Agung Marsudi

Soal Dwifungsi dan Moonlighting

Selasa, 25/03/2025 13:57 WIB
Sejumlah pendemo berdatangan ke gedung DPR guna menentang revisi UU TNI yang baru disahkan pada Kamis (20/03). Walaupun mendapat penolakan di masyarakat, DPR tetap mengesahkan revisi UU TNI dalam rapat paripurna pada Kamis (20/03) pagi. Mahasiswa dan pegiat prodemokrasi di sejumlah daerah menggelar unjuk rasa untuk menolaknya. Robinson Nainggolan

Sejumlah pendemo berdatangan ke gedung DPR guna menentang revisi UU TNI yang baru disahkan pada Kamis (20/03). Walaupun mendapat penolakan di masyarakat, DPR tetap mengesahkan revisi UU TNI dalam rapat paripurna pada Kamis (20/03) pagi. Mahasiswa dan pegiat prodemokrasi di sejumlah daerah menggelar unjuk rasa untuk menolaknya. Robinson Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Kebetulan hari ini, Selasa (25/3/2025), saya membaca majalah TIME edisi Pasifik, terbitan 22 Juli 1957. Berarti usia edisi ini sudah 67 tahun.

Di halaman 44 sebelah kiri ada kolom berjudul “Moonlighting” dengan subjudul, “A Problem Born of Prosperity”. Menarik sekali.

Sepertinya, soal kemakmuran ini relevan dengan hiruk-pikuk perlawanan publik terkait revisi undang-undang TNI dan Polri. Dua institusi yang dulu bersatu, kini berpisah, lalu minta “jalu” dan orang-orang menyebutnya “dwifungsi’.

Di bagian lead, TIME edisi RUSSIA’S KHRUSHCHEV itu tertulis, _”One of the paradoxes and problems of the US full-employment prosperity is moonlighting”._

Dalam konteks Indonesia, tentu tempiksorak soal “dwifungsi” bukan soal kewenangan, atau relasi kekuasaan tapi berkelindan dengan pekerjaan sampingan (moonlighting). Sehingga menjadi salah satu paradoks dan masalah kemakmuran di Indonesia.

“A Problem Born of Prosperity” Masalah yang lahir dari kemakmuran, sejatinya bukan masalah.

Dia menambah masalah di kemudian hari. Mempertentangkan politik pengambilan keputusan yang berbasis militer atau sipil, sejatinya juga gak demokratis. Demokrasi itu tidak membedakan warna kulit, warna baju, pekerjaan atau lembaga.

Jika sebagai bangsa, kita sepakat demokrasi sebagai alat, maka revisi undang-undang sebaiknya tidak untuk diperalat. Sebab regulasi adalah alat demokrasi, tujuan mencapai “prosperity”.

Dwifungsi, moonlighting, prosperity menjadi satu tarikan nafas. Itulah “tirani”. Dilawan disebut “anjing” menggonggong, kafilah berlalu. Tidak melawan, kebenaran pahit di hidup rakyat, yang katanya pemilik sah kedaulatan.

Dwifungsi “penguasa-pengusaha” sudah cukup menyakitkan rakyat, apalagi ditambah dwifungsi polisi dan tentara. Agaknya Indonesia akan makin cetar membahana.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar