Nawaitu Redaksi
Strategi Politik Kapal Selam Ala Gibran & Ambisi Sebelum Pilpres 2029

Tolak Bantuan Wapres Gibran, Ibu-ibu Korban Banjir Bekasi: Males! (Ist)
Sejak dilantik sebagai Wakil Presiden, Gibran Rakabuming memang menarik perhatian publik dengan citra muda dan semangat inovatif yang di usungnya. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, kiprah Gibran di panggung politik nasional tampak meredup dari sorotan media.
Aktivitas-aktivitasnya, meski tetap berjalan, terasa kurang mendapat ruang pemberitaan yang signifikan, terutama jika dibandingkan dengan dinamika politik lainnya yang lebih ramai menghiasi pemberitaan media massa.
Minimnya eksposur ini menimbulkan kesan seolah peran Gibran di balik layar lebih dominan dibanding tampil di garis depan sebagai orang kedua di Indonesia. Fenomena ini memunculkan pertanyaan: apakah ini strategi komunikasi yang disengaja untuk membangun citra lebih kalem dan substantif, atau justru cerminan kurang optimalnya publikasi terhadap agenda-agenda kepresidenan yang melibatkan dirinya?.
Atau mungkin ada agenda terselubung lain yang sedang dimainkannya terutama terkait dengan persiapannya menjadi orang pertama di Indonesia ?. Terhadap pertanyaan yang disebut terakhir ini kiranya menarik untuk di analisa karena santer dugaaan bahwa dibalik minimnya publikasi terhadap Gibran akhir akhir ini menyimpan strategi jangka panjang untuk kesuksesan karier politiknya.
Dibalik sepinya Gibran dari sorotan media dan diskursus politik nasional akhir akhir ini ada agenda yang diusungnya yaitu agenda politik kapal selam yang diam diam sedang dimainkannya. Apa itu strategi politik kapal selam yang kini sedang dilakoninya ?, Bagaimana strategi politik kapal selam ini dijalaninya ?
Strategi Kapal Selam
Istilah ini diadaptasi dari dunia militer, di mana kapal selam merupakan alat tempur yang kuat tapi bekerja dalam diam, menyelam jauh di bawah permukaan laut, tidak mudah terdeteksi radar musuh, dan hanya muncul ke permukaan pada saat yang tepat untuk menyerang atau mengamankan posisinya. Dalam konteks politik, strategi ini berarti "tampil seminimal mungkin di permukaan publik sambil mempersiapkan langkah besar di masa depan."
Dengan demikian "Strategi kapal selam" dalam dunia politik menggambarkan pendekatan komunikasi atau kampanye yang tidak langsung terlihat oleh publik, namun kemudian muncul secara tiba-tiba dengan dampak yang signifikan. Istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan gaya kampanye yang tidak banyak tampil di media, tetapi kemudian muncul dengan kekuatan besar pada saat yang tepat.
Strategi kapal selam pernah di jalani Gibran pada saat Pemilu Presiden tahun 2024 yang lalu.Pada saat itu Gibran Rakabuming Raka, calon wakil presiden dari pasangan Prabowo Subianto, memilih untuk tidak hadir dalam beberapa debat di luar Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang bisa menimbulkan kesan bahwa seolah-olah ia menghindar untuk adu argumentasi di depan publik.
Namun, saat debat resmi yang diselenggarakan KPU, Gibran tampil dengan penuh persiapan dan percaya diri. Saat itu ia sadar penampilannya dalam debat resmi bakal disaksikan banyak orang karena rasa penasaran kebanyakan orang yang meragukan kapasitasnya. Penampilannya tiba tiba mengundang perhatian karena begitu mencolok, seperti kapal selam yang tiba-tiba muncul ke permukaan dengan gagah tanpa orang menduga sebelumnya.
Dalam debat tersebut, Gibran menunjukkan wawasan yang baik dan mampu menyampaikan gagasan dengan lugas tanpa teks, sehingga membuat lawan debatnya, seperti Mahfud MD dan Muhaimin Iskandar, tidak bisa mengimbangi. Penampilan Gibran yang spektakuler tersebut diduga mampu meningkatkan perolehan suara pasangan Prabowo-Gibran saat itu sebesar 3 hingga 5 persen. Dengan demikian, strategi "kapal selam" yang diterapkan oleh Gibran terbukti efektif dalam menarik perhatian publik dan meningkatkan elektabilitas pasangan Prabowo-Gibran.
Tiga Strategi
Rupanya kesuksesan penerapan strategi kapal selam pada pemilu presiden/ wakil presiden tahun 2024 lalu telah menginspirasi Gibran dan tim suksesnya untuk mengulanginya lagi dalam penghelatan pilpres 2029 mendatang.
Kali ini penerapan politik kapal selam ala Gibran diduga menggunakan tiga strategi yang dijalankan secara senyap tanpa dipahami banyak orang pada umumnya. Adapun tiga strategi tersebut adalah:
Pertama, Menghindari Deal-deal Politik Elit. Strategi politik "kapal selam" yang tengah dijalankan oleh Gibran Rakabuming Raka menunjukkan pola pergerakan yang senyap namun penuh perhitungan. Alih-alih tampil mencolok dalam arus utama politik nasional atau sibuk membangun deal-deal dengan elite, Gibran justru memilih jalur yang lebih tersembunyi dan tidak terikat pada dinamika transaksional khas panggung kekuasaan. Ia secara sadar menjauh dari proses lobi kekuasaan, pembicaraan soal bagi-bagi kursi menteri, serta intervensi dalam urusan internal partai politik.
Langkah tersebut bukan tanpa tujuan. Dengan menghindari apa yang kerap disebut sebagai "bau amis politik," Gibran menjaga dirinya dari tercemar stigma keterlibatan dalam praktik oligarki ataupun kepentingan sempit kekuasaan. Ia menciptakan citra sebagai sosok muda yang tetap bersih, tidak larut dalam hiruk-pikuk kekuasaan, dan berusaha menjaga jarak dari jebakan pragmatisme politik yang sering kali menciderai kepercayaan publik.
Efek jangka panjang dari strategi ini sangat mungkin menguntungkan dirinya secara politis. Jika di kemudian hari muncul friksi, kekecewaan publik, atau bahkan kegagalan dalam pemerintahan Prabowo, Gibran memiliki posisi aman sebagai figur yang relatif "steril" dari kekuasaan itu sendiri. Ia bisa tetap tampil sebagai representasi suara rakyat yang lebih murni, bahkan mungkin berperan sebagai “penyambung lidah” masyarakat yang kecewa, posisi yang sangat strategis untuk masa depan karier politiknya.
Dengan strategi ini, Gibran seolah sedang menabung kredibilitas. Ia tidak membakar energi politiknya sekarang, tetapi menyimpannya untuk momentum yang lebih besar di masa depan, ketika publik butuh sosok baru yang dianggap tidak ikut bermain dalam sistem yang mereka anggap usang.
Kedua, Menghindari Friksi Politik dan Polarisasi. Dalam konteks ini, Gibran dengan cermat menghindari friksi politik dan polarisasi yang kerap memecah belah publik. Ia nyaris tidak pernah mengeluarkan pernyataan yang bersifat kontroversial atau memancing debat tajam di ruang publik. Sikapnya cenderung hati-hati dan penuh perhitungan, seolah ingin menjaga posisinya tetap aman dari potensi serangan atau stigma politik.
Dalam isu-isu yang menyangkut politik identitas maupun konflik internal partai, terutama yang melibatkan friksi antara PDIP dan Presiden Jokowi pasca Pilpres, Gibran mengambil sikap low profile. Ia tidak menunjukkan keberpihakan secara terbuka, bahkan terkesan menjaga jarak aman dari pusaran konflik tersebut. Strategi ini memperkuat citranya sebagai figur yang netral dan moderat sosok yang tidak terseret dalam arus keras dinamika politik nasional.
Pendekatan ini bukan hanya mencerminkan kehati-hatian, tetapi juga kalkulasi jangka panjang. Gibran tampaknya ingin memosisikan dirinya sebagai tokoh yang bisa diterima oleh berbagai kelompok politik dan lapisan masyarakat, tanpa dibayangi oleh polarisasi masa lalu. Ia tampak membangun fondasi sebagai pemimpin muda yang sejuk, terbuka, dan adaptif sebuah strategi yang bisa menjadi aset besar dalam lanskap politik Indonesia yang semakin kompleks dan cepat berubah.
Ketiga, Muncul Hanya dalam Isu-isu Populer dan Bernuansa Publik. Gibran lebih banyak hadir dalam isu-isu yang populer dan mudah dicerna masyarakat luas, terutama yang menyentuh kehidupan sehari-hari masyarakat bawah. Misalnya, keterlibatannya dalam kegiatan seperti meninjau langsung wilayah terdampak banjir, menggelar acara nonton bareng bersama warga, membagikan makanan bergizi secara gratis, hingga terjun dalam aktivitas sosial lainnya yang bernuansa keakraban dan kebersamaan.
Langkah ini mencerminkan strategi komunikasi politik yang sangat terukur. Dengan memfokuskan penampilan pada isu-isu yang memiliki kedekatan emosional dengan rakyat, Gibran membangun citra sebagai pemimpin muda yang "bekerja nyata" di tengah masyarakat, bukan sekadar politisi yang bicara dalam ruang-ruang diskusi elit. Isu-isu yang dipilih pun cenderung berisiko politik rendah, namun memiliki daya sebar tinggi di media sosial dan media massa. Ini memungkinkan Gibran untuk terus menjaga eksistensinya dalam lanskap politik nasional tanpa harus terlibat dalam kontroversi atau polemik yang berisiko menurunkan elektabilitas.
Strategi ini bukan hanya soal membentuk persepsi publik, tetapi juga memperkuat positioning dirinya sebagai figur yang relevan, dekat dengan rakyat, dan mampu menjawab kebutuhan konkret masyarakat. Dengan kata lain, Gibran sedang memainkan politik naratif yang mengakar di realitas sosial, bukan sekadar simbolik. Dan dalam dinamika politik hari ini, narasi seperti inilah yang memiliki daya pikat tinggi di mata pemilih yang semakin kritis namun tetap menginginkan sosok pemimpin yang terlihat ‘turun tangan’ langsung.
Sepertinya strategi kapal selam yang dipilih Gibran Rakabuming Raka dalam konstelasi politik nasional memang bukanlah sekadar taktik bertahan dalam arus lima tahunan. Ini adalah strategi jangka panjang yang disusun dengan penuh kalkulasi untuk mengamankan posisi dan memperkuat fondasi menuju Pilpres 2029. Tujuan akhirnya jelas: meningkatkan elektabilitas dan membuka peluang untuk tampil sebagai kontestan kuat baik sebagai calon presiden maupun kembali sebagai calon wakil presiden.
Alih-alih tampil agresif di panggung politik, Gibran memilih pendekatan low profile namun terukur. Dalam strategi kapal selam, ia “menyelam” dari hiruk-pikuk konflik antar elit, menjaga jarak dari pusaran turbulensi yang mungkin menimpa tokoh-tokoh besar seperti Prabowo Subianto atau bahkan ayahnya sendiri, Presiden Jokowi. Strategi ini memungkinkan Gibran untuk tetap eksis dan relevan, tanpa harus terlibat dalam drama politik yang bisa menggerus citra.
Kiranya ada beberapa tujuan spesifik dari pendekatan ini: Pertama, Gibran berharap elektabilitasnya tumbuh secara organik, dibentuk oleh kerja nyata dan kesan positif di mata publik, bukan lewat manuver konfrontatif atau politisasi berlebihan.Kedua, dengan tetap berada “di bawah radar,” ia menjaga jarak aman dari potensi konflik internal dan eksternal yang bisa merusak reputasinya. Ketiga, ia berupaya membangun narasi sebagai figur muda, sederhana, dan pekerja keras citra yang digemari pemilih muda dan masyarakat urban sekaligus simbol keberlanjutan dari kepemimpinan yang modern namun membumi.
Secara keseluruhan, strategi kapal selam ini bukan sekadar bentuk kehati-hatian. Ia adalah investasi citra jangka panjang. Gibran tampaknya sadar bahwa dalam politik, waktu adalah aset. Dan pada 2029, ketika peta kekuasaan kembali terbuka lebar, ia berharap telah muncul ke permukaan sebagai salah satu aktor utama yang paling siap, paling bersih, dan paling diterima.
Meskipun strategi "kapal selam" yang diterapkan oleh Gibran tampak sebagai langkah cerdas dalam percaturan politik yakni dengan memilih untuk lebih banyak diam dan muncul hanya pada saat-saat tertentu yang dianggap menguntungkan namun strategi ini bukan tanpa celah dan potensi kritik.
Pertama, strategi semacam ini bisa dengan mudah disalahartikan sebagai bentuk kepasifan atau bahkan ketidakmampuan. Ketika seorang tokoh publik seperti wakil presiden terlalu lama “menghilang” dari sorotan atau diskursus publik, ada risiko munculnya persepsi bahwa ia tidak cukup kapabel atau tidak menjalankan peran dan tanggung jawabnya secara optimal. Dalam konteks demokrasi yang menuntut keterbukaan dan akuntabilitas, ketidakhadiran yang berkepanjangan bisa berdampak negatif terhadap citra dan legitimasi.
Kedua, kapasitas Gibran dalam ranah politik dan kebijakan sejauh ini belum benar-benar teruji secara substansial. Strategi untuk tetap "aman" dengan menjaga jarak dari pernyataan kontroversial atau debat publik memang bisa meredam risiko, namun hal ini juga menimbulkan pertanyaan: sejauh mana kontribusi nyata yang telah ia berikan? Jika terlalu fokus pada pencitraan dan tidak menunjukkan keahlian dalam pengambilan kebijakan, publik bisa menganggapnya hanya sebagai simbol politik, bukan aktor yang efektif.
Ketiga, strategi ini juga tampak sangat bergantung pada momen-momen populis misalnya muncul dalam kegiatan yang bersifat seremonial atau ketika isu tertentu sedang hangat dibicarakan. Tanpa dibarengi dengan kebijakan konkret atau langkah-langkah yang berdampak langsung pada masyarakat, manuver seperti ini berisiko dianggap sekadar gimmick politik. Dalam jangka panjang, ketergantungan pada popularitas tanpa dasar kebijakan yang kuat justru dapat mengikis kepercayaan publik.
Pada akhirnya akan muncul pertanyaan : Apakah strategi “kapal selam” yang dijalankan oleh Gibran ini akan berhasil?. Jawabannya tidak sesederhana ya atau tidak. Strategi ini, yang mengandalkan gerak senyap dan membangun kekuatan di bawah permukaan, akan sangat ditentukan oleh dua faktor krusial.
Pertama, performa pemerintahan Prabowo-Gibran ke depan. Jika duet ini mampu menunjukkan kinerja nyata dalam menjawab berbagai tantangan nasional mulai dari ekonomi, pendidikan, hingga stabilitas politik maka Gibran akan ikut terdongkrak secara elektoral, meskipun ia tidak tampil dominan di permukaan. Sebaliknya, jika pemerintah tersandung skandal, konflik internal, atau gagal memenuhi ekspektasi publik, Gibran pun akan turut terseret arus kekecewaan, seberapapun rapinya ia menjaga citra pribadi.
Kedua, kunci keberhasilan juga bergantung pada bagaimana Gibran mengisi peran sebagai Wakil Presiden. Dalam sejarah politik Indonesia, posisi wapres seringkali bersifat simbolik atau bahkan tersisih. Namun dalam konteks Gibran, yang jelas-jelas diproyeksikan sebagai figur masa depan, ia tidak bisa hanya menjadi “penumpang di kursi belakang.”
Ia harus pandai menyeimbangkan antara membangun citra politik (pencitraan) dan menunjukkan kontribusi konkret dalam pemerintahan (kinerja riil). Terlalu fokus pada pencitraan bisa membuatnya dicap kosong gagasan, sementara terlalu tenggelam dalam kerja teknis tanpa komunikasi politik yang kuat bisa membuatnya luput dari radar publik.
Dengan kata lain, strategi kapal selam ini bisa sangat efektif jika dimainkan dengan kecermatan tinggi. Tapi kalau salah langkah, ia justru bisa tenggelam dalam senyap, dan tak meninggalkan jejak.Orang pun akan segera melupakannya. Kita lihat saja perkembangan politik Gibran ke depan bakalan seperti apa.
Komentar