Gelombang Pemberantasan Mafia Migas Terhalang Tembok Lingkaran Dalam Kekuasaan

Bongkar Mafia Migas di Pertamina, Hanya Ganti Pemain

Sabtu, 08/03/2025 14:01 WIB
Ilustrasi.

Ilustrasi.

law-justice.co - Lagi-lagi kejutan datang dari Kawasan Blok M, Jakarta Selatan.  Kejaksaan Agung mengumumkan tengah membongkar dugaan korupsi yang berelasi dengan mafia migas di Pertamina. Kerugian negara, disebut-sebut Rp 193,7 triliun per tahun, hanya dari satu sektor saja. Di tengah semangat untuk membongkar mafia migas, tiba-tiba dari kantor yang sama, terbetik kabar duo Thohir tidak terlibat dalam kasus yang tengah diperiksa ini, meskipun belum sekalipun keduanya diperiksa. Benarkan ada tembok raksasa yang menghadang arus pemberantasan mafia migas?

Tak salah jika publik menyematkan julukan sarang korupsi ke PT Pertamina, betapa tidak, selama 10 tahun terakhir saja telah berhasil dibongkar 6 kasus dugaan korupsi di BUMN yang mengurusi migas ini. Tak kepalang tanggung, nilai kerugian masing-masing kasus umumnya di atas Rp1 triliun. Benar-benar sebuah prestasi.

Dalam sepuluh tahun terakhir ini, pemyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung seolah berbagi tugas untuk membelejeti dugaan korupsi di perusahaan minyak plat merah ini. Kasus pertama yang cukup menghebohkan adalah Kasus LNG 2011-2014. Kasus ini melibatkan eks Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Persero), Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan. Karen dituding melakukan pembelian gas secara sepihak dan tanpa mengikuti prosedur pengadaan yang berlaku seperti kajian komprehensif.

Hal ini menyebabkan kargo LNG mengalami kelebihan suplai sehingga menyebabkan kerugian negara Rp 2,1 triliun. Atas perbuatannya, Mahkamah Agung (MA) memperberat hukuman Karen dari 9 tahun penjara menjadi 13 tahun penjara, pada Jumat (28/2/2025). Kemudian pada 2019, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap dugaan pemberian hadiah dalam kegiatan perdagangan minyak mentah dan produk kilang di Pertamina Energy Services Pte. Ltd (PES).

Mahkamah Agung (MA) memperberat hukuman mantan Dirit Pertamina Karen Agustiawan menjadi 13 tahun penjara, pada Jumat (28/2/2025). (Berita Nasional)

Dalam perkara ini, KPK menetapkan Bambang Irianto selaku Managing Director periode 2009-2013 sebagai tersangka. Kasus dugaan suap ini menjadi salah satu kasus yang mendapat perhatian Presiden Joko Widodo untuk segera diselesaikan KPK pada 2019 silam. Kasus ini mulai diselidiki KPK sejak Juni 2014. Namun, KPK baru berhasil menetapkan Bambang sebagai tersangka pada September 2019. Bambang diduga menerima uang sedikitnya 2,9 juta dollar AS atau setara Rp 40,75 miliar karena membantu pihak swasta terkait bisnis migas di lingkungan PES

Penyidik Kejaksaan Agung pada 2017 menggarap kasus dana pensiun Pertamina. Presiden Direktur Dana Pensiun Pertamina periode 2013-2015 Muhammad Helmi Kamal Lubis ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung, dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan dana pensiun Pertamina. Tak hanya Helmi, putra sulung pendiri Astra Internasional William Soeryadjaja, Edward Seky Soeryadjaya juga ditetapkan sebagai tersangka.

Kasus tersebut bermula pada pertengahan 2014. Edward yang juga Direktur Ortus Holding Ltd berkenalan dengan Presiden Direktur Dana Pensiun Pertamina Muhammad Helmi Kamal Lubis. Perkenalan itu berlanjut dengan deal bisnis yakni permintaan agar dana pensiun Pertamina membeli saham PT Sugih Energy Tbk (SUGI). Dari pertemuan itu, Muhammad Helmi Kamal Lubis pun melakukan pembelian saham SUGI senilai Rp 601 miliar melalui PT Millenium Danatama Sekuritas. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya kerugian negara dalam pembelian saham SUGI tersebut sebesar Rp 599 miliar.

Selanjutnya, penyidik Kejaksaan Agung juga mengarap kasus penyalahgunaan investasi Blok BMG Australia Selanjutnya pada 2018, menetapkan eks Manajer MNA Direktorat Hulu PT Pertamina (Persero), berinisial BK terkait dugaan korupsi penyalahgunaan investasi di Blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia oleh Pertamina tahun 2009.  Dia dituduh melanggar Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kasus itu bermula saat PT Pertamina (Persero) pada tahun 2009, melalui anak perusahaannya PT Pertamina Hulu Energi (PHE) melakukan akuisisi saham sebesar 10 persen terhadap ROC Oil Ltd.

Perjanjian jual beli ditandatangani pada tanggal 1 Mei 2009, dengan modal sebesar 66,2 juta dollar Australia atau senilai Rp 568 miliar dengan asumsi mendapatkan 812 barrel per hari. Namun, ternyata Blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia pada tahun 2009 hanya dapat menghasilkan minyak mentah untuk PHE Australia Pty. Ltd rata-rata sebesar 252 barrel per hari. Pada 5 November 2010, Blok BMG Australia dinyatakan ditutup setelah ROC Oil Ltd, Beach Petroleum, Sojitz, dan Cieco Energy memutuskan penghentian produksi minyak mentah (non production phase/ npp) dengan alasan lapangan tidak ekonomis.

Jika 4 kasus di atas, terjadi di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tampaknya, penanganan kasus korupsi di perusahaan ini tak membuat gentar pelaku korupsi di sini. ternyata, di era Presiden Jokowi pun dugaan korupsi di Pertamina masih marak. Justru, modus kerugian negaranya makin membengkak. Misalnya dalam kasus digitalisasi SPBU Pertamina. Kasus yang mulai diusut pada awal tahun 2025 oleh penyidik KPK, merupakan kasus dugaan korupsi yang terjadi di proyek digitalisasi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) PT Pertamina (Persero) tahun 2018–2023.

Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto mengatakan, perkara korupsi ini sedang bergulir di tahap penyidikan. "Sprindik (Surat Perintah Penyidikan) bulan September 2024," kata Tessa dalam keterangannya, Selasa (21/1/2025). Tessa mengatakan, KPK sudah menetapkan tersangka dalam dugaan korupsi digitalisasi SPBU PT Pertamina. Namun, ia tidak mengungkapkan identitas tersangka tersebut.

Terkini, sekaligus paling bombastis, kasus dugaan korupsi pada tata kelola minya mentah. Kejaksaan Agung mengungkap perkara korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina (Persero) Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.  Kasus yang disebut-sebut merugikan negara ratusan triliun ini terjadi di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Kongkalikong ala Mafia Migas, Digarap Sejak Rapat Perencanaan

Penyidik Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi pada tata kelola minyak mentah ini telah menetapkan sejumlah tersangka dari beberapa petinggi Pertamina dan pihak swasta. Dari pihak Pertamina yang ditetapkan sebagai tersangka, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS); Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin (SDS). Lalu VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional Agus Purwono; pejabat di PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi (YF).

Selanjutnya dari pihak swasta, beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Kerry Adrianto Riza (MKAR); Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim Dimas Werhaspati (DW); Komisaris PT Jenggala Maritim serta Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadhan Joedo (GRJ). Hal yang menarik dari tersangka dari pihak swasta adalah relasi mereka dengan Mochamad Reza Chalid. Tokoh yang selalu dikaitkan dengan kongkalikong di bisnis minyak Indonesia, namun namanya selalu lolos. Akankah Jaksa Agung berani menyeret tokoh satu ini dalam kasus ini?

Belakangan, penyidik kembali menetapkan tersangka baru, Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga Maya Kusmaya dan VP trading  operation PT Pertamina Patra Niaga Edward Corne. Dalam perhitungan sementara, kerugian negara pada tahun 2023 akibat korupsi ini mencapai Rp 193,7 triliun.

Tersangka Megakorupsi Pertamina. (Istimewa)

Dilansir dari keterangan Kejagung, PT Pertamina Patra Niaga diduga membeli Pertalite untuk kemudian di-blend atau dioplos di depo/storage menjadi Pertamax. Pada saat pembelian, Pertalite tersebut dibeli dengan harga Pertamax. “Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka RS melakukan pembelian (pembayaran) untuk Ron 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 (Pertalite) atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di storage/depo untuk menjadi Ron 92,” demikian bunyi keterangan Kejagung, dilansir pada Selasa (25/2/2025). “Dan hal tersebut tidak diperbolehkan,” imbuh keterangan itu.

Selepas Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap dugaan korupsi tata kelola minyak mentah di BUMN Pertamina, lantas sistem soal pemenuhan komoditas ini menjadi perhatian. Sebab, penyidik Kejagung mengungkapkan banyak pemufakatan jahat antara subholding PT Pertamina dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang berujung pada kerugian negara sedikitnya Rp 193,7 triliun.

Merujuk Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 18 Tahun 2021, Pertamina mesti memprioritaskan pasokan minyak bumi nasional demi pemenuhan kebutuhan minyak mentah dalam negeri. Adapun regulasi itu pun mewajibkan Pertamina mencari sumber minyak bumi yang berasal dari kontraktor nasional, sebelum akhirnya mengeksekusi impor. Dari sisi KKKS, mereka diwajibkan memberi penawaran produksi minyak mentah kepada Pertamina sebelum langkah ekspor ditempuh. Jika dalam penawaran itu Pertamina menolak tawaran KKKS, kontraktor baru bisa mendapatkan persetujuan ekspor.

Akan tetapi, hasil penyelidikan Kejagung justru mendapati kongkalikong antara pejabat subholding Pertamina dan para broker yang terlibat. Diduga tiga direktur subholding PT Pertamina sengaja mengkondisikan dalam rapat optimasi hilir demi bisa menggerus agregat produksi kilang. Ini sengaja dilakukan agar Pertamina tidak bisa menyerap minyak bumi dalam negeri. Hasilnya, Pertamina seolah menolak menyerap minyak mentah dari KKKS. Dalihnya, harga minyak mentah domestik tidak ekonomis dan kualitasnya tak sesuai dengan kapasitas kilang. Walhasil, KKKS pun mengekspor produksi minyak mentahnya, alih-alih diserap Pertamina untuk pemenuhan BBM nasional.

Di sisi lain, kesengajaan tidak menyerap minyak nasional, lantas menjadi alasan PT Kilang Pertamina Indonesia mengimpor minyak mentah. Sejurus dengan itu, PT Pertamina Patra Niaga mengimpor bahan bakar minyak (BBM). Padahal, dari sisi harga lebih kelewat mahal dibanting Pertamina mengolah minyak mentah dalam negeri. Praktik semacam ini sudah berlansung di perusahaan pelat merah itu sejak 2018-2023. "Ya jadi berdampak pada dominannya impor kan karena akal-akalan menolak produksi minyak dalam negeri, yang harganya jauh lebih murah semestinya,” kata Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar kepada Law-justice, Kamis (6/3/025).

Berdasar temuan Kejagung, subholding Pertamina dengan sengaja menolak produk minyak mentah dalam negeri agar KKKS mendapat persetujuan ekspor. Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejaksaan Agung Abdul Qohar menyebutkan Pertamina berdalih spesifikasi minyak mentah dari KKKS tidak sesuai dengan kilang. Padahal sebenarnya sudah memenuhi standar dan bisa diolah.

Melalui skenario itu, KKKS meraup keuntungan besar melalui ekspor, sedangkan Pertamina justru menanggung biaya lebih tinggi akibat memilih impor. Akibatnya, harga dasar yang menjadi acuan penetapan harga indeks pasar (HIP) BBM meningkat, yang berujung pada membengkaknya anggaran subsidi atau kompensasi BBM.

Penyidik mencatat kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri mencapai sekitar Rp 35 triliun, sedangkan impor minyak mentah melalui broker sebesar Rp 2,7 triliun. Selain itu, impor BBM melalui broker mengakibatkan kerugian sekitar Rp 9 triliun. Pada 2023, kerugian akibat pemberian kompensasi BBM mencapai Rp 126 triliun, sedangkan subsidi BBM menyumbang kerugian sekitar Rp 21 triliun.

Tak hanya itu, Kejaksaan Agung mengungkapkan bahwa Direktur Pertamina Patra Niaga juga diduga memanipulasi pengadaan impor tersebut. Direktur Utama Patra Niaga Riva Siahaan diduga mengadakan produk kilang dengan membeli BBM dengan kandungan oktan 92 atau RON 92 (Pertamax), padahal yang sebenarnya dibeli adalah RON 90 (Pertalite). “Hasil penyelidikan terungkap adanya pencampuran (blending) BBM di pasar. Artinya, realitas yang ada dari transaksi, RON 90 di-blending dengan (RON) 92 dan dipasarkan seharga (RON) 92 ke masyarakat,” kata Harli.

Mantan anggota Satuan Tugas (Satgas) Anti-Mafia Minyak dan Gas (Migas) Fahmy Radhi. (Antaranews)

Mendengar adanya blending dalam tata kelola minyak oleh Pertamina, mantan anggota Satuan Tugas (Satgas) Anti-Mafia Minyak dan Gas (Migas) Fahmy Radhi tidak terkejut. Menurutnya, proses pencampuran atau oplosan minyak antara kadar RON rendah dan tinggi sudah berlangsung di Pertamina sejak lama. Dia mengatakan, praktik blending BBM Pertamina tak terlepas dari tangan mafia minyak. Mafia disebutnya kongkalikong dengan pemburu rente yang ada di Pertamina demi mengambil keuntungan pribadi atau kepentingan kelompok tertentu. Kata dia, keberadaan mafia minyak masih ada hingga kini. Yang berubah hanya cara main atau modusnya. “BBM yang beredar di masyarakat tidak sesuai RON-nya, itu sudah lama terjadi dan direksi dengan mafia minyak bekerjasama,” kata Fahmy kepada Law-justice, Jumat (7/3/2025).

Kata Fahmy, modus sebelumnya yang dimainkan oleh mafia dalam pengadaan minyak mentah produk BBM adalah mengambil celah dari proses biding atau open tender dan proses blending minyak. Dalam celah biding ini, kata dia, mafia minyak bergerilya dalam memenangkan satu pihak yang telah diatur. Ada pihak yang memanipulasi perusahaan minyak agar mampu ikut open tender, meski tidak memiliki kapasitas.

Dan sisi lain ada yang bertugas membantu perusahaan tersebut dalam soal pemenuhan produksi. Pada periode 2014-2015 saat ia bertugas dalam satgas anti-mafia migas, kongkalikong mafia minyak melibatkan pihak Pertamina Energy Trading Ltd atau Petral, anak usaha Pertamina yang dibubarkan usahanya pada 2015 lalu karena sarat penyelewengan.  “Setelah kami mengkaji beberapa dokumen, ternyata yang menang biding tadi itu company dari negara-negara yang dia enggak punya minyak, misalnya Italia. Terungkap sesungguhnya itu hanya sebagai frontier, karena di sana ada yang memasok,” ujarnya.

 “Jadi ada suatu perusahaan yang konon pemiliknya orang Indonesia, Cuma belum ada bukti otentik tentang itu. Itu lah mafia migas yang bekerjasama dengan Petral dalam pengadaan minyak,” ia menambahkan.

Peranan Petral, juga tercium oleh satgas anti-mafia migas dalam modus blending minyak. Fahmy mengatakan proses blending minyak itu terkait penggunaan BBM yang kala itu masih jenis premium. Katanya, BBM jenis itu sudah tidak dijual lagi di pasar internasional sehingga tidak ada preferensi harga. Lantas, harganya menjadi mahal dan celah ini yang kemudian dimanfaatkan mafia dalam mengeruk keuntungan. “Nah dalam blending tadi dijual ke perusahaan dengan harga mahal. Sehingga harga yang mahal tadi dijual di Indonesia dan diberikan subsidi oleh pemerintah supaya terjangkau. Nah itu penyelewengan-penyelewengan yang merampok APBN karena berikan subsidi lantaran harganya mahal akibat permainan,” tutur dia.

Bicara soal mafia sektor minyak, Fahmy meyakini kasus terciduknya eks Direktur Petral, Bambang Irianto yang diduga terima suap dalam tender pengadaan minyak, bisa membuka kontak pandora ihwal siapa saja yang bermain. Efek turunan dari fakta yang terungkap dalam kasus itu bakal mengungkap pula jaringan dari Bambang yang masih bermain hingga kini. “Kasus Petral dan Pertamina Patra Niaga (sekarang) ini pintu masuk, karena dari situ akan banyak hal terungkap. Bahkan uangnya mengalir kemana saja, itu bisa dideteksi. Komunitas mafia migas ini memang benar-benar sakti karena uangnya mengalir ke berbagai pihak,” ucap dia.

Fahmy membagi mafia dalam dua lini, internal dan eksternal. Di internal, katanya, tentu melibatkan pihak Pertamina. Akan tetapi, pemangku kepentingan di level eksekutif juga disebut mengambil peran. “Mafia migas sudah koheren dalam satu sistem, ya itu tidak hanya di Pertamina. (Ada) Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Kemenko Perekonomian yang terkait dalam pengambilan kebijakan untuk pengadaan minyak,” kata dia.

Di pihak eksternal, peranan pengusaha yang terlibat dalam pengadaan minyak semasa Pertal aktif, seperti Riza Chalid disebut-sebut masih berpengaruh hingga kini. Kata Fahmy, Riza terafiliasi dengan perusahaan perdagangan sekaligus pengadaan dan jasa pengiriman minyak bernama Global Energy dan Gold Manor yang berbasis di Singapura. “Dia lah yang memainkan, apakah orang-orang yang ada di Petral dan di Pertamina. Bahkan di kementerian juga, yang misalnya dia bisa mendorong pembuatan aturan yang menguntungkan mafia migas, misalnya yang ikut biding dalam pengadaan BBM impor itu hanya national oil company, sementara yang lain tidak boleh. Ini kan menguntungkan bagi mafia migas,” tutur akademisi dari Universitas Gadjah Mada tersebut.

Direktur Utama (Dirut) Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, menegaskan bahwa pihaknya menghormati proses hukum yang sedang berlangsung di Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina Subholding serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023. "Kami sangat menghormati proses hukum yang berlangsung saat ini. Di Kejaksaan Agung kami sangat menghormati itu," kata Simon dalam diskusi dengan awak media di Ballroom Grha Pertamina, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (4/3/2025) sebagaimana dilansir Inilah.

Simon menambahkan bahwa Pertamina memberikan pendampingan hukum kepada para pegawai yang terjerat dalam kasus tersebut. Ia berharap proses hukum ini dapat berjalan secara transparan dan memberikan kepastian bagi publik.

"Kami juga sudah memberikan bantuan hukum untuk rekan-rekan kami yang sedang dalam proses di Kejaksaan Agung. Dan kami berharap agar supaya proses ini dapat berlangsung sebagaimana mestinya agar supaya nanti masyarakat dapat mendapatkan situasi yang terang benderang," tuturnya.

Lebih lanjut, Simon meminta dukungan dari seluruh pihak, baik internal maupun eksternal, agar Pertamina dapat memperbaiki tata kelola perusahaan dan bangkit dari krisis akibat kasus ini.  "Untuk itu kita mengetahui bersama memang saat ini Pertamina sedang menghadapi ujian yang cukup berat, namun kami yakin juga dengan bantuan dan dukungan dari semua pihak, baik dari internal maupun eksternal, kita juga bisa tetap terus melangkah ke depan," ujarnya.

Mengalir Sampai Solo?

Belakangan, nama Presiden RI ke-7, Joko Widodo juga dikaitkan dengan kasus bancakan ini. Jokowi disebut-sebut sebagai pengatur di balik pihak-pihak yang berwenang melakukan impor minyak mentah. Terlebih, kerabat Jokowi menjabat posisi strategis di Pertamina. Mereka adalah Bagaskara Ikhlasulla Arif dan Joko Priyambodo, yang berstatus Manager Non-Government Relations di Pertamina. Sedangkan Joko menjabat Direktur Pemasaran dan Operasi PT Patra Logistik—anak perusahaan Pertamina.

Jokowi juga disebut-sebut sebagai pihak yang menunjuk Menteri BUMN Erick Thohir untuk menggarap impor minyak. Dari sana, Erick Thohir menunjuk saudaranya, Boy Thohir untuk terlibat dalam proses impor. Kata Fahmy, relasi kekuasaan dalam impor minyak bisa saja terjadi, jika dikaitkan dengan kepentingan politik. Terlebih saat itu sedang masa menjelang pemilihan umum yang membutuhkan banyak modal uang dan logistik. “Semua dugaan yang bersifat spekulasi bisa saja dibicarakan. Tapi harus ada temuan dan bukti yang dikejar penegak hukum. Saya hanya ingin katakan, mafia tidak bisa sendiri jika tidak ada bantuan dari pihak yang memiliki kewenangan super,” kata dia.

Saat dikonfirmasi soal dugaan keterlibatan, Erick dan Boy Thohir belum memberikan respons.

Sementara itu, kuasa hukum Riva Siahaan, mengatakan bahwa kliennya sedang proses pembuktian terkait peranannya sebagai pemegang kuasa untuk impor minyak. “Biarkan penyidik bekerja dan membuktikan sejauh mana keterlibatan yang bersangkutan. Apakah memang terlibat secara penuh atau ada pihak lain,” kata Irwan Hanis saat dihubungi, Jumat (7/3/2025).

Menanggapi riuhnya kasus dugaan korupsi yang terjadi di masa kepemimpinannya, Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) menyinggung pentingnya manajemen kontrol direksi dan komisaris. "Pertamina, ini kan sebuah BUMN besar, kuat, sehingga manajemennya juga harus manajemen yang kuat dalam mengelola semua proses yang ada. Manajemen ada yang namanya direksi, dirut, dan direksi dan ada juga pengawasan, juga komisaris," katanya ditemui di Sumber, Banjarsari, Kamis (6/3/2025) sebagaimana dilansir Detik.

Menurutnya, jajaran manajemen tersebut baik dari Dirut hingga Komisaris dipilih melalui proses yakni proses Tim Penilai Akhir (TPA). "Yang semua itu dipilih lewat proses yakni proses TPA, dilihat Menteri BUMN, Menteri ESDM, lewat TPA baru masuk ke saya. Tidak bisa semua secara ujug-ujug (dadakan). Karena ini menyangkut pengelolaan aset yang besar sekali," ungkapnya. Mengenai kasus korupsi yang terjadi selama lima tahun di tahun 2018-2023, Jokowi mempersilahkan untuk diproses secara hukum.

Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai NasDem Asep Wahyuwijaya mengungkapkan, kasus mega korupsi yang melibatkan beberapa anak perusahaan inti di bawah Pertamina, mengindikasikan fungsi pengawasan dari holding atas kinerja anak perusahaan di lingkungan Pertamina itu rendah. Korupsi berjamaah dalam kurun waktu lima tahun yang melibatkan kerja sama dari para jajaran direksi dan petinggi anak perusahaan, kata dia, menjadi potret bahwa sindikat dan permufakatan jahat di lingkungan Pertamina terjadi secara terus menerus. “Dahsyatnya lagi, perbuatan melawan hukum ini dilakukan dengan cara mark up harga yang merugikan negara dan menipu rakyat dengan menjual barang yang tidak sepatutnya,” ungkap Asep kepada Law-Justice, Kamis (06/03/2025).

Legislator NasDem dari Dapil Jabar V (Kabupaten Bogor) itu kembali menegaskan bahwa korupsi di Pertamina sangat parah dan luar biasa. Asep menyatakan bahwa seruan AKHLAK (Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif) yang mesti tegak di lingkungan Kementerian BUMN pun diluluhlantakan oleh salah satu BUMN terbesar dan berkelas dunia. “Saran saya, lakukan audit total dan pemeriksaan secara menyeluruh oleh pihak yang betul-betul independen dan berkredibilitas tinggi atas kondisi keuangan dan manajemennya. Jika perlu, periksa seluruh transaksi bisnis di Pertamina. Kejaksaan pun harus memeriksa seluruh pegawai Pertamina yang terlibat. Jangan hanya elitenya saja. Pasti ada pelakunya di lapangan juga,” imbuhnya.

Dengan preseden korupsi yang dilakukan, tambah Asep, mulai dari mark up harga pembelian, mengoplos BBM, mengangkut, dan memasarkan dengan melibatkan beberapa anak perusahaan inti di Pertamina, merupakan kejahatan yang sistemik dan terorganisir (organized crime). “Jadi, saya kira pihak kejaksaan mendapatkan momentum untuk melakukan bersih-bersih secara menyeluruh hingga ke akar-akarnya. Efek jera yang maksimal harus diterapkan. Baru kemarin kita ribut soal efisiensi anggaran. Malah ternyata ada begundal-begundal yang menikmati kesenangan diatas penderitaan negara dan rakyatnya. Sangat keterlaluan,” ungkapnya.

Arus Balik, Ada Tembok Penghalang?

Semangat penyidik dalam membongkar kasus ini, didukung publik. Umumnya, publik meginginkan agar penyidikan kasus ini dilakukan secara  tuntas dan tidak ada tebang pilih. Desakan untuk memeriksa Menteri BUMN Erick Thohir pun mengemuka. Sebagai menteri yang mengawasi BUMN, dia dinilai turut bertanggungjawab atas skandal ini.

Pakar Hukum dari Universitas Bung Karno Hudi Yusuf menyatakan, meski dirinya belum mendapatkan informasi pasti apakah Menteri BUMN Erick Thohir dan saudaranya yang merupakan pemilik PT Alamtri Resources Indonesia Tbk, Garibaldi Thohir alias Boy Thohir terlibat dalam kasus korupsi PT Pertamina Patra Niaga periode 2018-2023, namun menurutnya keduanya tetap harus diperiksa oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). "Terkait Erick dan Boy Thohir, saya belum dapat informasi yang A1, namun jika melihat BUMN banyak yang rugi ada apa? Saya khawatir uang BUMN digunakan untuk kepentingan tertentu yang diluar jalur main bussines-nya, misalnya untuk kepentingan politik," kata Hudi, Kamis (6/3/2025) sebagaimana dilansir Inilah.

Jika demikian, lanjut dia, maka hal itu dapat dianggap korupsi apalagi jumlahnya yang sangat banyak. Ia menyatakan uang BUMN tentu untuk kepentingan bisnis BUMN itu sendiri, dan jika memiliki laba maka harus dikembalikan ke rakyat bukan untuk kepentingan politik praktis.  "Anehnya BUMN yang dikelola oleh Erick ada yang untung atau tidak? Jika lebih banyak rugi, kenapa? Bukannya BUMN banyak yang melakukan monopoli? Dan dibayar cash oleh konsumen," tegasnya.

Oleh karena itu, ia mendorong agar Kejagung dapat memeriksa Thohir bersaudara ini. Toh, kata dia, diperiksa belum tentu dapat dinyatakan bersalah secara hukum. "Kejagung harus periksa kedua bersaudara itu, karena mereka terkait dengan hal yang menjadi perbincangan publik itu. Korupsi yang sedemikian besar suatu hal yang kurang masuk akal, jika mereka tidak tahu," tuturnya.

Wacana keterlibatan  Thohir bersaudara sebenarnya mulai marak saat sevuah video anonim beredar di media sosial. Video tersbeut menarasilkan bahwa Erick Thohir dan kakaknya terlibat dalam perkara ini. Hal tersebut berdasarkan catatan dalam barang bukti, yang diduga bocor ke publik. Catatan itu diamankan Kejaksaan Agung dari hasil penggeledahan rumah pengusaha minyak Muhammad Riza Chalid, yang anaknya menjadi salah satu tersangka.

Video itu sontak dibantah Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar. Dia bahkan meyakini, Erick dan kakaknya tidak terlibat dalam perkara rasuah yang merugikan negara hingga Rp 193,7 triliun tersebut. Alasannya, tidak ada catatan yang ditemukan penyidik dengan narasi seperti yang beredar di media sosial itu. “Saya sudah tanya penyidik, tidak ada catatan yang ditemukan bernarasi seperti itu. Seharusnya dicari juga sumbernya dari mana,” kata Harli, sebagaimana dikutip Antara.

Selain itu, dia juga menegaskan bahwa informasi bahwa catatan hasil sitaan tersebut bocor ke publik, adalah narasi yang salah. Menurutnya, muatan dalam barang yang disita Kejagung dijaga secara rahasia. “Untuk berbagai penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan di berbagai tempat, kami sudah sampaikan barang-barang apa saja yang sudah disita. Namun, apa muatannya, apa isinya, itu sangat dijaga secara rahasia dan bagaimana pengolahannya dilakukan melalui SOP tertentu,” ucap dia.

Ia menambahkan, seperti penggeledahan, proses pemeriksaan saksi maupun tersangka oleh penyidik pun juga dilakukan berdasarkan SOP. “Semua proses, baik penggeledahan maupun pemeriksaan, itu ada SOP yang sudah ditentukan. Bahwa selama dalam proses pemeriksaan terhadap para saksi maupun tersangka, berita-berita acara pemeriksaan itu ada pada penyidik yang sudah diberikan surat perintah penyidikan,” ujarnya.

Menanggapi hal tersebut, Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengatakan bahwa kabar tersebut hanyalah berita bohong atau hoaks. Dia pun meminta masyarakat untuk tidak mengaitkan Erick Thohir dalam kasus tersebut. Arya menyatakan bila Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah menegaskan tak menemukan fakta adanya keterlibatan keduanya dalam kasus korupsi minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina. “Kami berterima kasih kepada Kejaksaan Agung yang sudah memberikan statement bahwa hoaks-hoaks yang bertebaran di sosial media, bahwa Pak Erick dikatakan ada terlibat lah dan sebagainya, atau turunan-turunannya gitu. Itu sudah diluruskan oleh Kejaksaan Agung,” kata Arya melalui keterangan yang diterima Law-Justice, Jumat (07/03/2025).

Menurutnya, dengan adanya statement yang disampaikan Kejagung kepada publik, fitnah-fitnah yang ditujukan kepada Erick Thohir bisa berhenti. “Kemarin tuh sampai mengaitkan, jadi hoax-nya ini paling enggak berhenti dulu lah. Bahwa nggak ada tuh. Fitnah-fitnah selesai. Apalagi bulan-bulan seperti ini fitnah-fitnah banyak,” ucap Arya. Arya bilang saat ini lebih baik fokus kepada kasus korupsinya. Dia menekankan Kementerian BUMN akan mendukung Kejagung dalam penyelesaian kasus dugaan korupsi tersebut. “Kita dari Kementerian BUMN support betul masalah fokusnya ke korupsi yang memang sedang diproses teman-teman dari Kejagung,” katanya.

Selain mengendurnya tensi penanganan perkara di Kejaksaan Agung, akibat pagi-pagi sudah menyatakan tidak ada keterlibatan Thohir bersaudara. Di ranah politik pun, ternyata kasus sebesar ini tanggapi dingin oleh parlemen. Wakil Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Haryadi menegaskan tidak ada wacana pembentukan panitia khusus (Pansus) oleh Komisi XII DPR untuk menyikapi kasus ini. Pihaknya percaya dengan kinerja Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam mengusut kasus tata kelola minyak mentah. "Tidak ada wacana pansus, kami percaya profesionalisme Kejaksaan Agung. Kami tidak masuk di ranah hukum, hukum silakan ditegakkan setegak-tegaknya," ujar Bambang kepada wartawan, Jumat (07/03/2025).

Wakil Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Haryadi. (Gerindra)

Bambang menyatakan mendukung penuh penegakan hukum oleh Kejagung dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah. Dia menegaskan kasus ini tidak akan ditarik ke ranah politik. "Kami mendukung dan kami menyerahkan kepada jaksa dan BPK," ujar Bambang.

"Biarkan penegak hukum bekerja mengusut sampai tuntas, jangan ada campur tangan politik di sini," sambungnya.

Selain itu, Bambang mendukung Pertamina untuk menjadi lebih baik dalam hal pelayanan masyarakat. Dia menyebut oknum nakal memang harus ditangkap, namun Pertamina harus diselamatkan. Bambang juga menggarisbawahi pentingnya peran Pertamina dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional. Ia mengingatkan bahwa tindakan tegas terhadap oknum korup harus dilakukan tanpa menghancurkan pondasi perusahaan yang selama ini berkontribusi besar bagi negara.  “Kami tidak ingin masyarakat kehilangan akses terhadap energi hanya karena kesalahan segelintir oknum,” tambahnya.

Dalam konteks ini, ia menekankan perlunya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya alam. Menurutnya, semua pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat, harus bersatu dalam mendukung pembersihan korupsi di Pertamina.

Anggota Komisi XII DPR RI Ratna Juwita Sari mengungkapkan keprihatinannya mengenai banyaknya isu yang beredar baru-baru ini terkait oplosan (blending) bahan bakar minyak (BBM). Ratna menyebut bila ia sudah menyuarakan keprihatinannya saat Komisi XII DPR melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar Komisi XII bersama sejumlah pihak terkait industri energi. Ratna menyoroti pada pihak yang berwenang menentukan angka RON (Research Octane Number) pada BBM dan bagaimana evaluasi dilakukan terhadap standar BBM yang beredar di pasaran. “Sebenarnya yang berwenang untuk menentukan RON itu siapa dan bagaimana evaluasinya? Agar publik bisa paham, bahwa standar yang dimiliki oleh SPBU yang ada di Indonesia harus sama,” kata Ratna ketika dikonfirmasi, Selasa (04/03/2025).

Ratna juga menegaskan hak konsumen untuk memilih kualitas BBM yang sesuai dengan usia kendaraan mereka, meskipun RON antara jenis BBM yang tersedia, seperti 92, 95, dan 98, terlihat sama. Ia menjelaskan bahwa yang seharusnya diukur adalah kesesuaian BBM dengan mesin kendaraan yang digunakan oleh konsumen. “Konsumen memiliki hak untuk memilih BBM yang sesuai dengan kondisi mesin kendaraan mereka. Yang bisa diukur itu dari mesin kendaraan, apakah bermasalah dengan jenis BBM tertentu atau tidak,” ujarnya. Ratna juga menekankan pentingnya pemerataan akses energi, terutama untuk daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Ia berharap agar distribusi energi di daerah tersebut dapat dimaksimalkan untuk mencapai keadilan energi bagi seluruh masyarakat Indonesia.  

Tampaknya keseriusan Prabowo akan mendapat bagu uji di kasus ini. Sebagaimana janji kampanye untuk membereskan sektor Migas, memberantas mafianya adalah pintu masuk. Jika program pemberantasan mafia migas melalui Kejaksaan Agung ini pun kandas, maka jangan salahkan publik jika menilai proses hukum ini gak lebih gimmick politik semata. Apalagi di kalangan terbatas mulai tersiar desas-desus ada individu berinisial HD yang disebut sebut bakal jadi pemain baru, menggantikan mereka yang tergusur dalam proses hukum.

 Temuan BPK Endus Permainan Migas 

Ihwal modus tidak memanfaatkan minyak dalam negeri untuk kepentingan impor, Badan Pemeriksan Keuangan (BPK) pernah mengeluarkan laporan pada 2022, yang mengaudit impor minyak Pertamina pada periode 2018-2021. Auditor negara mulanya merujuk RKAP Direktorat Pengolahan Pertamina pada 2018, yang menyebutkan bahwa rencana pengolahan dan produksi sebagai kegiatan pokok Direktorat Pengolahan dirancang dengan pendekatan pengolahan minyak mentah sesuai dengan design dan kapasitas kilang tersedia dengan biaya terendah serta mode operasi untuk mencapai maksimum margin hilir dengan memprioritaskan produk- produk minyak (BBM), produk-produk NBBM dan Petrokimia yang memiliki nilai tambah, sesuai spesifikasi pemerintah ataupun internasional, minimizing energy consumption dan peningkatan kehandalan kilang.

Auditor negara juga merujuk Surat Nomor 044/KPI53000/2021-S0 tanggal 18 November 2021, yang menjelaskan bahwa mengacu kepada rencana STS (bulanan) periode 2018 sampai Semester I Tahun 2021, kebutuhan (alokasi) minyak mentah untuk diolah di kilang Pertamina adalah sebanyak 604,89 MB per hari untuk minyak domestik dan 271,91 MB per hari untuk minyak impor.

Namun yang terjadi, impor terus dilakukan tanpa melakukan optimalisasi cara penggunaan yang tersedia di dalam negeri. Adapun impor selama Tahun 2018 sampai Semester I Tahun 2021 adalah jenis minyak mentah medium dengan volume sebanyak 103.627.765 barrel atau senilai US$ 6.689.758.045,53. Jenis minyak mentah medium digunakan di RU IV Cilacap dan RU V Balikpapan dengan persentase penggunaan sebanyak 25-45% dalam produksi kilang. Minyak mentah jenis medium itu sendiri mampu menghasilkan produk BBM, BBK dan Petrokimia. “Ketersediaan minyak mentah medium hasil domestik yang terbatas menjadi tantangan tersendiri sehingga PT Pertamina (Persero) harus mengimpor setiap bulan dan bergantung pada minyak mentah medium,” petik laporan BPK.

Seharusnya Pertamina bisa melakukan terobosan memanfaatkan stok minyak yang ada. Sebab, berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa dapat dilakukan suatu strategi untuk mengurangi ketergantungan terhadap jenis miyak mentah medium yaitu Strategi Blending Crude Medium (BCM). BCM merupakan suatu strategi alternatif pemenuhan jenis minyak mentah jenis medium kilang melalui blending minyak jenis heavy dan light menjadi minyak mentah medium yang lebih ekonomis dibandingkan dengan impor minyak mentah medium.

Menurut BPK, tidak ditempuhnya optimalisasi minyak dalam negeri, itu karena internal Pertamina berniat melakukan impor berlebih. Sehingga BPK merekomendasikan saat itu agar, Direktur Optimasi Feedstock & Produk yang merujuk pada Sani Dinar Saifuddin agar lebih optimal dalam menyusun rencana kegiatan pelaksanaan BCM untuk diusulkan kepada Direksi PT KPI. “Hal tersebut mengakibatkan hilangnya potensi penghematan minimal sebesar USD64.249.214,30 atas blending crude medium yang belum terlaksana dari Tahun 2018 s.d. Semester I Tahun 2021 pada PT Pertamina,” petik laporan BPK.

Mafia Migas selalu menjadi momok bagi stabilitas migas dalam negeri. Bukan sekadar memainkan harga, jejaring mafia ini pun mampu membuat stok minyak dalam negeri menjadi langka. hal itu merupakan bagian dari strategi mereka dalam mencengkaram pengaruhnya di sektor sumber daya alam ini. Dengan nilai kelolaah yang mencapai ratusan triliun per tahun, tak heran penjahat kerah putih di sektor ini sangat sulit diberantas. Kalaupun ada yang diungkap oleh [penegak hukum, biasanya hanya sampai di level operator saja. Tidak sampai ke beneficial owner, apalagi sampai pengampu kebijakan di pusat.

hampir di setiap era kepresidenan, mafia migas ini selalu menjadi isyu cantik yang menjadi gincu politik. berantas mafia migas bergandeng dengan meningkatkan pemasukan negara dari sektor migas merupakan gula-gula politik yang kerap diluncurkan oleh politisi saat kampanye. Di era Presiden Prabowo ini, pengungkapan kasus dugaan korupsi yang meilbatkan mafia migas ini diharapkan bisa menjadi titik awal pemberantasan mafia migas. Di semester pertama pemerintahannya, Prabowo melalui Jaksa Agung berhasil mengungkap kasus dugaan korupsi sektor migas dengan nilai  kerugian setidaknya Rp 193,7 triliun per tahun.  Modus dalam korupsi ini yang terstruktur dan masif dengan melibatkan lintas departemen di Pertamina, diharapkan bisa diusut tuntas dan mampu membongkar dalang mafia minyak.  Rakyat berhak atas akses terhadap bahan bakar minyak (BBM) murah berkualitas.

Tindakan para pelaku yang jelas-jelas merusak tata niaga bahan bakar minyak yang merupakan komoditas yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Apalagi, dugaan korupsi ini pun terjadi di masa pandemi COVID19. Tak salah, jika kita mendukung Jaksa Agung menggunakan beleid dalam pasal 2 UU Tipikor, mengenakan tuntutan hukuman mati terhadap para pelaku. Selain sebagai teapi kejut, tindakan para pencoleng uang negara ini sangat keji dan jauh dari kepatutan dan kemanusiaan.

 

Rohman Wibowo

Ghivary Apriman

 

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar