Di Sekitar Kerugian Negara Korupsi Timah

Kasus Korupsi PT Timah, 4 Terdakwa Dituntut 6 hingga 14 Tahun Penjara. (Istimewa).
Jakarta, law-justice.co - Bambang Hero Saharjo tak ambil pusing soal pelaporan terhadap dirinya terkait penghitungan kerugian dalam kasus korupsi timah di Bangka Belitung. Guru Besar di bidang perlindungan hutan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) ini tetap dalam kesaksiannya bahwa nilai kerugian dari korupsi timah mencapai Rp 300 triliun.
Awalnya, kata dia, nilai erugian korupsi timah berkisar Rp 271 triliun. Jumlah itu merupakan perhitungan akumulasi dari kerugian ekonomi, ekologis, kerugian ekonomi lingkungan, dan kerugian biaya pemulihan lingkungan. "Total kerugian dari segala aspek itu yang kami hitung sehingga penghitungannya komprehensif, tidak parsial hanya kerugian ekonomi," kata Bambang kepada Law-justice, Kamis (23/1/2025).
Bambang menjelaskan, kajian berdasarkan pengamatan citra satelit dari 2015 hingga 2022, dia dan timnya memperkirakan terdapat 350 ribu hektare lahan yang tergarap akibat aktivitas tambang ilegal di tujuh kabupaten di Bangka Belitung. Tak hanya pengamatan melalui citra satelit, Bambang dan koleganya pun melakukan pemeriksaan langsung di lapangan. Hasilnya, ditemukan ratusan perusahaan beroperasi yang terlibat kasus ini. "Kerugian 300 triliun wajar terlihat sangat besar, ya karena ada ratusan pula korporasi yang berada di pusaran kasus," tuturnya.
Bambang mewanti-wanti, penghitungan kerugian ekologi didasarkan pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran atau Kerusakan Lingkungan. Kerugian lingkungan hidup akibat tambang timah dalam kawasan hutan mencapai Rp 223,36 triliun.
Adapun jumlah ini terdiri atas biaya kerugian lingkungan (ekologi) sebesar Rp 157,83 triliun, biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp 60,27 triliun, dan biaya pemulihan lingkungan Rp 5,26 triliun. Sedangkan ihwal kerugian lingkungan hidup akibat tambang timah di luar kawasan hutan atau di area penggunaan lain, biaya kerugian lingkungannya sebesar Rp 25,87 triliun, biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp 15,2 triliun, dan biaya pemulihan lingkungan Rp 6,62 triliun, sehingga totalnya Rp 47,70 triliun.
"Jadi, tidak heran kalau kerugian korupsi ini sampai ratusan triliun karena penghitungannya di segala aspek," kata Bambang.
Bambang juga menghitung potensi kerugian dari dampak pencemaran laut akibat aktivitas tambang timah yang sarat korupsi itu. Menurutnya, ada kedalaman laut di sekitar kepulauan Babel sedalam 40 meter yang terancam ekosistemnya.
Dia pun menjelaskan ada beberapa modus praktik korupsi tambang timah. Yakni adanya terhubungnya aktivitas di dua lubang tambang yang terpisah. Detailnya, lubang satu berada di wilayah IUP tapi yang lain ternyata ada di kawasan hutan dan tidak dilaporkan. Lain itu, ada juga data atau laporan hasil tambang yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan karakter lubang tambangnya. “Setelah dicek bukan sumber yang seharusnya,” kata dia.
Dalam perhitungan kerugian negara, Bambang menegaskan kalau dia dan timnya merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Permen itu memiliki lampiran berisi pedoman dan metode penghitungan yang rinci dan terbukti secara ilmiah. Itu sebabnya, dia menyatakan keheranannya apabila ada yang menggugat dirinya ataupun hasil kalkulasi Rp 300 triliun yang sudah dibuatnya.
Bambang menggambarkan bahwa kerugian dari aspek ekologi berkutat pada sisi keanekaragaman hayati, mulai dari rusaknya kapasitas penampungan air di tanah dan hutan. Setelahnya, dihitung berapa nilai ekonomi yang hilang, seiring dengan perhitungan biaya untuk pemulihan akibat rusaknya lingkungan.”Penghitungan kami tidak asal karena berdasarkan kajian ilmiah,” uajar dia.
Kata Bambang Hero, kajian juga berdasarkan peninjauan langsung lokasi galian pertambangan, yang dilakukan bersama dengan penyidik Kejagung. Keputusan majelis hakim yang memasukkan pertimbangan hitungan kerugian Rp 300 triliun itu ke dalam putusan untuk para terdakwa kasus korupsi timah juga dianggapnya menunjukkan kalkulasi sudah berbasis data, metode, dan peraturan yang jelas dan bisa dibuktikan.
DPD Perpat Provinsi Kepulauan Babel tidak setuju dengan pemikiran Bambang Hero dan kolega. Walhasil institusi itu melaporkan Bambang Hero Saharjo ke polisi atas dugaan kejanggalan hasil perhitungan kerugian negara dari sektor lingkungan, yang jadi dasar penanganan korupsi timah. Laporan tersebut disampaikan ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Babel, pada 8 Januari 2024.
Ketua Perpat Babel, Andi Kusuma, mewanti-wanti beberapa alasan keberatan. Salah satunya soal pengambilan sampel yang hanya dari foto satelit melalui aplikasi gratisan. Sehingga akurasi datanya dipertanyakan.
Bambang Hero tak persoalan klaim laporan itu. Menurut dia, yang penting adalah data tersebut muncul. Katanya, jika pelapor tak setuju dengan hasil perhitungan, maka seharusnya ditunjukkan di persidangan dengan pembuktian yang bisa diipertanggung jawabkan.
Lain itu, Bambang berpegangan kapasitasnya sebagai saksi ahli kasus korupsi timah merupakan permintaan penyidik Kejaksaan Agung. Menurut Bambang, penyidik jaksa meminta ia dan koleganya menghitung kerugian lingkungan akibat tambang timah ilegal di konsesi PT Timah Tbk tersebut. Bambang dan koleganya memaparkan hasil penghitungan itu kepada penyidik serta dalam persidangan untuk Harvey Moeis dan lima terdakwa lain di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Adapun majelis hakim yang menyidangkan perkara Harvey Moeis dan kawan-kawan menerima kesaksian Bambang serta koleganya dan memasukkannya ke dalam pertimbangan putusan. Sehingga, kata Bambang, kesaksian merujuk pada Pedoman Jaksa Agung Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Adapun aturan ini menyatakan setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana ataupun digugat secara perdata.
Tak hanya itu, Bambang juga berpedoman pada l Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 10 Tahun 2024 tentang Pelindungan Hukum terhadap Orang yang Memperjuangkan Hak atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan orang yang memperjuangkan lingkungan hidup tidak bisa dituntut secara pidana ataupun digugat secara perdata. Ayat (2) berbunyi orang yang memperjuangkan lingkungan hidup sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) terdiri dari orang perseorangan, kelompok orang, organisasi lingkungan hidup, akademikus atau ahli, masyarakat hukum adat, dan badan usaha. Selain itu, ada beberapa aturan lain.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar mengatakan apabila mengacu pada Pasal 1 angka 28, Pasal 1 dan Pasal 186 KUHAP, serta UU tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dalam konsiderannya justru ahli harus dilindungi dalam memberikan keterangan. "Posisi ahli dalam memberikan keterangan dengan dasar pengetahuannya adalah bebas dan itu dijamin UU, serta keterangan yang diberikan ahli tidak mengikat hakim," kata Harli kepada Law-justice, Rabu (22/1).
Menurut Harli, menjadi pemikiran yang salah jika ahli dilaporkan dalam pembuktian suatu peristiwa pidana. Dia pun mengingatkan semua pihak harus taat asas, apalagi ahli memberikan keterangan atas dasar pengetahuannya yang kemudian diolah dan dihitung oleh auditor negara.
Ia menjelaskan penghitungan atas kerugian keuangan negara ini atas permintaan jaksa penyidik. Lagi pula, perhitungan Bambang dan koleganya menjadi pertimbangan awal hakim. Dalam putusannya, hakim mengacu angka kerugian yang dibuat Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebesar Rp 300 triliun.
Perhitungan kerugian negara versi BPKP mengacu pada kelebihan pembayaran harga sewa smelter oleh PT Timah Rp 2,85 triliun, kerugian yang disebabkan oleh pembayaran bijih timah ilegal yang dilakukan PT Timah kepada para mitra Rp 26,649 triliun, dan kerugian adanya kerusakan lingkungan sebagaimana perhitungan Bambang Hero dan koleganya.
Kata Harli, majelis hakim satu suara dengan jaksa penuntut ihwal kerugian kerusakan lingkungan, termasuk dalam kerugian keuangan negara. Sehingga, katanya, Kejagung bertanggung jawab atas keselamatan saksi ahlinya karena ini soal kepentingan penegakan hukum dan aset negara.
Harli juga mengamini keterangan teranyar dari Komisi Kejaksaan yang menekankan bahwa pelaporan terhadap saksi ahli merupakan hal yang tanpa alas hukum. “Ya kami sepakat dengan pemikiran teman-teman Komjak,” katanya.
Pakar hukum dari Themis Indonesia, Feri Amsari mengatakan ada sesat pikir dari pelaporan terhadap saksi ahli. Menurut dia, ahli hanya menyampaikan pendapat, bukan fakta hukum. “Kalau ada perbedaan pendapat, pelapor seharusnya menempuh jalur persidangan kasus korupsinya,” kata Fery kepada Law-justice, Jumat (24/1).
Menurut dia, hakim punya kewenangan penuh dan secara independen menilai dakwaan penuntut umum sehingga saksi ahli tidak bisa dipidana atas keterangan yang diberikannya dalam suatu persidangan. Fery menyebutkan keterangan saksi ahli menjadi salah satu alat bukti dalam suatu tindak pidana sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Lain itu, kata Fery, kerugian akibat kerusakan lingkungan menjadi salah satu aspek dalam Pasal 2 dan 3 mengenai tindak pidana korupsi dengan kerugian keuangan negara. Kerugian lingkungan ini, kata dia, bisa dikualifikasikan sebagai salah satu kerugian negara dalam perkara korupsi, terutama yang berhubungan dengan kasus sumber daya alam. “Jadi sebenarnya jelas kerugian negara yang diatur UU,” ujar dia.
Menurutnya, pelaporan terhadap Bambang Hero bisa dimaknai sebagai pengalihan isu. Maksudnya, kasus pelaporan bisa mengaburkan proses penegakan hukum yang menyasar ke pihak lain. “Saya khawatir ini pengalihan isu. Akhirnya, perkara kerugian negara di kasus timah enggak diproses,” ujar dia.
Komentar