Di Sekitar Penyimpangan Tata Kelola Sawit

Lahan perkebunan sawit milik PTPN XIII (Foto:PTPN XIII)
Jakarta, law-justice.co - Permasalahan tata kelola komoditas sawit terletak pada transparansi ihwa siapa saja korporasi nakal yang menggasak hutan lindung demi kepentingan bisnis. Data dari monitoring tim Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas-PK) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan ada korporasi nakal yang seharusnya diwajibkan membayar kewajiban dan denda. Jumlahnya sekira mencapai 2.130 perusahaan yang tersebar di hampir semua provinsi.
Adapun pendataan sawit ilegal dalam kawasan hutan dimulai dari Kalimantan Tengah, Kalimantan Riau, Sulawesi Barat sampai Papua. Prosesnya melibatkan pemerintah provinsi dan kabupaten bersama Badan Informasi Geospasial, Kementerian hingga lembaga swadaya masyarakat. Pada akhir 2023, Stranas-PK memperluas cakupan ke area Aceh, Jambi, Sumatera Utara, Seumatera Selatan, Bengkulu, hingga Kalimantan Barat. Tim yang dipimpin Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan ini memverifikasi dan penyandingan data di lapangan, verifikasi ke korporasi, serta menganalisis spasial dan legal.
Data-data itu lalu diteruskan ke KLHK (kini Kementerian Kehutanan) sebagai pijakan untuk memberlakukan tarif PNBP atau skema denda administratif. Dari data yang dimilik tim Pahala, setidaknya terdapat 761 perusahaan yang dikenai tarif PNBP dengan luas 655.123 hektare. Korporasi diwajibkan membayar provisi sumber daya hutan-dana reboisasi (PSDH-DR) atau tanpa denda sesuai dengan Pasal 110A Undang-undang Cipta Kerja.
Lalu, ditemukan juga 486 perusahaan dengan luas 217.809 hektare yang dikenai denda administratif sesuai dengan Pasal 110B. Juga ditambah adanya 1,34 juta hektare kawasan hutan yang dikangkangi perusahaan belum teridentifikasi pelakunya. Di saat bersamaan, data Kementerian Kehutanan yang dipakai tim Pahala mendata 2.130 unit perusahaan yang teridentifikasi bakal dikenai sanksi sesuai dengan Pasal 110A dan 110B. Jumlah tersebut merujuk pada Surat Keputusan Data dan Informasi yang diterbitkan Kementerian Kehutanan. Dari pendataan Kementerian, hanya 365 korporasi yang ditagihkan denda sesuai Pasal 110A.
Adapun dari 365 perusahaan itu, hanya ada 155 korporasi yang membayar PSDH-DR dengan nilai total Rp 648,8 miliar. Seedangkan, 210 korporasi lain belum membayar kewajibannya. Data ini juga ditambah sura keputusan tagihan denda administratif terhadap 49 perusahaan sesuai dengan Pasal 110B.
Di KPK sendiri dalam mitigasi korupsi tata kelola sawit, amsih menghadapi masalah besar lantaran ada 1.716 perusahaan sisanya belum rampung dianalisis. Sehingga, sejumlah perusahaan itu belum dapat dikenai sanksi mengunakan menanisme Pasal 110A dan 110B.
Kembali ke regulasi yang mengatur soal tata kelola sawit ini, secara garis besar kedua pasal dalam beleid itu mengatur aturan terhadap entitas bisnis yang memiliki industri sawit dalam kawasan hutan. Pada awalnya, korporasi atau pelaku usaha sawit dapat dicabut izin usahanya secara permanen jika kedapatan menanam sawit di kawasan hutan. Tetapi, melalui UU Cipta Kerja ini aktivitas perusahaan bisa dilegalkan selama melengkapi syarat sebelum 2 November 2023.
Dalam Pasal 110A, misalnya, perusahaan yang memiliki izin usaha sebelum UU Cipta Kerja disahkan dapat dilegalkan atau diputihkan area tanam sawitnya. Area operasi bisnisnya akan dianggap sebagai kawasan di luar hutan. Hal itu dengan catatan, jika korporasi memenuhi persyaratan yang diatur KLHK. Jika tidak, perusahaan dapat dikenai sanksi pembayaran secara administratif dan atau izin usahanya dicabut.
Sementara itu, dalam Pasal 110B dijelaskan bahwa korporasi yang tidak punya izin usaha sebelum UU Cipta Kerja berlaku, tetapi sudah beroperasi di dalam kawasan hutan, maka mendapat kesempatan satu waktu daur sejak masa panen dan mesti membayar denda administratif yang disetor ke KLHK. Merujuk data KLHK, ada 2.130 perusahaan yang teridentifikasi bakal dikenai sanksi sesuai Pasal 110A dan Pasal 110B UU Cipta Kerja.
Kawasan hutan yang ditanam sawit secara ilegal sekurangnya mencapai 3,37 juta hektare yang tersebar di 23 provinsi. Riau dan Sumatra menjadi yang terbesar dengan total gabungan 1.52 juta hektare atau hampir separuh total cakupan lahan. Per Maret 2024, terdapat 365 korporasi yang mengajukan pemutihan dari total ribuan itu. Namun, data KPK menunjukkan hanya ada 155 perusahaan yang membayar PSDH-DR. Jumlahnya cuma Rp648,8 miliar yang tidak sebanding dengan jumlah ratusan perusahaan yang ingin dilegalkan aktivitas bisnis sawitnya.
Menurut Manajer Kampanye Hutan dari Walhi, Uli Arta, implementasi pengenaan denda maupun pencabutan izin sesuai dua pasal di UU Cipta Kerja itu begitu tertutup. Sehingga, memantik celah korupsi yang dimainkan antara pemangku kepentingan dan korporasi. Jumlah denda yang seharusnya dibayarkan sesuai luasan hutan cakupan bisnis rentan dikondisikan. Begitu pula dengan penegakan aturan pencabutan yang memungkinkan korporasi tak berizin bisa meneruskan bisnis sawitnya dalam hutan melalui cara penyimpangan.
Tidak cuma proses penarikan denda dan pengenaan sanksi kepada perusahaan yang sangat tertutup, Uli juga menekankan tidak diketahuinya basis data yang digunakan KLHK untuk menghitung luasan konsesi. Juga data soal berapa luas hutan yang ditanami sawit dan berapa luas tutupan hutan sebelum dibuka menjadi perkebunan oleh korporasi. “Patut dipertanyakan transparansi data yang dikeluarkan KLHK. Bisa saja itu bukan gambaran sebenarnya atau lebih banyak sekian juta realitasnya,” kata Uli kepada Law-justice, Kamis (13/2/2025).
Melihat tidak transparansnya data hutan yang ditanami sawit secara ilegal ini, jumlah kerugian keuangan negara diprediksi besar menganga. Apalagi, terbit Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.661/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6 pada Juni 2023 atau beberapa waktu usai UU Cipta Kerja berlaku. Beleid yang disetujui Menteri Siti Nurbaya itu, menyederhanakan formula perhitungan kewajiban Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP terkait PSDH-DR yang seharusnya dibayarkan perusahaan dalam proses pemutihan sawit. Diatur pula bahwa PSDH-DR tidak mempersoalkan detail jenis kayu dari kawasan hutan yang diputihkan.
Adapun rumus yang dipakai adalah taksiran volume kayu yang dikali potensi kayu berikut luas areal terbangun. Sehingga, perhitungan ganti rugi korporasi ke negara bakal jauh lebih sedikit dibanding kerusakan hutan yang dihasilkan. “Aturan dibuat meringankan perusahaan tanpa memikirkan kerugian lingkungan yang pasti berkorelasi dengan kerugian negara,” tutur Uli.
Uli juga mendapat kabar bahwa kerja-kerja tim Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara tidak transparan lantaran terkait jumlah korporasi yang terlibat menggarap hutan lindung sebagai kawasan sawit. Sebab, tak ada pengumpulan peta digital rencana tata ruang wilayah atau RTRW di setiap provinsi yang dilakukan Kementerian.
Lain itu, perusahaan yang disasar belum banyak menyetorkan data perizinan sawit sebagai dasar analisis denda. “Pemerintah tampaknya tidak sama sekali menghitung kerusakan lingkungan yang diakibatkan perkebunan sawit ilegal,” ujar Uli.
Lemahnya pengenaan denda dan hukuman bagi korporsi, kata dia, tak terlepas dari konflik kepentingan antara pengusaha dan pemangku kepentingan. Perusahaan seperti Astra Agro Lestari (AAL) di Sulawesi berserta anak perusahaannya, terbukti telah melakukan deforestasi atas nama kepentingan ekonomi sawit. Dampaknya terjadi polusi, kerusakan sungai, krisis air, banjir dan longsor serta kebakaran hutan lahan juga menjadi kerugian yang harus ditanggung rakyat dan lingkungan.
Karena ada kelindan antara kekuasaan dan oligarki bisnis, maka aktivitas korporasi leluasa menggasak hutan. Uli menekankan bahwa fakta selama ini aparat kepolisian dan tentara juga cenderung berpihak kepada Perusahaan yang berkonflik agraria dengan masyarakat. Tidak jarang aktor keamanan melakukan intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi terhadap Masyarakat yang berkonflik dengan perusahaan di sektor perkebunan sawit.
“Oleh karena itu tidak berlebihan jika kita menganggap instruksi ini akan melegitimasi pendekatan keamanan dalam pelaksanaan operasi produksi perusahaan sawit oleh aktor-aktor keamanan yang berpotensi akan membuat kasus-kasus intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat semakin bertambah,” kata Uli.
Merujuk kajian TII soal penilaian 50 perusahaan sawit di Indonesia, jumlah PEP’s di perusahaan sawit mencapai 80 orang dengan beragam kategori dari 33 perusahaan. Mereka mulai dari kalangan; Birokrat (19 orang); Oligarki (7 orang); Kerabat/Orang dekat PEPs (15 orang); Aparat Penegak Hukum (13 orang); Militer (7 orang); dan Jabatan Strategis (19 orang).
Dari kajian yang sama disebutkan bahwa di korporasi sawit, latar belakang PEPs yang perlu mendapat perhatian lebih banyak adalah polisi. Kategori polisi bukan hanya yang pernah aktif atau sudah pensiun tetapi juga yang masih aktif sebagai anggota polisi, bahkan memiliki jabatan strategis di Kepolisian RI. Keberadaan polisi dalam struktur perusahaan membuka peluang terjadinya konflik kepentingan saat perusahaan sedang berkonflik dengan masyarakat di lapangan, terutama saat masyarakat tersangkut kasus hukum.
Pelaksana jabatan Ketua Satgas Penertiban Kawasan Hutan, Febrie Adriansyah., tidak menyangkal adanya potensi konflik kepentingan antara pemangku kepentingan dengan pebisnis sawit. Hal ini, yang menurutnya, menjadi celah korupsi soal pemutihan sawit. Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) ini menekankan timnya akan bekerja menegakkan integritas antikorupsi. “Saat ini kami terus mengumpulkan bukti keterlibatan pejabat dan pengusaha di korupsi tata kelola sawit yang sudah masuk penyidikan,” kata Febrie kepada Law-justice, Jumat (14/2).
Di tengah banyaknya penyimpangan perusahaan dalam menggasak hutan untuk kepentingan bisnis, petani kecil sawit justru paling berdampak. Ketua Departemen Advokasi Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Marselinus Andry, mengatakan petani kecil sawit ditimpah dua masalah besar. Pertama soal dana BPDPKS yang tidak berpihak pada petani, alih-alih berpihak pada kepentingan korporasi. “Derita yang sudah lama dirasakan soal ketimpangan akses dan sumber daya modal petani kecil sawit untuk bertahan. Dana BPDPKS saja kan sudah dikorupsi dan kini masuk kasus di Kejaksaan” ujar Marselinus kepada Law-justice, Kamis.
Masalah kedua, ujar Marselinus, yaitu serampangannya tata kelola sawit. Dia menyadari pengusaha diberi keleluasaan dalam mengelola lahan hutan, termasuk kawasan hutan lindung untuk diubah menjadi kawasan sawit. Di sisi lain, petani sawit kecil yang mengambil sedikit lahan justru kerap dikriminalisasikan. “Sejarah pengelolaan sawit memang berpihak pada oligarki sawit, yang kita ketahui orangnya itu-itu saja,” ujarnya.
Komentar