Nawaitu Redaksi
Relasi Prabowo, Megawati dan Jokowi, Seperti Saling Menyandera
Jokowi saat Berkunjung ke Kamp Pengungsi (kompas.com).
Jakarta, law-justice.co - Presiden Prabowo yang sekarang berkuasa bersama pasangannya Gibran Rakabuming Raka, diwarnai oleh situasi perseteruan antara Jokowi dan Megawati. Jokowi dan Megawati yang awalnya berlabuh di satu perahu yang sama bernama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), saat ini sudah “bercerai”.
Jokowi, bersama anak dan mantunya telah dipecat dari partai yang selama ini berjasa mengantarkannya menjadi Walikota Solo, Gubernur DKI hingga Presiden RI dua kali. Pemecatan Jokowi boleh disebut sebagai klimak hubungan buruk antara Jokowi dan Megawati setelah puluhan tahun saling berkolaborasi dan bersinergi.
Menghadapi kenyataan persteruan antara Metawati dan Jokowi, Pemerintah Prabowo sepertinya menjadi salah tingkah sendiri. Karena baik Jokowi maupun Megawati adalah dua tokoh bangsa, teman baik Prabowo yang selama ini mempunyai hubungan sangat dekat sekali.
Prabowo sepertinya sulit lepas dari Jokowi karena dianggap telah termakan budi Jokowi yang berhasil “menjadikannya” sebagai Presiden RI. Sementara dengan Megawati, Prabowo juga memiliki hubungan emosional yang sudah terjalin lama sekali.
Benarkah Prabowo saat ini sulit lepas dari bayang bayang Jokowi karena merasa berutang budi pada Jokowi yang telah menjadikannya sebagai Presiden RI ?. Lalu seperti apa gambaran hubungan emosional yang terjalin selama ini antara Prabowo dengan Megawati ?. Ke depan bagaiman sebaiknya Prabowo bersikap menghadapi perseteruan antara Jokowi dan Megawati ?
Bayangan Balas Budi
Pada pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2024 yang lalu, diakui atau tidak Jokowi memiliki pengaruh besar dalam memenangkan pasangan Prabowo-Gibran Rakabuming Raka yang merupakan anaknya.
Pengaruh Jokowi sebagai Presiden yang berkuasa secara politik maupun administrative telah dioptimalkan untuk mendukung kemenangan pasangan Capres-Cawapres yang di dukungnya.
Dukungan Jokowi diwujudkan melalui koalisi politik yang bersinergi dengannya. Jokowi memainkan peran penting dalam membentuk dan memperkuat koalisi partai politik yang mendukung Prabowo- Gibran, termasuk dukungan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), sebelum partai ini memecatnya. Meski secara resmi PDI-P mencalonkan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, namun Jokowi masih mempunyai basis pendukung di partai yang telah ditinggalkannya.
Secara forma, Jokowi memang bukan pimpinan partai, tapi Jokowi masih memiliki pengaruh besar di PDI-P dan partai koalisi lainnya. Indikasi ini terlihat dari bagaimana Jokowi memediasi perbedaan pandangan dalam koalisi untuk memastikan bahwa dukungan tidak terpecah dan mengarah pada kandidat yang dianggap potensial yaitu Prabowo yang berpasangan dengan anaknya.
Selain basis pendukung di PDI-P, Jokowi juga mengoptimalkan dukungan dari Partai-partai pendukung pemerintahannya seperti Partai Golkar, PAN, dan PPP dan partai pendukung lainnya yang tergabung dalam mitra koalisi pemerintahan yang bergabung dalam koalisi besar untuk mendukung Prabowo-Gibran Rakabuming Raka.
Dengan memanfaatkan kedekatannya dengan pimpinan partai, Jokowi telah memanfaatkan pengaruhnya untuk menggalang dukungan politik terhadap Prabowo yang berpasangan dengan anaknya.
Selain dukungan dari partai politik, Jokowi juga memberikan posisi strategis kepada Prabowo sebagai Menteri Pertahanan dalam kabinetnya. Posisi ini telah memberikan Prabowo panggung nasional untuk menunjukkan kapabilitasnya dalam mengelola isu strategis pertahanan negara.
Posisi tersebut telah pula memberikan kontribusi untuk memperbaiki citra Prabowo di mata masyarakat setelah sebelumnya menjadi rival politik Jokowi dalam dua Pilpres sebelumnya. Selain itu memberikan kesempatan bagi Prabowo untuk menunjukkan kedekatan dan kerja sama yang harmonis dengan Jokowi yang masih begitu besar pendukungnya.
Selama kontestasi Pilpres 2024, Jokowi secara tidak langsung telah mengarahkan sejumlah relawan politiknya, yang telah menjadi mesin pendukung selama dua kali pencalonannya, untuk mendukung Prabowo dan anaknya.
Beberapa indikasi dukungan tersebut terlihat dalam pernyataan terbuka Jokowi yang mendukung sosok "pemimpin tegas, berani, dan mampu" yang sering diasosiasikan dengan Prabowo.
Sinyal dukungan Jokowi kepada Prabowo tersebut selanjutnya ditindaklanjuti oleh para aktivitas relawan Jokowi yang kemudian melakukan deklarasi mengalihkan fokus dukungan kepada pasangan Prabowo -Gibran Rakabuming Raka.
Dalam berbagai kesempatan, Jokowi juga sering menyampaikan kepada publik bahwa pembangunan yang sudah dilakukan selama dua periode kepemimpinannya perlu dilanjutkan oleh penerus yang memiliki visi yang sama. Pernyataan seperti ini sering diasosiasikan dengan dukungannya terhadap Prabowo, karena Prabowo kerap menonjolkan keselarasan dengan program-program Jokowi yang diakui sebagai mentor politiknya.
Jokowi juga sering menggunakan hubungan baiknya dengan para gubernur, bupati, dan wali kota untuk mengonsolidasikan dukungan terhadap Prabowo di berbagai daerah yang dikunjunginya. Dalam berbagai kunjungan kerja, sering kali Jokowi menyisipkan pesan-pesan politik yang menguatkan posisi Prabowo sebagai penerusnya.
Selanjutnya, sebagai seorang Presiden, Jokowi memiliki akses ke berbagai infrastruktur pemerintahan dan jejaring yang dapat membantu menciptakan momentum politik bagi Prabowo seperti misalnya akses ke media Pemerintah dimana Prabowo sering mendapatkan liputan positif dalam media yang dekat dengan pemerintah yang sedang berkuasa.
Media pro Pemerintah sering mengkampanyekan keberhasilan proyek pembangunan nasional yang identik dengan keberhasilan pembangunan infrastruktur di era Jokowi dan keberhasilan ini digunakan sebagai narasi keberlanjutan yang mendukung Prabowo sebagai penerus visi pembangunan yang telah dirintisnya.
Yang paling signifikan dan menjadi isu nasional karena identik dengan pemilu curang adalah penggunaan aparatur negara untuk memenangkan pasangan Prabowo -Gibran Rakabuming Raka.
Sebagai presiden, Jokowi memiliki kontrol atas aparatur sipil negara (ASN) dan birokrasi serta aparat negara. Ada dugaan kuat Jokowi memanfaatkan hubungan ini untuk mendukung pasangan Capres-Cawapres yang didukungnya. Munculnya isu partai coklat untuk menyebut aparat berbaju coklat yaitu aparat kepolisian yang disinyalir menjadi “tim sukses” Jokowi untuk mendukung pasangan 02 ramai di dibicarakan di sosial media.
Namun sampai dengan penetapan dan pelantikan kemenangan Prabowo-Gibran, isu keterlibatan partai coklat tersebut perlahan lahan hilang dengan sendirinya. Sehingga tuduhan keterlibatan partai coklat dalam memenangkan salah satu pasangan calon di Pilpres akhirnya hanya menjadi tanda tanya.
Berdasarkan serangkaian fenomena diatas, ada anggapan bahwa kemenangan Prabowo yang berpasangan dengan anak Jokowi di Pilpres 2024 yang lalu, merupakan buah dari dukungan yang besar Jokowi yang saat itu masih menjadi Presiden Republik Indonesia. Sehingga kemenangan Prabowo disebut sebut sebagai hasil dari cawe cawe Jokowi yang telah “berjuang” total memenangkannya.
Itulah sebabnya kursi Presiden yang sekarang diduduki Prabowo disebut sebut sebagai hasil kerja keras Jokowi yang diduga telah menyalahgunakan kekuasaannya untuk memenangkan Capres yang didukungnya. Sehingga dalam hal ini Prabowo dinilai telah berhutang budi kepadanya. Tetapi benarkah Prabowo telah berhutang budi pada Jokowi sehingga saat ini harus rela kekuasaannya “disandera” ?.
Kalau kita telusuri kebelakang, sebenarnya Prabowo juga banyak menanam jasa untuk karier Jokowi sampai dia menjadi orang nomor satu di Indonesia. Prabowo Subianto memiliki peran penting dalam perjalanan karier politik Jokowi yang akhirnya membawanya menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Seperti diketahui, pada Pilkada DKI Jakarta 2012, Prabowo melalui Partai Gerindra yang berkoalisi dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), memberikan dukungan penuh kepada Jokowi sebagai calon gubernur, berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai wakilnya.
Saat itu Jokowi bukan siapa siapa, namun Prabowo dengan tekad dan keberaniannya melalui partainya mengusung kandidat non konvensional yaitu Jokowi yang saat itu menjabat Wali Kota Surakarta (Solo) dimana dia tidak terlalu dikenal di Jakarta. Namun, Prabowo melihat potensi kepemimpinan Jokowi yang dinilai bisa membawa perubahan di ibu kota.
Saat itu Prabowo aktif mempromosikan pendekatan blusukan yang dilakukan Jokowi selama kampanye yang menggambarkan Jokowi sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyatnya.
Prabowo juga sangat mendukung narasi bahwa Jokowi adalah pemimpin sederhana, merakyat, dan bersih, yang menjadi lawan dari stereotip politikus Jakarta yang elitis jauh dari rakyatnya. Narasi ini terbukti berhasil menarik simpati luas dari masyarakat Jakarta.
Prabowo juga menggunakan jaringan politiknya untuk membantu membangun koalisi dan memastikan dukungan bagi pasangan Jokowi-Ahok, termasuk dalam proses penggalangan dana dan logistik kampanye yang tidak sedikit nilainya
Sebagai tokoh yang memiliki pengaruh besar di Partai Gerindra, Prabowo juga berperan dalam menyediakan dukungan finansial yang diperlukan untuk mendukung kampanye pasangan tersebut mengingat Jokowi saat itu mengaku tidak punyak cukup dana untuk pencalonannya.
Keterlibatan Prabowo yang saat itu sudah dikenal sebagai tokoh politik nasional membantu memberikan legitimasi dan menarik perhatian publik terhadap Jokowi sebagai calon gubernur Jakarta. Selain itu sebagai calon wakil gubernur, Ahok juga mendapat dorongan besar dari Partai Gerindra di bawah arahan Prabowo, sehingga pasangan ini terlihat sebagai tim yang solid dan inklusif saling melengkapi satu dengan yang lainnya.
Saat Pilkada Jakarta di tahun 2012 itu, Prabowo berhasil membangun kerja sama politik dengan PDIP, partai induk Jokowi, sehingga koalisi ini menjadi fondasi kuat yang memenangkan pasangan Jokowi-Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta.
Dari uraian tersebut nampak jelas bahwa Prabowo berperan penting dalam meluncurkan karier politik Jokowi ke tingkat nasional dengan mencalonkan dan mendukungnya dalam Pilkada DKI Jakarta. Meski hubungan politik mereka sempat berubah menjadi rivalitas di Pilpres 2014 dan 2019, jasa Prabowo dalam mendukung Jokowi di awal kariernya tetap menjadi bagian signifikan dari perjalanan politik Jokowi menuju kursi Gubernur DKI Jakarta dan akhirnya Presiden Republik Indonesia.
Berdasarkan data dan informasi diatas sebenarnya menjadi tidak tepat kalau kemudian ada yang menyebut Prabowo berhutang budi pada Jokowi karena telah berhasil memenangkan pasangan Prabowo-Gibran dalam Pilpres yang diikutinya. Karena sebelumnya Prabowo juga sangat berjasa pada karier politik Jokowi hingga menjadi Presiden Republik Indonesia.
Apalagi pada Pilpres 2024 yang lalu Prabowo berpasangan dengan Gibran anak Jokowi sehingga sebenarnya yang diperjuangkan Jokowi adalah anaknya sendiri bukan Prabowo semata. Atas dasar ini kiranya tidak ada alasan bagi Prabowo untuk merasa tersandera kekuasaannya oleh Jokowi yang sekarang sudah menjadi warga negara biasa.
Merapat Kemana ?
Saat ini pemerintah Prabowo tengah dihadapkan pada situasi dimana terjadi perseteruan antara kubu Jokowi dengan Mega. Perseteruan itu makin meruncing setelah Jokowi dipecat dari PDIP dan ditetapkan Hasto Kristyanto sebagai tersangka oleh KPK.
Sejauh ini pemerintah Prabowo nampak masih wait and see alias belum menentukan sikapnya. Terbaca ada situasi dilematis di kubu Probowo untuk menentukan sikap politiknya. Karena pilihan untuk berpihak ke Jokowi atau ke Mega sama sama ada untung dan ruginya.
Pillihan politik untuk merapat ke Jokowi atau Mega mempunyai konsekuensi yang signifikan bagi perjalanan karier politik Prabowo ke depannya. Jika merapat ke Jokowi,keuntungannya Jokowi masih memiliki dukungan infrastruktur politk yang cukup besar di dalam pemerintahan saat ini, termasuk akses ke jaringan birokrasi dan dukungan partai-partai koalisi pemerintah yang sekarang berkuasa. Dukungan ini dapat memperkuat stabilitas politik Prabowo dalam menjalankan pemerintahannya.
Dengan merapat ke Jokowi, Prabowo bisa mendapatkan dukungan untuk melanjutkan kebijakan strategis yang diwariskan, seperti hilirisasi dan pembangunan infrastruktur, yang memperkuat citra keberlanjutan pemerintahannya.
Selain itu Prabowo bisa memanfaatkan jaringan Internasional yang telah dirintis oleh Jokowi terutama dengan negara-negara besar seperti Amerika, Rusia dan China. Merapat ke Jokowi memungkinkan Prabowo memanfaatkan hubungan ini untuk kepentingan pemerintahan dan pengaruhnya di mancanegara
Resikonya kalau merapat ke kubu Jokowi akan memunculkan konflik dengan PDIP dan Megawati serta pendukungnya. Megawati dan PDIP mungkin akan melihat langkah ini sebagai pengabaian terhadap hubungan historis Prabowo dengan Megawati, yang bisa memicu ketegangan politik diantara keduanya.
Selain itu merapatnya Prabowo ke Jokowi yang ditandai dengan keberpihakannya kepada kepentingan Jokowi bisa dianggap sebagai subordinasi, yang mungkin menimbulkan persepsi bahwa Prabowo hanya melanjutkan kebijakan Jokowi dan bahkan bisa disebut hanya sebagai bonekanya.
Di mata publik, nama Prabowo juga akan jeblok karena sebagai Presiden yang mempunyai kekuasaan besar ternyata tunduk dan patuh pada mantan presiden yang sudah lengser dari kursi kekuasaannya.
Kalau Prabowo condong untuk berpihak ke Megawati maka kelebihannya Prabowo akan menemukan sandaran ideologi yang relatif sama. Merapat ke Megawati bisa mengonsolidasikan hubungan emosional dengan PDIP dan kelompok nasionalis lainnya.
Lalu bagaimana halnya kalau Prabowo merapat PDIP, Megawati dan pendukungnya ? Dengan mendekati Megawati, Prabowo bisa mendapatkan dukungan dari PDIP dalam menjalankan kebijakan kebijakan pemerintahannya dimana hal ini penting untuk menjaga stabilitas pemerintantahannya
Sebagai ketua umum, Megawati saat ini memegang kendali penuh atas PDIP yang merupakan partai terbesar di Indonesia. Merapat ke Megawati memungkinkan Prabowo mendapatkan dukungan PDIP yang strategis dalam pemilu mendatang terutama jika Prabowo ingin menduduki kursinya untuk periode keduanya.
Namun resikonya kalau mau merapat ke Megawati, akan memunculkan potensi persaingan dengan Ganjar Pranowo. Ganjar Pranowo, yang didukung PDIP, dapat menjadi rival dalam agenda politik Prabowo ke depannya Sehingga merapat ke Megawati bisa menimbulkan gesekan dalam hubungan dengan Ganjar sebagai rivalnya.
Selain itu merapatnya Prabowo ke Megawati bisa memengaruhi hubungan dengan kelompok Jokowi, yang bisa menghambat kerja sama strategis yang selama ini sudah terjalin di dalam koalisi pemerintahan yang dipimpinnya.
Dengan mempertimbangkan hitung hitungaan plus minus hubungan antara menjalin hubungan dengan Jokowi atau Megawati, nampaknya Prabowo perlu mempertimbangkan prospek politik ke depannya.
Dilihat dari aspek prospek politik, sebenarnya jalinan hubungan dengan Jokowi boleh disebut sebagai kisah romantisme masa lalu yang lama kelamaan akan berakhir pada waktunya. Ibarat bulan madu akan berakhir pada saatnya tiba. Untuk itu Prabowo perlu merenda masa depan yang lebih pasti agar tidak lagi berada dibawah bayang bayang penguasa sebelumnya.
Barangkali hal ini juga menjadi angan angan Prabowo yang ingin menjadi presiden Indonesia seutuhnya dalam arti seorang Presiden yang berkuasa penuh agar tidak terkesan menjadi presiden boneka
Kalau ini pilihannya maka Prabowo bisa perlahan lahan melepaskan diri dari pengaruh Jokowi untuk kemudian menjalin hubungan dengan Megawati sebagai mitra barunya. Apalagi kalau ditelusuri sejarah kolaborasi politik antara Prabowo dan Mega telah terjalin begitu lama.
Pada Pemilu 2009, PDIP dan Gerindra pernah berkoalisi cukup mesra yang menunjukkan adanya sinyal kedekatan politik antara Megawati dan Prabowo.Setelah persaingan sengit dalam Pemilu 2019, Megawati dan Prabowo menunjukkan gestur persahabatan yang erat, termasuk pertemuan pribadi di momen-momen strategis yang mereka gelar bersama.
Selain itu hubungan keduanya juga diperkuat dengan narasi kedekatan keluarga. Prabowo dianggap memiliki hubungan baik dengan Megawati secara personal, yang sering kali terlihat dalam gesturnya.
Sejauh ini PDIP dan Gerindra memang sudah sering bekerja sama dalam banyak isu strategis meskipun perbedaan pandangan selalu ada. Megawati pernah menyebut Prabowo sebagai "adik politik" yang mencerminkan kedekatan antara keduanya.
Prabowo juga sering terlihat hadir dalam acara-acara penting PDIP atau acara pribadi keluarga Mega. Sebaliknya, Megawati juga mendukung Prabowo di momen-momen krusial seperti saat Prabowo terdampar di Yordania.
Namun akhir akhir ini hubungan Prabowo dan Megawati dikabarkan agak merenggang salah satu indikasinya Prabowo tidak di undang di acara Hari Ulang Tahun (HUT) PDIP. Namun pihak internal PDIP ada yang menyatakan bahwa Prabowo memang tidak di undang karena acara HUT parta sifatnya internal saja.
Yang jelas antara Prabowo dan Mega, keduanya mempunyai pandangan ideologis yang cukup serupa, terutama dalam hal nasionalisme dan kemandirian ekonomi bangsa. Hal ini memperkuat hubungan mereka karena mereka memiliki agenda bersama untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
Dengan demikian hubungan Prabowo dan Megawati tidak hanya berdasarkan jalinan politik semata tetapi juga memiliki dimensi emosional dan ideologis. Kedekatan ini menjadi salah satu kekuatan dalam menjaga stabilitas politik di Indonesia.
Kini ditengah meruncingnya perseteruan antara Jokowi dan Megawati, nampaknya Prabowo masih menunggu waktu yang tepat untuk bisa bertemu muka dengan Megawati guna menjalin komunikasi politik antara keduanya. Sebuah pertemuan penting yang sudah lama tertunda karena tarik menarik kepentingan diantara mereka yang terlibat didalamnya
Tetapi kalau mau dikalkulasi, pertemuan Prabowo dengan Megawati akan lebih menjanjikan untuk keuntungan pemerintahan Prabowo ke depannya. Megawati dan PDIP adalah gambaran masa depan sementara Jokowi lebih mengesankan sebagai kekuatan masa lalu yag akan segera menjadi nostalgia.
Apalagi dengan penyebutan Jokowi oleh OCCRP sebagai salah satu tokoh terkorup dunia, telah menjadikan dirinya semakin anjlok kredibilitasnya. Belum lagi panen gugatan kasus kasus hukum yang dilayangkan oleh beberapa elemen sipil sebagai konsekuensi sepuluh tahun kekuasaannya.
Ke depan, Jokowi nampaknya akan lebih disibukkan oleh kasus hukum yang bakal menjeratnya sehingga bisa berimplikasi negative jika Prabowo terus terusan bersamanya. Bagi Prabowo kiranya akan lebih baik jika mencari jalan lain untuk lepas dari bayang bayang pemimpin masa lalu yang saat ini sedang bersiap siap memanen karmanya.
Saat ini Prabowo nampaknya masih melihat segala sesuatunya berjalan seperti apa adanya. Belum ada langkah langkah yang menjadi indikasi akan berpihak kepada siapa. Prabowo masih mempertahankan keseimbangan dan masih memposisikan dirinya sebagai pemimpin independen yang menjalin hubungan baik dengan Jokowi maupun dengan Megawati tanpa harus berpihak kepada salah satu dari mereka
Bagi Prabowo mungkin daripada membangun hubungan berdasarkan figur, ia lebih menekankan kolaborasi berdasarkan kesamaan visi dan kebijakan,yaitu dengan memperkuat kebijakan hilirisasi, ketahanan pangan, kedaulatan negara dan sebagainya.
Prabowo masih konsisten menjalin komunikasi dengan Jokowi dan Megawati dan nampaknya tidak ingin masuk kepusarn konflik diantara keduanya sambil memanfaatkan kekuatan keduanya untuk memperkuat dukungan politik terhadap pemerintahannya.
Dalam bahasa yang sederhana, sikap Prabowo saat ini mungkin mirip dengan sikap yang diambil oleh mantan Imam Besar FPI, Habib Rizieq Shihab ketika menanggapi situasi perseteruan yang melibatkan Jokowi dan Mega.
Seperti diberitakan oleh law-justice.co tanggal 5/01/2025, Habib Rizieq sempat menanggapi perseteruan antara Megawati dan Jokowi dihadapan jamaahnya. "Akhirnya sekarang dia sama dia berkelahi, nah rasain. Sekarang kalau dia sama dia berkelahi jangan pisahin, ngapain lu pisahin," sambung Rizieq dihadapan sejumlah jamaahnya. Menurutnya, saat ini lebih baik jadi penonton saja."Setan sama setan lagi berkelahi, lu gelar tiker bikin kopi, tonton. Nggak usah pusing-pusing." imbuhnya
Apakah pemerintah Prabowo saat ini memang sedang memainkan perannya sebagai penonton perseteruan antara Jokowi dan Mega ?. Tidak mau ikut campur apalagi ingin masuk pusaran perseteruan diantara keduanya ?. Sambil menunggu sampai sejauh mana endingnya ?. Mari kita saksikan bersama.
Komentar