Dr. Roy T Pakpahan SH, Pemimpin Redaksi Law-Justice.co

Analisis Hukum Mengatasi Vonis Ringan Para Koruptor

Minggu, 19/01/2025 16:18 WIB
Kasus Korupsi PT Timah, 4 Terdakwa Dituntut Hanya 6 hingga 14 Tahun Penjara. (Istimewa).

Kasus Korupsi PT Timah, 4 Terdakwa Dituntut Hanya 6 hingga 14 Tahun Penjara. (Istimewa).

Jakarta, law-justice.co - Korupsi adalah salah satu kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang berdampak luas pada kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu negara. Dalam penanganannya, sistem hukum Indonesia menekankan pemberantasan korupsi melalui instrumen hukum yang tegas, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK).

Namun, vonis ringan seringkali dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku korupsi sehingga memicu kritik publik karena dianggap tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia.

Deretan vonis ringan terhadap koruptor sering kita baca di media massa sehingga membuat geram mereka yang peduli pada upaya pemberantasan korupsi di negara kita. Sebagai contoh kasus Idrus Marham, Mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar yang terlibat dalam kasus suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1. Awalnya divonis 3 tahun penjara dan denda Rp150 juta. Setelah melalui proses banding dan kasasi, hukumannya dipotong menjadi 2 tahun penjara.

Ada lagi Heru Wahyudi, Ketua DPRD Kabupaten Bengkalis yang terjerat kasus korupsi dana bantuan sosial sebesar Rp31 miliar. Hanya divonis 1 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp50 juta, serta uang pengganti sebesar Rp15 juta. Vonis ini jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa yaitu 8 tahun 6 bulan penjara.

Vonis ringan kepada koruptor juga dinikmati oleh Engkos Kosasih, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten yang menjadi terdakwa atas kasus korupsi pengadaan 1.800 unit komputer untuk Ujian Nasional Berbasis Komputer 2018 senilai Rp25,3 miliar. Divonis hanya 1 tahun 4 bulan penjara dan denda Rp100 juta.

Vonis ringan juga dinikmati oleh Reza Andriansyah, Direktur Pengembangan Usaha PT Refined Bangka Tin yang juga terlibat dalam kasus korupsi timah. Divonis 5 tahun penjara dengan denda Rp750 juta.

Yang paling anyar adalah kasus Harvey Moeis yang terlibat dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah yang merugikan negara hingga Rp300 triliun. Moeis divonis hanya 6,5 tahun penjara dan denda Rp1 miliar, serta diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp210 miliar

Nasib baik juga dinikmati oleh Suparta, Direktur Utama PT Refined Bangka Tin yang terlibat dalam kasus korupsi tata niaga timah. Divonis 8 tahun penjara dan denda Rp1 miliar, lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menginginkan 14 tahun penjara.

Data yang dikemukakan diatas adalah beberapa contoh dari vonis hukuman yang dianggap ringan terhadap koruptor dibandingkan dengan besarnya kerugian negara yang ditimbulkan, sehingga memicu kritik dari berbagai pihak mengenai efektivitas penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia.

Khusus kasus yang disebutkan terakhir yaitu Harvey Moeis, Komisi Yudisial (KY) menyatakan bahwa sedang memproses laporan dugaan pelanggaran kode etik terhadap majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memvonis Harvey Moeis, terdakwa kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah.

Hal tersebut  disampaikan Anggota KY, Mukti Fajar Nur Dewata, yang menyebut lembaganya telah menerima laporan dugaan pelanggaran tersebut sejak Senin (6/1)."Atas laporan tersebut, KY memproses dan melakukan tahap penyelesaian analisis," kata Mukti Fajar, seperti dikutip law-justice.co  Kamis (9/1/24) dini hari WIB.Namun, Mukti tidak menjelaskan pihak yang melaporkan majelis hakim dimaksud.

Analisis Hukum

Di Indonesia, sanksi hukum terhadap koruptor diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, terutama yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Berikut adalah uraian tentang peraturan dan pasal-pasal utama yang mengatur sanksi terhadap koruptor:

Pertama, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).UU ini merupakan dasar hukum utama dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Beberapa pasal penting yang mengatur sanksi adalah:Pasal 2. Pasal ini mengatur tentang penyalahgunaan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang merugikan keuangan negara. Kepada pelakunya diancam dengan hukuman Penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, serta denda Rp200 juta hingga Rp1 miliar. Jika dilakukan dalam keadaan tertentu, hukuman penjara bahkan bisa seumur hidup.

Pasal 3: Mengatur tentang orang yang memiliki wewenang atau jabatan yang menyalahgunakannya untuk merugikan keuangan negara.Kepada pelakunya bisa diancam hukuman minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun, serta denda Rp50 juta hingga Rp1 miliar.

Selanjutnya, Pasal 5: mengatur pemberian hadiah atau janji kepada penyelenggara negara agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya.Kepada pelakunya diancam dengan pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 5 tahun, serta denda Rp50 juta hingga Rp250 juta.

Pasal 12: Mengatur tentang sanksi lebih berat untuk penyelenggara negara yang melakukan korupsi, misalnya menerima hadiah terkait jabatannya.Mereka yang nekat melakukan dan terbukti diancam dengan penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, atau seumur hidup, serta denda Rp200 juta hingga Rp1 miliar.

Kedua, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU ini memperkuat dan melengkapi UU sebelumnya, dengan fokus pada pengaturan lebih rinci terkait modus dan sanksi korupsi.

Pasal 12 B: Mengatur gratifikasi yang diterima oleh penyelenggara negara. Jika tidak dilaporkan, dianggap suap. Pelakunya diancam dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, serta denda Rp200 juta hingga Rp1 miliar.

Ketiga, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP juga mengatur beberapa tindak pidana terkait korupsi, meskipun UU Tipikor lebih sering digunakan. Contoh pasal Pasal 209 yang mengatur suap-menyuap antara pejabat publik dan pihak pemberi suap. Kepada pelakunya diancam dengan pidana penjara maksimal 2 tahun 8 bulan atau denda.

Selanjutnya Pasal 418 yang mengatur penerimaan hadiah oleh pejabat untuk melakukan atau tidak melakukan tugasnya.Kepada pelakunya diancam dengan pidana penjara maksimal 3 tahun.

Ke empat, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).Korupsi sering kali dikaitkan dengan pencucian uang. UU ini mengatur sanksi terhadap pelaku yang menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang hasil tindak pidana korupsi.

Pasal 3, 4, dan 5:Mengatur penyembunyian, pengalihan, atau penggunaan uang hasil kejahatan. Kepada pelakunya diancam dengan pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar.

Kelima, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). UU ini mengatur kewenangan KPK dalam menyelidiki, menyidik, dan menuntut tindak pidana korupsi. Walaupun tidak secara langsung mengatur sanksi, UU ini penting dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap koruptor.

Selain ketentuan tersebut, ada peraturan tambahan seperti UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN yang mengatur kewajiban penyelenggara negara untuk melaporkan harta kekayaan serta larangan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Pelanggaran diatur dengan sanksi administratif hingga pidana.Sanksi tambahan dalam beberapa kasus korupsi juga bisa berupa:pencabutan hak politik (Pasal 18 UU Tipikor) atau bisa juga berupa penyitaan atau pengembalian aset hasil korupsi.

Meskipun deretan sanksi telah diatur dalam beberapa ketentuan perundang undangan namun seringkali sanksi tersebut tidak diterapkan secara maksimal oleh hakim yang mengadilinya. Sehingga hal ini menimbulkan polemik dimasyakat Indonesia.

Yang paling dikhawatirkan adalah dampak yang terjadi dengan adanya vonis ringan terhadap para koruptor tersebut karena vonis ringan dapat mengurangi efek jera yang seharusnya menjadi fungsi utama hukuman kepada pelakunya.

Karena hukuman ringan alias  tidak sebanding dengan keuntungan yang mereka dapatkan dari tindakan korupsi yang dilakukannya sehingga ia merasa cincai saja. Akhirnya tindak pidana korupsi dianggap sebagai kejahatan yang “menguntungkan” bagi pelakunya.

Vonis ringan terhadap koruptor juga memberikan sinyal negatif bahwa korupsi adalah pelanggaran yang dapat dengan mudah diabaikan atau dimaklumi saja. Hal ini dapat memperkuat budaya korupsi dalam masyarakat, baik di tingkat individu maupun institusional/ lembaga.

Efeknya meskipun korupsi diakui telah menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara tetapi ketika hukuman tidak setimpal, koruptor mungkin hanya mengembalikan sebagian kecil dari hasil kejahatan mereka. Akibatnya uang negara tidak bisa kembali sepenuhnya sehigga dampak sosial dan ekonomi jangka panjang tetap dirasakan masyarakat yang menjadi korbannya

Ketika koruptor dengan jumlah kerugian besar mendapatkan vonis ringan, sedangkan pelanggaran kecil (seperti pencurian kecil-kecilan) dihukum berat, masyarakat melihat ketimpangan ini sebagai bentuk ketidakadilan yang sangat nyata. Ketimpangan ini dapat memperbesar jurang sosial dan menciptakan rasa frustrasi di kalangan rakyat jelata.

Pada akhirnya adanya vonis ringan terhadap koruptor dapat menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Rakyat akan berasumsi bahwa sistem peradilan dianggap tidak adil karena cenderung berpihak pada pelaku kejahatan berstatus tinggi atau kejahatan krah putih.

Pemerintah juga dianggap tidak serius memberantas korupsi di Indonesia. Lemahnya komitmen untuk melaksanakan reformasi dalam pemberantasan korupsi dapat menghambat implementasi kebijakan antikorupsi dan mengurangi motivasi lembaga-lembaga antikorupsi dalam menjalankan tugasnya.Keadaan ini dapat memunculkan sikap apatis masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi karena dinilai hanya omon omon saja

Bukan hanya itu saja, dampak vonis ringan terhadap vonis ringan terhadap koruptor sering kali mendapatkan sorotan internasional, khususnya dari organisasi yang mempromosikan transparansi dan akuntabilitas, seperti Transparency International. Ini dapat berdampak pada penurunan indeks persepsi korupsi atau berkurangnya investasi asing karena rendahnya kepercayaan terhadap sistem hukum negara kita.

Jadi meskipun dampak vonis ringan terhadap koruptor sangat berbahaya namun nyatanya hakim hakim sering melakukannya. Mereka seolah olah tidak terlalu memikirkan dampak signifikan yang bakal ditimbulkannya.

Vonis ringan terhadap seorang koruptor yang dijatuhkan oleh hakim tersebut bisa disebabkan oleh berbagai faktor, yang mungkin terkait dengan aspek hukum, teknis, atau sosial, diantaranya :

Yang Pertama, Terkait Dengan Peraturan Perundangan Undangan Yang Mengaturnya. Bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa yang memberikan dampak luas terhadap masyarakat. Namun, ironi terjadi ketika sanksi terhadap pelaku korupsi tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkannya. Hukuman yang dijatuhkan kerap kali ringan, baik dalam bentuk masa tahanan yang pendek maupun denda yang tidak signifikan dibandingkan jumlah uang yang dikorupsinya.

Dalam banyak kasus, pelaku korupsi tetap dapat menikmati hasil kejahatannya setelah menjalani hukumannya. Bahkan, tidak sedikit koruptor yang mendapat fasilitas istimewa di penjara, memanfaatkan celah dalam sistem hukum yang ada. Peraturan yang berlaku saat ini masih belum maksimal memberikan efek jera untuk mencegah tindak pidana korupsi di Indonesia.

Hal tersebut menciptakan paradoks keadilan, di mana korupsi yang merampas hak masyarakat luas tidak dihukum dengan tegas. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan pemerintah terus menurun. Jika peraturan tidak segera diperkuat, korupsi akan tetap menjadi ancaman utama yang menghambat kemajuan bangsa.

Revisi peraturan yang mengatur sanksi terhadap koruptor menjadi sangat mendesak. Hukuman yang lebih berat, seperti perampasan aset hingga pemiskinan pelaku korupsi, perlu diterapkan untuk memastikan bahwa keadilan ditegakkan, sekaligus memberikan efek jera yang nyata. Karena kejahatan luar biasa memerlukan tindakan luar biasa pula untuk memberantasnya.

Yang Kedua, Kualitas Aparat Penegak Hukum. Penegak hukum disini bisa Jaksa atau hakim yang mengadilinya. Dalam penegakan hukum, seorang Jaksa bisa berulah misalnya dengan dengan mengajukan bukti bukti yang tidak cukup kuat untuk mendukung hukuman berat, sehingga hakim bisa menjatuhkan vonis yang lebih ringan kepada tersangka.

Selain itu kesaksian yang lemah dimana kesaksian saksi kunci yang tidak konsisten atau kurang mendukung bisa melemahkan posisi jaksa. Sehingga hakim akhirnya memutuskan untuk memvonis ringan terdakwa.

Jaksa atau penuntut umum bisa pula menggunakan pasal yang lebih ringan dimana Penuntut umum mungkin menuntut dengan pasal yang memiliki ancaman hukuman lebih rendah sehingga hakim akhirnya memvonis rendah pula.

Dengan demikian, jika jaksa tidak maksimal dalam menyusun tuntutan atau menghadirkan bukti, hakim mungkin tidak memiliki dasar untuk memberikan vonis yang berat pula.

Selain Jaksa, ada Hakim sebagai penegak hukum yang memvonis perkara.Hakim memiliki independensi dalam menjatuhkan putusan berdasarkan fakta hukum, alat bukti, dan keyakinannya. Independensi ini dilindungi oleh konstitusi untuk memastikan hakim bebas dari intervensi.

Namun karena alasan independensi ini pula, hakim seringkali menyalahgunakan kewenangannya. Pertimbangan subyektif hakim dalam memutus perkara acapkali dimanfaatkan untuk kepentingan diri sendiri hakim dan pihak lainnya.

Dalam kaitan ini seorang hakim memang mempunyai alasan untuk memutus ringan koruptor berdasarkan beberapa alasan yang menjadi pembenarnya diantaranya: (1).Pelaku mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya, (2). Pelaku telah mengembalikan sebagian atau seluruh kerugian negara.(3). Pelaku memiliki tanggungan keluarga atau faktor usia, (4).Pelaku menyesali perbuatannya dan berjanji tidak mengulanginya, (5). Pelaku belum sempat menikmati hasil tindak pidana (6). Nilai atau harga benda yang menjadi objek tindak pidana pencurian tidak terlalu tinggi, (7). Pelaku belum sempat menikmati hasil tindak pidana (8). Pelaku melakukan  melakukan tindak pidana karena himpitan ekonomi dan sebagainya.

Namun jangan karena ada alasan tersebut lalu seorang hakim kemudian memvonis perkara korupsi dengan seenaknya. Sebagai contoh kasus Harvey Moeis dalam kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk pada 2015-2022.

Dalam kasus Harvey Moeis, majelis hakim mempertimbangkan beberapa hal yang memberatkan dan meringankan. Hal memberatkan, yakni perbuatan Harvey dilakukan saat negara sedang giat melakukan pemberantasan terhadap korupsi.“Sementara hal meringankan, yaitu terdakwa berlaku sopan di persidangan, mempunyai tanggungan keluarga, dan belum pernah dihukum,” ucap hakim ketua Eko Aryanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Senin, 23 Desember 2024 seperti dikutip media.

Hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap Harvey Moeis dirasakan sangat tidak adil jika dilihat dari jumlah kerugian yang ditimbulkannya yang mencapai ratusan triliun jumlahnya sehingga keputusan hakim ini memunculkan protes dimana mana.

Ketiga, Pengaruh Eksternal. Kita sering mendengar bahwa vonis ringan pada terdakwa korupsi seringkali dipengaruhi oleh kekuatan eksternal di luar lembaga peradilan.

Ada beberapa kasus yang mengindikasikan adanya upaya pejabat atau pihak terkait untuk mempengaruhi hakim dalam mengurangi hukuman korupsi. Misalnya, dalam revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2019, mantan Wakil Ketua KPK, M. Jasin, mengkhawatirkan potensi transaksi antara penegak hukum dan koruptor. Beliau mencontohkan, jika penyadapan hanya terbatas pada tahap penyelidikan dan penyidikan, maka komunikasi antara tersangka dengan hakim atau penuntut umum untuk meringankan hukuman bisa terjadi tanpa terdeteksi.

Selain itu, dalam kasus suap di Pengadilan Negeri Medan, pengusaha Tamin Sukardi divonis 6 tahun penjara karena terbukti menyuap hakim Merry Purba sebesar 150 ribu dolar Singapura. Tujuan suap tersebut adalah untuk mendapatkan putusan bebas dalam perkara korupsi yang melibatkan Tamin.

Kasus-kasus ini menunjukkan adanya upaya dari pihak tertentu untuk mempengaruhi hakim dalam penanganan perkara korupsi. Oleh karena itu, KPK terus mengingatkan para hakim untuk menjaga integritas dan menghindari praktik korupsi dalam menangani perkara. Misalnya, KPK mengingatkan para hakim di Gorontalo untuk menghindari praktik korupsi dan menjaga marwah peradilan dari praktik-praktik korupsi.

Ke empat, Lemahnya Tekanan Publik Terhadap Kasus Yang Sedang Disidangkan.

Dalam berbagai kasus korupsi yang mencuat ke permukaan, vonis ringan terhadap pelaku sering menjadi sorotan masyarakat. Salah satu faktor yang berkontribusi adalah lemahnya tekanan publik dalam mendorong penegakan hukum yang tegas dan adil

Tekanan publik merupakan elemen penting dalam sistem demokrasi untuk memastikan keadilan ditegakkan. Sayangnya, minimnya keterlibatan masyarakat dalam mengawal kasus-kasus korupsi menciptakan ruang bagi sistem hukum untuk bekerja tanpa pengawasan yang ketat. Ketika opini publik tidak terorganisir atau tidak cukup kuat, aktor-aktor dalam sistem peradilan cenderung kurang terdorong untuk memberikan hukuman maksimal kepada pelaku korupsi.

Lemahnya tekanan publik ini sering kali dipicu oleh kurangnya akses masyarakat terhadap informasi, apatisme, atau bahkan kelelahan dalam menghadapi maraknya kasus korupsi yang terjadi berulang kali. Hal ini diperparah oleh narasi yang sering dibangun oleh pelaku atau pihak-pihak tertentu untuk mengaburkan isu utama, sehingga perhatian masyarakat teralihkan.

Dampaknya, hakim dalam beberapa kasus memberikan vonis yang ringan kepada pelaku korupsi dengan alasan seperti "kerugian negara telah dikembalikan," "usia pelaku sudah lanjut," atau bahkan "pelaku berlaku kooperatif." Padahal, hukuman yang ringan ini tidak sebanding dengan dampak kerugian yang dialami oleh masyarakat akibat korupsi, baik dari segi ekonomi maupun kepercayaan terhadap institusi negara.

Itulah mengapa pentingnya partisipasi aktif masyarakat untuk mendorong guna memastikan bahwa proses hukum berjalan dengan adil. Masyarakat perlu terus menyuarakan aspirasi dan mengawal kasus korupsi hingga tuntas, sehingga tekanan publik dapat menjadi pendorong bagi para penegak hukum untuk bertindak dengan tegas dan memberikan hukuman yang setimpal. Tanpa tekanan publik yang kuat, keadilan bisa saja menjadi ilusi, dan para pelaku korupsi dapat terus menikmati kekebalan dari hukum yang seharusnya menjerat mereka.

Bagaimanapun vonis rendah terhadap koruptor yang sangat merugikan keuangan negara dan menyengsarakan rakyat memang tidak seharusnya terus dibiarkan begitu saja. Harus ada upaya secara sistematis untuk mencegahnya agar pemberantasan korupsi di Indonesia bisa berjalan sesuai harapan kita bersama.

Menyikapi adanya vonis ringan terhadap koruptor itu sendiri sebenarnya Mahkamah Agung (MA) pernah menyikapinya. Mahkamah Agung (MA) menerbitkan ketentuan terkait pedoman pemidanaan koruptor yakni Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2020. Ketua Mahkamah Agung, M Syarifuddin meneken peraturan tersebut pada 8 Juli 2020 dan resmi diundangkan Kementerian Hukum dan HAM pada 24 Juli 2020.

Peraturan tersebut berisi pedoman pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur korupsi di atas Rp 100 miliar dapat dipidana seumur hidup. Perma itu memberi panduan kepada hakim yang harus mempertimbangkan kategori kerugian keuangan negara, tingkat kesalahan, dampak dan keuntungan, rentang penjatuhan pidana.Selain itu, juga keadaan yang memberatkan atau meringankan, penjatuhan pidana, serta ketentuan lain yang berkaitan dengan penjatuhan pidana.

Tetapi adanya Perma tersebut sepertinya dianggap sebagai angin lalu saja, atau para hakim mungkin sudah lupa dengan adanya ketentuan yang mengharuskannya menghukum berat koruptor yang banyak merugikan keuangan negara.

Ke depan kiranya yang mendesak untuk segera dilakukan adalah penguatan sistem peradilan di Indonesia. Secara legislasi, DPR perlu segera merevisi UU Tipikor untuk memberikan hukuman minimal yang lebih berat kepada koruptor kalau perlu hukuman mati. Selain itu meningkatkan ketentuan mengenai pencabutan hak tertentu bagi pelaku korupsi. Mengoptimalkan hukuman tambahan, seperti pencabutan hak politik dan pengembalian seluruh kerugian negara serta memberikan hukuman kerja sosial bagi koruptor sebagai bentuk edukasi kepada masyarakat.

Sementara itu Jaksa harus memperkuat alat bukti dan menuntut hukuman maksimal, sesuai dengan kerugian negara dan dampak sosial yang ditimbulkannya.Semua proses peradilan harus terbuka untuk publik untuk mencegah kecurigaan adanya praktik kolusi dan pengawasan oleh lembaga seperti Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung perlu ditingkatkan.

Bagaimanapun vonis ringan terhadap koruptor tidak hanya mencerminkan lemahnya penegakan hukum di Indonesia, tetapi juga mengancam integritas sistem hukum secara keseluruhan. Oleh karena itu untuk memastikan keadilan dan memberikan efek jera, diperlukan reformasi menyeluruh pada aspek hukum, kelembagaan, dan pengawasan dalam penanganan kasus korupsi di Indonesia. Kapankah itu akan tiba ?

 

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar