Prof Ferry Latuhihin – Pakar Ekonomi dan Keuangan
Kalau Tak Berubah, `Koplaknomic` Bisa Datangkan Krisis seperti 1998

Prof Ferry Latuhihin, Pakar Ekonomi dan Keuangan. (Narasi)
law-justice.co - Prof Ferry Latuhihin dikenal sebagai tim ekonomi dewan pakar pasangan capres Prabowo - Gibran. Namun melihat sejumlah anomali dalam program ekonomi Presiden Prabowo Subianto setelah dilantik, dia lantas memilih aktif mengkritisi kebijakan ekonomi tersebut. Dalam sebuah siniar dia menyebut koplaknomic. Dia khawatir jika tak ada perubahan kebijakan eonomi, krisis ekonomi speerti 1998 akan terulang.
Ferry menyebutkan kalau istilah koplaknomic tersebut spontan saja dia sampaikan saat menjawab host sebuah siniar yang memintanya menanggapi pernyataan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Rachmat Pambudy, dalam konferensi pers di Jakarta pada 22 Maret 2025. Kala itu Rahmat menegaskan Program Makan Bergizi Gratis lebih mendesak dibanding penciptaan lapangan kerja. “Itu kan koplak banget, Rahmat seperti bukan profesor ekonomi saja,” ungkap Ferry, Senin (14/4/2025).
Jika pernyataan Kepala Bappenas seperti itu, maka bisa dibayangkan langkah tim ekonomi Prabowo ke depan bakal seperti apa. Maka, menurut Ferry, koplaknomic ini adalah teguran halus untuk Tim Ekonomi Prabowo. Mindset tentang perekonomian harus dikembalikan kepada track yang benar. Dia menyoroti anomali kebijakan ekonomi Prabowo yang lebih mengedepankan pengeluaran secara jor-joran. Sejumlah kebijakan ultra populis yang ditetapkan pemerintah, hampir semuanya, merupakan cost center alias beban APBN. “Kita bisa lihat MBG anggaran Rp 300 triliun, mau bikin koperasi desa, anggaran Rp 300-400 triliun. Belum lagi mau bikin 3 juta rumah,” tandasnya.
Semua program itu disusun, seolah-olah kondisi ekonomi sehat dan baik-baik saja. Padahal, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan APBN per Maret 2025 kembali defisit hingga Rp 104,2 triliun rupiah atau setara 0,43 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Melesat dibanding bulan sebelumnya sebesar Rp 31,2 triliun. “Ini artinya apa? Pemerintah sebenarnya nggak ada duit, tapi sok-sok bikin kebijakan ultra populis yang berbiaya tinggi,” kata alumnus Erasmus University Rotterdam, Belanda ini.
Pemerintah, sampai saat ini, masih terseok-seok untuk meningkatkan pendapatan. Setidaknya, Prabowo harus putar otak agar gap defisit tidak semakin lebar. Sektor pajak dan cukai sebagai andalan APBN, sepertinya akan mengalami tekanan. Terbukti, di awal 2025 ini pendapatan pajak masih jauh di bawah target. Sementara, BPI Danantara yang digadang-gadang menjadi sumber pendapatan dan invetasi justru masih blunder. Ferry memiliki catatan tersendiri terhadap Danantara ini. Sejak lembaga ini diluncurkan Presiden akhir Februari lalu, Ferry secara konsisten mengkritik badan ini. “Danantara cuma omong besar aja, padahal yang dikelola Rp 14.000 triliun itu adalah aset. Mayoritas aset busuk,” ujarnya.
Dia mengkhawatirkan kehadiran Danantara yang prematur dan dipaksakan justru akan semakin merusak perekonomian. Sudah hampir 100 hari peluncurannya, Danantara belum bisa memprentasikan ke publik apa saja yang akan dikerjakan dan bagaimana pertanggungjawabannya. Menurut Ferry, justru kehadiran Danantara akan menjadi beban APBN sebab operasional Danantara akan disupport dari situ. “Minimal untuk menggaji orang-orang itu, kan bukan duit kecil. Mereka mana mau dibayar murah,” ujar Ferry.
Blunder demi blunder di kebijakan ekonomi ini membuat Ferry khawatir akan adanya ancaman krisis ekonomi. Dia juga mengkahwatirkan rating negara kita atau rating utang negara kita. Kalau sampai di-downgrade, kepercayaan investor akan luntur. “Bulan Juni ini sejumlah lembaga akan merilis rating negara kita, kalau sampai turun, bisa bahaya. souvereign rating kita juni nanti bisa didowngrade. Dollar bisa ngacir ke 20 ribu tuh,” ujarnya.
Maka dia berharap Prabowo segera mengkoreksi kebijakan ekonominya. Dalam jangka pendek, Presiden harus berani melakukan koreksi kebijakan ultrapopulis yang boros. Rasionalisasi proyek pemborosan seperti makan bergizi gratis yang bermasalah. Banyak vendor yang belum dibayar. Bagaimana mereka punya modal untuk melanjutkan proyeknya? Kedua, keluarkan bank-bank Himbara dari Danantara. Risikonya akan sistemik. Lantas nanti ada Koperasi Merah Putih. Kita tahu koperasi itu tak ada yang sukses, sementara sumber dana belum jelas. Jangan-jangan semua hanya akan menguras duit BUMN Perbankan yang sehat. “Jika Presiden Prabowo tak segera melakukan perubahan, krisis ekonomi seperti 1998 sudah membayang,” tandasnya.
Komentar