Pajak Yang Timpang Bagi Si Kaya dan Si Miskin
Ilustrasi: Poster seruan protes menolak kenaikan PPN Menjadi 12 persen. (bing)
law-justice.co -
Akhirnya pemerintah menerapkan kebijakan kenaikan PPN 12% Januari nanti, lalu siapa sebenarnya yang diuntungkan dari kebijakan ini? Bukankah justru dengan kenaikan pajak ini otomatis pajak konsumsi juga naik, mengingat pajak konsumsi merupakan bagian dari pajak pertambahan nilai, yang artinya hal ini akan lebih memperparah daya beli masyarakat terhadap konsumsi kebutuhan sehari-hari. Masyarakat Indonesia sendiri membelanjakan hampir seluruh pendapatannya untuk konsumsi. Artinya, pendapatan mereka akan terpapar dampak dari kenaikan PPN.
Adapun pajak konsumsi ini sifatnya regresif, artinya persentase pendapatan yang dibayarkan dalam bentuk pajak lebih dibebankan kepada rakyat yang berpendapatan rendah. Contohnya, jika ada sebuah keluarga dengan pendapatan gaji per bulan itu Rp 3-4 juta dan pendapatan itu ia bagi untuk kebutuhan pokok seperti makanan, transportasi, tagihan listrik, pulsa, atau internet yang semua dikenakan PPN, maka pendapatan bersih dari gajinya itu berapa per bulan?
Berbeda halnya dengan kelompok borjuis yang mungkin hanya menggunakan sebagian kecil pendapatannya untuk pajak konsumsi. Artinya, walaupun kenaikan PPN hanya sebesar 1% mungkin hal ini terasa kecil bagi kelompok borjuis, tetapi menjadi pukulan telak bagi kelompok yang berjuang memenuhi kebutuhan harian di tengah pendapatan mereka yang tidak seberapa.
Ketika pajak konsumsi ini membebani rakyat kecil, dampaknya bukan hanya soal pengeluaran harian masyarakat, melainkan akan melahirkan efek domino pada kesejahteraan jangka panjang. Daya beli masyarakat akan melemah dan akan memaksa banyak keluarga mengurangi pengeluaran konsumsi makanan bergizi, dan mungkin akan mengurangi pengeluaran pendidikan bagi anaknya bahkan kesehatan bagi dirinya beserta keluarganya. Akibatnya lagi dan lagi pemerintah tidak bisa memutuskan lingkaran kemiskinan yang semakin sulit untuk di putus.
Di satu sisi memang PPN menyumbang porsi yang signifikan terhadap pendapatan negara. Pada 2023 misalnya, kontribusi PPN mencapai 40% dari total penerimaan pajak. Angka ini menunjukkan bahwa negara sangat bergantung pada pajak konsumsi untuk membiayai anggarannya. Namun, di sisi yang lain ketergantungan negara terhadap pajak ini tidak serta merta mencerminkan keadilan, karena di saat yang bersamaan rasio pajak (Tax Ratio) Indonesia tetap stagnan di angka 9-11% dari PDB, yang menjadi angka terendah di Asia Tenggara jika dibandingkan Singapura yang memiliki tax rasio 13%, Thailand 15%, dan Vietnam 19%.
Rendahnya rasio pajak di Indonesia bukan karena kurangnya kesadaran masyarakat kecil untuk membayar pajak, namun karena Indonesia sendiri terlalu bergantung pada PPN dan gagal mengejar potensi PPh dari kelompok borjuis dan korporasi besar. Alih-alih meningkatkan tarif PPh untuk individu dan perusahaan dengan penghasilan tinggi, Indonesia justru menurunkan tarif PPh dari 25% menjadi 22% sesuai dengan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang berlaku sejak 2022.
Dan isu terbaru bahwa Presiden Prabowo akan menurunkan tarif PPh menjadi 20% untung mengundang investor. Padahal kita sudah sering kehilangan potensi pajak setiap tahunnya dari transfer pricing dan tax haven yang dilakukan kaum borjuis dan korporasi besar. Sedangkan rakyat kecil tidak bisa menghindar dari pajak. Kita akan terus membayar PPN setiap kali membeli kebutuhan pokok, kita akan terus membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) meskipun tinggal di rumah yang kecil dan sederhana, dan kita akan terus membayar pajak kendaraan kita yang digunakan hanya untuk mencari pendapatan yang tidak seberapa.
Hal ini terkesan bahwa ada ambiguitas politik yang mana ada manifestasi nyata dari ekstraksi ekonomi, atau dalam arti sederhana bahwa negara hari ini lebih condong menjadi pelayan modal ketimbang pelayan rakyatnya sendiri. memang kita tahu sendiri pemerintahan hari ini baik yang duduk di eksekutif maupun legislatif notabene berlatar belakang pengusaha atau mempunyai usaha. bandungbergerak.id.
Komentar