Nawaitu Redaksi

Saat Krisis Sengaja Dibuat untuk Peluang Fufufafa Jadi Presiden

Senin, 31/03/2025 00:02 WIB
Pigura foto Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka terpilih masa bakti 2024-2029 di Pasar Baru, Jakarta, Selasa (29/10/2024). Robinsar Nainggolan

Pigura foto Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka terpilih masa bakti 2024-2029 di Pasar Baru, Jakarta, Selasa (29/10/2024). Robinsar Nainggolan

[INTRO]

Sejak disahkannya revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) pada 20 Maret 2025, berbagai elemen masyarakat, termasuk mahasiswa, aktivis, dan organisasi masyarakat sipil, telah mengadakan demonstrasi di berbagai kota di Indonesia. Aksi-aksi ini mengekspresikan kekhawatiran bahwa revisi tersebut dapat mengembalikan dwifungsi TNI yang dominan dalam urusan sipil, mirip dengan era Orde Baru.

Di Jakarta, ratusan mahasiswa menggelar aksi di depan Gedung DPR, menuntut pembatalan UU TNI yang baru disahkan. Mereka khawatir bahwa UU tersebut dapat membuka peluang bagi militer untuk menduduki posisi sipil, yang berpotensi melemahkan supremasi sipil dan mengancam prinsip demokrasi.

Selain itu, di Surabaya, demonstrasi menolak UU TNI berujung ricuh, dengan polisi membubarkan massa aksi menggunakan gas air mata dan water cannon. Beberapa pengamat menilai bahwa demonstrasi ini tidak hanya terkait dengan UU TNI, tetapi juga merupakan bagian dari upaya politik tertentu untuk menciptakan ketidakstabilan dan menekan Presiden Prabowo Subianto. Ada spekulasi bahwa tujuan akhirnya adalah mendorong Gibran Rakabuming Raka, Wakil Presiden saat ini, untuk menggantikan Prabowo.

Salah satu pintu masuk untuk menyerang kredibilitas pemerintahan Prabowo adalah melalui mobilisasi demonstrasi yang menentang pengesahan RUU TNI. Diduga demo demo yang terjadi itu didalangi oleh kubu Jokowi bersama kelompok partai coklat. Dugaan keterlibatan partai coklat dalam mendukung demo anti RUU TNI antara lain bisa di identifikasi melalui  isu pembiaran terhadap demo RUU TNI oleh aparat kepolisian di beberapa daerah

Ada beberapa kejadian yang mencerminkan bahwa polisi di beberapa tempat terlihat tidak mengambil tindakan tegas atau bahkan membiarkan kerusuhan berlangsung tanpa intervensi yang berarti.

Di beberapa daerah, demonstrasi menentang RUU TNI berlangsung tanpa ada tindakan langsung dari aparat kepolisian meskipun aksi tersebut mulai menjadi kerusuhan atau melibatkan bentrokan. Polisi seolah-olah tidak berusaha untuk membubarkan massa yang melakukan aksi secara anarkis. Pembiaran ini bisa dilihat dari kurangnya upaya polisi dalam memitigasi potensi kerusuhan atau bentrokan antar massa, sehingga situasi semakin memanas.

Aparat kepolisian terkesan tidak mau menindak secara hukum peserta demo yang melakukan tindak kekerasan atau merusak fasilitas umum. Hal ini berbeda dengan penanganan terhadap aksi demonstrasi lain di mana polisi lebih cepat mengambil tindakan hukum, seperti menangkap peserta yang melakukan pelanggaran. Ketidakseriusan penegakan hukum ini menunjukkan adanya pembiaran terhadap aksi demo RUU TNI.

Selain itu pihak-pihak yang terlibat dalam aksi demonstrasi mendapat perlakuan lebih lembut dari aparat kepolisian, bahkan ada yang dilindungi dari tindakan yang seharusnya diambil oleh pihak berwenang. Hal ini bisa menambah kesan adanya pembiaran aksi unjuk rasa sehingga memunculkan tanda tanya

Salah satu indikasi lain adanya pembiaran  adalah buruknya komunikasi antara pihak kepolisian dan peserta demonstrasi. Ketika pihak kepolisian tidak memberikan arahan atau penjelasan yang jelas kepada peserta aksi atau membiarkan situasi berkembang tanpa memberikan batasan yang jelas, maka hal ini menunjukkan bahwa ada ketidakseriusan dalam pengelolaan demonstrasi tersebut.

Secara keseluruhan, meskipun tidak semua kasus menunjukkan bahwa polisi secara langsung melakukan pembiaran, adanya bukti-bukti di atas menunjukkan bahwa di beberapa daerah, tindakan polisi dalam menangani demo RUU TNI tidak cukup optimal dan terkesan membiarkan aksi tersebut berkembang tanpa kontrol yang memadai. Pembiaran ini bisa dilihat sebagai akibat dari kurangnya komitmen dalam penegakan hukum yang adil dan profesional.

Apa yang dilakukan oleh partai coklat kiranya sejalan dengan strategi politik yang diduga sedang dimainkan oleh mantan presiden Jokowi yang pada gilirannya mengarah pada upaya untuk penurunan Presiden Prabowo Subianto. Dengan memanfaatkan momen itu, mereka seolah ingin memperlemah posisi Prabowo yang semakin kuat di mata publik.

Seiring dengan pengesahan RUU TNI, yang sebelumnya sudah menjadi perdebatan sengit, Jokowi dan Partai Cokelat yang dikenal dengan kecermatan dalam membentuk opini publik, tampaknya berusaha membingkai situasi ini menjadi peluang besar untuk menurunkan wibawa Presiden Prabowo.

Mereka berupaya menggiring narasi bahwa keputusan pengesahan RUU TNI itu terkait dengan konsolidasi kekuasaan yang dilakukan oleh Prabowo, yang semakin mendekatkan dirinya dengan struktur militer dan mempengaruhi arah kebijakan negara. Dalam skenario ini, Jokowi seolah ingin menunjukkan bahwa langkah-langkah tersebut memiliki dampak yang merugikan bagi stabilitas demokrasi di Indonesia.

Sementara itu, kalangan oposisi yang awalnya fokus pada tuntutan untuk menangkap dan mengadili Jokowi, kini beralih fokus untuk menurunkan Prabowo. Isu ini berkembang begitu cepat di kalangan kelompok-kelompok politik yang merasa terancam dengan semakin kuatnya posisi Prabowo dalam pemerintahan.

Mereka menilai bahwa Prabowo, yang kini memimpin pemerintahan sebagai Presiden, memiliki potensi untuk memperkuat cengkeraman kekuasaannya lebih jauh lagi, yang jika dibiarkan bisa mengarah pada otoritarianisme. Oleh karena itu, tuntutan untuk menurunkan Prabowo mulai menggema dalam berbagai aksi dan deklarasi oposisi yang semakin intens.

Perubahan arah tuntutan ini juga menunjukkan ketegangan yang terus meningkat dalam politik Indonesia pasca-pemilu. Situasi yang semakin memburuk antara pihak pemerintah dan oposisi menciptakan ketidakpastian yang lebih besar mengenai arah masa depan politik negara.

Panggung politik Indonesia kini semakin dipenuhi dengan konflik, di mana setiap pihak berusaha mencari celah untuk menekan lawan politiknya, sementara rakyat semakin terbelah dalam mendukung atau menentang langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah.Dalam konteks ini, peran media dan opini publik menjadi sangat penting.

Narasi yang dibangun oleh pihak-pihak yang terlibat akan memainkan peranan besar dalam menentukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang dalam pertempuran politik ini. Tentu saja, perubahan arah tuntutan dari oposisi yang awalnya menginginkan proses hukum terhadap Jokowi menjadi lebih fokus pada Prabowo mencerminkan betapa besar pergolakan politik yang sedang terjadi di negara ini, di mana konstelasi kekuasaan, baik yang melibatkan pemerintah maupun oposisi, tengah memasuki babak yang lebih panas dan penuh ketidakpastian.

Bagaimanapun desakan agar Presiden Prabowo mundur semakin menguat, yang dipercaya oleh banyak pihak sebagai bagian dari skenario besar yang dimainkan kubu mantan Presiden Jokowi.

Dalam situasi politik yang semakin mendesak, Jokowi tampaknya tidak hanya memanfaatkan isu pengesahan RUU TNI tetapi juga berusaha memanfaatkan isu-isu kegentingan ekonomi untuk memobilisasi opini publik. Situasi ini pun dipicu oleh ketidakpercayaan pasar terhadap kepemimpinan Presiden Prabowo yang semakin menurun.

Indikator utama yang menunjukkan ketidakpercayaan pasar adalah terjun bebasnya nilai tukar rupiah yang terus mengalami pelemahan signifikan. Dalam beberapa bulan terakhir, kurs rupiah terhadap dolar AS mencatatkan rekor terendah, memicu kekhawatiran di kalangan pelaku ekonomi, baik domestik maupun internasional. Situasi ini tentu semakin mempersulit perekonomian, mengingat Indonesia sangat bergantung pada impor barang-barang vital, yang semakin mahal akibat melemahnya mata uang.

Selain itu, kondisi pasar saham semakin menunjukkan gejala ketidakstabilan yang mencemaskan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus merosot, mencatatkan penurunan tajam yang belum pernah terjadi sebelumnya. Perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa saham juga merasakan dampak langsung dari ketidakpastian ekonomi ini, dengan banyaknya perusahaan yang mengalami penurunan kinerja yang signifikan, bahkan hingga terancam gulung tikar.

Hal tersebut semakin memperburuk citra pemerintahan Prabowo di mata publik. Berbagai kelompok ekonomi, termasuk investor asing dan lokal, tampaknya telah kehilangan keyakinan terhadap kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintahan Prabowo.

Desakan agar Presiden Prabowo mundur pun mulai mendapatkan momentum, dengan banyak suara dari kalangan oposisi dan masyarakat yang merasa bahwa perubahan kepemimpinan sangat diperlukan untuk mengembalikan stabilitas ekonomi Indonesia.

Skenario yang dimainkan oleh kubu mantan presiden Jokowi, yang diduga sengaja memperbesar isu kegentingan ini, tidak hanya berfokus pada isu ekonomi, tetapi juga untuk menambah tekanan politik terhadap Prabowo.

Dengan meningkatnya desakan agar Prabowo mundur, Jokowi berharap bisa menggiring situasi menuju pilihan alternatif yang lebih menguntungkan bagi pemerintahannya atau bahkan memicu pemilu yang lebih cepat. Jokowi tampaknya ingin memanfaatkan ketidakpuasan yang meluas sebagai batu loncatan untuk memperkuat posisinya atau memastikan bahwa penerusnya nanti akan lebih mudah untuk mengendalikan dinamika politik dan ekonomi yang terjadi.

Sesungguhnya upaya mantan Presiden Jokowi untuk melakukan gangguan gangguan terhadap siapapun yang berkuasa setelah dirinya sudah dipersiapkan sejak lama. Hal ini tercermin dari langkah politiknya sejak pertama kali terpilih sebagai Presiden pada 2014, dimana sejak saat itu Jokowi bukan hanya sekadar memimpin, tetapi juga membangun sebuah sistem kekuasaan yang berlandaskan oligarki dan dinasti politik sebagai penopangnya.

Jika diamati lebih dalam, langkah-langkahnya bukanlah sekadar upaya menjaga stabilitas pemerintahan, melainkan  sebuah desain skenario yang dijalankan perlahan dan sistematis untuk memastikan dominasi politiknya tetap langgeng, bahkan setelah dirinya tak lagi menduduki jabatannya.

Dari awal pemerintahannya, Jokowi  rajin merangkul para taipan dan oligarki yang memiliki pengaruh besar dalam ekonomi dan politik Indonesia. Kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil bukan hanya menguntungkan rakyat, tetapi juga memperkuat posisi para pengusaha besar yang setia kepadanya. Infrastruktur dibangun besar-besaran, tetapi di balik itu, proyek-proyek strategis diberikan kepada kelompok-kelompok bisnis tertentu yang semakin menancapkan kuku mereka dalam pemerintahannya

Secara politik, Jokowi juga melakukan konsolidasi besar-besaran untuk mempersiapkan segala sesuatunya setelah nanti kehilangan kursinya. Partai-partai yang tadinya berseberangan perlahan "dijinakkan," baik melalui politik transaksional maupun penyebaran loyalis di berbagai lini kekuasaan yang ada. Hasilnya, oposisi semakin lemah, sementara koalisi pemerintah makin dominan dibawah kendalinya.

Bahkan, perubahan-perubahan dalam undang-undang semakin mempermudah upaya pelanggengan kekuasaan, seperti revisi UU KPK yang melemahkan KPK. Namun, strategi Jokowi tak berhenti di situ saja. Ia juga mulai membangun dinasti politiknya. Putranya, Gibran Rakabuming Raka, diletakkan di jalur strategis politik dengan menjadi Wali Kota Solo sampai kemudian menduduki jabatan menjadi orang kedua di Indonesia.

Meskipun proses untuk naiknya Gibran dalam pemilihan presiden 2024 , dilakukan dengan segala jalan "hukum" yang melanggar ketentuan yang ada, namun semuanya bisa dilakukan karena pengaruh kekuasaannya. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tiba-tiba mengubah aturan batas usia capres-cawapres semakin menunjukkan bahwa jalur kekuasaan ini sudah disiapkan cukup lama.

Sementara sang menantu, Bobby Nasution, juga mendapat posisi sebagai Wali Kota Medan untuk kemudian naik kelas menjadi Gubernur Sumatera Utara. Kemenangannya diduga berkat gelontoran program Bansos (Bantuan Sosial) yang luar biasa besarnya selain dugaan dukungan dari “partai coklat” yang ada dibawah kendalinya.

Dijadikannya Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution sebagai pejabat negara menyusul endorsmen Jokowi  terhadap beberapa Kepala Daerah selama Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2024 disinyalir sebagai persiapan untuk “mengganggu” siapapun nantinya yang akan berkuasa pasca ia tidak lagi menjadi presiden Republik Indonesia

Jokowi  ingin memastikan bahwa keluarganya akan terus berada di lingkaran kekuasaan yang sangat potensial untuk terus mendukung dirinya meskipun secara de yure sudah tidak lagi berkuasa. Begitu juga pejabat pejabat yang diendorsnya selama Pilkada yang kemudian terpilih menjadi Gubernur, Bupati atau Walikota diharapkan akan menjadi bagian dari barisan pendukung yang terus loyal kepadanya meskipun ia telah kehilangan kursi kekuasaannya.

Dukungan tentunya juga diharapkan akan tetap datang dari para taipan atau oligarki yang telah dibantunya selama ia  berkuasa. Terbukti saat ia sudah lengser dari kursinya , tapi masih ada saja oligarki yang datang kerumahnya di Solo untuk bersilaturahmi yang menunjukkan bahwa masih ada oligarki yang tetap setia kepadanya.

Selain kekuatan keluarga, pejabat yang di endors dan oligarki, ada juga kekuatan lain yang tak boleh diremehkan keberadaannya yaitu aparat negara yang selama ini telah “dimanja” saat Jokowi berkuasa terutama dari kalangan “partai coklat” dan jajarannya. Mereka tentu masih sangat loyal kepadanya. Belum lagi tokoh tokoh politk yang didiuga kuat tersangkut korupsi tetapi justru diberikan kesempatan untuk masuk ke kabinet Prabowo melalui “rekomendasi” yang diberikannya. Mereka mereka itu adalah “pasukan” tersembunyi yang sewaktu waktu bisa di manfaatkan kalau Mulyono membutuhkannya.

Terkait dengan masuknya 17 Menteri “titipan” Jokowi ke kabinet Prabowo, ini tentunya bukan sekadar soal kesinambungan kebijakan, tetapi sebuah strategi terencana untuk memastikan bahwa kendali atas pemerintahan tidak sepenuhnya berpindah ke tangan Prabowo.

Sejumlah menteri kunci yang memiliki akses terhadap kebijakan ekonomi, hukum, dan pertahanan dimana mereka itu berasal dari lingkaran Jokowi, sengaja ditanam disana seolah mereka adalah "mata dan telinga" yang siap bergerak jika situasi menuntut kehadirannya.

Mereka bukan sekadar pemain pasif, tetapi kekuatan bayangan yang bisa digerakkan untuk menekan, melemahkan, atau bahkan menggulingkan Prabowo jika kelompok itu terganggu kepentingannya.

Oleh karena itu skenario pemakzulan terhadap Prabowo bukanlah hal yang mustahil terjadi sewaktu waktu manakala kondisi memang sudah benar benar bisa dicipta. Dengan kombinasi kekuatan di eksekutif, legislatif, serta dukungan oligarki dan media yang masih berpihak pada Jokowi, Prabowo bisa saja menghadapi tekanan besar yang perlahan tapi pasti menggerus legitimasi kepemimpinannya.

Jika kebijakan Prabowo mulai berseberangan dengan kepentingan kelompok ini, maka mesin politik yang selama ini terpelihara dapat dikerahkan, baik melalui tekanan parlemen, mobilisasi opini publik lewat media dan buzzer buzzernya, hingga langkah-langkah hukum yang berujung pada upaya pemakzulan pada dirinya.

Bayang-bayang Jokowi memang belum hilang sepenuhnya. Ia masih menjadi kekuatan politik yang mampu menentukan arah pemerintahan, bahkan ketika Jokowi sudah hilang kursi kekuasaannya. Bagi Prabowo, tantangannya saat ini bukan hanya menjalankan pemerintahan, tetapi juga menghadapi ancaman laten dari dalam lingkarannya sendiri yang sewaktu waktu bisa menjebaknya.

Saat ini Presiden Prabowo diduga kuat memang sudah masuk perangkap yang diorkestrasi oleh Jokowi.  Kabinet “gemoy” belanja negara bengkak. Sementara APBN kabarnya tekor 1 triliun rupiah. Besar pasak daripada tiang. APBN Indonesia mengidap penyakit leukemia alias kanker darah. Sudah dikorup. Hidup dari utang pula.

Ranjau-ranjau ekonomi  yang ditanam oleh rejim Jokowi diprediksi akan memicu hura-hara politik seperti tahun 1998. Presiden Prabowo bisa dipaksa mundur digantikan oleh anaknya Fufufafa. Cipta kondisi skenario ini kabarnya sedang berjalan. Partai Cokelat dikabarkan telah menjadi operator lapangan seperti demo penolakan UU TNI yang sudah mengusung tagar lengserkan Prabowo.

Sebagai penutup, kiranya kita harus merenungkan bahwa krisis yang terjadi, apakah benar-benar merupakan hasil dari upaya yang terencana atau sekadar ketidaksengajaan dalam mengelola negara?

Dalam dinamika politik Indonesia, sering kali, krisis memang bisa menjadi momen yang dimanfaatkan untuk meraih kekuasaan. Dalam konteks ini, bila isu yang berkembang mengenai penciptaan krisis oleh kubu Jokowi untuk membuka peluang bagi Gibran Rakabuming Raka dalam merebut kursi kepemimpinan, maka kita harus mewaspadainya

Yang jelas, politik adalah soal strategi dan perhitungan, dan siapa yang mampu memanfaatkan setiap peluang dengan cerdas akan mendominasi panggung politik berikutnya.Namun, kita sebagai rakyat perlu terus mengawasi agar jangan sampai kekuasaan rejim Jokowi yang telah merusak sendi sendi kehidupan berbangsa dan bernegara terus diwariskan  kepada pemimpin boneka selanjutnya. Waspada!.

 

 

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar