Marthen Goo, Aktivis Kemanusiaan dan Peminat Hukum Tata Negara

Menko Hukum Dan HAM Tendensius Rasis dan Tutupi Masalah Di Papua

Sabtu, 25/01/2025 12:46 WIB
Menkohukum HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra. Foto: net

Menkohukum HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra. Foto: net

Jakarta, law-justice.co - Bangsa Papua kali ini dikagetkan dengan pernyataan seorang profesor (katanya), yang juga adalah seorang Menteri Koordinator Hukum dan Hak Asasi Manusia seperti yang dirilis Kompas, sebuah media besar nasional Indonesia, dengan judul “Yusril Sebut Juha Christensen Ingin Jadi Mediator Dialog Konflik Papua”, yang dirilis 22 Januari 2025.

Tentu jika itu sebuah keinginan, sangatlah tidak salah, tapi akan sangat salah dan keliru kalau itu dianggap jadi prosedural atau mekanisme penyelesaian masalah dalam perundingan.

Jika melihat dari prosedur penyelesaian sebuah masalah, mediator merupakan kesepakatan para pihak jika perundingan mau dilakukan, tidak bisa hanya karena keinginan atau hanya karena kehendak sepihak, yakni datang dari Jakarta. Dan hal ini, selalu disepakati dalam sebuah mekanisme formal yang disebut pra-dialog atau pra-perundingan.

Terhadap hal itu, Juha atau siapa pun dia tidak bisa memosisikan diri sebagai mediator penyelesaian masalah, kecuali diangkat oleh Presiden sebagai special-envoy, itu pun hanya menyiapkan proses.

Sehubungan dengan pernyataan “sejauh ini pemerintah berpendapat belum memerlukan adanya mediator untuk memfasilitasi perundingan damai dalam menyelesaikan berbagai masalah” mencerminkan bahwa (1) presidennya berbohong pada publik dengan berjanji akan melakukan pendekatan dialog dalam menyelesaikan masalah seperti pada debat calon presiden; dan (2) Menko Hukum & HAM (presiden) tidak ingin Papua menjadi tanah damai. Ini tentu berbahaya.

Mewujudkan perdamaian itu tujuan bernegara, sayangnya, mengutip pernyataan Menko menolak perundingan damai, memberikan penjelasan bahwa menolak mewujudkan perdamaian untuk tanah Papua.

*Apakah Papua tidak damai itu rekayasa dan kejahatan Indonesia selama ini?* 

Operasi militer jalan terus, pendudukan dan penguasaan jalan terus, perampasan tanah adat jalan terus, pengiriman pasukan untuk mengawal kejahatan perampasan tanah jalan terus.

Terkait dengan penyelesaian masalah HAM di Papua dilakukan dengan mekanisme peradilan HAM, ini seperti menipu publik. Mestinya seorang Menko yang berlatar belakang profesor memberikan penjelasan pada publik dengan data.

Pada kasus pelanggaran HAM mana yang pelakunya diberikan sanksi dan proses hukum dilakukan? Satu kasus terbaru adalah kasus Paniai berdarah yang ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat saja, pelaku dibuat tidak jelas dan bebas.

Terhadap kasus Paniai berdarah, ada sebuah mafia hukum dimana pelakunya direkayasa agar putusan pengadilan bebas. Sementara, kasus ini kejahatan luar biasa karena aparat gabungan melakukan pengepungan dan membunuh warga di tengah kota.

Komnas HAM menetapkan sebagai pelanggaran HAM berat tapi pengadilan HAM memutuskan bebas. Ini seperti rekayasa. Hakim MK terhadap putusan Gibran agar lolos mencalonkan diri membuktikan hukum yang rusak.

 

*Apa bisa dipercaya?* 

Masyarakat adat Papua yang tanah adatnya dirampas sebagai bentuk kejahatan hukum dan HAM saja harus kalah di pengadilan. Padahal, masyarakat adat itu sudah ada sebelum ada negara yang namanya Indonesia atau sebelum Papua dicaplok masuk Indonesia dengan kejahatan HAM dan hukum.

Ini juga memberikan gambaran bahwa penguasa negara berdalil di balik hukum yang selalu dilanggar, sementara kejahatan HAM terus dilakukan selama Papua dipaksa menjadi bagian dari Indonesia. 

*Pemerintah Menjamin Penegakan Hukum dan Keamanan?* 

Menko menyebutkan “pemerintah menjamin bahwa penegakan hukum dan keamanan dilakukan di Papua bersifat terukur untuk mencegah kemungkinan terjadi pelanggaran HAM yang berat”. Menolak perundingan saja itu memiliki motif pendekatan kejahatan Ham berat di Papua.

Mencaplok Papua bagian dari Indonesia juga merupakan pelanggaran HAM berat di Papua. Perampasan tanah adat di Papua itu kejahatan HAM berat.

Jika mendalami keberadaan Papua di Indonesia saja, itu merupakan kejahatan dan tindakan melanggar hukum, belum lagi berbagai operasi dari awal Papua dicaplok masuk ke Indonesia, kemudian Prabowo pernah melakukan operasi militer di Mapenduma, bahkan kebijakan negara dengan melakukan berbagai operasi militer sampai perampasan tanah dan membiarkan masyarakat di pengungsian, juga merupakan pelanggaran hukum dan HAM berat.

Jika dilihat dalam pemahaman keamanan, keberadaan Indonesia saja sudah membuat Papua tidak aman karena Papua dijadikan korban berkepanjangan. Bentuk keamanan dan penghormatan pada HAM itu adalah tindakan konkret dengan membuka ruang demokrasi, melakukan perundingan, menghormati hak kemerdekaan sebuah bangsa.

Sehingga jika Menko atau presiden mengabaikan dan bahkan menolak, maka itu tindakan memelihara ketakutan dan ancaman pada rakyat dan merusak perdamaian.

Banyak orang Papua dibunuh oleh negara Indonesia. Itu tindakan tidak nyaman. Kasus pengungungsian akibat operasi militer dan negara melakukan pengabaian, itu juga membunuh rasa aman bangsa Papua.

Tentu ini berbeda jauh dengan keberadaan Belanda di Papua. Belanda tidak pernah membunuh orang Papua, bahkan melindungi dan membangun Papua, melakukan pendekatan kemanusiaan, kebudayaan dan kerohanian. Sementara Indonesia membunuh banyak orang Papua.

*Presiden Setuju Abolisi dan Amnesti Kepada Yang Terlibat Konflik Adalah Solusi?* 

Jika seorang Menko yang adalah profesor (katanya), melihat bahwa masalah di Papua solusinya adalah abolisi dan amnesti adalah kekonyolan yang fatal. Ini memberikan gambaran bahwa Menko melihat masalah Papua itu sama seperti masalah di rumahnya atau masalah di sekitar rumahnya atau mungkin di kampungnya.

Sementara Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sebelum jadi BRIN menjelaskan ada 4 masalah besar dari riset yang dilakukan mereka.

Menganggap masalah Papua itu masalah kecil dan tidak ada masalah merupakan tindakan memelihara masalah dan tendensius rasis. Sementera abolisi dan amnesti sendiri harus dilihat dengan seksama.

Banyak pejuang Papua ditangkap oleh Indonesia, itu bukan karena perbuatan pidana. Mereka itu pejuang kebenaran dan pejuang konstitusi Indonesia untuk mewujudkan tujuan konstitusi (nasional) yakni :“kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”.

Sehingga, cara melihat masalah yang sempit dan menyamakan dari masalah di rumah atau di sekitarnya sama dengan masalah pada bangsa lain adalah sesat dan fatal yang sangat berbahaya. Ini juga bisa menciptakan masalah dan memberikan ancaman dalam keberlangsungan hidup sebuah bangsa.

Mestinya, jika benar seorang profesor yang ada di dalam sebuah kabinet, harusnya mendorong semangat konstitusional dan pancasila untuk menyelesaikan masalah.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar