Tantangan Fiskal Ketat & Utang Warisan Jokowi Ditanggung Prabowo

Ilustrasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (Tribun)
law-justice.co - Pada masa transisi dari pemerintahan Presiden Joko Widodo (Presiden ke-7 Indonesia) ke pemerintahan baru yang dipimpin oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, para ekonom menilai bahwa ada tantangan besar dalam hal keuangan negara atau yang disebut dengan kondisi fiskal. Sehingga disebut Joko Widodo mewariskan kondisi fiskal yang menantang kepada pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Apa itu kondisi fiskal? Kondisi fiskal adalah situasi yang menggambarkan bagaimana keuangan negara dikelola, termasuk pendapatan negara (seperti pajak) dan pengeluarannya. Menurut Menteri Keuangan RI mengemukakan bahwa negara yang maju kondisi fiskalnya harus sehat.
“Negara maju itu fiskalnya harus sehat, ya kan? Kalau fiskalnya sakit dia akan menjadi sumber masalah terlebih dahulu. Coba lihat contohnya Argentina yang mengalami krisis, atau Yunani yang waktu itu mudah sekali mengalami setback begitu APBNnya sakit. Maka dari itu, APBN sehat adalah salah satu prakondisi yang harus dijaga” kata Menkeu Sri Mulyani.
Tantangan fiskal
Menurut Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, tantangan terbesar yang diwariskan adalah penurunan penerimaan negara, khususnya dari pajak. Ini terlihat dari menurunnya rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau sering disebut tax ratio.
"Pak Prabowo tidak seberuntung Pak Jokowi. Pak Jokowi mewarisi pemerintahan dengan fiskal yang kuat, moneter yang solid. Saat ini Pak Prabowo mewarisi situasi pemerintahan yang lebih menantang. Jadi ada potensi krisis fiskal," ujar Wijayanto dalam Evaluasi Kritis 100 Hari Pemerintahan Prabowo Bidang Ekonomi, dikutip Jumat (24/1/2025).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan tax ratio per Oktober 2024 sebesar 10,02% dari PDB. Angka itu lebih rendah apabila dibandingkan rasio pajak 2023 yang sebesar 10,32% dari PDB. Angka pada 2023 didapatkan dengan penerimaan perpajakan Rp2.155,4 triliun dan PDB nominal Rp20.892 triliun.
Tak hanya lebih rendah dibandingkan 2023, tax ratio yang disampaikan Sri Mulyani per Oktober 2024 juga lebih rendah jika dibandingkan dengan tax ratio 2022 yang saat itu tercatat sebesar 10,39%.
Belanja negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang merupakan anggaran pertama Presiden terpilih Prabowo Subianto tembus Rp3.621,31 triliun, angka ini tercatat naik Rp8,26 triliun dari postur Rancangan APBN 2025 awal yang sebesar Rp3.613,1 triliun. Kenaikan belanja negara tersebut dipengaruhi kenaikan belanja non-kementerian/lembaga (K/L) sebesar Rp8,26 triliun.
Ketiga, peningkatan utang untuk menutup defisit bertahun-tahun. Wijayanto memaparkan utang mencapai Rp8.680 triliun pada 2024, dengan rasio utang terhadap PDB 39%.
"Bunga utang yang tinggi, tenor utang yang pendek dan penerimaan negara yang rendah menyebabkan situasi fiskal Indonesia sangat berisiko," ujarnya.
Selain itu, Wijayanto memproyeksikan debt service ratio (DSR) Indonesia mencapai 45% pada 2025, di mana cicilan pokok dan biaya bunga utang Rp1.353 triliun dengan penerimaan negara Rp3.005 triliun. Angka DSR ini jauh di atas ambang batas aman 30%.
DSR merupakan indikator untuk menilai kemampuan membayar kewajiban utangnya dibandingkan dengan pendapatan pada periode tertentu. DSR juga dapat dipahami sebagai perbandingan antara cicilan utang tiap bulan dengan pendapatan bersih pihak peminjam. Periode perhitungan DSR biasanya dapat berupa semester atau tahunan, tergantung pada kesepakatan awal. DSR adalah indikator umum yang digunakan dalam industri perbankan, pembiayaan, peminjaman, dan keuangan negara.
Kenapa DSR Perlu Diketahui?
Tujuan utama perhitungan DSR adalah untuk mengetahui tingkat beban utang yang harus ditanggung oleh nasabah, perusahaan, atau suatu negara. Dengan mempertimbangkan pendapatan bersih, peminjam dapat memastikan apakah mereka mampu memenuhi kewajiban pembayaran utang dengan lancar.
"Makin sulit bagi kita untuk mendapatkan pinjaman. Kalaupun dapat pinjaman, bayar bunga dan cicilannya sudah, airnya sudah sehidung. Lebih tinggi lagi kita akan kesulitan," ujarnya dari kutipan bloombergtechnoz.com
"Belum lagi kalau kita berbicara SBN yang jatuh tempo tahun ini dan tahun depan. Rp800 triliun dan another 800 triliun. Tahun berikutnya cukup tinggi. Kenapa itu terjadi? Ya karena Covid."
Pemerintahan yang baru akan menghadapi tantangan dalam membiayai program-program pembangunan, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, jika penerimaan pajak menurun. Dengan sumber pendapatan yang terbatas, mereka perlu mencari cara untuk meningkatkan penerimaan pajak atau mengurangi pengeluaran tanpa mengganggu kesejahteraan masyarakat.
Komentar