Nawaitu Redaksi

Presiden Indonesia Diapit Matahari Kembar,Jadi Bersinar atau Terbakar?

Senin, 21/04/2025 00:00 WIB
Pertemuan Prabowo dan Jokowi di Stasiun MRT Lebak Bulus (Nawacita)

Pertemuan Prabowo dan Jokowi di Stasiun MRT Lebak Bulus (Nawacita)

[INTRO]

Isu `Matahari Kembar` berembus kencang usai sejumlah menteri Kabinet Merah Putih mendatangi Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi).Bahkan, para menteri yang dipilih oleh Presiden Prabowo Subianto tersebut menggunakan sebutan `Bos` untuk figur tokoh yang didatangi yaitu  Jokowi.

Istilah `matahari kembar` disini menggambarkan figur lain di luar presiden yang dinilai punya pengaruh atau kekuatan  politik meskipun ia bukan penguasa formal seperti halnya Presiden yang berkuasa saat ini.

Disinyalir saat ini Indonesia memang sedang berada dalam momen langka, sebuah konfigurasi kosmis kekuasaan yang tak lazim: satu presiden yang sedang menjabat, dan mantan presiden yang digantikannya, keduanya diduga telah menciptakan tarikan magnetiknya sendiri. Magnet kekuasaan yang mempengaruhi konfigurasi kosmis kekuasaan di negeri ini.

Tetapi apakah fenomena matahari kembar itu memang benar benar terjadi pada era pemerintahan Prabowo Subianto sebagai pengganti Jokowi ?. Apakah matahari kembar yang memunculkan cahaya terang itu membawa pencerahan atau justru menyilaukan hingga membuat terganggunya arah perjalanan bangsa ini ? Dengan kata lain, akankah Indonesia menjadi negeri yang tercerahkan oleh sinergi dua matahari, atau justru terbakar oleh panasnya persaingan dua matahari kembar yang mengedepankan egonya sendiri ?

Fenomena Matahari Kembar

Fenomena dugaan adanya matahari kembar banyak ditanggapi oleh para pengamat politik dan tokoh elit bangsa. Mereka kebanyakan membantah adanya matahari kembar pada era pemeritahan Prabowo saat ini. Salah satu bantahan disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Andy Budiman

"Negeri ini lebih memerlukan kerja sama, bukan politik pecah belah. Mohon diingat bahwa Pak Jokowi mendukung penuh pemerintahan saat ini, bukan bagian dari oposisi atau kelompok di luar pemerintahan," kata Andy dalam siaran pers, Jumat (18/4/2025) seperti dikutip media

Meskipun banyak yang membantah tetapi publik tentu memiliki penilaian tersendiri apakah fenomena matahari kembar itu benar benar ada atau hanya dugaan belaka. Sekurang kurangnya kita bisa mengidentifikasi keberadaaan fenomena  matahari kembar itu melalui beberapa indikasi, diantaranya :

Pertama, Kehadiran Jokowi dalam Arena Politik Meski Sudah Bukan Presiden.Kehadiran Jokowi dalam lanskap politik tidak luntur dengan berakhirnya masa jabatannya. Justru, ia tampil semakin aktif dalam membentuk konfigurasi kekuasaan baru. Indikasi paling kasatmata adalah dukungannya terhadap Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang belakangan menjadi kanal politik baru untuk mengamankan kepentingan dan gagasan pasca-pemerintahannya. Bahkan keterlibatan keluarga Jokowi dalam PSI mempertegas bahwa ia belum sepenuhnya meninggalkan panggung politik.

Lebih dari itu, Jokowi masih punya jaringan loyalis yang tertanam dalam birokrasi, lembaga negara, hingga ke level pemerintahan daerah. Jaringan ini tak hanya bekerja sebagai pengingat akan era kepemimpinannya, tapi juga sebagai kekuatan politik yang mampu memengaruhi pengambilan keputusan strategis di balik layar. Banyak pejabat kunci di kementerian dan lembaga yang dulunya diangkat oleh Jokowi, dan sebagian besar masih memegang peranan penting hingga saat ini.

Fenomena ini menciptakan semacam dualisme kekuasaan yang samar namun terasa. Prabowo adalah presiden secara formal, tapi banyak agenda politik dan arah kebijakan yang tidak bisa dilepaskan dari bayang-bayang pengaruh Jokowi. Di sinilah istilah “matahari kembar” menemukan maknanya: dua pusat pengaruh, dua gaya kepemimpinan, dan dua kekuatan yang sama-sama mengklaim legitimasi satu melalui pemilu, satu lagi melalui legacy dan jaringan kekuasaan yang belum terputus.

Fenomena ini bisa menjadi tantangan bagi konsolidasi kekuasaan di era Prabowo, tetapi juga peluang bagi check and balance yang tidak biasa dalam demokrasi kita. Namun satu hal yang pasti, dalam percaturan politik Indonesia hari ini, Jokowi belum selesai.

Kedua, Penerusan kebijakan Jokowi oleh Prabowo dengan Gaya Berbeda.Prabowo terlihat tidak sekadar mengambil alih kekuasaan, tapi juga mewarisi dan melanjutkan banyak legacy besar Jokowi, terutama proyek-proyek strategis seperti Ibu Kota Negara (IKN). Namun, yang menarik adalah bagaimana Prabowo mengemas kelanjutan ini dengan gaya dan pendekatan berbeda lebih nasionalis, lebih militeristik, dan kadang terkesan lebih tegas dalam diplomasi internasional.

Meski proyek IKN tetap jalan, publik mencatat adanya penyesuaian signifikan. Dari struktur birokrasi hingga pemilihan mitra strategis, terlihat pergeseran aktor yang memainkan peran. Bila di era Jokowi, IKN digerakkan oleh teknokrasi sipil, kini mulai tampak keterlibatan lebih dalam dari figur-figur dengan latar belakang pertahanan dan keamanan.

Dalam konteks ini, muncul persepsi bahwa Jokowi masih menjadi "pengendali arah" atau setidaknya figur penentu dalam bayang-bayang kekuasaan. Prabowo, meski di atas kertas adalah pemegang kendali penuh, dinilai tetap menjaga kesinambungan demi stabilitas, namun menambah sentuhan karakternya sendiri pada setiap kebijakan.

Inilah yang menimbulkan fenomena "matahari kembar": satu matahari resmi yang bersinar di panggung utama pemerintahan, dan satu lagi yang masih memancarkan cahaya dari balik layar, membentuk dinamika kekuasaan yang unik dalam sejarah politik Indonesia. Sebuah situasi di mana kontinuitas dan perubahan berjalan bersisian, dan dua kutub pengaruh tetap mengorbit dalam satu sistem tata surya politik nasional.

Ketiga,Persaingan Dua Kutub Loyalis Yang Sama-Sama Kuat.Munculnya matahari kembar ini ditandai dengan kontestasi dua poros loyalitas yang berbeda, namun sama-sama mengakar kuat di tubuh pemerintahan. Di satu sisi, ada kutub baru yang lahir dari jantung kekuasaan Prabowo sendiri barisan loyalis yang mengusung gaya kepemimpinan militeristik, nasionalistik, dan berorientasi pada kedaulatan negara. Mereka ini adalah wajah baru dari kekuasaan: tegas, cepat mengambil keputusan, dan membawa semangat restorasi nasional dalam segala aspek pembangunan.

Namun di sisi lain, bayang-bayang dari era Jokowi belum sepenuhnya hilang. Bahkan, ia masih hidup dan aktif dalam bentuk kutub kekuasaan kedua: para teknokrat, oligark, serta jaringan lama yang selama sepuluh tahun terakhir membentuk arsitektur kekuasaan yang lebih pragmatis, berbasis data, dan sangat akomodatif terhadap kepentingan ekonomi besar.

Dua kutub ini tidak hanya beradu dalam wacana, tapi juga dalam kebijakan. Dari penunjukan pejabat strategis, arah kebijakan luar negeri, hingga sikap terhadap proyek-proyek besar seperti IKN atau hilirisasi, perbedaan visi itu mulai tampak. Satu ingin mengedepankan kemandirian strategis, satunya lagi menginginkan kesinambungan pragmatis.

Di balik layar, kontestasi ini makin terasa ketika terjadi tarik-menarik dalam penentuan posisi penting di kabinet, BUMN, hingga lembaga strategis negara. Saling jegal halus, saling unggulkan kader, bahkan saling klaim terhadap kebijakan yang dianggap sukses. Semua ini mengindikasikan satu hal: tidak ada satu pusat gravitasi kekuasaan yang dominan. Tidak ada satu matahari saja yang memancar di langit republik.

Inilah yang membuat banyak pengamat menyebut era ini sebagai era matahari kembar. Sebuah kondisi di mana arah pembangunan, wajah politik luar negeri, bahkan nuansa demokrasi Indonesia seolah ditentukan oleh dua pusat energi yang berbeda masing-masing dengan daya tariknya sendiri.

Ke Empat,  Hadirnya Putra Jokowi (Gibra Rakabuming) menjadi Wapres.Kemenangan pasangan Prabowo-Gibran pada Pemilu 2024 dinilai banyak pihak sebagai bentuk aliansi strategis antara kekuatan lama dan yang sedang naik daun. Namun, di balik narasi koalisi kebangsaan, muncul spekulasi yang lebih dalam: bahwa Jokowi belum sepenuhnya mundur dari panggung utama, melainkan justru memperluas jangkauannya melalui anak kandungnya sendiri.

Gibran, yang secara usia dan pengalaman tergolong muda dalam kancah politik nasional, masih membawa “aroma Solo” yang kental aroma Jokowi. Keputusannya, narasinya, bahkan pendekatannya dalam berpolitik, sebagian besar dianggap sebagai refleksi dari sang ayah. Di sinilah muncul kekhawatiran tentang independensi Gibran sebagai Wapres: apakah ia benar-benar memainkan perannya sendiri, ataukah ia perpanjangan tangan dari sosok yang kini resmi tak lagi menjabat, tapi masih sangat berpengaruh?

Bagi sebagian pengamat, ini adalah bentuk konkret dari “matahari kembar” sebuah kondisi ketika dua pusat kekuasaan bersinar dalam satu langit pemerintahan. Di satu sisi ada Prabowo, Presiden yang sah dan punya legitimasi penuh. Namun di sisi lain, ada bayangan besar dari Jokowi yang terus membayangi jalannya pemerintahan melalui putranya. Situasi ini menciptakan dinamika politik yang unik, bahkan bisa jadi rapuh jika tak diatur dengan cermat.

Kelima, Media dan opini publik masih mengacu ke Jokowi. Hampir setiap peristiwa nasional, dari isu ekonomi, konflik sosial, hingga arah kebijakan luar negeri, sorotan media dan publik kerap kali masih mengarah pada Jokowi. Komentar atau gestur mantan presiden itu masih dianggap memiliki bobot, bahkan lebih ditunggu ketimbang pernyataan dari Presiden Prabowo sendiri. Seolah-olah, dalam dinamika kebangsaan hari ini, ada dua pusat gravitasi dalam orbit politik Indonesia.

Media massa pun belum sepenuhnya menggeser porosnya. Banyak headline dan analisis masih menyelipkan narasi “menurut Jokowi” atau “di era Jokowi”. Bahkan dalam forum-forum diskusi nasional, nama Jokowi tetap menjadi variabel utama yang memengaruhi opini, baik sebagai pembanding maupun sebagai bayangan yang menyertai langkah pemerintahan baru.

Fenomena ini bukan hanya soal kebiasaan atau transisi psikologis masyarakat. Ia adalah penanda bahwa pengaruh Jokowi belum selesai. Popularitasnya belum memudar, bahkan mungkin bertambah kuat karena posisinya kini lebih bebas dari beban birokrasi. Dalam politik, kekuatan simbolik bisa sama pentingnya dengan kekuasaan formal, dan dalam konteks ini, kita menyaksikan dua matahari yang bersinar bersamaan yang satu memegang kekuasaan, yang satu memegang pengaruh.

Maka, ketika publik lebih menanti pernyataan Jokowi ketimbang Presiden Prabowo, ketika analis lebih rajin menafsirkan gestur Jokowi daripada langkah-langkah konkret pemerintahan saat ini, itu adalah sinyal kuat: matahari lama belum tenggelam, dan matahari baru masih mencari tempat bersinarnya sendiri.

Dengan demikian meskipun fenomena matahari kembar itu banyak dibantah oleh elite politik, tetapi kenyataan berkata sebaliknya. Terdapat indikasi kuat bahwa matahari kembar itu bukan sekadar isapan jempol belaka. Lalu orangpun mulai menganalisas mengenai fenomena matahari kembar ini dari sisi positif dan negatifnya. Apakah eksistensi matahari kembar akan membuat Indonesia akan semakin “menyala” atau justru sebaliknya membuat silau pandangan sehingga mengganggu sang pilot atau sopir formal dalam mengendalikan pesawat atau kendaraannya

Jadi Menyala

Jika dilihat dari sudut pandang yang lebih optimis dan konstruktif, fenomena matahari kembar bisa menyimpan potensi positif yang besar. Dalam kondisi tertentu, kekuasaan ganda tidak harus identik dengan pertentangan. Justru, dua sosok kuat yang bersinergi dapat menghadirkan pencerahan yang lebih terang dan komprehensif. Seperti dua matahari yang menyinari dari sisi berbeda, mereka bisa saling melengkapi dalam menerangi jalan menuju tujuan bersama

Dengan demikian, “matahari kembar” bukanlah ancaman, melainkan sebuah peluang. Sebuah simbol bahwa dalam kompleksitas politik, harmoni tetap mungkin dicapai. Sinar terang dari dua arah berbeda dapat menyatu menjadi cahaya yang lebih kuat, memberikan petunjuk yang jelas bagi bangsa ini untuk melangkah ke masa depan yang lebih gemilang. Mengapa demikian ?

Pertama, Stabilitas Politik Jangka Pendek. Bersatunya dua tokoh besar di dalam pemerintahan bisa menciptakan kesan kuat akan rekonsiliasi nasional dan kesatuan. Publik, yang sebelumnya terbelah oleh perbedaan pilihan politik, kini melihat adanya jembatan penyatu. Hal ini memperkuat rasa percaya masyarakat terhadap arah pemerintahan, karena mereka melihat representasi dari berbagai kelompok dalam satu barisan kepemimpinan. Rasa kesinambungan dan kontinuitas ini sangat penting untuk meredam gejolak sosial pasca-pemilu.

Lebih dari itu, pasar yang cenderung sensitif terhadap ketidakpastian politik juga merespons secara positif. Tidak adanya perubahan drastis dalam kebijakan dan arah pemerintahan memberikan kepastian bagi pelaku ekonomi dan investor. Situasi ini menciptakan iklim usaha yang lebih stabil, meningkatkan kepercayaan investor, dan mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek.

Dengan demikian, keberadaan matahari kembar dalam pemerintahan bukan sekadar simbol persatuan, tetapi juga sebuah strategi politik yang mampu menghadirkan stabilitas, menenangkan publik, dan menggerakkan roda perekonomian dengan lebih pasti. Selama kedua tokoh besar ini mampu menempatkan kepentingan bangsa di atas ego politik pribadi, maka sinergi mereka justru menjadi kekuatan yang luar biasa.

Kedua, Keseimbangan Kekuasaan. Dua kekuatan besar seperti halnya kubu Prabowo dan Jokowi dalam lanskap politik Indonesia memiliki potensi untuk membentuk sistem checks and balances informal yang dinamis.

Kehadiran dua kutub kekuatan ini memungkinkan terjadinya saling kontrol dan pengawasan di antara mereka. Jika salah satu pihak menunjukkan kecenderungan untuk mendominasi arah kebijakan atau mengambil langkah-langkah yang terlalu berpihak, maka pihak lainnya dapat bertindak sebagai penyeimbang. Dengan demikian, arah kebijakan negara dapat tetap moderat, inklusif, dan tidak terjebak dalam kepentingan sepihak.

Situasi ini menjadi refleksi dari kematangan demokrasi, di mana keberagaman pandangan dan kepentingan justru memperkaya proses pengambilan keputusan, bukan menghambatnya. Matahari kembar dalam pemerintahan bukan semata ancaman, tetapi bisa menjadi fondasi bagi terciptanya tata kelola negara yang lebih adil, transparan, dan berorientasi pada kepentingan bersama.

Ketiga, Kolaborasi Pengalaman & Jaringan.Hadirnya sosok Prabowo Subianto dan Jokowi dalam satu orbit kekuasaan membawa harapan akan kolaborasi yang kuat antara dua latar belakang berbeda namun saling mengisi.

Prabowo, dengan karakter tegas dan disiplin yang tumbuh dari latar belakang militer, membawa kekuatan dalam aspek ketegasan kebijakan, kemampuan komando, dan determinasi dalam menghadapi tantangan strategis. Di sisi lain, Jokowi hadir dengan pengalaman panjang dalam pemerintahan sipil dan pendekatan populis yang membumi, dekat dengan rakyat, dan lihai membangun komunikasi publik.

Kolaborasi antara keduanya membuka ruang sinergi yang luar biasa. Dari segi eksekusi kebijakan, ketegasan Prabowo bisa berpadu dengan pendekatan humanis ala Jokowi, menciptakan keseimbangan antara efisiensi dan empati. Dari sisi jaringan, keduanya juga membawa kekuatan berbeda Prabowo dengan relasi strategis internasional dan pengaruh di kalangan elite, Jokowi dengan kedekatan terhadap akar rumput dan jaringan birokrasi nasional yang luas.

Jika diarahkan dengan visi yang sama dan semangat kolaboratif, kehadiran dua matahari ini justru bisa menjadi energi ganda bagi pemerintahan. Bukan saling membayangi, tetapi saling menerangi, menciptakan tata kelola negara yang lebih kuat, adaptif, dan berdampak luas.

Ke Empat, Penguatan Legitimasi Pemerintah Baru. Dalam konteks pemerintahan baru di Indonesia, kehadiran dua figur besar Presiden terpilih Prabowo Subianto dan mantan Presiden Jokowi dinilai justru dapat memberikan dampak positif, khususnya dalam hal penguatan legitimasi pemerintahan baru.

Dukungan dari mantan Presiden Jokowi terhadap pemerintahan Prabowo dinilai oleh sebagian kalangan sebagai langkah strategis untuk memperkokoh kepercayaan publik. Terutama bagi kelompok masyarakat yang sebelumnya bersikap skeptis terhadap Prabowo, restu politik dari sosok yang telah dua periode memimpin Indonesia itu menjadi sinyal kuat bahwa kesinambungan arah pembangunan tetap dijaga. Dengan demikian, matahari kembar ini bukan menjadi simbol dualisme, melainkan bentuk kolaborasi yang memperkuat stabilitas politik dan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan yang baru terbentuk.

Matahari Kembar Yang Membakar

Meskipun fenomena matahari kembar itu mengandung sisi positif, tetapi publik  nampaknya lebih cenderung melihat matahari kembar sebagai fenomena yang mengkhawatirkan. Dalam berbagai diskursus, kondisi matahari kembar ini sering dianggap sebagai potensi sumber konflik, rivalitas tersembunyi, atau setidaknya menimbulkan kebingungan dalam arah dan kepemimpinan nasional. Kekhawatiran muncul bahwa ketika dua matahari bersinar dalam satu langit, sinarnya bisa saling bersaing, menciptakan bayang-bayang yang justru memperkeruh situasi alih-alih meneranginya.

Seperti halnya dalam sistem tata surya, hanya ada satu matahari yang menjadi pusat. Jika ada dua, maka akan terjadi kekacauan dalam gravitasi dan orbit planet. Begitu pula dalam organisasi atau negara dua pemimpin dengan kekuasaan sejajar bisa menyebabkan sistem kehilangan arah.

Berikut ini adalah beberapa bahaya dan dampaknya yang bisa terjadi manakala muncul matahari kembar dalam suatu permerintahan seperti yang diduga terjadi di era pemerintahan Prabowo saat ini :

Pertama, Menyebabkan Kebingungan Siapa Pemimpin Yang Harus Di ikuti. Dalam suatu pemerintahan, keberadaan dua pusat kekuasaan atau yang kerap dianalogikan sebagai "matahari kembar" dapat menjadi sumber kekacauan yang serius. Ketika tidak ada kejelasan mengenai siapa pemimpin yang sah dan harus diikuti, maka kebingungan akan menyelimuti seluruh struktur pemerintahan. Para bawahan, yang seharusnya bekerja dalam satu komando, justru terpecah arah karena menerima arahan yang saling bertentangan.

Situasi ini bisa mengarah pada stagnasi birokrasi. Bukannya menjadi mesin pemerintahan yang solid dan terkoordinasi, lembaga-lembaga negara malah bergerak tanpa arah yang pasti. Ketika satu keputusan dibatalkan atau ditentang oleh otoritas lain yang dianggap setara, maka kepercayaan publik pun akan tergerus. Negara bisa kehilangan stabilitas karena rakyat melihat ketidakharmonisan di pucuk pimpinan.

Oleh karena itu, kejelasan tentang siapa pemegang kendali tertinggi dalam pemerintahan bukan hanya soal simbolik, tetapi mutlak dibutuhkan demi menjaga ketertiban, efektivitas, dan legitimasi kekuasaan itu sendir

Kedua, Memicu Terjadinya Perpecahan Internal. Ketika dua sosok memiliki pengaruh besar, namun tidak memiliki garis otoritas yang jelas, maka akan muncul tarik-menarik kepentingan yang bisa berujung pada instabilitas internal.

Para pengikut, staf, bahkan jajaran birokrasi pun perlahan-lahan akan terbagi ke dalam dua kubu, masing-masing menyatakan kesetiaan pada "mataharinya" sendiri. Loyalitas yang seharusnya tunggal dan terpusat pada sistem negara, terpecah menjadi keberpihakan personal. Ini menciptakan iklim kerja yang penuh kecurigaan, sabotase halus, dan permainan politik di balik layar.

Intrik dan konflik menjadi hal yang tak terelakkan. Keputusan-keputusan penting bisa terhambat oleh perbedaan visi dan ego, sementara agenda negara tertunda karena energi politik habis terkuras untuk menjaga eksistensi masing-masing kubu. Dalam jangka panjang, jika tidak diatasi, perpecahan ini bisa melumpuhkan efektivitas pemerintahan, menurunkan kepercayaan publik, dan membuka celah bagi kekuatan luar untuk ikut campur.Singkatnya, dua matahari yang bersinar bersamaan di langit kekuasaan tidak hanya membingungkan arah, tetapi juga membakar tatanan dari dalam.

Ketiga, Efektivitas Organisasi Menurun.Kehadiran "matahari kembar" dalam pemerintahan Prabowo berpotensi besar menurunkan efektivitas organisasi pemerintahan secara keseluruhan. Dalam konteks pemerintahan, hal ini bisa menciptakan dualisme kepemimpinan yang membingungkan dan kontraproduktif.

Ketika dua tokoh dengan kekuatan politik setara atau hampir setara berada dalam satu lingkup pemerintahan, koordinasi menjadi lebih sulit. Setiap kebijakan strategis rentan terhadap tarik-menarik kepentingan antara dua kutub kekuasaan ini, yang masing-masing memiliki agenda dan loyalis sendiri. Akibatnya, proses pengambilan keputusan menjadi lambat karena harus melalui negosiasi panjang atau bahkan kompromi yang melemahkan substansi kebijakan itu sendiri.

Tidak hanya memperlambat birokrasi, kondisi ini juga bisa menciptakan ketidakpastian di tingkat bawah, karena aparatur negara bingung harus mengikuti arahan siapa. Kinerja kementerian dan lembaga negara pun bisa terdampak, karena mereka akan terjebak dalam dinamika politik internal, bukannya fokus pada pelayanan publik dan pembangunan nasional.

Ke Empat, Ketidakstabilan Politik/Organisasi. Fenomena "matahari kembar" dalam pemerintahan Prabowo berpotensi besar menciptakan ketidakstabilan politik dan gangguan serius dalam struktur organisasi pemerintahan. Dalam konteks pemerintahan, hal ini dapat memicu konflik kepentingan, tumpang tindih kewenangan, dan kebingungan arah kebijakan.

Jika tidak diantisipasi secara matang, situasi ini bisa menimbulkan krisis legitimasi. Publik, birokrasi, dan bahkan pihak militer bisa mulai mempertanyakan siapa sebenarnya pemegang otoritas tertinggi dalam pengambilan keputusan nasional. Ketika loyalitas para pejabat dan institusi terbagi, maka efektivitas pemerintahan akan terganggu secara signifikan.

Dalam skenario yang lebih ekstrem, konflik kepentingan antar pusat kekuasaan ini dapat berkembang menjadi pertikaian politik yang terbuka, menyebabkan kegaduhan di parlemen, penurunan kepercayaan investor, hingga gejolak sosial. Jika ketegangan terus memuncak tanpa penyelesaian, bukan tidak mungkin hal ini dapat mengarah pada kekacauan politik atau bahkan kudeta, baik secara politik maupun militer.

Sebagai negara demokratis, Indonesia sangat mengandalkan stabilitas dan kejelasan struktur pemerintahan. Maka dari itu, potensi terbentuknya "matahari kembar" dalam pemerintahan Prabowo harus menjadi perhatian serius seluruh elemen bangsa agar tidak menjadi sumber konflik laten yang bisa mengancam kelangsungan pemerintahan dan masa depan demokrasi Indonesia.

Ke Enam, Delegitimasi Kepemimpinan.Fenomena "matahari kembar" dalam pemerintahan Prabowo berpotensi menimbulkan krisis legitimasi kepemimpinan. Ketika dua pusat kekuasaan ini terlihat bersaing atau tidak selaras, masyarakat akan mulai meragukan arah dan stabilitas pemerintahan.

Ketidakjelasan mengenai siapa sebenarnya yang memegang kendali utama dapat menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat. Dalam jangka panjang, hal ini memicu hilangnya kepercayaan publik terhadap otoritas pemerintahan. Keputusan-keputusan penting dianggap tidak diambil secara utuh oleh satu kepemimpinan yang solid, melainkan melalui kompromi-kompromi politik yang rentan terhadap tarik-menarik kepentingan.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, legitimasi kepemimpinan akan terkikis, karena rakyat tidak lagi melihat satu suara atau satu visi yang menjadi arah bangsa. Situasi ini akan membuat pemerintahan tampak lemah, tidak tegas, dan rentan terhadap konflik internal. Ketika persepsi ini semakin menguat di mata publik, maka efektivitas pemerintahan pun akan menurun secara drastis, yang pada akhirnya bisa berdampak serius terhadap stabilitas nasional.

Kini, Prabowo tengah berdiri di antara dua kekuatan besar, Jokowi yang masih bersinar kuat sebagai sosok sentral di panggung politik, dan dirinya sendiri yang kini secara formal memegang kendali pemerintahan. Apakah ia akan memanfaatkan panasnya dua matahari ini untuk mengubah Indonesia menjadi lebih terang, atau justru terjebak dalam suhu politik yang membakar stabilitas dan independensi pemerintahannya?

Jawabannya belum tentu hari ini. Namun satu hal pasti: sejarah akan mencatat, apakah Prabowo menjadi pemimpin yang mampu menaklukkan medan gravitasi politik dua kutub besar ini atau justru hanyut dalam tarik-menarik kepentingan yang menggerus arah dan marwah kekuasaannya. Di titik inilah, kepemimpinan sejati diuji bukan sekadar untuk bersinar, tetapi untuk memberi cahaya.

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar