Nawaitu Redaksi

Pemagaran Laut Ilegal & Sanksi Hukum Yang Harus Diterapkan

Minggu, 19/01/2025 16:29 WIB
Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Eknas WALHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Muhammadiyah, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), LBH Jakarta dan para aktivis lingkungan menuntut Aparat Penegak Hukum untuk menangkap pelaku pemagaran laut sepanjang 30,16 Kilometer di Kabupaten Tangerang, Senin, (11/1/2025}. Robinsar Nainggolan

Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Eknas WALHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Muhammadiyah, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), LBH Jakarta dan para aktivis lingkungan menuntut Aparat Penegak Hukum untuk menangkap pelaku pemagaran laut sepanjang 30,16 Kilometer di Kabupaten Tangerang, Senin, (11/1/2025}. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Pemagaran laut ilegal di pesisir Tangerang, Banten, telah menjadi perhatian public karena intens diberitakan oleh media. Pagar bambu setinggi enam meter dan panjang sekitar 30 kilometer ini ditemukan melintang di perairan Tangerang, membentang di beberapa kecamatan yang ada disana.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),telah menyegel pagar laut tersebut dan memberikan waktu 20 hari kepada pihak yang bertanggung jawab untuk membongkarnya. Jika tidak, akan ada sanksi yang diterapkan kepada pelakunya.

Pemagaran laut ilegal di Tangerang, seperti di daerah pesisir atau wilayah perairan lainnya, sangat potensial menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap berbagai aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi.

Dampak lingkungan yang timbul bisa berupa :kerusakan ekosistem laut dimana pemagaran laut dapat merusak habitat alami, seperti terumbu karang, padang lamun, dan mangrove yang menjadi tempat hidup berbagai organisme laut. Selain itu bisa mengganggu siklus hidrologi dimana aliran air laut dapat terganggu, sehingga memengaruhi ekosistem di sekitar area pesisir. Dampak lingkungan lainnya adalah terjadinya pencemaran karena aktivitas konstruksi dan limbah dari pemagaran ilegal dapat mencemari laut.

Sementara itu dampak sosial akan timbul  khususnya yang menimpa para nelayan. Karena akan mengurangi akses nelayan tradisional ke area penangkapan ikan yang merupakan sumber penghidupan utama mereka. Selain itu bisa memicu konflik antara pihak yang mendirikan pagar dan masyarakat setempat yang merasa dirugikan. Dan pada akhirnya masyarakat pesisir yang bergantung pada laut untuk kebutuhan ekonomi dan budaya mereka akan kehilangan sebagian besar sumber daya tersebut.

Adapun dampak secara ekonomi, pemagaran laut akan menyebabkan penurunan pendapatan nelayan karena dengan akses yang terbatas, hasil tangkapan ikan akan menurun, sehingga pendapatan nelayan juga terdampak.

Secara ekonomi juga merugikan dunia pariwisata karena wilayah tersebut memiliki potensi pariwisata bahari, sehingga pemagaran ilegal dapat mengurangi daya tarik wisata. Secara lebih luas,pemagaran laut ilegal bisa menimbulkan kerugian  negara karena negara akan kehilangan potensi pendapatan dari pajak atau retribusi. Bahkan pemagaran laut illegal bisa dimaknai sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan negara.

Analisis Hukum

Kiranya jelas bahwa pemagaran laut ilegal adalah tindakan pemasangan penghalang di perairan yang dilakukan tanpa izin resmi dari otoritas terkait. Di wilayah Tangerang, praktik ini semakin marak dan menimbulkan berbagai dampak negatif, baik dari segi lingkungan, ekonomi, maupun sosial.

Itulah sebabnya secara formal, pemagaran laut dilarang menurut ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku. Larangan melakukan pemagaran laut merujuk pada aturan yang melindungi perairan sebagai wilayah publik yang tidak boleh digunakan secara eksklusif oleh individu atau kelompok tertentu.

Konstitusi Republik Indonesia (UUD 1945) Pasal 33 Ayat 3 menyatkan bahwa Laut dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pemagaran laut tanpa izin bertentangan dengan asas ini, karena membatasi akses masyarakat luas terhadap sumber daya laut.

Didalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 (tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014), Pasal 7 Ayat 1 dan 2 menyatakanb bahwa : (1). Setiap pemanfaatan ruang laut harus memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan laut dan pesisir. Ayat (2) nya menyatakan bahwa aktivitas yang dapat mengganggu akses masyarakat ke laut, seperti pemagaran, dilarang jika tidak memiliki izin atau melanggar tata ruang yang telah ditetapkan. Itulah sebabnya menurut Pasal 61 Hak pengelolaan ruang pesisir dan laut bersifat terbatas dan tidak boleh mengganggu hak masyarakat, termasuk nelayan tradisional.

Didalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 (tentang Kelautan), Pasal 15 dinyatakan bahwa : ” Negara memiliki kewenangan penuh atas wilayah laut Indonesia, termasuk memastikan perairan digunakan secara adil untuk kepentingan publik. Sementara pasal Pasal 57 Ayat 2: “Dilarang melakukan aktivitas yang dapat menghambat jalur pelayaran atau akses nelayan di laut tanpa izin resmi”.

Ketentuan yang lebih operasional diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 24 Tahun 2021, dimana Pasal 5 Ayat 3 dinyatakan bahwa : “Penggunaan wilayah pesisir dan laut untuk aktivitas privat, seperti pemasangan struktur permanen (misalnya pagar), wajib mendapatkan izin lokasi dan izin pemanfaatan laut “ .Selanjutnya Pasal 18 Ayat 2: “Setiap aktivitas yang dapat menyebabkan konflik pemanfaatan ruang laut dengan masyarakat lokal dilarang”.

Pembuatan "pagar laut" yang dapat diartikan sebagai pembatas fisik di laut untuk tujuan tertentu, seperti mengklaim wilayah, menghalangi akses, atau merusak lingkungan laut, dapat dikenakan sanksi sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan serta peraturan terkait lainnya.

Selain itu beberapa sanksi bisa dikenakana kepada mereka yang menjadi pelaku pemagaran laut berdasrkan beberapa ketentuan sanksi sebagai berikut :

Pertama, Sanksi Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Pasal 72 ayat (2): Barang siapa yang melakukan kegiatan yang melanggar ketentuan pengelolaan wilayah laut, seperti membuat bangunan atau konstruksi tanpa izin, dapat dikenakan sanksi administratif berupa:Peringatan tertulis, Penghentian sementara kegiatan dan Pencabutan izin.

Selanjutya Pasal 73: Kegiatan yang menyebabkan kerusakan lingkungan laut, seperti merusak ekosistem, terumbu karang, atau mencemari wilayah laut, dapat dikenai sanksi pidana sesuai undang-undang lainnya, seperti UU Lingkungan Hidup.

Kedua, Sanksi Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.Jika "pagar laut" merusak lingkungan laut, maka berlaku Pasal 98: Pelaku yang menyebabkan pencemaran atau kerusakan lingkungan yang serius dapat dikenai:Pidana penjara maksimal 10 tahun atau Denda maksimal Rp10 miliar. Sementara itu pasal Pasal 99 menyatakan : Jika kerusakan tidak serius namun tetap melanggar, pelaku dapat dihukum dengan: Penjara maksimal 3 tahun atau Denda maksimal Rp3 miliar.

Ketiga, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (sebagaimana telah diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009) mengatur sanksi pidana bagi pelanggaran di wilayah perikanan Indonesia, termasuk: Pasal 100 hingga Pasal 102, yang mencakup sanksi pidana bagi pelaku kegiatan perikanan tanpa izin.Denda hingga miliaran rupiah dan pidana penjara dapat dijatuhkan terhadap pelanggar.

Ke empat, UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.Berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014, pembuatan pagar laut ilegal dapat dikenakan sanksi pidana maupun administratif.

Pasal 73 ayat (1) : “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan perubahan terhadap garis pantai dan ekosistem pesisir tanpa izin dari pemerintah.Pasal 75 ayat (1) : Setiap orang yang melakukan kegiatan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tanpa izin lokasi atau izin pengelolaan dapat dikenakan sanksi pidana. Sanksi Pidana (Pasal 75 ayat 2 dan Pasal 76): Pidana penjara paling lama 3 tahun dan Denda paling banyak Rp500 juta.

Sanksi Administratif (Pasal 35 dan Pasal 36) berupa : Pencabutan izin (jika memiliki izin tapi melanggar ketentuan) atau Penghentian kegiatan atau pembongkaran fasilitas yang melanggar. Bisa juga berupa denda administratif yang ditetapkan oleh pemerintah.

Ke lima, Peraturan Terkait Bangunan di Wilayah Laut. Berdasarkan peraturan tata ruang laut dan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang maka mendirikan bangunan di wilayah laut tanpa izin dari pemerintah pusat atau daerah melanggar hukum sehingga dikenakan sanksi administratif atau pidana dapat dikenakan jika pembangunan tersebut melanggar tata ruang laut yang telah ditetapkan.

Ada juga yang berpendapat bahwa pemagaran laut dapat pula dikenakan pasal pelanggaran kedaulatan negara  sehingga kepada pelakunya dapat dikenakan Pasal 106 KUHP tentang makar dengan maksud untuk membawa seluruh atau sebagian wilayah negara di bawah kekuasaan asing (China).  

Jika pemagaran laut itu bermaksud untuk menjual wilayah tersebut ke pihak asing misalnya China maka pelaku makar dapat diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama 20 tahun.

Untuk diketahui, dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Indonesia, Pasal 106 KUHP sebenarnya memang tidak mengatur mengenai pemagaran laut ilegal. Pasal ini lebih dikenal terkait dengan tindak pidana makar atau tindakan yang mengancam kedaulatan negara.

Dengan demikian secara umum, penegakan hukum terhadap pemagaran laut ilegal dapat dilakukan melalui beberapa mekanisme:Sanksi Administratif, Sanksi Pidana dan Sanksi Perdata. 

Sanksi administratif seperti pembongkaran paksa oleh pemerintah daerah atau instansi terkait atau pencabutan izin usaha bagi pihak yang terkait.Sanksi Pidana misalnya dengan menjerat pelakunya dengan pidana penjara maksimal 3 tahun atau denda maksimal Rp500 juta sesuai Pasal 73 UU No. 27 Tahun 2007,.

Jika pemagaran menyebabkan kerusakan lingkungan, pelaku dapat dijerat dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Adapun secara Perdata, Masyarakat yang dirugikan dapat mengajukan gugatan perdata untuk mendapatkan ganti rugi.

Sejauh ini langkah langkah penegakan hukum  terhadap pemagaran laut ilegal di Tangerang telah melibatkan stake holder terkait dari unsur pemerintah, aparat penegak hukum, serta masyarakat setempat.

Otoritas terkait seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Dinas Kelautan dan Perikanan daerah, serta pihak keamanan seperti Polairud kabatnya telah melakukan patroli rutin untuk mendeteksi aktivitas ilegal. Nelayan dan warga sekitar juga telah didorong untuk melaporkan aktivitas illegal yang terjadi diwilayahnya.

Begitu diketahui ada laporan kegiatan pemagaran laut secara illegal maka seyogyanya otoritas terkait segera mengumpulkan bukti seperti foto, video, atau dokumen terkait aktivitas pemagaran laut illegal dan yang lainnya.

Selanjutnya dilakukan penyelidikan untuk mengetahui siapa pelaku yang bertanggung jawab atas pemagaran, apakah individu, kelompok, atau perusahaan tertentu.Setelah bukti bukti dirasakan cukup maka proses hukum harus segera dilakukan dengan melakukan penyidikan oleh  Polisi atau penyidik lain untuk memeriksa bukti dan saksi guna  menjerat pelaku sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

Selanjutnya proses penuntutan dimana Jaksa Penuntut Umum membawa kasus tersebut ke pengadilan. Pelaku yang diadili pada akhirnya akan dikenakan sanksi baik berupa denda, kurungan, atau hukuman lainnya sesuai peraturan yang berlaku.

Seiring dengan proses penegakan hukum, maka pemilihan ekosistem pesisir di Tangerang perlu segera dilakukan.Area yang rusak akibat pemagaran ilegal harus direhabilitasi melalui reboisasi mangrove atau kegiatan lain yang relevan. Patroli dan pemantauan rutin harus ditingkatkan untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.

Paralel dengan hal tersebut, Pemerintah dan organisasi masyarakat harus terus menerus mengedukasi masyarakat tentang dampak buruk pemagaran laut dan pentingnya melestarikan lingkungan laut.

Tidak boleh dilupakan juga adanya koordinasi lintas instansi yang melibatkan KKP, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pemerintah daerah, dan aparat hukum. Kerjasama juga bisa dilakukan bersama Organisasi lingkungan agar mereka bisa  membantu dalam investigasi, kampanye, dan rehabilitasi.

Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan penegakan hukum terhadap pemagaran laut illegal dapat dilakukan secara efektif dan berkelanjutan, serta menjaga keseimbangan ekosistem dan kepentingan masyarakat.

Namun langkah langkah tersebut saat ini nampaknya masih menjadi utopia belaka. Sanksi terhadap pembuat pagar laut ilegal di Tangerang belum dijatuhkan karena hingga kini identitas pelaku belum terungkap juga.

Meskipun Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menyegel pagar laut sepanjang 30,16 kilometer yang dipasang tanpa izin di perairan Kabupaten Tangerang dan memberikan ultimatum 20 hari kepada pemiliknya untuk membongkar pagar tersebut namun siapa pemiliknya masih menjadi tanda tanya.

Belum diketahuinya sosok pemilik pagar laut tersebut tentu saja menjadi keanehan yang luar biasa. Masak pagar laut yang dibangun dalam waktu cukup lama, menghabiskan banyak waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit jumlahnya tapi Pemerintah tidak mengetahuinya ?

Sebelumnya sempat disebut adanya sosok artis dalang pagar laut ini diungkap oleh seorang nelayan Pulau Cangkir bernama Heru yang menyebutkan bahwa sosok artis Tanah Air diduga menjadi pemiliknya."Sepengetahuan bapak, siapa sih dalangnya?" tanya wartawan."Wah semua juga tahu itu, anak kecil juga tahu dalangnya, siapa lagi kalau bukan selebriti sekarang yang lagi booming, kalau disebutin satu persatu takutnya banyak abcd-nya, yang jelas semua orang pasti tahu," ungkap Heru sembari tersenyum, dari tayangan YouTube Wartakotalive, Minggu (12/1/2025).

Sementara itu menurut Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat (TA-MOR PTR) Ahmad Khozinudin pemagaran laut illegal sepanjang 30 kilometer di pesisir Kabupaten Tangerang tersebut untuk kepentingan proyek Pantai Indah Kapuk (PIK 2)  

"Untuk diketahui, yang mendapat proyek pemagaran laut namanya Memet, warga Desa Lemo, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, atas perintah Gojali alias Engcun. Gojali alias Engcun ini adalah bagian dari geng mafia tanah, bekerja kepada Ali Hanafiah Lijaya, orang kepercayaan Aguan untuk kepentingan proyek PIK 2 milik Aguan dan Anthony Salim," kata Khozinudin seperti dikutip media di Jakarta, Jumat (10/1/2025).

Khozinudin menyebutkan nama Gojali alias Engcun ini terkenal di kalangan korban perampasan tanah. "Gojali bersama Ali Hanafiah Lijaya, saat ini menghilang dari peredaran. Engcun kabarnya ngumpet di Subang, sedangkan Ali Hanafiah Lijaya tak diketahui ada di mana," ujarnya.

Sementara itu, Muannas Alaidid, selaku kuasa hukum pihak Agung Sedayu Group menegaskan tidak ada keterlibatan perusahaan dalam pemasangan pagar laut yang membentang sepanjang 30,10 kilometer di pesisir Tangerang, Banten.

Melalui surat hak jawab tertanggal 8 Januari 2025 yang beredar di media pada Kamis (9/1/2025) pukul 15.02 WIB, Muanas keberatan dengan dikaitkannya proyek strategis nasional (PSN) PIK 2 dan Agung Sedayu Group dalam pemberitaan Inilah.com berjudul "Aguan Diduga Makin Semena-mena Pagari Laut Tangerang hingga 30 Km, Setop PSN PIK 2!" yang tayang Rabu (8/1/2025) pagi.

Dia menilai pemberitaan ini telah mencemarkan nama baik perusahaan dan menimbulkan opini yang salah di tengah masyarakat. "Tidak ada keterlibatan Agung Sedayu Group dalam pemasangan pagar laut. Kami menegaskan hingga saat ini tidak ada bukti maupun fakta hukum yang mengaitkan Agung Sedayu Group dengan tindakan tersebut," ujarnya dalam surat hak jawab.

Seiring dengan adanya pembelaan dari pihak Agung Sedayu Group, nelayan yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Pantura (JRP) Kabupaten Tangerang, Banten, mengklaim bahwa pagar bambu sepanjang 30,16 kilometer yang terbentang di laut Tangerang tersebut dibangun sebagai mitigasi bencana tsunami dan abrasi.

Koordinator JRP, Sandi Martapraja di Tangerang, Sabtu (11/1/2025), mengatakan jika pagar laut yang kini ramai diperbincangkan di publik adalah tanggul yang dibangun oleh masyarakat setempat secara swadaya.

"Pagar laut yang membentang di pesisir utara Kabupaten Tangerang ini sengaja dibangun secara swadaya oleh masyarakat. Ini dilakukan untuk mencegah abrasi," ujarnya seperti dikutip law-justice,co 13/01/2025.

Pengakuan dari para nelayan yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Pantura (JRP) memang terasa sangat janggal terutama jika dikaitkan dengan aspek hukum, etika, dan kepentingan masyarakat.

Jika JRP mengklaim memiliki hak atas laut tertentu atau area pesisir tanpa dasar hukum yang jelas, hal ini dapat dianggap melanggar peraturan perundang-undangan, seperti UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang menegaskan bahwa laut adalah milik publik.

Apalagi jika pemagaran tersebut dilakukan untuk kepentingan komersial, seperti menguasai sumber daya laut atau menghalangi akses nelayan lokal, ini dapat menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat yang bergantung pada laut untuk mata pencaharian.

Sangat mungkin tindakan JRP tersebut didorong oleh motif lain, seperti kepentingan pihak tertentu yang ingin menguasai wilayah pesisir untuk tujuan tertentu, misalnya reklamasi atau pembangunan infrastruktur lainnya.

Lagi pula, JRP yang selama ini dikenal sebagai organisasi advokasi rakyat, melakukan tindakan pemagaran laut yang justru merugikan masyarakat lokal itu sendiri maka dapat dianggap bertentangan dengan misi mereka. Lalu apakah mungkin JRP mempunyai dana berlebih sehingga mau membangun pagar laut yang banyak menelan biaya ?

Kejanggalan kejanggalan tersebut rupanya dibaca pula oleh Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio.Dia sangsi dengan kemunculan sekelompok nelayan menamakan diri Jaringan Rakyat Pantura yang mengklaim membangunan pagar laut untuk mencegah abrasi laut itu, alasan itu dinilai tidak masuk akal.

 “Ah alasan saja itu, semuanya sudah terpengaruh. Enggak ada yang berani, kita lihat saja nanti berani enggak, orang jelas-jelas melanggar gitu. Enggak masuk akal, itu Agung Sedayu sendiri lah wong itu PSN mau reklamasi situ, nguruk, nanti jadi dijual tanahnya ke PIK 2, sudah lah enggak usah pakai alasan-alsan nelayan, itu cara kuno itu,” jelasnya seperti dikutip law-justice.co 13/01/2025.

Karena itu Agus mendesak pemerintahan Presiden RI, Prabowo Subainto untuk menindak tuntas pagar laut yang membentang sepanjang 30,16 kilometer di pesisir Tangerang, Banten tersebut.

Kini kita memang lagi menunggu proses hukum dan langkah tegas pemerintah terhadap pelaku pemagaran laut secara illegal tersebut. Kiranya tidak ada gunanya mengulur ulur waktu penyelesaian karena sebenarnya masalahnya cukup sederhana untuk diselesaikan jika ada kemauan dan keberanian. Masalahnya, masih adakah kemauan dan keberanian itu ? Jangan sampai negara kalah sama oligarki pemilik modal !

 

 

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar