KPK Bidik Tersangka Baru Korupsi KTP-el, Mencuat Peranan Legislator
Ilustrasi KTP-el. Konteks: Jasa reparasi e-KTP di Jalan Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat, Sabtu (18/07) tersebut sebagai alternatif warga memperbaiki e-KTP. Ulin Nuha/law-justice.co
Jakarta, law-justice.co - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka kembali penyidikan kasus korupsi proyek e-KTP yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2011-2013. Sejumlah mantan narapidana dalam kasus yang diusut komisi antirasuah sejak 2014 ini pun diperiksa lagi oleh penyidik. Pemeriksaan ini untuk menngungkap tersangka lanjutan dalam kasus bancakan yang membikin kerugian keuangan negara hingga Rp 2,3 triliun tersebut.
Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, mengatakan proses penegakan hukum kasus korupsi e-KTP memang menyasar tersangka baru. Pemeriksaan terhadap sejumlah mantan narapidana merupakan pengembangan dari sejumlah temuan lama dan baru. Temuan lama berdasar barang bukti dan fakta hukum semasa persidangan beberapa tahun lalu. Dan temuan baru merujuk pada barang bukti selama masa penyelidikan sejak 2022.
“Penyidikan masih awal berjalan, tapi potensi tersangka lain dalam kasus ini terbuka,” kata Asep kepada Law-justice, Rabu (8/1/2025).
Adapun yang diperiksa KPK, sedikitnya ada tiga mantan narapidana. Mereka adalah eks Direktur Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman Zahir, mantan Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi Dirjen Dukcapil Kemendagri, Sugiharto dan eks anggota DPR dari Partai Hanura, Miryam S. Haryani. Ketiganya diperiksa pada 2024.
Untuk nama terakhir yang disebut, bahkan KPK mengeluarkan surat pencekalan bepergian ke luar negeri. Miryam bebas usai menjalani vonis hukuman penjara lima tahun. Dia disebut sebagai penyalur uang korupsi e-KTP ke pimpinan dan anggota Komisi II DPR untuk memuluskan pembahasan anggaran proyek senilai Rp5,9 triliun tersebut. Juga, Miryam disebut dalam dakwaan Miryam meminta uang sebesar USD 100 ribu kepada Dirjen Dukcapil Kemendagri, Norman Irman, untuk membiayai kunjungan kerja Komisi II ke berbagai daerah.
Uang itu diserahkan kepada perwakilan Miryam di sebuah SPBU di Pancoran, Jakarta Selatan. Selama periode 2011-2012, Miryam juga diduga menerima uang beberapa kali dari Irman dan Sugiharto. Saat dia menjadi saksi, yang bersangkutan dianggap memberi kesaksian palsu yang membantah semua sangkaan keterlibatannya dalam bancakan ini.
Selain meminta kesaksian dari eks narapidana kasus ini, KPK pun memanggil anggota DPR dari Golkar, yakni Agun Gunandjar pada jelang akhir 2024. Seusai pemeriksaan, politisi itu mengklaim pemeriksaan dirinya untuk mengungkap dua tersangka baru. Agun sendiri merupakan kolega dari Setya Novanto, mantan Ketua DPR yang menjadi narapidana kasus ini. Setya Novanto dalam fakta persidangan disebut sebagai otak dari bancakan yang menelan anggaran negara Rp 5,9 triliun ini.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, tidak heran KPK membuka kembali penyidikan kasus korupsi e-KTP. Sebab, banyak politisi yang menikmati bancakan. Dalam catatan ICW, tiga partai politik diduga terlibat menerima uang bancakan: Partai Demokrat, Partai Golkar dan PDIP. Merujuk dakwaan jaksa, sedikitnya ada Rp 150 miliar yang mengalir ke Demokrat dan Golkar serta Rp 80 miliar ke PDIP.
“Duit suap ini diduga masuk ke kas partai, bukan sekadar ke kocek pribadi anggota parlemen,” kata Egi kepada Law-justice, Kamis (9/1).
Dari catatan ICW pula, bancakan proyek jumpo pengadaan e-KTP ini direncanakan jauh sebelum proyeknya dimulai pada 2009. Pada April tahun itu, sejumlah politikus Partai Demokrat dan Golkar, disebut Egi bertemu di restoran di Jakarta Selatan. Dari Demokrat, yang hadir adalah Anas Urbaningrum, Muhammad Nazarudin, Ignatius Mulyono dan Zainal Abidin. Dari Golkar, ada hadir Mustokoweni Murdi, yang membawa Andi Narogong. Nama terakhir yang disebut adalah pengusaha yang dekat dengan politisi dan sering mengerjakan proyek di Kemendagri.
“Andi meminta proyek e-KTP tak dipecah-pecah anggarannya supaya mudah dikoordinasi,” kata Egi yang merujuk dakwaan persidangan.
Agar proyek itu mulus, Andi meminta para politisi tersebut mendorong penggantian Dirjen Dukcapil yang saat itu dijabat Rasyid Saleh. Andi mendesak Rasyid diganti oleh Irman, yang kala itu berstatus direktur di Kemendagri. Walhasil, Irman pun menjadi Plt. Dirjen Dukcapil dan langsung diarahkan untuk kepentingan proyek.
Egi bilang gerilya memuluskan proyek ini kian intens ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk Bupati Solok Gamawan Fauzi sebagai Menteri Dalam Negeri. Para politisi yang terlibat dalam pertemuan dengan Andi di sebuah restoran di kawasan Jakarta Selatan itu, mengatur strategi siapa saja pihak yang harus didekati agar proyek ini lancar. Mereka adalah insitusi sekaliber Badan Anggaran, Kementerian Keuangan dan Kemendagri.
Andi yang menjadi katalisator antara Kemendagri dan DPR meminta Irman menemui Ketua Fraksi Golkar, Setya Novanto. “Di sini, pertemuan awal antara pihak Kemendagri dengan pimpinan DPR selaku pihak yang menyetujui anggaran,” ujar Egi.
Tak lama pertemuan itu, rentang waktu Februari hingga Mei 2010, Komisi Pemerintah DPR membahas proyek e-KTP beserta anggarannya. Rapat di DPR menyepakati sejumlah hal krusial, seperti memutuskan anggaran Rp 384 miliar untuk pemutakhiran data penduduk dan pemberian nomor induk. “Anggarannya kan kurang lebih Rp 384 miliar untuk dua input proyek itu dan anggaran pengadaan KTP disepakati Rp 2,46 triliun pada APBN 2011 dan Rp 3,8 triliun pada 2012,” tutur Egi.
Politisi Demokrat yang berada di Badan Anggaran DPR, yakni Mirwan Amir, kata Egi, diminta Anas Urbaningrum untuk membahas dan memberi persetujuan atas angka tersebut. Adapun Badan Anggaran baru menyetujui pengajuan anggara triliunan itu pada September 2010 dengan skema memakai kas tahun jamak. “Nah setelah keluar anggaran, barulah dibagi-bagi,” ujar Egi.
Rinciannya, Rp 2,6 triliun sebagai modal kerja, Rp 2,5 triliun sebagai keuntungan. Kata Egi, keuntungan proyek kemudian dibagi-bagi untuk pejabat Kementerian, anggota DPR, dan konsorsium pemenang tender. Egi masih ingat betul dakwaan jaksa yang menyebut sediktinya ada 60 anggota DPR periode 2009-2014 menerima gelontoran duit untuk memuluskan penganggaran proyek e-KTP.
“Kan ada dari pimpinan DPR, Ketua Badan Anggaran hingga pimpinan komisi pemerintah termasuk di dalamnya 37 anggotanya. Nilanya dari satu milar sampai puluhan miliaran rupiah menurut jaksa,” tuturnya.
Terkini, Ombudsman RI mengendus adanya potensi maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik khususnya terkait dengan pelayanan penerbitan dan pencetakan KTP elektronik (KTP-el) pada kelompok masyarakat di daerah tertinggal, masyarakat adat dan anak asuh yang sudah wajib KTP di panti asuhan.
Temuan potensi maladministrasi itu tercantum dalam kajian Ombudsman, yang sudah diserahkan ke pihak Kemendagri pada akhir Desember 2024. Pimpinan Ombudsman RI, Jemsly Hutabarat mengatakan potensi maladministrasi terkait inklusivitas dalam pelayanan KTP terjadi di 8 provinsi, yang meliputi 10 kabupaten/kota.
Jemsly menjelaskan terdapat beberapa potensi maladministrasi diantaranya potensi maladministrasi dalam perjanjian kinerja sesuai dengan Keputusan Mendagri No. 100.4.6-635 Dukcapil Tahun 2024. Dalam beleid itu, Kemendagri mesti menyelesaikan pendataan dan perekaman NIK penduduk. “Target capaian kinerja penyelesaian perekaman dan pencetakan KTP-el belum secara jelas membedakan antara capaian pencetakan KTP-el pertama kali dengan pencetakan KTP-el karena perubahan data atau penggantian KTP-el dan belum optimalnya sebagian pelayanan administrasi kependudukan di desa terkait dengan penyelesaian masyarakat yang belum memiliki NIK,” kata Jemsly dalam keterangan tertulisnya, dikutip Sabtu (11/1).
Lain itu, Ombudsman juga menemukan adanya keterbatasan akses lokasi dan sarana prasarana perekaman dan pencetakan KTP-el dimana pelayanan pencetakan KTP-el sebagian besar hanya dapat dilakukan di Kantor Disdukcapil. Pdahal, berdasarkan Permendagri No. 120 Tahun 2017 tentang Unit Pelaksana Teknis Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kab/Kota menyebutkan bahwa UPT Disdukcapil Kab/Kota atau tempat pelayanan KTP-el di kecamatan memiliki kewenangan untuk menerbitkan KTP-el.
Dari temuan di lapangan, beberapa alat rekam dan cetak KTP-el rusak dan usia alat yang sudah lama mengakibatkan penurunan pemanfaatan penggunaan dan menghambat perekaman data penduduk. “Sehingga saat melakukan perekaman dan pencetakan harus dibatasi jumlah penggunanya," ucap Jemsly.
Adapun keterbatasan yang ditemukan Ombudsman mulai dari keterbatasan akses karena kondisi geografis, keterbatasan anggaran jemput bola, jaringan internet yang mempengaruhi proses pengiriman dan penyimpanan data penduduk di Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK).
Menurut Jemsly, temuan ini sudah masuk sebagai potesni maladministasi. "Terhadap temuan tersebut, Ombudsman RI memberikan beberapa saran untuk mencegah dan meminimalisir terjadinya maladministrasi pada proses perekaman dan pencetakan KTP-el dalam mewujudkan inklusivitas dalam pelayanan KTP-el," tutur dia.
Komentar