Nawaitu Redaksi
Masuk Nominasi Tokoh Terkorup di Dunia,Apa Konsekwensinya Bagi Jokowi
Nama Jokowi Mendadak Hilang dari Situs OCCRP, Kok Bisa? (Ist).
Jakarta, law-justice.co - Di penghujung tahun 2024, masyarakat Indonesia dan dunia dikejutkan dengan adanya publikasi yang di keluarkan oleh Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) yang Kantor pusatnya ada di Amsterdam Belanda dan memiliki staf di enam benua.
OCCRP merupakan salah satu organisasi jurnalisme investigasi terbesar di dunia. OCCRP dibentuk oleh Drew Sullivan dan Paul Radu pada tahun 2007, bertujuan untuk mengungkap kejahatan dan korupsi yang sering kali luput dari perhatian media arus utama. Dengan kemitraan bersama berbagai outlet media, OCCRP mempublikasikan laporan sesuai tindakan nyata.
Dalam laporan yang dikeluarkannya, menempatkan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) sebagai salah satu tokoh dunia paling korup 2024 menurut versi lembaganya.Nama Jokowi menjadi salah satu dari lima nama tokoh dunia yang mendapatkan paling banyak nominasi dari pembaca, jurnalis, juri serta jaringan dari OCCRP yang tersebar di enam benua.
"Finalis-finalis yang menerima paling banyak dukungan tahun ini adalah Presiden Kenya William Ruto; Mantan Presiden Indonesia Joko Widodo; Presiden Nigeria Bola Ahmed Tinubu; Mantan Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina; pebisnis India Gautam Adani," dikutip dari publikasi yang diterbitkan di situs resmi OCCRP, Selasa (31/12/2024).
Karuan saja pengumuman dari OCCRP tersebut mendapatkan tanggapan riuh rendah dari masyarakat terutama di Indonesia. Berita itu memunculkan pendapat pro dan kontra. Ada yang sependapat tapi ada pula yang menentangnya dengan berbagai argumen sesuai data yang dimilikinya.
Seperti apa gambaran terjadinya pro kontra di masyarakat kita ?, Apa bukti bukti bahwa Jokowi diduga telah melakukan tindak pidana korupsi bersama keluarganya ?. Dengan adanya pengumuman dari OCCRP itu, sejauh mana peluang Jokowi bersama keluarganya untuk bisa diadili segera ?
Memunculkan Pro-Kontra
Masuknya Jokowi dalam daftar pemimpin paling korup didunia 2024 versi OCCRP, memang telah memunculkan pendapat pro dan kontra. Ada yang keras menolak dan membelanya namun banyak juga yang menganiminya.
Mereka yang menolak Jokowi disebut disebagai pemimpin korup beralasan bahwa penetapan sebagai pempimpin korup tidak berdasarkan atas data sehingga termasuk lemah dan mengarah pada fitnah belaka.
Pengamat politik yang juga pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi, mengungkapkan segala bentuk tindak kejahatan tidak bisa dibuktikan lewat jajak pendapat melainkan harus melalui proses pembuktian di sidang di pengadilan. Oleh karena itu, menurutnya predikat yang disematkan OCCRP terhadap Jokowi hanyalah usulan yang tidak berdasar dari para pemegang hak suara dalam polling atau jajak pendapat semata. Akibatnya, ujar Haidar, dapat merusak reputasi dan nama baik Jokowi di mata masyarakat Indonesia bahkan dunia.
Senada dengan Haidar, Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), Muhammad Saifulloh menilai, publikasi OCCRP yang menominasikan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo sebagai pemimpin terkorup harus disertai bukti pendukung yang cukup.
Saifulloh mengungkapkan, kontroversi utama dalam laporan OCCRP adalah ketidakjelasan mengenai ukuran yang digunakan untuk menilai korupsi seorang pemimpin."Pertama yang harus dilihat adalah ukurannya apa? Jadi OCCRP ini menetapkan orang-orang yang jadi nominator presiden, pemimpin atau tokoh terkorup dunia itu dengan ukuran apa?" ujar Saifulloh seperti dikutip media.
Selain dianggap tidak jelas ukuran, data dan kriterianya, mereka yang membela Jokowi juga menilai bahwa selama masa kepemimpinan Jokowi, berbagai inisiatif untuk meningkatkan transparansi dan efisiensi telah dilakukan, seperti digitalisasi layanan publik, reformasi birokrasi, dan pengawasan anggaran melalui sistem e-budgeting.
Selain itu Program pembangunan infrastruktur yang masif di era Jokowi menunjukkan hasil nyata, seperti konektivitas antarwilayah yang lebih baik dan daya saing ekonomi yang meningkat. Hal ini dianggap sebagai bukti komitmennya terhadap pembangunan bangsa.
Mereka juga menilai, tuduhan terhadap Jokowi seperti sebutan pemimpin korup,dianggap sebagai bagian dari strategi kampanye hitam yang dilakukan oleh lawan politik untuk mendiskreditkan reputasinya. Pendukungnya menyebut tuduhan ini lebih politis daripada berbasis fakta.
Buktinya, menurutnya Jokowi masih menikmati tingkat kepercayaan yang cukup tinggi di kalangan masyarakat Indonesia. Pendukungnya menganggap bahwa tuduhan ini tidak sejalan dengan pengakuan positif terhadap keberhasilan pemerintahannya.
Sementara itu kubu yang menilai bahwa sebutan yang disematkan OCCRP kepada Jokowi sebagai salah satu pemimpin dunia yang korup didasarkan pada beberapa argumentasi yang cukup masuk akal juga.
Sebagai contoh di era pemerintahan Jokowi sangat massif dilaksanakan pengerjaan proyek proyek infrastruktut di seluruh Indonesia.Proyek infrastruktur besar di era Jokowi, seperti pembangunan jalan tol, kereta cepat, dan pelabuhan, diduga menjadi lahan korupsi karena minim pengawasan dan transparansi dalam pelaksanannya. Beberapa proyek mengalami pembengkakan biaya tanpa akuntabilitas yang jelas, seperti kasus Kereta Cepat Bandung-Jakarta.
Indikator lainnya adalah meningkatnya dengan signifikan utang BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Banyak BUMN menjadi terbebani utang besar akibat penugasan proyek yang tidak efisien dalam pengerjaannya.
Ada kecurigaan bahwa penunjukan kontraktor di proyek-proyek ini tidak bebas dari konflik kepentingan yang melibatkan kongkalingkong antara penguasa dan pengusaha. Sebagai contoh dugaan keterlibatan pihak tertentu dalam keputusan strategis perusahaan BUMN.
Tercium juga aroma tidak sedap dalam pelaksanaan proyek proyek Pemerintah yang diduga melibatkan keluarga istana. Nepotisme dan konflik kepentingan begitu terasa. Anak-anak Jokowi, Gibran dan Kaesang, serta mantunya disebut memiliki akses terhadap proyek negara dan dunia bisnis yang strategis sifatnya.Hal ini memperkuat persepsi tentang adanya kolusi dan penyalahgunaan jabatan oleh orang orang dekat penguasa
Indikasi lain terkait dengan investasi asing khususnya yang berasal dari China. Investasi besar-besaran dari China di sektor infrastruktur dan sumber daya alam dikritik karena dianggap lebih menguntungkan investor asing tersebut daripada rakyat Indonesia. Sebagai contoh Proyek di Rempang Kepulau Riau yang menyingkirkan penduduk asli serta investasi di sektor tambang yang menguntungkan pihak luar daripada kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
Jokowi juga dianggap telah menghancurkan lembaga negara, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Mahkamah Konstitusi (MK), demi mendorong putranya, Gibran Rakabuming Raka, maju dalam Pilpres 2024. hal tersebut hanya demi menguntungkan ambisi politik putranya, yang sekarang menjadi wakil presiden di bawah presiden RI yang baru Prabowo Subianto. Dimasa Pemerintahannya, Jokowi juga dikritik secara luas karena “prestasinya” yang berhasil melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Bukti Bukti Dugaan Korupsi Jokowi
Memang Jokowi secara formal belum pernah diadili dan dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi oleh Pengadilan Indonesia. Wajar kalau kemudian label koruptor yang disematkan kepada Jokowi oleh OCCRP dianggap sebagai mengada ada.
Terkait dengan namanya yang masuk dalam daftar salah satu nominasi pemimpin terkorup di dunia, Jokowi menanggapi dengan santai saja.“Terkorup, terkorup apa gitu? Yang dikorupsi apa ya dibuktikan apa,” ujar Jokowi sambil tertawa saat ditemui awak media di rumah pribadinya di Solo, Selasa (31/12/2024) seperti dikutip media.
Menanggapi tantangan dari Jokowi, mantan Sekretaris BUMN Said Didu memaparkan lima klaster yang menjadi modus Jokowi dalam melakukan korupsi selama 10 tahun berkuasa. Lima modus tersebut adalah:
Pertama, Klaster korupsi yang ditujukan untuk mendapatkan kekuasaan dan melanggengkan dinastinya. Adapun contoh modus korupsi yang diduga dilakukan oleh Jokowi dan kroninya adalah dengan memberikan pengampunan kepada korporasi-korporasi sawit yang beraktivitas ilegal dalam kawasan hutan dimana jelas jelas bermasalah sehingga semestinya ditegakkan hukumnya.
Tapi alih alih menegakkkan hukum, para maling dan penjarah hutan itu justru diampuni melalui pasal 110 A dan 110 B Undang-Undang Cipta Kerja. Praktek ini sangat rentan menjadi ruang transaksional di tahun politik untuk mendapatkan dana besar secara illegal dari para maling yang telah menjarah hutan negara.
Pada 23 Juni 2023 lalu, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) sekaligus Ketua Pengarah Satgas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara menyampaikan bahwa pemutihan atau legalisasi seluas 3,3 juta sawit dalam kawasan hutan karena tidak mungkin untuk dicopot sawitnya adalah bentuk tunduknya negara terhadap korporasi dan pembiaran terhadap kejahatan lingkungan yang telah dilakukan pihak swasta.
Berdasarkan analisa data yang dilakukan oleh Walhi, dari korporasi-korporasi yang diidentifikasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sebagian besarnya tergabung dalam grup besar sawit di Indonesia.
Bahkan, selain beraktivitas ilegal dalam kawasan hutan, sebagian besar korporasi tersebut melakukan pelanggaran lainnya, seperti kebakaran hutan dan lahan serta perampasan tanah yang menyebabkan konflik dengan masyarakat. Salah satu contohnya, PT Bumitama Gunajaya Agro (PT BGA) yang mengajukan keterlanjuran melalui pasal 110 A dan 110 B hingga saat ini berkonflik dengan masyarakat di Kinjil, Kalimantan Tengah, bahkan melakukan kriminalisasi terhadap 3 orang masyarakat disana.
Selain itu, kerugian perekonomian negara dari praktik kejahatan tersebut seperti banjir, longsor, kekeringan, kebakaran, juga harus ditanggung oleh rakyat dan negara. Jika diakumulasikan semua kerugian negara dan kerugian perekonomian negara ini pasti jauh lebih besar dari denda yang diperoleh negara.
Kedua, Korupsi Sengaja Dibiarkan sebagai Alat Sandera.Mengakhiri masa jabatannya, Jokowi dinilai telah membawa upaya pemberantasan korupsi di Indonesia kembali ke titik nol. Situasi itu tergambar dari indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia yang mengalami stagnasi dengan skor 34 pada 2022-2023.
Tren buruk pemberantasan korupsi di era Jokowi juga tecermin dari kinerja instansi penegak hukum: Kejaksaan Agung, KPK, dan Polri, yang belakangan dianggap kian melempem. Kejagung, misalnya, beberapa tahun terakhir memang banyak menangani kasus dengan potensi kerugian negara yang besar. Namun pengembalian uang negara dalam kasus-kasus itu masih terbilang minim.
Yang lebih memprihatinkan lagi, penegakan hukum diduga telah dijadikan alat sandera untuk menjinakkan lawan lawan politik penguasa. Tokoh tokoh politik sengaja dibiarkan melakukan korupsi tapi tidak diusut karena dijadikan kartu truf bagi penguasa untuk mengancam mereka.
Mereka mereka yang bermasalah secara hukum tidak dipersekusi atau dijadikan tersangka, tapi justru mendapat posisi sebagai Menteri atau menempati posisi lainnya sebagai Pejabat Negara. Sejauh mereka bersedia tunduk-tersandera, terus mendukung dan mengikuti skenario politik Jokowi dan gengnya, maka posisinya akan aman aman saja. Beda dengan mereka yang membangkang seperti Tom Lembong misalnya, nasibnya akan menggenaskan karena bisa berakhir di penjara.
Jokowi menakuti nakuti lawan politik dengan sprindik telah terbukti telah sukses menggiring para politikus bermasalah untuk tunduk dan patuh kepadanya. Para politikus yang tersandera itu kini terus menikmati suguhan kue Jokowi bahkan sampai si pemberi kue telah lengser dari jabatannya. Beberapa penikmat kue Jokowi itu misalnya Airlangga Hartarto yang tersandung kasus minyak goreng dan juga zulkifli Hasan yang sekarang menjadi menterinya Prabowo
Dalam konteks tersebut memang ada nuansa simbiosis mutualisma dimana si pemberi kue yaitu Mulyono menangguk keuntungan dengan adanya ketundukan para politikus bermasalah itu untuk menuruti kemauannya.
Disisi lain para politikus bermasalah itu juga di untungkan karena terselamatkan dari potensi diadili untuk dimasukkan ke penjara. Nama baiknya tetap terjaga karena tidak dijadikan tersangka, paling tidak dimata manusia
Dengan kondisi seperti itu, akhirnya hukum tidak lagi menjadi panglima dalam pemberantasan korupsi tapi politiklah yang menjadi panglima. Ketika politik menjadi panglima penegakan hukum maka tebang pilih dalam penegakan hukum menjadi pilihannya
Ketiga,Klaster korupsi Jokowi yang berawal dari ambisi Jokowi tapi merugikan rakyat dan negara. Beberaoa proyek besar yang mencerminkan ambisi Jokowi pada hal rakyat tidak terlalu membutuhkannya. Sebagai contoh proyek pemindahan ibukota Nusantara (IKN) yang menyedot Anggaran Pendapatan Negara (APBN) pada hal rakyat masih membutuhkan alokasi dana untuk kebutuhan lain yang lebih mendesak sifatnya.
Awalnya di nyatatakan bahwa proyek pemindahan ibukota tidak akan menggunakan anggaran negara tapi nyatanya hal itu hanya sekadar omon omon saja. Begitu juga klaim adanya investor luar negeri yang katanya sudah antri ingin menanamkan modalnya di IKN ternyata juga hanya omon omon juga. Bahkan belakangan ramai diberitakan pengakuan dari Aguan salah satu taipan ternama yang mau berinvestasi di IKN karena diminta oleh Jokowi saat masih berkuasa.
Selain IKN, banyak proyek proyek lain yang berskala besar ternyata mangkrak karena memang tidak terlalu dibutuhkan oleh rakyat Indonesia. Sebagai contoh pembangunan bandara bandara seperti bandara Kertajati di Cirebon.
Menjelang Jokowi lengser, dikabarkan setidaknya ada 58 Proyek Strategis Nasional (PSN) senilai Rp470 triliun terancam mangkrak karena dinilai tidak selesai pada 2024. Akibatnya, puluhan PSN tersebut diperkirakan akan dikeluarkan dari rencana awal pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Pemerintah mencatat, terdapat 58 PSN yang belum tersentuh sama sekali hingga saat ini. Hal tersebut bertolak belakang dengan target yakni harus selesai pada 2024 mendatang. Akibatnya, puluhan proyek tersebut terancam dikeluarkan dari rencana awal.
Pembangunan proyek proyek prestisius yang mencerminkan ambisi pribadi Jokowi disinyalir sarat dengan kongkalingkong karena kurangnya transparansi. Catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), menyebutkan korupsi yang terjadi di sektor pengadaan mencapai 50-60 persen dibandingkan sektor lainnya.
Tiga puluh persen di antara korupsi pada sektor pengadaan jasa tersebut terkait dengan infrastruktur, terutama dalam pengerjaan konstruksi. Padahal tidak sedikit proyek strategis nasional menyangkut infrastruktur yang melibatkan proses pengadaan barang konstruksi.
Berdasarkan temuan ICW, sekurangnya terdapat lima perusahaan BUMN yang memperoleh jumlah kontrak yang besar dalam proyek strategis nasional, di antaranya Waskita Karya, Wijaya Karya, Brantas Abipraya, Hutama Karya, dan Nindya Karya. Kelimanya pernah terjerat kasus korupsi dan hingga saat ini masih mengerjakan proyek
Selain ambisi pribadi Jokowi , ada ambisi lain yang bernuansa korupsi berkaitan dengan kepentingan keluarganya. Sebagai contoh seperti pernah diungkap oleh Faisal Basri tentang dugaan Bobby Nasution dan Airlangga Hartarto melakukan penyelundupan ekspor biji nikel
Pakar Ekonomi Senior, Faisal Basri mengungkap hal tersebut dalam sebuah podcastnya bersama Guru Gembul.Kepada Guru Gembul, Faisal Basri mengatakan bahwa ada petinggi negara yang melakukan penyelundupan ekspor biji nikel. Hal ini lantaran permintaan di luar negeri tinggi, namun hal tersebut dilarang, seperti narkoba.
"Kalo dilarang, permintaan di luar negeri ada, ada yang nyelundup," ujar Faisal Basri tak segan membeberkan dua nama yang memiliki jabatan tinggi di Indonesia."Yang nyelundup itu petinggi-petinggi. Airlangga Hartarto misalnya. Menantunya pak Jokowi, Bobby Nasution," beber Faisal Basri, dikutip SketsaNusantara.id dari kanal Youtube Guru Gembul.Dikatakannya bahwa nama-nama tersebut ia dapatkan langsung dari KPK."Nama itu saya dapatkan dari KPK," jelasnya seperti dikutip law-justice,co 24/08/24.
Selain itu ada keluarga Jokowi yang diduga juga terlibat korupsi yaitu mereka yang dikenal sebagai blok Medan. Kode `Blok Medan` merujuk pada pengurusan izin usaha pertambangan (IUP) untuk perusahaan yang diduga milik Wali Kota Medan Bobby Nasution, suami Kahiyang Ayu sekaligus menantu Presiden Jokowi.
Perusahaan Bobby itu disebut meminta IUP di Halmahera, Maluku Utara.Kode ‘Blok Medan’ muncul dalam persidangan perkara dugaan suap izin usaha pertambangan (IUP) terdakwa mantan Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba.
Selain kasus diatas, ada bau tak sedap keluarga Jokowi yang menjalankan bisnis berbau korupsi karena bersinggungan dengan kekuasaan istana. Seperti berita berita yang beredar dimedia terkait jejak investasi kaesangpangarep di saham udang hingga-batubara, gratifikasi pesawat jet pribadi yang digunakan putra Presiden ketujuh RI Joko Widodo, Kaesang Pangarep, ke Amerika Serikat dan sebagainya.
Mereka yang mencoba mengotak atik dugaan anak anak Jokowi harus menanggung akibatnya. Seperti yang dialami oleh Ubaidilah Badrun Dosen Universitas Jakarta (UNJ). Seperti diberitakan,dosen UNJ yang melaporkan dua Putra Jokowi ke KPK Dipecat Sebagai ASN. Laporan tidak ditindaklanjuti tapi justru pelapornya yang dipecat sebagai abdi negara.
Ke empat, Penggunaan dana APBN untuk menyogok rakyat. Seperti diketahui menjelang pemilu 2024 yang lalu telah terjadi banjir Bantuan Sosial (Bansos) untuk mendukung calon calon tertentu yang di dukung oleh penguasa.
Penggunaan dana Bansos dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut mendapatkan sorotan luas di masyarakat karena adanya indikasi korupsi. Bermacam mcam modus yang digunakan untuk korupsi dana Bansos diantaranya dengan cara Penggelembungan Anggaran. Jumlah anggaran yang dilaporkan lebih besar dari kebutuhan sebenarnya, sehingga terjadi selisih dana yang diselewengkan.Contoh: Pengadaan paket sembako yang nilainya dimarkup.
Modus lainnya adalah dengan Pemotongan Dana Bansos dimana Penerima bansos menerima jumlah yang lebih kecil dari yang seharusnya, dengan alasan administrasi atau biaya lainnya. Ada juga penerima fiktif dimana data penerima bansos dimanipulasi, termasuk menambahkan nama-nama fiktif, sehingga dana dialihkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Yang lebih miris lagi adalah penyalahgunaan untuk kampanye politik. Disini dana Bansos digunakan sebagai alat kampanye terselubung oleh oknum pejabat untuk memperoleh dukungan politik.
Modus lainnya adalah dengan melakukan kerja sama dengan penyedia barang. Disini ada peluang untuk adanya kolusi antara pejabat dengan penyedia barang atau jasa untuk mengurangi kualitas atau kuantitas bantuan demi keuntungan bersama.
Dampak korupsi Bansos jelas merugikan negara karena dana yang seharusnya membantu masyarakat justru masuk ke kantong pribadi atau kelompok tertentu. Masyarakat yang sangat membutuhkan bantuan tidak menerima haknya secara penuh, memperburuk kondisi sosial-ekonomi.
Korupsi dana Bansos jelang pemilu yang lalu diduga untuk kepentingan pemenangan calon calon tertentu yaitu dengan menyogok rakyat dalam bentuk sembako untuk pemenangan calon calon pemimpin yang didukung oleh penguasa. Tapi seperti diketahui, penegakan hukumnya nyaris tidak ada karena dianggap semuanya berjalan normal seperti biasa.
Kelima, Klaster, korupsi dengan menyogok oligarki sebagai penyokong utama kekuasaan Jokowi selama sepuluh tahun berkuasa. Sudah menjadi rahasia umum, di era Jokowi berkuasa, kaum oligarki banyak mendapatkan fasilias di perkebunan, pertambangan dan sebagainya
Seperti apa kenyamanan hidup kaum oligarki di era Jokowi, kita dapat merujuk pada beberapa bukti dan faktor yang menunjukkan bagaimana kelompok ini mampu beradaptasi atau bahkan berkembang di bawah kepemimpinan Jokowi.
Sebaga contoh keterlibatan mereka pada Proyek Reklamasi Teluk Jakarta. Banyak perusahaan besar, termasuk yang terkait dengan pengusaha oligarki seperti Agung Sedayu, terlibat dalam proyek reklamasi Teluk Jakarta. Proyek ini adalah salah satu contoh bagaimana pengusaha besar memperoleh keuntungan dari kebijakan pemerintah dalam sektor infrastruktur.
Selanjutnya keterlibatan mereka pada pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Para taipan pengusaha besar itu memiliki akses ke KEK yang dirancang untuk menarik investasi asing. Peran besar mereka begitu besar dalam pengembangan KEK yang disebut sebut mampu menciptakan peluang bisnis dan keuntungan ekonomi yang signifikan.
Pemerintah Jokowi berfokus pada pembangunan infrastruktur sebagai salah satu prioritas utamanya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam proses ini, ada anggapan bahwa beberapa pengusaha besar kaum oligarki yang dekat dengan pemerintah memperoleh keuntungan lebih besar dibandingkan dengan pengusaha kecil atau baru.
Para oligarki disebut sebut ikut menikmati kebijakan pemerintahan Jokowi yang mengurangi tarif pajak penghasilan perusahaan sebagai upaya untuk meningkatkan daya tarik investasi. Selain itu dalam beberapa sektor seperti properti dan infrastruktur, ada relaksasi peraturan yang memungkinkan pengusaha besar lebih mudah mendapatkan izin dan lisensi.
Bahkan untuk memuluskan pengerjaan proyek proyek yang digarap oleh oligarki ini, Pemerintah terpaksa melabelinya dengan PSN (Proyek Strategis Nasional) seperti melabeli PSN untuk Proyek Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2), Proyek Rempang di Riau dan sebagainya.
Jokowi di duga telah “menyogok” para oligarki tersebut untuk menopang kekuasaannya selama dua periode kekuasaannya. Paling tidak pengakuan Aguan yang diminta Jokowi untuk berinvestasi di Ibukota Nusantara (IKN) dengan kompensasi proyek PIK 2 menjadi salah satu petunjuknya.
Demikianlah beberapa indikasi yang mengarah pada korupsi yang dilakukan oleh Jokowi selama dua periode berkuasa.Namun seperti biasanya, dugaan itu tidak akan mewujud menjadi nyata manakala penegak hukum yang diberikan mandat untuk mengusutnya tidak ada nyalinya.
Kiranya aspek politik masih begitu dominan di penegakan hukum kita sehingga hukum masih belum bisa menjadi panglima. Selama hukum masih dibawah politik, maka kasus kasus yang menimpa orang kuat macam Jokowi niscara tidak akan bisa di usut sebagaimana mestinya.
Peluang Diadili
Penyebutan Jokowi sebagai salah satu pemimpin korup memang telah memunculkan tekanan tekanan kepadanya. Ditingkat lokal, penyebutan itu telah menyebabkan berkurangnya dukungan dan meruntuhkan citra Jokowi sebagai pemimpin sederhana yang dekat dengan rakyatnya.
Gara gara disebut namanya sebagai pemimipin korup, beberapa kelompok oposisi dan masyarakat sipil telah mendorong aparat penegak hukum untuk memanfaatkan laporan ini guna menuntut investigasi berlanjut pada upaya untuk mengadilinya
Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad menyebut bahwa masuknya Presiden ke-7 RI Joko Widodo atau Jokowi dalamnominasi salah satu pemimpin terkorup versi OCCRP sebagai tantangan buat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Sebab jika tidak, maka anggapan publik soal pimpinan KPK yang dipimpin Setyo Budiyanto adalah orang-orang Jokowi memang benar adanya."Harusnya KPK merespons dengan cepat, karena kalau KPK berdiam diri tidak bertindak, maka bisa masyarakat menganggap komisioner KPK yang baru ini memang orangnya Jokowi seperti yang selama ini beredar dugaan," kata Samad seperti dikutip media Rabu (1/1/2025).
Di tingkat Internasional ,jika laporan OCCRP diperkuat oleh investigasi independen internasional, lembaga seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau organisasi anti-korupsi global dapat menekan pemerintah Indonesia.Kalau tidak Indonesia bisa mengalami kerusakan reputasi diplomatic sehingga akan kehilangan kepercayaan di mata dunia, terutama dalam hubungan dagang dan investasi.
Untuk mengadili Jokowi dan keluarganya memang harus disiapkan adanya bukti sah yang menunjukkan keterlibatan langsung Jokowi dalam tindak pidana korupsi. Proses hukum hanya bisa berjalan jika lembaga penegak hukum (KPK, Kejaksaan, atau Kepolisian) jika lembaga lembaga ini bebas dari tekanan politik. Karena sejauh ini Jokowi memiliki loyalis di banyak lembaga, sehingga penyelidikan bisa terhambat.
Jika ketika masih berkuasa dahulu Jokowi mempunyai hak prerogative dan immunitas politik maka setelah masa jabatan berakhir, Jokowi tidak lagi memiliki imunitas sebagai presiden. Oleh karena itu dengan bukti bukti yang ada saat ini seyogyanya segera dilakukan investigasi hukum seperti kasus yang pernah terjadi pada beberapa mantan pemimpin di negara lain.
Beberapa pemimpin dunia telah menghadapi proses hukum setelah meninggalkan jabatannya seperti Park Geun-hye (Korea Selatan) yang dijatuhi hukuman atas skandal korupsi setelah lengser.Begitu juga dengan Jacob Zuma (Afrika Selatan) yang diadili atas dugaan korupsi selama menjabat sebagai presiden.
Pada akhirnya, potensi Jokowi diadili atas laporan OCCRP bergantung pada beberapa faktor seperti : keseriusan pihak yang berwenang untuk mengumpulkan dan menidaklanjuti alat bukti yang sudah ada, independensi lembaga hukum, dan tekanan publik serta internasional.
Jika bukti bukti sudah mencukupi maka investigasi resmi dapat segera dilakukan untuk melakukan proses selanjutnya. Dalam penegakan hukum salah satu hal yang paling menentukan adalah political will atau kemauan untuk menegakkan hukum. Tanpa political will yang kuat maka isu ini mungkin hanya menjadi wacana politik yang tidak berlanjut ke ranah hukum.
Dalam kaitan ini Pemerintah Prabowo perlu bersikap transparan untuk membangun kembali kepercayaan publik. Selain itu lembaga hukum harus menunjukkan independensinya dalam menangani dugaan korupsi secara objektif terhadap mantan Presiden Jokowi. Namun saat ini ada nada pesimis seiring dengan sinyalemen masih kuatnya pengaruh Jokowi di pemerintahan yang sekarang berkuasa. Dengan begitu apakah keinginan sebagian masyarakat untuk mengadili Jokowi dan keluarganya hanya akan kembali menjadi utopia belaka ?
Komentar