Dr. Roy T Pakpahan SH, Pemimpin Redaksi Law-Justice.co

Analisis Hukum Kontroversi Naiknya PPN 12%

Sabtu, 21/12/2024 06:50 WIB
Ilustrasi: Poster seruan protes menolak kenaikan PPN Menjadi 12 persen. (bing)

Ilustrasi: Poster seruan protes menolak kenaikan PPN Menjadi 12 persen. (bing)

Jakarta, law-justice.co - Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pungutan yang dibebankan atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi atau wajib pajak badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).Pajak Pertambahan Nilai disetorkan oleh pengusaha dan/atau perusahaan yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), namun bebannya ditanggung oleh konsumen akhir.

Saat ini, tarif PPN di Indonesia adalah 11%, yang mulai berlaku sejak 1 April 2022. Sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif PPN direncanakan akan naik menjadi 12% pada 1 Januari 2025.

Kepastian kenaikan PPN 12 persen akhirnya dikonfirmasi oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Dalam konferensi pers yang digelar Rabu (11/12), Sri Mulyani memastikan bahwa barang kebutuhan pokok tidak akan mengalami kenaikan atau tetap dibebaskan dari pengenaan PPN 12 persen pada 1 Januari 2024 mendatang.“Pada saat PPN 12 persen diberlakukan, barang-barang kebutuhan pokok tetap akan 0 persen PPN-nya,” kata Sri Mulyani seperti dikutip media.

Analisis Hukum

Tarif PPN menurut ketentuan Undang-Undang No. 42 tahun 2009 pasal 7, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) pada bab IV pasal 7 Pasal 7 menetapkan bahwa tarif PPN naik secara bertahap akan naik dari 10% menjadi 11% pada April 2022, kemudian menjadi 12% paling lambat pada 1 Januari 2025.

Pasal tersebut memberikan fleksibilitas kepada pemerintah untuk menentukan waktu implementasi tarif 12% sebelum batas waktu 2025, berdasarkan pertimbangan kondisi ekonomi dan fiskal negara.

Sementara itu, soal objek pajaknya disebut secara rinci di Pasal 4 Ayat 1 UU No. 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

UU No. 42 Tahun 2009 secara hukum masih berlaku sebagai bagian dari kerangka peraturan pajak di Indonesia. Namun, beberapa ketentuannya telah diperbarui atau digantikan dengan regulasi yang lebih baru.

Beberapa ketentuan dalam UU No. 42 Tahun 2009 telah disesuaikan melalui aturan turunan atau kebijakan baru untuk mengakomodasi perubahan kondisi ekonomi, seperti dalam hal objek pajak, subjek pajak, serta pengecualian dan fasilitas PPN.

Sebagai dasar hukum, selain UU HPP dan UU No.42/2009, kebijakan untuk menaikan tarif PPN 12 persen ini juga diperkuat oleh peraturan pelaksana dan dokumen kebijakan pemerintah lainnya seperti: Peraturan Pemerintan (PP) yang mengatur pelaksanaan teknis kenaikan tarif PPN.

Berkaitan dengan hal tersebut kabarnya pemerintah sedang menyusun peraturan turunan yang akan merinci daftar barang dan jasa yang dikenakan PPN 12%, serta pengecualian atau fasilitas pembebasan PPN untuk barang dan jasa tertentu.

Landasan pengaturan sebagaimana dikemukakan diatas  bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada pelaku usaha dan masyarakat tentang waktu penerapan dan batas maksimal tarif.Hal ini perlu dilakukan karena pasal  Pasal 23A UUD 1945 telah menyatakan bahwa "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang."

Pengaturan kenaikan tarif PPN 12 persen memang perlu dilakukan karena setiap kebijakan yang diambil biasanya akan selalu berdampak pada kepentingan masyarakat secara luas. Terkait dengan kebijakan kenaikan tarif PPN 12, beberapa dampak negatif yang bisa muncul antara lain :

Pertama, Penurunan Daya Beli Masyarakat. Tarif PPN yang lebih tinggi bisa meningkatkan harga barang dan jasa secara langsung, sehingga daya beli masyarakat, terutama kelas menengah dan bawah, dapat menurun. Hal ini berpotensi memperlambat pertumbuhan konsumsi domestik.

Kedua, Meningkatnya Beban pada Pelaku UMKM. UMKM mungkin mengalami tekanan tambahan karena biaya administrasi dan beban pajak yang meningkat. Akibatnya, mereka bisa kehilangan daya saing dibandingkan dengan perusahaan besar yang lebih terorganisasi.

Ketiga, Potensi Meningkatnya Inflasi. Kenaikan PPN dapat mendorong inflasi, terutama jika produsen dan distributor meneruskan kenaikan biaya ke konsumen. Hal ini dapat memperumit kebijakan moneter Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas harga.

Ke empat, Potensi Penghindaran Pajak. Tarif PPN yang lebih tinggi dapat meningkatkan insentif bagi pelaku usaha untuk menghindari atau mengurangi kewajiban pajaknya melalui cara-cara ilegal, seperti under-reporting transaksi atau penggunaan pasar gelap.

Ke lima, Dampak Regresif. PPN bersifat regresif, artinya masyarakat berpenghasilan rendah akan merasakan beban yang lebih besar dibandingkan kelompok kaya, karena proporsi pengeluaran mereka untuk konsumsi lebih tinggi.

Ke enam, Reaksi Sosial dan Politik. Kebijakan kenaikan tarif PPN bisa menimbulkan resistensi dari masyarakat, terutama di tengah pemulihan ekonomi pasca-pandemi yang belum pulih sepenuhnya. Tekanan sosial ini dapat berujung pada instabilitas politik atau penurunan kepercayaan terhadap pemerintah.

Sungguhpun menimbulkan efek negatif sebagaimana dikemukakan diatas namun kebijakan untuk menaikkan tarif PPN 12 persen diharapkan bisa menghasilkan efek positif sebagaimana alasan yang dikemukakan oleh Pemerintah terkait dengan kebijakan yang diambilnya.

Sebagaimana diketahui, Keputusan Pemerintah untuk menaikkan tarif PPN 12% berdasarkan beberapa pertimbangan strategis yang bertujuan positif , antara lain:

Pertama, Peningkatan Penerimaan Negara. Kenaikan tarif PPN bertujuan untuk memperbaiki tax ratio atau rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yang selama ini berada di angka sekitar 8%-9%. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara seperti Filipina (12%) atau Thailand (7%-10%). Peningkatan penerimaan negara melalui kenaikan PPN diharapkan dapat mendukung pembiayaan pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan program perlindungan sosial.

Kedua, Perluasan Basis Pajak. Dengan menaikkan PPN, pemerintah berharap dapat memperluas kontribusi pajak dari berbagai sektor ekonomi, tidak hanya bergantung pada pajak penghasilan atau pajak korporasi tetapi juga setiap lapisan masyarakat diharapkan turut berkontribusi terhadap pendapatan negara secara proporsional.

Ketiga, Harmonisasi dengan Standar Internasional.Tarif 12% yang direncanakan ini berada dalam rentang rata-rata tarif PPN global, sehingga menciptakan daya saing fiskal yang lebih baik. Saat ini, tarif PPN di beberapa negara adalah sebagai berikut:Filipina: 12%,Vietnam: 10%, Singapura: 7% (naik menjadi 9% pada 2024),Malaysia: 6% sebelum dihapuskan pada 2018.Tarif yang lebih harmonis ini juga akan memberikan persepsi bahwa Indonesia memiliki sistem perpajakan yang lebih setara dengan negara-negara tetangga.

Ke empat, Meningkatkan Keberlanjutan Fiskal. Defisit anggaran yang meningkat selama pandemi COVID-19 memaksa pemerintah mencari sumber pendapatan baru. Kebijakan untuk menaikkan PPN 12 persen adalah bagian dari strategi memperkuat keberlanjutan fiskal jangka panjang dengan mengurangi ketergantungan pada pembiayaan utang.

Kelima, Reformasi Perpajakan Melalui UU HPP. Salah satu tujuan utama UU ini adalah menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil, efisien, dan modern. Dalam hal ini, kenaikan tarif PPN dianggap sebagai langkah reformasi struktural yang diperlukan untuk memperbaiki kelemahan sistem perpajakan sebelumnya.

Saat ini lahirnya kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12% melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) memang telah memunculkan reaksi pro dan kontra di masyarakat karena dampak negatif dan positif yang ditimbulkannya.

Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan, diberlakukannya kebijakan ini akan memunculkan tantangan hukum yang patut untuk dipertimbangkan. Adapun tantangan-tantangan tersebut melibatkan aspek konstitusional, teknis hukum, dan penerapannya terhadap masyarakat dan sektor ekonomi.

Beberapa tantangan hukum yang potensial muncul sehubungan dengan pemberlakukan kebijakan untuk menaikkan tarif PPN 12 persen tersebut diantaranya:

Pertama, Adanya Potensi Pelanggaran Prinsip Konstitusional. Prinsip konstitusional dimaksud antara lain menyangkut Prinsip Keadilan dimana dalam Perpajakan PPN bersifat regresif, karena pajak konsumsi seperti PPN membebani semua lapisan masyarakat, termasuk kelompok miskin. Hal ini dapat dianggap melanggar prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 23A UUD 1945, yang mengatur bahwa pajak harus bersifat adil dan tidak memberatkan.

Selain itu terkait juga dengan  Prinsip Kemakmuran Bersama dimana kebijakan ini dianggap dapat memperburuk ketimpangan ekonomi dan mengurangi daya beli masyarakat, yang bertentangan dengan amanat UUD 1945 untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Kedua, Masalah Sosialisasi dan Transparansi.  Bahwa tidak semua masyarakat memahami logika kebijakan kenaikan tarif PPN. Sosialisasi yang kurang memadai dapat memicu gugatan hukum, karena publik merasa tidak mendapatkan informasi yang cukup untuk memahami dampak kebijakan ini terhadap kehidupan sehari-hari.

Selain itu, kenaikan tarif PPN harus diiringi dengan bukti nyata bahwa penerimaan negara digunakan secara efektif untuk kepentingan masyarakat. Tanpa transparansi, kebijakan ini rentan terhadap gugatan publik terkait pelanggaran prinsip kepercayaan tersebut

Ketiga, Potensi Adanya Tumpang Tindih dengan Peraturan Daerah. Peningkatan tarif PPN dapat menimbulkan potensi tumpang tindih dengan pajak atau retribusi daerah, sehingga menciptakan beban pajak ganda bagi pelaku usaha dan masyarakat. Ini menimbulkan persoalan hukum jika dianggap melanggar asas non-duplikasi dalam sistem perpajakan.

Ke empat,  Berpotensi Munculnya Sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK). UU HPP dapat diajukan ke MK oleh kelompok masyarakat atau pelaku usaha yang merasa dirugikan. Argumen utamanya adalah kenaikan tarif PPN bertentangan dengan prinsip konstitusional tentang kesejahteraan rakyat, atau melanggar hak-hak dasar dalam pemenuhan kebutuhan pokok.Namun sejauh ini belum terdengar adanya kelompok masyarakat yang menggugat ke MK terkait dengan kebijakan Pemerintah yang menaikkan tarif PPN 12 persen tersebut.

Kelima, Tantangan Hukum dalam Implementasi. Dalam UU HPP, pemerintah menjanjikan multitarif dan pengecualian untuk barang/jasa tertentu. Namun, implementasi aturan ini memerlukan regulasi teknis yang harus jelas. Jika tidak, dapat terjadi celah hukum yang menimbulkan potensi penyalahgunaan atau inkonsistensi dalam penerapan tarif.

Selain itu, kenaikan tarif PPN dapat memperbesar risiko penghindaran pajak oleh pelaku usaha yang merasa beban pajaknya meningkat. Hal ini menciptakan tantangan hukum bagi otoritas pajak dalam memastikan kepatuhan wajib pajak.

Dengan adanya dampak positif dan negatif serta tantangan hukum yang potensial muncul sehubungan dengan adanya kebijakan kenaikan tarif PPN 12 persen sebagaimana dikemukakan diatas maka diperlukan adanya keseimbangan dalam pengaturan dan pelaksanaan kebijakan tersebut.

Selanjutnya jika kita mencermati kebijakan pemerintah untuk menaikkan tarif PPN 12 persen maka yang paling menarik dari kebijakan itu  adalah pernyataan dari Presiden Prabowo Subianto yang menyatakan bahwa PPN 12% hanya akan dikenakan pada barang-barang mewah. Pernyataan ini tentu  membuat rakyat sedikit lega.

Secara yuridis, ketentuan Pasal 16B UU PPN (juga diatur dalam UU HPP) mememang memberikan wewenang kepada pemerintah untuk menetapkan fasilitas pembebasan atau pengurangan PPN terhadap barang tertentu, terutama barang yang dianggap kebutuhan dasar masyarakat atau memiliki dampak strategis. Dalam hal ini Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Menteri Keuangan (PMK) bisa mengatur secara teknis mengenai barang dan jasa yang mendapatkan perlakuan khusus dalam pengenaan PPN.

Berkaitan dengan hal tersebut kabarnya pemerintah sedang menyusun peraturan turunan yang akan merinci daftar barang dan jasa yang dikenakan PPN 12%, serta pengecualian atau fasilitas pembebasan PPN untuk barang dan jasa tertentu.

Namun kontroversi muncul terkait pengenaan tarif tersebut, khususnya dalam hal kategorisasi barang dan jasa yang dianggap barang mewah.

Yang pertama, Tidak Jelasnya Definisi Barang Mewah dalam Konteks PPN. Dalam regulasi PPN, barang mewah secara umum tidak didefinisikan secara eksplisit, berbeda dengan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang memiliki kriteria spesifik. Hal ini memicu kebingungan tentang apakah barang premium yang dikenai tarif PPN 12% adalah barang mewah dalam pengertian PPnBM atau kategori yang berbeda.

Sebagai contoh barang kebutuhan dasar seperti daging wagyu, ikan salmon, atau air minum dalam kemasan premium dianggap barang mewah untuk tarif PPN, pada hal bagi sebagian masyarakat itu adalah kebutuhan biasa.

Yang kedua, Kekhawatiran Dampak pada Kelas Menengah. Banyak barang yang tergolong "premium" dalam kategorisasi pemerintah sebenarnya cukup umum dikonsumsi oleh kelas menengah ke atas, bukan hanya kelas atas. Hal ini memicu kekhawatiran bahwa PPN 12% tidak hanya menyasar kalangan kaya tetapi juga memberatkan kelas menengah.

Beberapa layanan kesehatan (kelas VIP) dan pendidikan dengan iuran tinggi juga dianggap barang mewah. Padahal, bagi banyak orang, layanan tersebut adalah kebutuhan esensial, terutama di daerah perkotaan.

Yang ketiga, Kurangnya Transparansi dalam Proses Penetapan. Pemerintah dinilai tidak melibatkan masyarakat atau pelaku usaha secara luas dalam menentukan barang dan jasa yang masuk kategori mewah. Hal ini menimbulkan kritik bahwa prosesnya kurang transparan.

Yang ke empat, Potensi Diskriminasi dalam Kategorisasi. Produsen lokal barang premium, seperti perikanan atau produk pertanian premium, mungkin terkena dampak karena konsumen cenderung mengurangi konsumsi akibat kenaikan harga

Dalam kaitan ini tidak ada kejelasan apakah barang premium yang diimpor dan barang premium lokal akan dikenakan PPN dengan cara yang sama, sehingga muncul kekhawatiran akan diskriminasi.

Yang kelima,Potensi Penurunan Konsumsi. Kenaikan tarif PPN untuk barang premium dapat mengurangi konsumsi barang tersebut, yang pada akhirnya dapat berdampak pada sektor ekonomi tertentu seperti ritel, restoran mewah, dan layanan premium.

Pemerintah beralasan bahwa tarif 12% hanya menyasar barang tertentu untuk menjaga daya beli masyarakat luas, tetapi tidak ada jaminan bahwa barang yang dipilih benar-benar sesuai dengan prinsip keadilan.

Yang ke enam, Isu Keadilan Pajak. Sebagian pihak berpendapat bahwa tarif PPN progresif (lebih tinggi untuk barang mewah) sebenarnya menyerupai PPnBM, yang dianggap sebagai pajak ganda untuk konsumen tertentu.

Meski tarif PPN 12% bertujuan meningkatkan penerimaan negara, manfaat redistribusi pendapatan ini diragukan jika barang yang dikenakan tidak sepenuhnya "mewah" dalam arti yang sebenarnya.

Dengan demikian kontroversi seputar kategorisasi barang mewah dalam kenaikan tarif PPN 12% berkisar pada ketidakjelasan definisi, dampak sosial-ekonomi, serta persepsi ketidakadilan dalam penetapan kategori tersebut. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu.

Oleh karena itu PP atau PMK yang akan mengatur secara teknis soal kenaikan tarif PPN 12 persen yang katanya hanya menyasar barang mewah itu harus jelas proses penetapan kriteria dan transparansinya. Kalau perlu substansi PP atau PMK dikaji secara mendalam dengan masukan masukan konstruktif dari masyarakat. Selain itu perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat dan  memastikan bahwa dampak kebijakan ini tidak memberatkan rakyat serta industri lokal.

Diluar kontroversi sebagaimana dikemukakan diatas, Pemerintah perlu memastikan dana tambahan yang diperoleh dari kenaikan PPN benar benar dialokasikan langsung untuk program perlindungan sosial yang memperkuat daya beli kelompok rentan. Selain itu peningkatan tarif harus diikuti dengan pelaporan yang transparan dan akuntabel mengenai alokasi pajak. Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat.

Terhadap kelompok UMKM, kiranya Pemerintah perlu memberikan insentif pajak atau subsidi bagi UMKM untuk membantu mereka beradaptasi dengan kenaikan tarif. Selanjutnya untuk mengendalikan inflasi, pemerintah harus mengawasi distribusi barang/jasa dan memastikan tidak ada lonjakan harga yang tidak terkendali akibat adanya praktik spekulatif.

Secara umum untuk memastikan kebijakan tersebut , diperlukan langkah-langkah mitigasi dampak terhadap masyarakat dan dunia usaha. Pendekatan yang inklusif, sosialisasi yang baik, serta regulasi yang jelas menjadi kunci dalam implementasi kebijakan ini. Oleh karena itu evaluasi yang komprehensif sangat perlu dilakukan untuk membantu pemerintah mengidentifikasi area perbaikan dan memastikan kebijakan ini memberikan manfaat optimal bagi masyarakat, bangsa dan negara.

Bagaimanapun keberhasilan kebijakan ini akan sangat bergantung pada kemampuan pemerintah untuk memastikan kebijakan tersebut tidak menjadi tambahan beban yang berlebihan bagi masyarakat secara umum, melainkan menjadi langkah strategis menuju pemulihan dan penguatan ekonomi yang berkeadilan.

Hanya dengan begitu kebijakan kenaikan PPN 12% persen tesebut bisa menguntungkan masyarakat, bangsa dan negara. Karena kebijakan untuk menaikkan PPN yang hanya sekedar berorientasi pada kenaikan semata sudah pasti akan menjadikan beban bagi rakyat. Bahkan bisa di curigai sebagai upaya pemerasan oleh Pemerintah terhadap rakyatnya. .Tetapi kenaikan yang memperhitungkan keadilan dan kemanfaatan bagi sebagian besar masyarakat itulah yang menjadi tujuan kita bersama. 

 

 

 

(Editor\Roy T Pakpahan)

Share:




Berita Terkait

Komentar