atau tidaknya ijasah Jokowi mengindikasikan adanya upaya untuk menutupi kebenaran agar mereka yang diduga terlibat bisa mengubur kebenaran secara bersama sama ?
Urgensi Pembuktian
Ada yang berpendapat bahwa tidak perlu lagi mempermasalahkan ijazah Jokowi, mengenai keaslian atau kepalsuannya. Karena toh Jokowi sudah tidak lagi menjadi presiden sehingga hanya akan buang buang energi saja. “Sementara urusan bangsa yang lain masih banyak buat apa menyoal ijazah Jokowi ?:hanya buang buang waktu saja”, begitu katanya.
Orang lupa bahwa mempertanyakan keaslian ijazah Jokowi secara ilmiah sangat penting dalam konteks etika, hukum, dan integritas kelembagaan suatu negara. Berikut beberapa alasan yang bisa dijadikan dasarnya :
Pertama, Preseden Etika dan Moral dalam Demokrasi.Dalam sistem demokrasi yang sehat, kepercayaan publik terhadap para pemimpin tidak hanya dibangun dari kebijakan yang mereka hasilkan, tetapi juga dari integritas pribadi yang mereka tunjukkan. Salah satu simbol penting dari integritas tersebut adalah keaslian dokumen-dokumen pribadi, termasuk ijazah pendidikan. Oleh karena itu, mempertanyakan keaslian ijazah Presiden Joko Widodo bukan sekadar tindakan politis, melainkan bagian dari upaya menjaga etika dan moral kepemimpinan dalam tatanan demokrasi.
Dalam ilmu politik dan etika publik, keaslian ijazah mencerminkan dua hal penting: kejujuran pribadi dan integritas moral. Bila terdapat indikasi bahwa dokumen tersebut tidak autentik, maka hal ini tidak bisa dianggap sepele.
Sebab, integritas pemimpin merupakan fondasi utama dari legitimasi setiap kebijakan yang mereka ambil. Ketika seorang pemimpin berada dalam posisi kekuasaan tertinggi, wajar jika masyarakat menuntut kejelasan atas catatan etisnya. Jika keaslian ijazah dipertanyakan secara serius, maka perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap rekam jejak etika selama masa jabatannya. Bukan untuk menjatuhkan, tetapi demi menjaga kepercayaan publik terhadap sistem.
Lebih jauh, mempertanyakan dan memverifikasi dokumen penting seperti ijazah menciptakan preseden yang sehat bagi calon pejabat di masa depan. Standar integritas harus ditegakkan secara konsisten. Jika masyarakat dan lembaga negara membiarkan keraguan ini tanpa tanggapan serius, maka akan tercipta celah yang bisa dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik lain di masa mendatang untuk memanipulasi data atau membentuk citra yang tidak sesuai kenyataan. Ini adalah soal tanggung jawab antargenerasi, memastikan bahwa pejabat publik tidak hanya dipilih karena popularitas, tetapi juga karena transparansi dan kejujuran yang teruji.
Dengan demikian, mempertanyakan keaslian ijazah Jokowi bukan berarti menyerang pribadi, tetapi merupakan bagian dari pembentukan budaya politik yang lebih bersih, akuntabel, dan etis. Ini adalah panggilan untuk memperkuat demokrasi, bukan melemahkannya.
Kedua, Kepastian dan Transparansi Hukum. Dalam sistem hukum tata negara, terdapat prinsip fundamental yang menjadi pilar utama dalam setiap proses pencalonan pejabat publik: asas legalitas dan asas transparansi. Kedua asas ini bukan sekadar norma ideal, melainkan jaminan terhadap tegaknya kepercayaan publik dan kepastian hukum dalam negara demokrasi.
Pertanyaan mengenai keaslian ijazah Jokowi, meskipun telah melewati masa kepemimpinannya, bukanlah semata soal politis atau sensasi, melainkan menyentuh ranah keabsahan dokumen hukum yang menjadi syarat administratif pencalonan presiden. Ijazah bukan hanya sekadar bukti kelulusan, melainkan dokumen hukum resmi yang memiliki kekuatan pembuktian dalam proses seleksi dan pencalonan pejabat tinggi negara.
Dalam perspektif hukum tata negara, setiap dugaan potensi pelanggaran terhadap syarat pencalonan harus ditanggapi secara serius, karena hal tersebut berkaitan langsung dengan legitimasi konstitusional pejabat publik. Mengabaikan atau menutup-nutupi potensi pelanggaran justru berbahaya, karena dapat membuka celah hukum, menciptakan preseden atau yurisprudensi negatif, dan pada akhirnya merusak integritas sistem pemilu dan pemerintahan ke depan.
Lebih dari itu, jika secara hipotetik terbukti bahwa dokumen tersebut tidak sah atau palsu, maka implikasinya memasuki ranah pidana. Meskipun secara yuridis pidana memiliki batas kedaluwarsa, secara etika, moral, dan sosial, pelanggaran semacam ini tidak mengenal batas waktu. Sebab, kejahatan terhadap sistem demokrasi dan pemilu yang jujur adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan publik dan konstitusi itu sendiri.
Maka dari itu, desakan untuk memverifikasi keaslian ijazah bukanlah bentuk kebencian atau upaya menjatuhkan personal, melainkan langkah rasional dan legal untuk menjaga marwah hukum dan konstitusi negara. Transparansi dan kejelasan dalam hal ini bukan hanya demi masa lalu, tapi untuk melindungi masa depan demokrasi Indonesia dari praktik manipulatif dan ketidakpastian hukum.
Ketiga, Pengaruh terhadap Legitimasi Kebijakan dan Sejarah Nasional. Dalam ilmu pemerintahan dan sejarah politik, setiap pemimpin negara tidak hanya menjalankan mandat kekuasaan, tetapi juga meninggalkan warisan yang membentuk arah bangsa untuk generasi mendatang. Warisan ini tercermin dalam kebijakan publik, penunjukan pejabat negara, pengelolaan anggaran, hingga keputusan-keputusan strategis di panggung internasional. Oleh karena itu, legitimasi seorang kepala negara bukan sekadar formalitas administrative melainkan fondasi utama yang menentukan validitas seluruh kebijakan yang diambilnya.
Dengan demikian, pertanyaan mengenai keaslian ijazah mantan Presiden Jokowi bukanlah sekadar isu personal atau serangan politik, melainkan menyentuh aspek fundamental dalam penyelenggaraan negara hukum. Bila legalitas pencalonan seorang kepala negara terbukti cacat secara administratif atau hukum, maka legitimasi dari segala produk kekuasaan yang dihasilkan selama masa jabatannya turut dipertanyakan.
Ini meliputi: (a). Penetapan Undang-Undang: Undang-undang yang disahkan dengan persetujuan presiden dapat kehilangan kekuatan moral dan politik jika otoritas presiden berdiri di atas legalitas yang rapuh. (b).Penunjukan Pejabat Negara: Legitimasi para pejabat tinggi, baik di eksekutif maupun lembaga independen, yang ditunjuk langsung oleh presiden akan ikut terseret dalam ketidakpastian hukum. (c). Pengeluaran Anggaran dan Kebijakan Luar Negeri: Keputusan-keputusan strategis yang menyangkut penggunaan anggaran negara dan hubungan diplomatik internasional bisa dianggap bermasalah secara legal jika pemimpinnya tak memiliki dasar hukum yang sah.
Dalam konteks sejarah nasional, membiarkan pertanyaan ini tak terjawab secara terbuka dan objektif justru merusak integritas memori kolektif bangsa. Sejarah politik harus ditulis berdasarkan data yang benar dan telah diverifikasi, bukan dibentuk dari asumsi, narasi sepihak, atau pembiaran sistematis terhadap potensi kecurangan.
Oleh karena itu, urgensi mempertanyakan keaslian ijazah Presiden bukanlah soal membenci individu atau menjatuhkan pemerintahan, tetapi soal menjaga marwah konstitusi dan tanggung jawab sejarah. Transparansi dan klarifikasi yang tuntas menjadi bagian dari komitmen terhadap negara hukum dan demokrasi yang sehat.
Ke Empat, Penguatan Sistem Verifikasi Kelembagaan. Isu mengenai keaslian ijazah Presiden Jokowi bukan semata-mata persoalan pribadi atau politis, melainkan dapat dimaknai sebagai momentum penting untuk memperkuat sistem verifikasi kelembagaan dalam ranah administrasi publik dan manajemen pemerintahan. Dalam perspektif akademik, kasus ini relevan untuk dijadikan studi kasus yang menyoroti bagaimana institusi negara seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan lembaga pendidikan tinggi melakukan proses validasi dokumen administratif yang menjadi syarat pencalonan pejabat publik.
Kejadian ini seharusnya mendorong evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme verifikasi yang digunakan selama ini. Apakah sistem verifikasi tersebut telah dirancang secara akuntabel, transparan, dan dapat diaudit secara publik? Apakah ada celah prosedural atau kelemahan koordinasi antar-lembaga yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu? Pertanyaan-pertanyaan ini bersifat sistemik dan harus dijawab dengan pendekatan kebijakan berbasis data dan evaluasi kelembagaan.
Dalam konteks tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), transparansi dan akuntabilitas adalah pilar utama. Oleh karena itu, publik memiliki hak untuk mengetahui kebenaran, tidak dalam rangka menyerang individu, tetapi untuk memastikan bahwa semua pejabat public baik di tingkat lokal maupun nasional memenuhi standar integritas yang telah ditetapkan.
Lebih jauh, literasi publik terhadap pentingnya verifikasi administratif dalam proses pencalonan pejabat publik juga perlu ditingkatkan. Ketika masyarakat memahami bahwa setiap dokumen, termasuk ijazah, harus diverifikasi secara ketat dan terbuka, maka kepercayaan terhadap institusi negara akan tumbuh secara organik. Ini bukan tentang mencari kesalahan, tetapi membangun sistem yang lebih tahan terhadap penyimpangan.
Maka, urgensi mempertanyakan keaslian ijazah dalam konteks ini bukanlah soal siapa, tetapi soal bagaimana sistem kita bekerja. Jika persoalan ini ditangani dengan pendekatan kelembagaan dan akademik, maka Indonesia berkesempatan memperkuat fondasi demokrasinya melalui reformasi sistem verifikasi administratif yang lebih andal, transparan, dan terpercaya.
Kelima, Membendung Disinformasi dan Mitos Politik. Dari perspektif ilmu komunikasi dan studi media, fenomena ini bukan sekadar perdebatan administratif atau legal, tetapi cermin dari bagaimana informasi atau kekosongan informasi dapat membentuk persepsi publik secara luas.
Membiarkan isu ini berlarut-larut tanpa kejelasan faktual dan penanganan yang objektif hanya akan membuka ruang yang luas bagi disinformasi, hoaks, dan mitos politik. Dalam kajian komunikasi massa, informasi yang tidak terkonfirmasi cenderung diisi oleh narasi-narasi alternatif yang sering kali bersifat spekulatif, emosional, dan manipulatif. Masyarakat, dalam kondisi seperti ini, mudah terbelah antara yang percaya dan yang meragukan, menciptakan polarisasi yang tidak sehat dalam demokrasi.
Penanganan isu ini secara ilmiah dan transparan adalah langkah krusial untuk membendung banjir disinformasi. Pendekatan berbasis data, verifikasi independen, serta komunikasi yang terbuka dari pihak terkait dapat menjadi rem efektif atas spekulasi liar yang terus merebak. Bukan hanya untuk menjawab pertanyaan publik, tetapi juga untuk memulihkan kepercayaan terhadap institusi pendidikan, proses demokrasi, dan integritas kepemimpinan nasional.
Lebih jauh, dalam studi media, narasi yang tidak dibantah atau diluruskan memiliki potensi menjadi mitos politik jangka panjang. Ini bukan sekadar tentang satu individu atau satu periode kekuasaan, melainkan tentang membangun budaya informasi yang sehat, rasional, dan bertanggung jawab. Jika tidak ditangani dengan serius, isu semacam ini dapat diwariskan ke masa depan sebagai alat delegitimasi terhadap siapapun yang dianggap lawan politik mewariskan ketidakpercayaan sistemik yang berbahaya bagi masa depan demokrasi kita.
Oleh karena itu, mempertanyakan keaslian ijazah bukanlah soal sentimen pribadi atau serangan politik, tetapi bentuk tanggung jawab publik dalam menjaga ruang informasi agar tetap jernih. Menjawabnya dengan pendekatan akademik, objektif, dan terbuka adalah langkah strategis untuk meredam konflik wacana, serta membendung disinformasi yang bisa menggerogoti sendi-sendi kepercayaan sosial kita.
Dengan demikian, meskipun Jokowi sudah tidak menjabat, urgensi mempertanyakan keaslian ijazahnya tetap relevan dari sisi pembangunan budaya hukum, etika publik, dan rekonstruksi narasi sejarah nasional. Hal ini tidak semata-mata soal individu, tetapi bagaimana sistem kenegaraan kita bisa lebih akuntabel, transparan, dan terpercaya ke depan.
Kiat Mudah Untuk Pembuktian
Publik sesungguhnya mulai jenuh dengan berlarut-larutnya upaya pengungkapan keaslian ijazah Presiden Jokowi. Isu yang seharusnya bisa diselesaikan dengan cepat malah semakin berlarut-larut, menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian. Masyarakat sudah lelah dengan spekulasi dan perdebatan tanpa ujung, merasa bahwa masalah ini lebih banyak menghabiskan energi daripada memberikan solusi.
Pada hal ada cara paling mudah dan simpel untuk mengakhiri polemik dugaan ijazah palsu Jokowi yaitu dengan pembuktian dokumen resmi secara terbuka dan obyektif oleh lembaga yang berwenang dan kredibel melalui langkah langkah sebagai berikut :
Pertama, Verifikasi Resmi oleh Perguruan Tinggi. Salah satu cara yang paling sah dan efektif adalah melalui verifikasi resmi oleh perguruan tinggi tempat beliau menempuh pendidikan. Universitas Gadjah Mada (UGM), yang menjadi tempat Jokowi kuliah, dengan jelas dan terbuka telah mengonfirmasi keaslian ijazah tersebut.
Pihak UGM bisa menyediakan berbagai arsip pendukung, seperti daftar wisudawan, arsip nilai, dan dokumen administrasi lainnya yang membuktikan bahwa Jokowi benar lulus dan memiliki ijazah yang sah. Dengan transparansi tersebut, klaim keaslian ijazah Jokowi tak perlu diragukan lagi, karena semua informasi dapat diperoleh langsung melalui saluran resmi yang ada. Tetapi mengapa hal ini tidak dilakukan secara transparan ?
Kedua, Keterlibatan Lembaga Negara. Lembaga negara yang memiliki wewenang dan akses langsung terhadap data pendidikan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) atau Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) dapat segera turun tangan untuk memberikan klarifikasi atau merilis pernyataan resmi terkait keabsahan data pendidikan Jokowi yang tercatat di pangkalan data nasional.
Selain itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga memiliki peran penting dalam masalah ini, karena menyangkut syarat pencalonan presiden. KPU dapat memastikan bahwa dokumen yang diajukan selama proses pencalonan sudah melalui proses verifikasi yang sah. Dengan langkah-langkah ini, keaslian ijazah Jokowi dapat dengan mudah dibuktikan tanpa menimbulkan keraguan atau kontroversi.
Ketiga, Audit Independen (Opsional tapi Kuat). Salah satu cara lainnya yang paling efektif adalah dengan melakukan audit independen. Meskipun ini bersifat opsional, langkah ini akan memberikan kekuatan lebih pada klaim keaslian tersebut. Jika publik masih memiliki keraguan, maka bisa dibentuk sebuah tim independen yang terdiri dari akademisi dan profesional yang memiliki kredibilitas tinggi.
Tim ini bisa memeriksa dan mengaudit dokumen-dokumen terkait dengan transparan, serta menyampaikan hasil auditnya secara terbuka kepada masyarakat. Dengan demikian, semua pihak akan mendapatkan kepastian dan keyakinan, sekaligus menutup celah bagi spekulasi yang tidak berdasar.
Ke Empat, Publikasi Dokumen Secara Transparan. Pihak Jokowi atau lembaga terkait dapat dengan mudah menyediakan salinan ijazah, transkrip akademik, serta foto-foto wisuda yang jelas dan autentik, untuk dapat diakses publik. Langkah ini tidak hanya akan menghilangkan spekulasi, tetapi juga menunjukkan komitmen terhadap prinsip keterbukaan.
Tentunya, hal ini bisa dilakukan dengan tetap memperhatikan batasan privasi dan ketentuan hukum yang berlaku, memastikan tidak ada informasi pribadi yang melanggar aturan. Transparansi semacam ini akan membangun kepercayaan masyarakat tanpa memunculkan keraguan yang tak perlu.
Pendeknya, dalam setiap polemik yang menyangkut integritas seorang pemimpin, transparansi adalah kunci utama. Begitu pula dalam hal keaslian ijazah mantan Presiden Jokowi. Untuk mengakhiri keraguan dan spekulasi yang terus bergulir di ruang publik, pembuktian yang tegas dan terbuka sangat dibutuhkan. Lembaga yang berwenang harus berbicara secara jelas, transparan, dan otoritatif. Tanpa keraguan, tanpa ruang multitafsir.
Ketegasan dan kejelasan dari pihak berwenang akan menjadi jawaban pasti yang dibutuhkan masyarakat. Semakin cepat proses klarifikasi ini dilakukan secara terbuka, semakin cepat pula polemik ini bisa diselesaikan. Karena dalam demokrasi yang sehat, keterbukaan informasi dan pertanggungjawaban publik bukan hanya keharusan, melainkan fondasi kepercayaan rakyat terhadap pemimpinnya.
Konspirasi Sunyi ?
Meskipun soal keaslian ijazah Jokowi sudah cukup lama menjadi topik pembicaraan dan pergunjingan secara nasional, namun kasusnya tidak kelar kelar juga. Sepertinya di balik gemerlap demokrasi dan megahnya bangunan institusi negara, terselip satu babak kelam yang tak ingin banyak orang baca. Sebuah kebenaran yang seharusnya menjadi pelita justru dikepung, diredam, dan perlahan dibenamkan oleh tangan-tangan yang seharusnya menjaga nurani bangsa.
Universitas terhormat, tempat di mana ilmu seharusnya bermuara pada kebenaran, justru terskesan bungkam dalam tabir administratif. Bukan karena tak tahu, tapi mungkin karena tak mau tahu. Lembaga pengawas pemilu, yang digadang-gadang sebagai benteng integritas demokrasi, memilih diam yang mencekam, membiarkan tanya-tanya publik melayang tanpa arah. KPU, sebagai penjaga gerbang demokrasi, seakan mengunci mulut rakyat dengan prosedur, mengalihkan sorotan dari substansi ke teknis. Dan para penegak hukum yang semestinya menjadi pedang keadilan malah terlihat seperti perisai bagi mereka yang punya kuasa
Apa yang mereka sembunyikan? Apakah sebuah dokumen? Atau mungkin, lebih dari itu sebuah kebenaran yang bisa mengguncang fondasi kepercayaan publik?. Indikasi yang mengarah pada kepalsuan ijazah itupun bermunculan, tapi tak satu pun digubris atau berusaha dibuktikan kebenarannya.
Bukti tak diusut, suara-suara kritis diabaikan, dan opini dibingkai sebagai fitnah. Mereka bukan sekadar diam mereka berjalan seiring, seirama, dalam satu orkestra kebohongan yang mencekam.
Mereka, secara sadar atau tidak, sedang beramai-ramai membunuh kebenaran, demi satu hal: agar bisa hidup bersama dalam aib. Sebuah kompromi yang mungkin mereka anggap lebih aman daripada menanggung risiko jatuhnya topeng dari wajah-wajah yang selama ini dihormati.
Barangkali situasi ini mirip dengan kisah yang dituturkan oleh Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri dalam sebuah tulisan yang berjudul : “Beramai-Ramai Membunuh Kebenaran, Agar Bersama-Sama Hidup Dalam Aib”.
Alkisah tentara musuh memasuki sebuah desa. Mereka menodai kehormatan seluruh wanita di desa itu, kecuali seorang wanita yang selamat dari penodaan. Dia melawan, membunuh dan kemudian memenggal kepala tentara yang akan menodainya.
Ketika seluruh tentara sudah pergi meninggalkan desa itu, para wanita malang semuanya keluar dengan busana compang-camping, meraung, menangis dan meratap, kecuali satu orang wanita tadi.Dia keluar dari rumahnya dengan busana rapat dan bersimbah darah sambil menenteng kepala tentara itu dengan tangan kirinya.
Para wanita bertanya: “Bagaimana engkau bisa melakukan hal itu dan selamat dari bencana ini.?”. Ia menjawab: “Bagiku hanya ada satu jalan keluar. Berjuang membela diri atau mati dalam menjaga kehormatan.”
Para wanita mengaguminya, namun kemudian rasa was-was merambat dalam benak mereka. Bagaimana nanti jika para suami menyalahkan mereka gara-gara tahu ada contoh wanita pemberani ini.
Mereka kawatir sang suami akan bertanya, “Mengapa kalian tidak membela diri seperti wanita itu, bukankah lebih baik mati dari pada ternoda?”. Kekaguman pun berubah menjadi ketakutan yang memuncak. Bawah sadar ketakutan para wanita itu seperti mendapat komando.
Mereka beramai-ramai menyerang wanita pemberani itu dan akhirnya membunuhnya. Ya, membunuh kebenaran agar mereka dapat bertahan hidup dalam aib, dalam kelemahan, dalam fatamorgana bersama.
Mungkinkah dalam kasus dugaan ijazah palsu Jokowi situasinya mirip seperti kisah diatas dimana orang orang yang berupaya mengungkap fakta dan kenyataan dicela, dikriminalisasi, dituduh memfitnah bahkan ada yang berakhir nasibnya di penjara ?. Mereka yang diduga bersama sama membunuh eksistensi orang-orang yang masih konsisten mencari kebenaran agar bertiarap tidak berani bersuara, agar kehidupan mereka tetap terlihat berjalan baik saja
Dalam pusaran dugaan ijazah palsu Presiden Jokowi, yang tampak bukan sekadar persoalan dokumen akademik, melainkan pertaruhan besar atas integritas, kejujuran, dan keberanian sebuah bangsa menghadapi kebenaran. Ketika banyak pihak terlihat lebih memilih diam, membela tanpa kritik, atau bahkan menyerang mereka yang bertanya, kita harus bertanya ulang: apakah kita masih bangsa yang sehat secara demokratis?
Menutupi atau mengabaikan kebenaran demi kenyamanan politik bukanlah jalan keluar. Justru di sanalah awal mula kehancuran moral dimulai. Jika benar kebenaran dibunuh secara kompak demi menjaga ilusi kebesaran, maka kita semua, tanpa sadar, tengah hidup dalam aib yang disepakati.Dan barangkali, di titik inilah kita perlu memilih: terus memelihara kepalsuan, atau mulai berani menuntut kebenaran apa pun risikonya.
Komentar