Marak Proyek Mangkrak di PLN, Bisnis Tanpa Saingan Kinerja Tak Membaik

Tersengat Dugaan Korupsi, PLN Terancam Rugi Rp1,2T

Sabtu, 15/03/2025 16:41 WIB
Ilustrasi.

Ilustrasi.

law-justice.co - Seakan menjadi perlombaan, kini kembali terungkap dugaan megakorupsi di tubuh perusahaan BUMN. Kali ini Korp Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipikor) Mabes Polri mengungkap adanya dugaan korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp 1,2 triliun di PLN.

Memasuki awal 2025, Dittipidkor Bareskrim menaikkan kasus ke tahap penyidikan kasus bancakan PLTU Kalbar I. Sejumlah mantan direksi PLN sejak periode 2008, termasuk Fahmi Mochtar disebut-sebut sudah diperiksa. “Kami masih bersifat penyidikan umum ya sehingga masih berputar pada pemeriksaan saksi-saksi. Tunggu saja (penetapan tersangka),” tutur Wakil Kepala Kortas Tipikor Polri Brigjen Arief Adiharsa kepada Law-justice, Kamis (13/3/2025).

Arief Adiharsa mengatakan proyek PLTU Kalbar I sarat terjadi bancakan sejak proses perencanaan. Penyelidikan yang berlangsung sejak 2024 menemukan adanya tindakan melawan hukum sehingga pembangunannya mangkrak. Padahal, anggaran negara melalui PLN yang sudah dikeluarkan mencapai Rp 1,2 triliun, dengan rincian Kontrak pembangunan senilai US$ 80 juta dan Rp 507 miliar.

Pangkal masalah bancakan terjadi saat proses lelang yang memenangkan konsorsium KSO BRN. Uang triliunan mengalir ke korporasi itu setelah Direktur PLN kala itu, Fahmi Mochtar menandatangani kesepakatan pada 2009. Penyidik menilai direksi PLN seolah tidak mengetahui latar belakang pemenang lelang. “Dipaksakan korporasi itu menang, padahal temuan kami mereka tidak memenuhi syarat prakualifikasi serta evaluasi administrasi dan teknis,” kata Arief Adiharsa

Wakil Kepala Kortas Tipikor Polri Brigjen Arief Adiharsa. (Detik)

Arief bilang bahwa perusahaan itu tidak memiliki latar belakang membangun PLTU berkapasitas besar seperti PLTU Kalbar I yang dirancang berdaya 2x50 MW. Tidak mampunya menggarap proyek, KSO BRN lantas mengalihkan pengerjaan ke dua perusahaan asal Tiongkok: PT PT PI dan QJPSE. “Saat pengalihan proyek ini yang memperkuat adanya dugaan korupsi dari proses lelang yang sengaja memenangkan satu perusahaan,” kata dia. 

Meskipun sudah beralih tangan ke perusahaan Tiongkok, nyatanya proyek tak juga beres sebelum 2014. Penyidik menemukan bukti bahwa proyek dalam status stagnan sejak 2016. Perkembangan proyek tak menunjukkan tanda-tanda penyelesaian, meski sudah diberi waktu perpanjangan sebanyak 10 kali. Catatan keuangan KSO BRN pun dipermasalahkan lantaran tidak menampilkan laporan perusahaan pada proses pengajuan lelang. Setelah dicek, ternyata akumulasi laba bersih korporasi pada 2006-2007 tidak memenuhi persyaratan sebagai peserta lelang proyek, yakni hanya Rp 7 miliar. “Jadi, penyidik pada kesimpulan adanya dugaan penyalahgunaan wewenang dalam proses lelang dan pengerjaan proyek,” ujar Arief.

Dugaan korupsi di PLTU Kalbar I ini tak menjadi satu-satunya yang diusut kepolisian. Arief bilang ada kasus bancakan lain yang terjadi di proyek PLN. Total nilainya pun mencapai triliunan. “PLTU tidak hanya satu dan ada kasus di luar itu (PLTU),” katanya.

Adapun kepolisian merujuk hasil audit Badan Pemeriksan Keuangan (BPK) dalam pengusutan kasus rasuah pembangkit tenaga listrik berkapasitas 100 MW itu. Tak hanya pembangunan PLTU Kalbar I yang berlokasi di Kabupaten Mempawah, tapi BPK juga menemukan indikasi penyimpangan serupa pada proyek PLTU Kalbar II di Kabupaten Bengkayang.

Menukil Ikhtisar LHP semester II 2016, disebutkan bahwa PLN belum mampu merencanakan secara tepat dan belum mampu secara efektif menjamin kesesuaian dengan ketentuan dan kebutuhan teknis yang ditetapkan serta diperoleh dengan harga yang wajar atas pelaksanaan proyek percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW. Simpulan tersebut didasarkan atas kelemahan-kelemahan sistem pengendalian intern dan adanya ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan proyek.

Pengendalian intern yang dimaksud mulai dari proses perencanaan yang tidak memadai. Auditor negara menemukan desain bangunan pelindung (jetty) pada PLTU Kalbar I tidak memperhatikan alur pelayaran Sungai Kapuas, sehingga harus didesain ulang yang memakan waktu dan anggaran tambahan. BPK menyimpulkan terdapat peningkatan biaya yang harus dikeluarkan PLN atas perubahan atau penambahan item pekerjaan meliputi pekerjaan di luar lingkup kontrak, pekerjaan yang seharusnya sudah diakomodasi dalam lingkup kontrak, serta potensi tambahan biaya atas pengajuan klaim kontraktor.

Akibatnya, progres pembangunan PLTU diam di tempat karena masalah perencanaan yanag dianggap serampangan. “Pembangunan PLTU Kalbar 2 terhenti (mangkrak) serta PLTU Kalbar 1 berpotensi mangkrak yang mengakibatkan pengeluaran PLN untuk membangun PLTU tersebut tidak memberikan manfaat sesuai dengan rencana,” petik laporan BPK.

Lain itu, peralatan utama dan peralatan pelengkap proyek PLTU Kalbar 1 dan 2 senilai Rp 37,07 miliar dan US$1,99 juta diletakkan di area terbuka dan tanpa perlindungan. Dampaknya, berpotensi tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan pembangunan pembangkit. Ujungnya, memperlampat perkembangan proyek. Ketika terbukti mekanisme pembangunan yang tak berjalan sesuai kontrak, PLN justru nihil mengenakan denda kepada kontraktor. Bagi auditor BPK, hal itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Kutipan Ikhtisar LHP semester II 2016.

Tak hanya di PLTU Kalbar I dan II, BPK pun mendapati penyimpangan pembangunan pembangkit listrik di sejumlah daerah. Pembangunan PLTU Tanjung Balai Karimun, PLTU Ambon, PLTU 2 NTB Lombok juga mangkrak. Jika diakumulasikan, total Rp 609,54 miliar dan US$ 78,69 juta. Ada juga tujuh PLTU proyek percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW yang terlambat diselesaikan senilai Rp 449,52 miliar dan US$ 30,63 juta. Itu mulai dari PLTU Tanjung Balai Kari mun, PLTU NTB 2 Lombok, PLTU Kalbar 1, dan PLTU Kalbar 2, yang senilai Rp 92,58 miliar dan US$10,48 juta. Juga terjadi keterlambatan penyelesaian pekerjaan PLTU Tanjung Awar-Awar unit 2 sebesar Rp 74,75 miliar dan US$ 24,16 juta. Pembangunan PLTU di bagian tengah Indonesia seperti PLTU NTB 2 mengalami kendala serupa, yakni terlambat diselesaikan. PLN lantas harus mengeluarkan biaya bahan bakar untuk pembangkit sebesar Rp 342,21 miliar, yang berakibat pada kerugian keuangan perusahaan.

Secara akumulasi, kekurangan penerimaan denda atas keterlambatan penyelesaian pembangunan proyek PLTU sebesar Rp 704,87 miliar dan US$ 102,26 juta. Ditambah pemborosan keuangan PLN senilai Rp 871,75 miliar dan US$ 8,68 juta. Atas tidak terarahnya pembanguna proyek PLTU, PLN juga mengalami kerugian sebesar US$ 27,30 juta dan Rp 326,88 miliar. “PLN harus menanggung biaya tambahan atas penambahan/ perubahan pekerjaan serta menyediakan dana investasi sebesar US$137,56 juta dan Rp555,97 miliar,” petik laporan BPK.

Auditor negara menegaskan pihak direksi sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas tidak beresnya pelaksaanan proyek di sejumlah PLTU. “Para pelaksana kegiatan kurang cermat dan lalai dalam melaksanakan pekerjaan serta tidak tegas menerapkan ketentuan kontrak terhadap kontraktor terkait dengan pengenaan denda keterlambatan dan penyelesaian pekerjaan. Pejabat yang bertanggung jawab kurang cermat dan belum sepenuhnya memperhatikan ketentuan yang berlaku dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya,” disebut dalam laporan.

Proyek pembangunan 10.000 Megawatt yang membangun 35 pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU diduga kuat terjadi korupsi. Satu di antara kasus bancakan terjadi pada proyek pembangunan PLTU Kalimantan Barat I. Musababnya, Perusahaan Listrik Negara atau PLN sebagai BUMN yang menggarap proyek itu tak kunjung membereskan pembangunan pembangkit listrik hingga waktu yang ditetapkan. Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri mencium adanya patgulipat antara perusahaan pelat merah itu dan kontraktor pemenang lelang yang berujung kerugian negara.

Puluhan proyek PLTU yang memiliki kapasitas ribuan MW dirancang masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada awal periode pertama jabatannya. Berbekal Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2006, SBY memasukkan mega proyek ini dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Proyek PLTU tersebar paling banyak di luar Pulau Jawa, dan digadang-gadang sebagai upaya pemerintah memeratakan aliran listrik di Indonesia—dengan rasio elektrifikasi 96,60 persen.

Puluhan PLTU pun mulai dibangun satu tahun berselang setelah Perpres diteken. Kebanyakan proyek dirancang rampung sebelum periode 2014. Ada beberapa yang berujung peresmian, seperti empat PLTU di Banten, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun masih banyak proyek pembangkit listrik yang masih jauh dari kata selesai.

Menanggapi hal tersebut, Komisaris Independen PT PLN (Persero), Andi Arief menyoroti mengenai dugaan kasus yang terjadi di PLN. Namun, Andi Arief menyatakan bila ia masih menunggu penyelidikan yang sedang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum dalam hal ini adalah Dirtipidkor Mabes Polri. Andi Arief juga mengatakan bila pihak PLN pasti akan kooperatif terkait proses hukum yang sedang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum. “Tipikor Polri dikabarkan sedang penyelidikan kasus di PT PLN, kami masih pantau kasusnya apa, tahun berapa, dan berapa besar kerugian negaranya, pihak PLN pasti kooperatif,” kata Andi Arief kepada Law-Justice, Kamis (13/03/2025).

Namun ia yakin dengan kinerja PLN akan terus meningkatkan pelayanan. Mengingat perusahaan plat merah itu salah satu yang terbaik berapa tahun terakhir. Politisi Partai Demokrat tersebut mengklaim bila PLN telah memberikan kinerja maksimal dengan memperoleh untung yang cukup besar untuk negara. “PT PLN termasuk kinerja terbaik beberapa tahun terakhir, untung cukup besar, pelayanan meningkat,” imbuhnya.

Komisaris Independen PT PLN (Persero), Andi Arief. (Antaranews)

Sementara itu, Executive Vice President Komunikasi Korporat & TJSL PLN Gregorius Adi Trianto, mengatakan pihaknya mengawal kasus korupsi yang sedang diusut Bareskrim Polri. Soal mangkraknya PLTU Kalbar I, dia menekankan saat ini progres pembangunan sudah kelihatan. Rekomendasi dari BPK juga sudah kurang-lebihnya dilakukan.

Meski begitu, dia tidak menjawab soal apa yang menjadi kendala pembangunan dan masalah kontraktor yang disebut kepolisian tidak layak menjalani proyek. “PLTU Kalbar I sudah masuk progres penyelesaian dan kami menyadari prosesnya berbeda dengan pembanguna PLTU lain yang sudah launching sejak lama. Pada intinya, kami terbuka dengan penyidikan kepolisian,” ujar dia kepada Law-justice, Jumat (14/3/2025).

Lemah Pengawasan, Rawan Korupsi

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan korupsi proyek PLTU PLN berkelindan dengan kepentingan pebisnis besar. Dia menekankan banyak politisi dan oligarki ekonomi yang memiliki bisnis batu bara. Operasinal PLTU yang masih menggunakan komoditi itu sebagai bahan bakar utama tidak bisa terlepas dari mereka yang bisa mengatur kuantitas dan kualitas PLTU. “Sudah menjadi rahasia umum oligarki politik dan oligarki ekonomi bersatu dalam kepentingan PLTU. Relasi ini yang mengakibatkan bisnis batu bara memegang kendali pembangunan PLTU, termasuk yang dibikin PLN,” katanya kepada Law-justice, Jumat (15/3).

Kurnia mewanti-wanti mundurnya Fahmi Mochtar pada 2008 berkelindan dengan kasus bancakan proyek PLTU. “Proyek ini kan ambisius sekali dilakukan oleh pemerintahan saat itu sehingga harus mengamankan segala hal yang bisa menjadi celah pengusutan oleh penegak hukum,” ujar dia.

Dalam catatan ICW, proyek PLTU memang sarat masalah. Sederet permasalahan pembangunan PLTU menunjukkan pengelolaan BUMN PLN yang masih belum maksimal. PLN tidak melaksanakan tata kelola perusahaan yang baik dan kerap tidak mematuhi ketentuan yang berlaku. Dampak dari hal tersebut adalah potensi kerugian bagi PLN. “Dan jika hal itu terus terjadi, maka publik yang menerima layanan listrik akan ikut dirugikan,” ujar Kurnia.

Ihwal transparansi pengadaan proyek seperti pembangunan PLTU pun sulit dilacak oleh publik. Kurnia menekankan ICW silit mendapatkan informasi yang memadai mengenai pengadaan barang dan jasa, antara lain mencakup proses pengadaan barang dan jasa yang tengah dilakukan, jumlah anggaran, peserta dan pemenang pengadaan, pedoman umum dan petunjuk teknis hingga regulasi lain yang mengatur proses pengadaan barang dan jasa.

Informasi mengenai proses itu tertera dalam e-proc, tapi tidak seluruh informasi yang dibutuhkan tersedia, Pengumuman pengadaan, misalnya, yang tidak semuanya melampirkan jumlah anggaran pengadaan. “Dalam pengumuman hasil pengadaan, beberapa informasi juga memuat informasi yang tidak logis, seperti tanggal pengumuman pengadaan dan pengumuman disampaikan dalam waktu yang sama,” ucapnya.

“Jadi ini menjadi preseden buruk bagi tata kelola PLN mengelola bisnis listrik yang menyangkut hajat orang banyak,” imbuhnya.

Sementara itu, Ahmad Daryoko mantan ketua Serikat Pekerja PLN menilai peluang korupsi di tubuh PLN terbuka lebar. Hampir setiap segmen usaha BUMN ini rawan dikorupsi. “Mulai dari pembangunan pembangkit, operasional—termasuk pengadaan BBM dan batubara---, transmisi, hingga distribusi semua berpotensi dikorupsi,” ujar Daryoko kepada law-justice, Sabtu (15/3/2025).

Ahmad Daryoko mantan ketua Serikat Pekerja PLN. (La Nyalla Center)

Daryoko menilai kasus yang tengah digarap oleh Pentidik Polri ini poerlu pendalaman lebih lanjut. Sebab, menurutnya, jika ad proyek PLTU yang mangkrak tidak bisa serta merta disebut korupsi. Ada banyak faktor yang membuat proyek tersebut mangkrak, misalnya masalah pembiayaan atau suku cadang yang ternyata tidak tersedia. “Di samping itu ststus dari proyek PLTU itu sendiri perlu diteliti. Sebab, setelah tahun 2000an, sudah banyak pembangkit yang dimiliki oleh IPP (independent power producer). Kalau punya IPP, pembangunannya sepenuhnya pakai duit swasta,” ujarnya.

Daryoko justru menyoroti adanya dugaan titip kepala atau nominee di perusahaan IPP. Dia menemukana adanya indikasi, di sejumlah IPP ternyata ada yang sahamnya dimiliki oleh petinggi PLN. “Namun, tidak secara langsung. Biasanya titip saham 1-2 persen di IPP, tetapi atas namanya orang lain,” ujarnya.

Dia menekankan, justru praktik inilah korupsi yang sesungguhnya. Sebab, dengan praktik seperti ini, petinggi PLN yang memiliki nominee tidak berhenti di memiliki saham saja, namun akan ditindak lanjuti dengan cawe-cawe dari hulu ke hilir. “Di hulu mereka akan menekan kontraktor untuk setoran, kemudian mereka juga akan memasok batu-bara. Kemudian, dengan pengaruh yang mereka miliki, mereka akan menekan petugas pengadaan PLN, untuk membeli listrik melalui PPA (power purchase agreement) dengan harga lebih mahal. “Ini lah yang membuat kenapa harga listrik di konsumen tidak bisa lebih murah,” tandasnya.

Tanpa Saingan, Kinerja Tak Membaik

Anggota Komisi VI DPR RI Rivqy Abdul Halim mengatakan bila beberapa waktu lalu Komisi VI DPR RI melakukan RDP dengan PT PLN membahas mengenai  kinerja PLN. Politisi yang akrab disapa Gus Rivqy itu menyebut bila paparan Direktur Utama PT PLN, Darmawan Prasodjo cenderung menampilkan data-data yang bagus saja.

Padahal, menurutnya ada beberapa yang menjadi catatan bagi perusahaan plat merah tersebut. Salah satunya laba bersih PLN yang mengalami penurunan pada Kuartal III 2024.  "Yang jadi sorotan, faktanya laba bersih PLN pada kuartal III 2024 mengalami penurunan 3,3 persen dan beban usaha juga naik 14,69 persen,” kata Gus Rivky ketika dikonfirmasi, Selasa (11/03/2025).

Ketika ditanya mengenai kasus dugaan korupsi yang terjadi di PLN, Politisi PKB tersebut menyatakan belum terlalu mengetahui hal tersebut.  Namun, ia di Komisi VI berkomitmen untuk mengawasi kinerja mitra kerja dari Komisi VI DPR sebagai bagian dari fungsi pengawasan. "Sebagai mitra kerja tentu akan kita awasi kinerja mitra kerja kita," tegasnya.

Gus Rivky menjelaskan ada beberapa kinerja PLN yang menjadi catatan, misalnya beberapa proyek infrastruktur listrik yang mengalami keterlambatan. Selain infrastruktur, Legislator dari daerah pemilihan (dapil) Jawa Timur (Jatim) IV ini juga mengangkat masalah terkait kualitas layanan PLN. "Masih banyak yang menjadi catatan untuk PLN ini," jelasnya.

Anggota Komisi VI DPR RI Rivqy Abdul Halim. (Sindosumut)

Ia juga menyoroti mengenai pembangkit PLN yang menggunakan combine cycle yang merupakan gabungan dari pembangkit tenaga gas dan uap (PLTG dan PLTU) untuk ramah lingkungan. Ia khawatir combine cycle ini hanya tameng agar disebut go green, padahal Marine Fuel Oil (MFO) atau bahan bakar dari residu penyulingan minyak bumi yang digunakan lebih banyak.

“Jadi combine cycle yang menggunakan bahan bakar gas itu berapa persen PLN memanfaatkan bahan bakar gas? Kemudian berapa persen PLN memanfaatkan MFO? Jangan-jangan penggunaan gas ini hanya sebagai tameng aja biar gaya go green, tapi yang lebih banyak dipakai MFO nya,” ujarnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Andre Rosiade menyebut bila ia belum tahu secara rinci mengenai dugaan kasus korupsi yang terjadi di PLN. Meski begitu, Andre menyatakan bila ia mendukung setiap langkah yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum untuk mengusut kasus tersebut. “Kita (Komisi VI) mendukung sepenuhnya langkah-langkah itu. Siapapun yang salah sikat,” kata Andre kepada Law-Justice, Kamis (13/03/2025).

Politisi Gerindra itu menyatakan bila BUMN adalah aset negara sehingga siapapun yang terlibat harus diproses hukum termasuk dengan dugaan kasus korupsi yang terjadi di PLN. Menurutnya, Komisi VI DPR punya kepentingan agar BUMN-BUMN sehat kembali. Sehingga harus ada shock therapy agar ke depan mereka tidak macam-macam lagi. "Saya rasa Aparat Penegak Hukum jangan ragu untuk mengusut kasus ini karena upaya untuk membersihkan BUMN," tutupnya.

Temuan BPK, PLTU Mangkrak Rugikan Negara

Selain itu, kinerja PLN pun menjadi sorotan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan atas Pengelolaan Pendapatan,Biaya, dan Investasi dalam Penyediaan Tenaga Listrik tahun 2022 pada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), anak perusahaan dan instansi terkait, auditor negara menemukan sejumlah PLTU masih belum bisa dimanfaatkan.

Pembangunan PLTU Kota Baru 2x7MW terkendala mengakibatkan investasi yang sudah dikeluarkan belum dapat dimanfaatkan. hal ini mengakibatlkan peningkatan biaya penyelesaian minimal sebesar Rp 320.719.731.595,00 dan hilangnya potensi penghematan BPP TL tahun 2015-2025 sebesar Rp 399.076.211.133,00. PLTU IPP Ketapang 2x6MW tidak beroperasi ehingga PLN harus menggunakan PLTD untuk memasok system Ketapang dan meningkatkan BPP TL tahun 2021 - 2022 sebesar Rp 260.291.019.300,00. Ketidakmampuan kontraktor pelaksana untuk enyelsaikan proyek dan ketiaksesuain spesifikasi batubara berperan dalam keterlambatan pelaksanaan proyek PLTU Sulsel Barru-2 sehingga PLN Berpotensi kehilangan esempatan mengehmat BPP TL sebesr Rp 435.315.888.438,00 dan menanggung klaim biaya Rp 206.616.173.863,00

 

Kutipan Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan atas Pengelolaan Pendapatan,Biaya, dan Investasi dalam Penyediaan Tenaga Listrik tahun 2022 pada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)

PLTU Ombilin tidak mampu beroperasi optimal, sehingga PLN keilangan kesempatan enghemat BPP TL tahun 2022 minimal sebesar Rp 129.668.709.336,00. Sementara itu, akibat adanya pembangunan pembangkit listrik yang terkendala, sehingga PLN menanggung ketidakhematan BPP minimal sebesar Rp 122.163.372.981,00 per tahun. Kehilangan pendapatan atas pencairan jaminan pelaksanaan sebesar Rp 3.969.054.486,00 serta menanggung tambahan biaya untuk melanjutkan pembangunan ebesar Rp 357.596.924.273,00.

Sebenarnya dalam laporan tersbeut, tidak hanya terdapat temuan terkait PLTU saja. Dalam laporan tersebut BPK mencatat ada 27 temuan yang terbagi dalam dua segmen. Hasil pemeriksaan kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik PLN TA 2022 terdapat 18 temuan dan hasil pemeriksaan subsidi listrik dan dana kompensasi tenaga listrik TA 2022 terdapat 9 temuan.

Anomali yang terjadi di PLN sebenarnya tidak bisa dianggap remeh. Sebagai perusahaan yang memonopoli sektor kelistrikan, mestinya PLN bisa menjadi perusahaan yang moncer. Faktanya, meskipun masih bisa meraih laba, namun kinerjanya masih jauh dari harapan. Temuan BPK tahun 2024 menunjukkan kalau kinerja PLN masih jauh dari perilaku good corporate governance. Besarnya volume bisnis PLN justru membuka peluang besar untuk dikorupsi, tak heran jika PLN lantas menjadi langganan kasus korupsi yang dibongkar oleh aparat penegak hukum nyaris tiap tahun.

Perbaikan menyeluruh pada PLN mendesak untuk segera dieksekusi. Terutama di sektor pengawasan. PLN tidak bisa lagi menjadi sapi perahan kepentingan politik. Korupsi di tubuh PLN ini dampaknya langsung dirasakan oleh rakyat, harga listrik dan pelayanan. Kasus korupsi yang kini tengah ditangani Polri mesti menjadi bahan refleksi.

Rohman Wibowo

Ghivary Apriman

 

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar