Polemik SHM & SHGB Laut Tangerang, Kejagung Usut Dugaan Korupsi

TNI Angkatan Laut (AL) bersama nelayan di Tanjung Pasir, Tangerang, Banten, mulai melakukan pembongkaran pagar laut yang dibangun tanpa izin pada Sabtu (18/1/2025). Pembongkaran ini merupakan langkah nyata untuk mengatasi keberadaan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer yang telah menimbulkan polemik. Pagar laut tersebut diduga merusak ekosistem dan berdampak negatif terhadap aktivitas nelayan setempat. Robinsar Nainnggolan
Jakarta, law-justice.co - Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan bakal melakukan pengusutan dugaan korupsi terkait penerbitan sertifikat hak guna bangunan (SHGB) dan sertifikat hak milik (SHM) pada lokasi pagar Laut Tangerang, yang beririsan dengan PIK 2.
Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, mengatakan saat ini pihaknya masih memantau proses penanganan yang dilakukan oleh instansi terkait. Selain itu, Kejagung juga turun langsung untuk kajian guna mendalami dugaan korupsi tersebut.
"Kami sedang mengikuti secara saksama perkembangannya di lapangan, dengan mengedepankan instansi atau lembaga leading sector yang sedang menangani, dan secara proaktif melakukan kajian dan pendalaman apakah ada informasi atau data yang mengindikasikan peristiwa pidana terkait tipikor," ujar Harli, seperti dikutip Kumparan Sabtu (25/1/2025).
Kementerian ATR/BPN mengungkapkan ada 266 SHGB dikuasai 2 perusahaan dan 9 perorangan di kawasan pagar laut di Tangerang. Padahal, lahan itu berada di luar garis pantai yang seharusnya tidak boleh ada sertifikat itu.
Menteri ATR/Kepala BPN Nusron Wahid ambil keputusan. Ia membatalkan 50 SHGB yang ada di kawasan Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang.
"Hari ini pembatalan sertifikat baik itu SHM maupun SHGB, ada yang dibatalkan, kurang lebih 50 bidang," kata Nusron usai meninjau pagar laut yang bersertifikat di Tangerang, Jumat (24/1).
"Tapi, yang jelas belum semua, proses satu-satu, kan ngecek satu-satu, sertifikat nomor sekian dicek, lalu ada di sini, ya oke, karena aturan begitu," lanjutnya.
Menurut Nusron, pembatalan dilakukan usai pengecekan dokumen secara yuridis yang bisa dilakukan di kantor pertanahan atau balai desa. Lalu, mengecek prosedur untuk mengetahui proses sertifikasi sudah benar atau belum.
Proses pembatalan dimulai dari cek fisik dan material, hingga ke tempat terbitnya SHGB atas nama PT Intan Agung Makmur.
Didapati, SHGB milik perusahaan itu telah tidak memiliki fisik secara material sehingga masuk dalam kategori tanah musnah, dan dilakukan pembatalan.
"Tadi kita lihat sama-sama fisiknya sudah tidak ada tanahnya, karena sudah tidak ada tanahnya, saya enggak mau debat mana garis pantai, toh kalau dulunya empang, (sekarang) sudah tidak ada fisiknya maka itu masuk kategori tanah musnah otomatis hak apa pun di situ hilang, hak milik hilang, HGB juga hilang, barangnya sudah tidak ada," katanya.
Dalam laporan Law-justice pada September 2024, peranan kepala desa begitu dalam akuisisi kawasan laut menjadi hunian. Peranan kepala desa diduga tak sebatas pembebasan lahan di daratan. Tetapi lahan di atas muara sungai yang sudah dipatok bambu itu, diduga melibatkan Arsin—Kepala Desa Kohod. Sedikitnya, terdapat 650 hektare tanah timbul di kawasan muara sungai itu yang dikondisikan Arsin. Dia dituding melakukan penyelewengan jabatannya demi membuat keterangan palsu terkait Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT). Melalui SPPT itu, diterbitkan sertifikat hak guna bangunan yang bisa dikomersilkan. Henri, kuasa hukum dari warga yang dipalsukan suratnya bilang belum bisa memastikan peruntukkan ratusan hektare itu.
“Ada salah satu nama warga (yang) baru umur 20 tahun dan di keterangan SPPT-nya itu ada keterangan ahli waris. Padahal ayah dan ibunya masih hidup,” kata Henri yang menyebut warga terdampak mencapai 35 orang lebih.
Selain kepala desa, kata dia, tali temali dalam pengalihan tanah timbul di muara sungai itu melibatkan pejabat di Pemerintahan Provinsi Banten. Salah satu pejabat yang ikut berkompetisi di pemilihan Bupati Kabupaten Tangerang, diduga telah menyiapkan Peraturan Daerah (Perda) yang mengakomodir kepentingan pembebasan dan pengalihan fungsi lahan. “Simpul masalahnya bahwa adanya oknum yang berkuasa di level eksekutif daerah yang mencoba bermain tanah untuk kepentingan pribadinya,” kata Henri.
Melalui Perda yang disebut sudah ada sejak 2023 itu, identitias wilayah tanah timbul yang di atas muara sungat diubah menjadi daerah huni, sebelum akhirnya bisa diklaim alih fungsinya dan kepemilikannya. Bahkan, sudah disusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). “Tanah timbul itu dulunya laut, lalu sempat surut. Nah timbul lah ada tanah. Awalnya tidak luas. Tapi ini dijadikan legitimasi bahwa ada tanah di laut. Maka setelah ini air laut naik lagi. Lalu dibikin lah patok dari bambu. Dan oleh kepala desa hingga oknum eksekutif dijadikan sertifikat (hak milik),” ujar dia.
Kata Henri, modus aparat desa adalah mendatangkan warga ke kantor desa. Tanpa adanya penjelasan, kepala desa menyodorkan surat pengalihan tanah untuk diteken. Atas dugaan penyelewengan kekuasaan ini, Arsin dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 10 September 2024. Dalam laporan, Arsin juga diminta membuka laporan keuangan dana desa sejak dia menjabat pada 2021. Juru Bicara KPK, Tessa Mahardika bilang belum mengetahui detail pelaporan ini. “Kami akan cek dahulu,” katanya.
Komentar