Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H.
`Hukum Bisa Diakali Kalau Uang Bermain`

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H. (Foto. Dok FH UI).
Jakarta, law-justice.co - Bagi Topo Santoso, cara kerja hukum bisa dianalogikan dalam permainan sepak bola. Wasit sebagai penegak keadilan di atas rumput hijau sama halnya dengan hakim yang memutus keadilan di meja hijau. Namun Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia ini bilang bahwa sebagai penegak adil, tidak mudah memutus siapa yang benar dan salah.
Kendati wasit sudah dibekali sejumlah instrumen untuk memutus suatu kejadian dalam lapangan, terlebih kini ada tekonolgi VAR, tapi tetap saja tiup peluit tidak sepenuhnya dikendalikan wasit. Keputusannya bisa saja bias atau bahkan menyimpang.
“Nah ketika terjadi pertandingan, ada yang lakukan pelanggaran, pasti ada dua respons. Pertama, mereka yang sudah ikut saja kata wasit, tidak perlu kejar atau pukul wasit. Wasit dianggap profesional,” kata Topo.
“Sisi lain sangat mengkritisi keputusan wasit. Dianggap wasit berat sebelah, tidak ikuti ketentuan dalam aturan sepak bola. Ada dari sisi lain melihat wasit nelakukan kekeliruan meski ada VAR,” imbuhnya.
Dalam hukum, katanya, ada kemiripan. Bahwa pemain maupun penonton jangan naif saat melihat keputusan wasit di pertandingan dengan segala aturan mainnya. Wasit bisa saja berkoordinasi dengan asistennya yang ada di lapangan ataupun wasit di ruang kendali VAR serta inspektur pertandingan. Tetapi, keputusan akhir wasit bisa saja tak sejalan karena agenda kepentingan tertentu.
Di konteks hukum, ada pula kelembagaan mulai dari kepolisian, Kejaksaan Agung hingga Mahkamah Agung. Yang mengawasi atau mitranya ada Kompolnas, Komisi Yudisial dan Komisi Kejaksaan. Jika masyarakat berpikir mereka bertindak berdasar keadilan, kata Topo, masyarakat tidak bisa berpikir se-naif itu.
“Padahal dalam sepak bola pun wasit bisa disogok. Sudah diatur malah, wasitnya siapa dan segalanya diatur. Norma-norma yang seharusnya bisa jadi pedoman. Hukum acara yang seharusnya jadi pedoman, semua bisa diakali kalau uang sudah bermain. Kalau korupsi di dunia sepak bola, suap menyuap sudah main, semya bisa diatur,” tutur Topo.
“Nah dalam dunia hukum juga begitu,” imbuhnya.
Senada, dalam dunia hukum pun begitu. Dia mencontohkan kasus polisi tembak polisi yang kerap terjadi. Tidak jarang, narasi yang disampaikan kepolisian ke publik memutar fakta dan realitas yang sebenarnya. “Kalau masyarakat berpikir naif, maka semua diterima sebagai kebenaran. Begitu juga di Kejaksaan Agung dan di Mahkamah Agung. Padahal yang terjadi tidak semua seperti itu.” Ujar dia.
Bagi Topo yang melihat realitas hukum saat ini, tidak semuanya keputusan pengadilan berdasarkan keadilan sebenarnya. “Ada sesuatu di balik layar, banyak macam agenda, kepentingan. Jadi saya pikir baik 2025 dan seterusnya, kita melihat bahwa hukum acara pidana itu tidak bisa kita lihat dari kacamata yang bebas dari kepentingan. Karena yang betul-betul hukum saja tidak ada,” ujar Topo.
Dia menekankan setiap penegak hukum bisa saja berkata keputusannya mencerminkan keadilan. Tapi, lagi-lagi keputusan yang adil tampaknya lebih sedikit dibanding keputusan yang disandera kepentingan. “Saya misal sebagai pejabat hukum mengatakan hukum sudah adil. Ya memang karena pasal bisa dicari, ketentuan hukum bisa dicari, Undang-undang bisa dicari. Kalau mau membela tindakan kan semua bisa digunakan,” katanya.
Tantangan penegakan hukum pidana ke depan makin payah lagi, menurut Topo. Pandangannya tak terlepas dari dinamika atau konstelasi politik hari ini. “Makin rumit lagi keterkaitan hukum pidana ini dengan kekuasaan. 2024 sendiri mewarnai dua rezim, Jokowi dan Prabowo. Misal ada kasus saling sandera, masing-masing sudah tahu kartu kunci. Jadi, tinggal dikeluarkan sesuai kebutuhan di waktu yang diinginkan serta implikasinya sudah dihitung,” ujar dia.
“Jadi untuk menjadikan orang sebagai tersangka, kasusnya diangkat atau ditutup, itu sudah masuk perhitungan. Ya semua bisa dijelaskan secara hukum, ada Undang-undangnya. Misal kenapa pengusutan lama, ada pasal yang bisa menjelaskan,” ia menambahkan.
Menurutnya, setiap orang yang berkecimpung di dunia hukum harus memahami bahwa hukum pidana hari ini berkelindang dengan kepentingan politik. “Karena ada koalisi politik partai yang rumit. Kita pelajari hukum dan berpraktek hukum tapi tidak boleh naif. Karena kita harus berpikir sangat kritis dan melihat sedalam-dalamnya,” kata dia.
Dia merujuk soal KUHP baru yang akan diimplementasikan pada 2026. Menurutnya, ada beberapa pasal yang disesuaikan untuk perbaikan kehidupan demokrasi. Tapi, beleid hukum baru bisa jadi bumerang. “Misal KUHP baru, ada sejumlah aturan yang melindungi HAM, tapi juga bisa berpotensi memberangus HAM kalau salah dalam penerapannya. Masalah penegakannya terlebih koordinasi antar lembaga penegak hukum yang masih banyak catatan,” tutur dia.
Dalam soal KUHAP, yang kaitannya dengan hukum pidana materil, Toto bilang masih banyak ditemukan mekanisme hukum sangaat mudah menyalahkan dan menjebloskan seseorang ke penjara.
“Gampang sekali orang menjadi tersangka. Orang gampang untuk ditahan. Itu problematik menurut saya. Saya ada cerita dari kejaksaan. Ada jaksa dalam kasus tertentu yang terpaksa menggunakan pasal tertentu agar bisa menahan seseorang. Padahal tidak cukup bukti untuk menjeratnya,” ujar dia.
Dalam pikirannya, realitas hukum yang sama akan mengisi ruang pengadilan ke depan. Sehingga, diperlukan sosok-sosok atau gerakan kolektif masyarakat untuk mengawasi hukum dan keadilan di Indonesia. “2025 saya ingin optimis tapi sulit optimis. Oleh karena itu, elalu dibutuhkan lembaga independen yang bisa memelototi tindakan lembaga hukum resmi. Karena ada kemungkinan yang namanya hukum itu tertulis itu bisa digunakan dengan motif berbeda,” tukasnya.
Komentar